Chapter 1 - Interview
Bagi sebagian besar sarjana di Indonesia, mendapatkan pekerjaan yang mumpuni adalah hal yang paling utama di tengah carut marutnya perekonomian negeri ini. Tak kurang dari ribuan sarjana tiap tahunnya harus berburu demi sebuah pekerjaan. Ibarat hukum rimba, yang terkuatlah yang menang. Namun dalam zona pekerjaan, hal itu tak berlaku. Karena dilihat dari realita yang ada, koneksi dan uang adalah yang utama dalam dunia kerja. Ada uang dan koneksi, maka pekerjaan akan datang padamu. Keahlian, silakan mengantri di urutan selanjutnya.
Hal itu pula yang terjadi padaku. Aku, yang hanya lulusan D3 sekretaris tak akan mampu mendapatkan tawaran kerja semenggiurkan ini jika tanpa campur tangan koneksi. Eiy, tapi jangan dulu berpikir jahat terhadapku. Karena bantuan yang kudapatkan hanya sebatas informasi lowongan pekerjaan. Setelahnya keberuntunganlah yang berpihak padaku hingga aku bisa melaju sampai tahap interview terakhir.
Pukul sembilan aku sudah tiba di kantor Kharisma Advertising. Salah satu perusahaan periklanan yang sedang berkembang. Aku bisa tahu lowongan kerja di tempat ini berkat bantuan sepupuku, Ginan. Pria itu bilang Damar, pemilik perusahaan ini adalah teman semasa kuliahnya. Apakah mereka terlibat dalam hubungan pertemanan yang menjurus aku tidak tahu. Dan pastinya aku tidak peduli. Yang paling penting adalah gaji yang ditawarkan untuk posisi ini cukup menggiurkan. Cukup lah untukku si anak yatim piatu yang sudah tak punya keluarga lengkap dan sedang sendirian di kota ini. Sendiri yang kumaksud di sini bukan aku benar-benar sebatang kara. Karena aku masih memiliki kerabat dari pihak ayah yang tersebar di seantero kota ini. Aku tak ingin dianggap jadi anak durhaka karena melupakan kerabat.
Interview akan dimulai pukul sepuluh tepat. Sebelum itu, aku memilih untuk merapikan penampilanku terlebih dahulu di toilet. Tak ingin ada yang terlewat atau first impression-ku bisa mengacaukan ladang rejeki yang akan kudapatkan.
“Nona Handayu Wenika?” panggil seorang wanita yang sepertinya bertugas di bagian HRD.
Segera saja aku beranjak dari duduk manisku untuk masuk ke ruang wawancara. Ada empat orang yang duduk di depanku. Posisi kami dibatasi sebuah meja panjang hingga saling berhadapan. Aku menelan saliva demi menetralisir kegugupan.
“Sebelum melamar bekerja di sini, anda sudah pernah bekerja di tempat mana saja?” tanya seorang pria muda yang duduk di ujung kanan.
Rasanya aku ingin memutar bola mata karena jengah dengan pertanyaannya. Masa iya dia mewawancaraiku tanpa membaca cv yang kuajukan? Namun demi kesopanan dan menjaga lidahku dari serangan mendadak agar tak menghujaninya dengan makian, terpaksa aku memasang senyum termanis dan menjawab pertanyaannya. Sesi wawancara terus berlanjut. Hingga aku berhasil menjawab semua keingintahuan para penguji tentang diriku.
Aku keluar dari ruang inteview dengan senyum penuh percaya diri. Aku yakin jawabanku cukup memuaskan mereka. Terlihat jelas dari wajah mereka dan anggukan kepala tadi saat aku menjawab. Percaya diri sekali aku ini memang. Tapi harus dong. Kalau aku tak percaya diri, bagaimana bisa aku menghadapi dunia yang fana nan kejam ini. oke, overdose!
Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan setelah interview, aku memilih menunggu hingga makan siang di kafetaria gedung Kharisma Advertising. Sepenuhnya gedung ini bukan milik Kharisma sih, tapi karena aku akan bekerja di Kharisma, anggap saja gedung ini milik mereka. Percaya diri nomor dua!
Mataku menyisir sekeliling kafetaria. Tempat ini sangat nyaman, luas dan pastinya bersih sekali. Berbeda sekali dengan kantin tempatku bekerja dulu. Mana makanannya tak ada yang nikmat. Tapi demi keberlangsungan perut, terpaksa semua karyawan harus makan juga. Mana perusahaan melarang karyawan membeli makan siang di luar kantor kecuali bagi yang membawa bekal dari rumah. Mungkin pengelola kantin sudah kong kalikong dengan salah satu petinggi kantor. Karena dari desas desus yang aku dengar, ibu kantin itu masih kerabat manajer HRD kantor. Huh, nepotisme dan kawan-kawannya.
Aku memesan menu ayam dan nasi bakar. Juga jus jeruk sebagai pelengkap. Hebatnya kantin ini memiliki banyak menu yang menggugah selera. Mungkin karena ada beberapa perkantoran di gedung ini. Jadi pengelola memberikan berbagai variasi hidangan. Setelah mendapatkan pesananku, aku mencari meja kosong untuk tempatku bersantap siang. Walau sebenarnya ini belum masuk jam makan siang, tapi bodo amat ah. Aku lapar.
Tepat saat aku selesai berdoa dan akan memasukkan sesendok nasi ke mulutku, terdengar suara ribut dari seberang meja tempatku bernanung. Seorang pria sedang beradu mulut dengan seorang wanita. Entah apa masalahnya, aku tak peduli. Tapi dari keributan yang kudengar, si wanita menuntut pembayaran gaji yang pantas ia bayarkan. Sementara si pria membalas dengan tak kalah tajamnya.
“Bapak harus bayarkan gaji saya dua kali lipat. Selama saya bekerja sama Bapak, sudah banyak hal yang saya korbankan. Bahkan waktu pribadi saya sendiri!” ujar si wanita dengan nada menggebu-gebu.
“Apa pesangon yang saya kasih masih kurang buat kamu? Kamu kerja sama saya juga belum sampai setahun tapi sudah menuntut macam-macam. Mana pekerjaan kamu tidak becus. Masih mau menuntut, hum?” balas si pria sinis.
Aku terperangah melihat pertengkaran mereka. Mungkin tak hanya aku, tapi hampir seisi kantin yang mulai ramai karena ternyata waktu makan siang sudah tiba. Tapi sepertinya dua orang yang berseteru itu tak peduli pada keributan yang mereka buat. Keduanya terus saja beradu argumen hingga akhirnya si wanita yang geram, menyambar gelas air putih yang ada di meja. Menyiramkannya tepat ke wajah si pria yang terperangah.
“Saya bisa tuntut kamu!” desis si pria geram.
“Saya nggak takut! Selamat tinggal Pak Damar Kharisma yang terhormat!”
Si wanita berjalan dengan angkuh meninggalkan kafetaria. Para penonton juga mulai menyibukkan diri setelah mendapat pelototan tajam dari si pria yang baru di siram air. Kemudian pria itu pergi meninggalkan kafetaria dengan wajah merah padam. Aku sendiri memilih untuk melanjutkan makan siangku yang tertunda karena pertunjukan menakjubkan itu. Tapi tunggu, siapa tadi nama pria yang disebutkan wanita itu? Damar Kharisma?
...
Ini bencana, hari pertama bekerja aku justru datang terlambat. Ini malapetaka. Terlebih setelah tahu seperti apa sosok yang akan jadi atasanku itu. Damar Kharisma. Pria yang bertengkar di kafetaria beberapa waktu lalu. Rasanya aku ingin menolak saja pekerjaan ini. Tapi Ginan mengatakan bahwa Damar itu pria yang baik. Jadi lebih baik aku mencoba dulu untuk bekerja padanya. Mendapat jaminan dari Ginan, akupun memberanikan diri untuk menerima pekerjaan ini. Tapi lagi-lagi aku harus menahan napas karena keterlambatan hari ini.
Dengan kecepatan turbo aku melakukan semua hal. Mandi, berpakaian, dan sarapan ala kadarnya. Hanya sebungkus roti yang masih tersisa di meja makan kemarin. Juga sekotak susu yang untungnya selalu ada di lemari esku. Selesai urusan perut, aku harus berburu kendaraan. Mengingat nggak mungkin lagi menunggu layanan kendaraan online, terpaksa aku mencari taksi konvensional dengan mengorbankan uang yang sudah sekarat di dompet.
Macet adalah langganan kehidupan kota besar. Jadi jangan salahkan kemacetan jika pada akhirnya aku tiba di kantor dengan sangat-sangat terlambat. Hampir pukul sepuluh. Dan yang kudapati adalah wajah Karin yang menjabat sebagai kepala divisi HRD yang akan mengenalkanku pada Bos besar tengah memucat.
“Maaf aku telat,” bisikku pada Karin.
“Kalau kita selamat keluar dari ruangan itu, aku bakal traktir kamu makan di restoran paling mahal di seberang kantor!”
Aku cuma bisa meringis mendengar janji Karin. Dengan dada berdebar kami masuk ke ruangan. Seorang pria yang kuyakin adalah Damar Kharisma tengah menatap kami tajam.
“Mana sekretaris baru yang kamu rekrut?”
Suara Damar Kharisma benar-benar bisa membekukan siapapun. Kudukku saja langsung berdiri mendengar suaranya. Sementara Karin di sampingku juga sama membekunya.
“Maaf Pak, ada sedikit masalah. Dan ini... Handayu, sekretaris baru, Pak Damar.”
Karin memperkenalkanku pada Pak Damar. Pria itu langsung menaikkan pandangannya. Detik itu juga aku mau menghilang ke belahan bumi manapun. Ke perut bumi kalau perlu. Tatapan tajam Damar kharisma laksana pedang yang siap menghunus dan mencabik-cabik tubuh menjadi potongan daging sate. Seram. Aku langsung bergidik ngeri sambil menelan ludah. Bisakah keajaiban menyelamatkanku dari situasi horor ini?
“Karin, kamu boleh kembali ke ruanganmu.”
Karin berpamitan setelah sebelumnya memberikan tatapan penyemangat padaku. Walau kuyakin tak akan berguna karena Bos super seramku saja masih memandangku dengan raut horor. Kalau begini caranya aku lebih baik ketemu dengan setan berantai deh daripada harus bertemu dengan Damar Kharisma dalam wujud Bos menyeramkan begini.
“Saya sudah baca profil kamu. Dan saya heran kenapa tim HRD malah memilih kamu.”
Aku mengerjap bodoh. Ini, dia baru saja menghinaku terang-terangan kan?
“Jika bukan karena rekomendasi Ginan, mungkin saya tidak akan merekrut kamu dan setuju dengan pilihan HRD.”
Aku menatap geram padanya. Kenapa ada pria dengan mulut kejam seperti dia? Terang-terangan menunjukkan hinaan terhadap orang lain. Oh aku lupa. Memang dia seperti ini kan? Masa aku lupa dengan pertengkarannya beberapa waktu lalu di kafetaria kantor dengan mantan sekretarisnya. Oh, payahnya aku!
Tapi menghadapi langsung hujatan tajam dari bibir Damar Kharisma memang bikin naik darah. Jangan salahkan mengapa tidak ada yang betah menjadi sekretaris pria ini jika dia bersikap senyinyir ini. Aku saja ingin angkat kaki dari ruangannya saat ini juga.
“Maaf kalau saya jauh dari ekspektasi yang Bapak harapakan untuk menjadi sekretaris. Kalau begitu saya...”
“Atur jadwal saya untuk seminggu ke depan.”
Kembali aku melongo mendengar ucapannya. Pria macam apa yang ada di hadapanku saat ini? Detik tadi dia menghinaku habis-habisan. Detik berikutnya dia memberi perintah kerja padaku. What the heck dengan isi kepala Damar Kharisma!
“Maksud Bapak apa ya?”
Dia berdecak, yang justru harusnya aku kan yang berdecak kesal karena ulah Bos luar binasa ini?
“Selain tidak kompeten ternyata kamu juga lambat mencerna perintah ya?”
Tuhan... inginku melempar wajahnya dengan tas yang sedang kupegang.
Saat mata kami kembali bertatapan, kali ini aku dengan jelas bisa melihat wajahnya. Tampan sih, tapi sifatnya jelek sekali. Seperti iblis. Semena-mena dan mulutnya sangat berbisa. Mana mungkin ada perempuan yang tahan dengan orang seperti Damar Kharisma ini. Aku yakin dia pasti tidak punya kekasih. Kalaupun ada mungkin perempuan itu sama iblisnya dengan dia. Dih, menyeramkan.
“Saya tahu kamu pasti berpikir yang tidak-tidak tentang saya.”
Suara teguran darinya membuatku kembali sadar. Astaga, sepertinya Damar Kharisma ini memiliki bakat cenayang. Darimana dia tahu bahwa aku berpikiran jelek tentangnya?
“Wajah bodoh nan sinis kamu cukup menjelaskan bahwa kamu pasti benci setengah mati sama saya. Tidak perlu bakat cenayang untuk tahu apa yang dipikirkan orang se-ekspresif kamu,” sinisnya lagi, membuatku mencibir kesal.
“Jadi saya diterima atau tidak?” balasku akhirnya, kesal setengah mampus.
“Menurut kamu?”
Ealah, ini orang mau main tebak-tebakan? Wajah sinisnya benar-benar jelmaan iblis sejati. Apa aku sanggup bertahan bekerja dengan Bos seperti dia? Tuhan, jauhkan hamba dari godaan setan yang terkutuk. Godaan setan untuk menggorok leher Bos Damar dengan pisau di pantry.
“Saya tegaskan, saya tidak suka punya sekretaris lambat dan tidak kompeten. Sekretaris saya harus selalu siap dan sigap. Juga memiliki visi ke depan. Memiliki solusi untuk setiap masalah mendesak yang harus dihadapi. Dan pastinya... sekretaris saya harus siap sedia kapanpun dan di manapun saya membutuhkan?”
Dahiku mengernyit. Apa dia gila? Tugas sekeretaris bukannya sebatas urusan kantor? Kalau dia butuh sekretaris yang siap kapanpun dan di manapun dibutuhkan, kenapa dia tidak mencari seorang istri saja? Dasar Bos aneh.
“Mana ada tugas sekretaris begitu? Sepertinya yang Bapak butuh itu istri, bukan sekretaris ataupun asisten pribadi,” ceplosku tanpa sadar.
Dia tersenyum sinis, senyum yang benar-benar membuat siapapun yang melihat jengkel setengah mati. Dan ingin mencungkil mata dan lesung pipinya yang sebenarnya makin membuat kadar ketampanannya berkali lipat. Tapi tampan bukan jaminan dengan sifatnya yang menjengkelkan luar biasa.
“Kenapa? Kamu mau menawarkan diri jadi istri saya?” ejeknya.
“Mimpimu!” ketusku kemudian keluar dari ruangannya sembari membanting pintu dengan cukup keras.
Aku meradang. Sepagian ini emosiku benar-benar dikuras habis sama jelmaan iblis neraka bernama Damar Kharisma. Dengan napas memburu menahan emosi aku menuju pintu keluar. Mencari mesin minuman untuk meredakan emosi. Untunglah keberadaan mesin itu tak jauh dari kantor Kharisma Advertising. Setelah memasukkan lembaran uang dan memilih minuman soda dingin, aku meneguknya hingga tandas. Meremas kaleng kosong di tanganku dengan emosi di ubun-ubun yang ternyata tak padam hanya dengan minuman dingin. Kutarik napas dan mengembuskannya perlahan. Berhitung sampai sepuluh di dalam hati untuk meredakan emosi. Dan berhasil. Hingga kesadaran menghantamku di titik tertinggi. Otakku memutar ulang rekaman kejadian beberapa menit yang lalu. Dan yang paling membekas adalah saat di mana aku berteriak memaki Pak Damar dan dengan seenaknya keluar sambil membanting pintu.
“Bodoh...” teriakku gemas pada diri sendiri.
Kalau sudah begini, mana mungkin dia menerimaku bekerja lagi. Apa aku harus berburu pekerjaan lagi? Sampai kapan? Bahkan saldo di tabunganku satu-satunya sudah menjerit minta di isi. Kesal akan kebodohan diri sendiri, aku malah membenturkan kepala ke mesin minuman sambil menyumpah serapah tanpa akhir. Hingga seseorang menegurku karena tindakanku bisa merusak fasilitas umum. Dengan nada menyesal, aku pamit. Satu-satunya tempat yang ingin kutuju saat ini hanya rumahku. Berbaring di kasur dan meratapi ketololanku.
...
Note: iya aku tahu. Aku suka bikin kesal dan php pembaca. Tapi apa daya, aku beneran malas nulis. Mau mundur dari dunia menulis, tapi ide di kepala dan kecintaanku pada dunia baca tulis itu masih cukup kuat di otak dan hati. Makanya aku masih suka labil begini. Mau berhenti tapi kayak ada yang nahan. Jadinya ya suka gak jelas dan gabut nulis entah yang mana. Kalau sudah pada bosan sama tingkah nyebelin bin labil binti php-ku kalian bisa berhenti baca kok ya. masih ada pilihan bacaan yang menarik dan bagus-bagus. Walau aku gak tahu bacaan dan author siapa yang lagi bagus-bagusnya karena aku sendiri udah dua bulan belakangan udah gak rutin ke wattpad. Maafkan aku.. mungkin masa senang-senang dan bersemangat di wattpad itu udah lewat deh kayaknya bagiku. jadi ya aku cuma sekedar ikutin mood mau main apa enggak ke wattpad. Mau nulis apa enggak, semua ya sekehendak niat aja. Buat teman pembaca yang masih bertahan, makasih banyak. Kalian salah satu yang menahan langkahku untuk gak berhenti nulis, beneran. Tapi mungkin aku gak akan serutin dulu ya nulisnya. Jadi balik lagi, ya semua menjadi hak kalian. Bertahan di tulisanku atau mencari yang baru. Terima kasih. Mauli ate. Salamat satiwalang!
Antah berantah, 26/18/09
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top