Third
Yang masih sayang, tapi malu bilang sayang. Ada?
Banyak...
Kawasan Sudirman dan Kuningan itu memang identik dengan kemacetan, dari dulu Giyan berharap mendapatkan pekerjaan di sekitar rumahnya. Di manapun asal jangan kawasan Sudiman, Thamrin dan Kuningan.
Ia sudah tahu kepadatan kendaraan di sana sulit dikontrol, gedung yang menjulang tinggi berbaris seolah memamerkan siapa yang paling terlihat gagah. Nyatanya di sana terkurung ribuan orang yang berjuang setiap harinya untuk kelangsungan hidup, dibalik hedonisme para cungpret sekitaran segitiga emas. Disana ada tekanan yang mereka dapat untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"Kenapa lo bisa turun di Karet?" tanya Rahma ketika Giyan bercerita tentang keterlambatannya hari ini. "Biasanya juga di Sudirman."
"Gue tadi udah mau turun Sudirman, sayangnya gue malah kena libas emak-emak. Alhasil gue kedorong ke dalem lagi," keluh Giyan mengingat bagaimana pagi ini ia berusaha sekuat tenaga agar bisa kelura dari gerbong khusus wanita tepat di Stasiun Sudirman. "Padahal waktu pintu di buka pas stasiun Sudirman lebih lama dibanding stasiun lainnya. Tetep aja gue tereleminasi."
"Yah lo tau sendiri, kalau di Karet emang lama dapet abang ojeknya. Syukur-syukur lo dapet ojek online walau udah nunggu satu jam."
Rahma benar, entah kenapa dari Stasiun Karet itu sulit sekali mendapat ojek online. Bodohnya Giyan memesan ketika ia memang benar-benar sudah keluar dari Stasiun, kebiasaan Giyan seperti itu. Ia tak mau membuat Abang Ojek menunggu terlalu lama, karena ia tahu rasanya menunggu itu menyedihkan.
"Itu LED ponsel lo terang amat?"tanya Giyan ketika Rahma memainkan ponselnya untuk membalas salah satu pesan yang masuk. "Udah kayak masa depan gue sama doi."
Rahma tertawa jijik, ia berpura-pura ingin mencolok Giyan dengan sedotan yang ada di depannya.
"Tumben kantin belakang sepi," Rahma menatap sekeliling kantin yang ada di belakang area luar perusahaannya. "Biasanya gue nyari duduk buat makan siang rasanya susah udah kayak lagi nyari jodoh."
"Maklum, awal bulan." yah kebanyakan orang memiliki kebiasaan yang kurang baik, karena awal bulan mereka tidak menghemat uang. Makan siang saja maunya di salah satu restorang, tidak jarang teman kantornta pergi ke Plaza Festival hanya untuk makan siang sekalian cuci mata.
"Pas akhir bulan aja, makan Indomie aja mienya dulu. Kuahnya belakangan pake nasi." Giyan tahu yang biasanya seperti ini adalah Asep, ia berhura-hura lebih dulu di awal bulan. Susahnya belakangan.
"Kenapa gaya hidup lebih penting dari apa yang kita butuhkan?" tanya Rahma, ia mengucapkan terimakasih pada abang yang mengantarkan pesanannya dengan Giyan. Dua ayam penyet lengkap dengan lalapan, dua puluh ribu sudah dapat minum es teh manis.
Perut kenyang, kantong aman.
Itu adalah moto hidup Giyan dan Rahma.
"Karena terkadang kita hidup untuk mendengarkan kata orang, bukan karena benar-benar ingin melakukannya." Giyan mengangkat kedua bahunya, ia pernah mendapat nasehat dari Nando. Tentang betapa pentingnya keinginan kita dibanding ocehan orang lain, ah... Giyan lagi-lagi harus mengingat bagaimana Nando dulu.
Giyan menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan pikirannya dari Nando. Satu suapan nasi penuh dengan sambal ia masukan ke dalam mulut, ia tidak memikirkan Nando memang tapi gantinya Giyan kelimpungan dengan rasa pedas yang menyapa mulutnya.
Dan lagi-lagi ketika imajinasi Nando di kepalanya telah menghilang Giyan harus berpuas diri dengan perwujudan Nando nyata di depannya, yang berjalan dengan santainnya bersama Jaka.
"Eh ada neng Rahma," Jaka tanpa dipesilahkan sudah mengambil tempat kosong di samping Rahma, sedangkan Nando? Jangan ditanya, dia juga sudah sama tak tahu dirinya dengan Jaka yang kini duduk di samping Giyan.
"Ngapain lo duduk di sini," sinis Rahma, Jaka itu gayanya udah kayak playboy cap gayung. Belaga womanizer, goda cewek sana-sini tapi nggak ada hasilnya alias nihil karena masih Jomblo sampai sekarang.
"Ini kan tempat umum, bebas dong gue duduk dimana." Jaka memamerkan senyum yang sungguh membuat panas kepala Rahma.
Dibalik kisah adu mulut Rahma dan Jaka, Giyan dan Nando justru lebih banyak diam. Karena canggung yang masih menyapa karena semalam.
Tangan Nando menyodorkan tissue ke arah Giyan, "Tadinya mau gue bantuin elap keringat lo, tapi gue tau itu salah satu tindakan yang nggak sopan."
Mulut Giyan berhenti mengunyah, ia bisa merasakan keringat yang semakin membanjiri wajahnya. "Thanks."
"Ma," Jaka menyenggol bahu Rahma pelan. "Dinner yuk..."
Nasi di mulut Rahma sukses berpindah ke wajah Jaka sekarang.
"Sorry,, Sorry.." Rahma membersihkan wajah Jaka dengan cepat. "Lo sih, gaya pake ngomong dinner."
Nando tertawa diiringi gelengan kepala. "Kita dapet Voucher makan gratis dari salah satu Customer. Lumayan dari pada mubajir."
Mata Giyan mendelik, "Ya dari pada mubajir kan bisa ajak orang lain, nggak harus gue dan Rahma.
"Kan yang diajak tadi Rahma," ucap Nando. Ia sukses membuat wajah Giyan memerah. "Gue nggak tahu kalau Jaka ada niatan ngajak lo juga. Setahu gue dia ngajaknya ya Rahmam"
Giyan berdehem nyaris menggeram, Nando benar-benar tahu cara memojokan Giyan. Dan Giyan juga terlalu percaya diri.
"Nando,"
Entah Giyan harus bersyukur atau mengeluh dengan kedatangan Cindy.
"Kok makan di sini?" dengan gaya manis nyaris terlihat centil Cindy duduk di samping Nando. "Aku kan mau ke Semanggi."
Semanggi? Waktu makan siang cuman sejam dan lo mau makan di Semanggi?
"Tadi aku chat kamu, aku bilang tunggu di lobby. Kita ke Semanggi aja."
"Tapi gue nggak bilang setuju," ucap Nando enteng. "Ngapain gue ke Semanggi, di sini juga gue udah kenyang."
"Tahu nih, Dy. Ngabisin waktu ke Semanggi, banyakan ngemallnya nanti dari pada makannya." Jaka ikut nimbrung menimpali ucapan Nando.
"Kalau mau ke PS ya sendiri juga bisa, lo kan bukan balita yang kalau mau kemana-mana harus didampingi."
Jaka.... Giyan rasanya ingin memberikan virtual hug pada Jaka kali ini.
"Udah tahu nggak suka pedes, masih makan sambel." Nando menyerahkan teh hangat miliknya.
Giyan tampak ragu menerima minuman milik Nando, gengsi kan nerima pemberian mantan.
"Minum aja, nggak ada jampi-jampinya kok." Nando mengabaikan rengekan Cindy, ia lebih memilih berkomunikasi dengan Giyan. "Nggak usah pake jampi-jampi aja lo susah move on sama gue, apalagi gue kasih jampi-jampi. Bisa-bisa mimpiin gue mulu tiap malem."
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top