Bab II - Chapter 1

BAB II : CHOICE
Ch 1 - Love, Brain, Heart, Control
.
.

Hari Sabtu, pukul 08:00 pagi. Di kota asal Denji, Kota X.

"Haruka," suara puan itu bergetar dengan lembut (menurut sang pendengar) di daun telinga. Sang lelaki yang punya rambut sebahu itu membuka matanya dengan pelan. Terlihat agak malas, tetapi maniknya langsung berbinar bersemangat kala dilihatnya perempuan yang memanggil duduk di samping tempat tidurnya.

"Jam 10 kita berangkat ke kantor polisi," kata perempuan bertindik itu. Datar. Seperti biasanya. Namun, sang lelaki balas tersenyum, agak menggodanya.

"Kamu buru-buru sekali." Haruka berucap. Tidak digubris. Dia melanjutkan, "Lagipula kita baru tiba semalam. Tidak mau istirahat lagi?"

"Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan ini," jawab Kiga, "Setelah ini kita cari sarapan."

Perempuan berambut pendek itu lalu melangkah keluar dari kamar hotel, meninggalkan Haruka. Yang ditinggalkan hanya menghela napas.

***

Pukul 10:30 pagi.

"Aku tidak mau mengambil jenazahnya. Makamkan saja dia di kota ini," Kiga menegaskan statemennya di hadapan petugas polisi. Tanpa ada emosi, tanpa rasa bersalah. Membuat sang petugas agak bergidik.

"Begitu, ya, Nona Mitaka. Apa ada lagi hal yang ingin Anda tanyakan atau sampaikan terkait hal ini?" tanya petugas dengan tanda nama "Arai" itu.

"...." Kiga terdiam sejenak. Dia menelengkan kepalanya sebelum lanjut bicara. "Jika boleh, saya ingin berbicara langsung dengan petugas yang bertanggung jawab dan yang melaporkan kasus ini."

"Pengabulan permintaan itu akan sedikit sulit. Pak Komisaris adalah orang yang sibuk. Sebagai gantinya saya bisa menjadi pengantar pesan bagi Anda. Apa ada hal-hal yang ingin Anda sampaikan?"

Kiga terlihat tidak puas. Manik spiralnya menyipit. "Tidak. Saya akan pergi sekarang."

Demikian, Kiga kembali ke mobilnya. Terlihat sudah ada Haruka menunggu dengan setia di kursi supir. Dia tersenyum ke arah Kiga begitu dilihatnya perempuan itu membuka pintu.

"Sudah selesai?"

Haruka bertanya begitu Kiga meraih sabuk pengaman. "Sudah. Dan... aku menemukan fakta baru," katanya.

"Polisi tua yang menelepon untuk mengabarkan berita ini kemarin kepadaku adalah Komisaris Polisi, Pak Kishibe, pamannya Yoshida. Dia mengaku kenal dengan Makima jadi dia menghubungiku," Kiga mulai menjelaskan. Ia memiringkan kepalanya.

"Terus?" Haruka bertanya kembali. Apa maksudnya Yoshida, adik kelasnya itu relevan dengan kasus ini?

"Meski aku tidak diperbolehkan untuk tahu nama dari korban Makima. Tetapi sepertinya aku bisa menebak-nebak," Kiga menajamkan matanya.

"Pembunuhnya adalah siswa SMA tempat Makima menjadi kepsek dulu," perempuan itu memberi jeda, "Dan pembunuh itu sudah tidak ada di kota ini. Artinya dia sudah pindah."

Haruka terdiam. Siswa gila mana yang berani membunuh dan memutilasi kepala sekolahnya sendiri? Haruka ingin bertanya lebih lanjut karena Kiga tidak pernah menjelaskan detail kasus ini kepadanya sedari kemarin, tetapi ia menahan diri.

"Katakan aku gila, tetapi aku yakin siswa itu pindah ke ibukota, dan kemungkinan besar ke sekolah kita karena keponakan Pak Kishibe ada di sana."

Haruka meneguk ludah. Akan tetapi jelas dari pandangannya, dia tertarik juga dengan perkataan Kiga yang terdengar delusional. Kontroversial.

"Kalau itu benar, bukankah reputasi sekolah kita bisa menurun karena kedatangan seorang pembunuh? Lagipula mengapa seorang Komisaris Polisi sampai menutup-nutupi kasus ini?"

Kiga tidak menggeleng, tidak pula mengangguk setuju. Dia tampak tengah berpikir dalam lamunannya. Ekspresi Kiga runyam, dan Haruka yang sadar tidak mau berdiam diri lebih lama.

Lelaki bersurai agak panjang itu menepuk bahu Kiga. Ia menyadarkan perempuan itu kembali dari tatapan kosongnya.

"Mau makan?" tawar Haruka sambil memasang senyum terbaiknya. Tawaran itu seketika mengubah raut wajah Kiga menjadi lebih rileks. Lelaki ini memang selalu tahu apa yang dia butuhkan.

"Kau yang traktir."

"Tentu saja."

***

Hari Senin, pukul 08.00, jam olahraga.

"Hayakawa Denji. Absen tiga belas. Dalam hitungan 3... 2.... 1!"

PRIIIIT!

Seketika setelah peluit dibunyikan, suara hentakan sepatu yang menghantam semen dengan bertubi-tubi terdengar dengan sayup. Lelaki berambut pirang itu berlari dengan sangat cepat sampai membuat cowok-cowok di kelasnya terkagum-kagum.

Lalu saat dia sampai di batas tujuan, Denji melompati teman sekelasnya yang sedang membungkuk dengan sempurna. Dia mendarat mulus dan seketika terdengar suara tepuk tangan memujinya, membuat Denji tersenyum dengan percaya diri.

Kini giliran absen berikutnya. Nama "Igarashi Yuko" terdengar sebelum peluit dibunyikan. Perempuan itu berlari tidak kalah cepatnya meski berbeda dengan Denji, para lelaki tampak tidak tertarik untuk melihat.

Lalu tibalah ia di titik di mana dia harus melompat. Dengan cekatan Yuko mengangkat kakinya. Namun, begitu dia melayang di atas punggung orang yang jadi rintangannya, orang di bawahnya itu menaikkan punggungnya sedikit, membuat Yuko kelabakan karena keseimbangannya hilang.

Dia jatuh dengan kaki kanan mendarat duluan. Terdengar suara duk yang keras begitu dia terhempas tetapi tidak ada satu orang di kelas yang menghampirinya, mereka hanya menatap kasihan kecuali Denji dan guru olahraga mereka, Bu Quanxi yang langsung ambil sikap.

"Aduh... kakiku...." Yuko mencoba menarik napas sambil dia mengelus kakinya yang membiru.

"Yuko! Kau baik-baik saja?" Denji dengan hati-hati mendekat untuk memastikan keadaannya. Muka Yuko yang sedang tersenyum sambil meringis kesakitan terlihat dengan sangat jelas.

Hal itu seketika menjadikan Denji geram, dia melihat ke arah teman-teman sekelasnya dengan tajam. Mereka adalah orang yang sama yang menghujat Yuko sebagai lesbian! Mereka sengaja menyakiti Yuko!

"Hayakawa, tolong jaga kondisi teman-temanmu sampai saya kembali."

Suara wanita bersurai silver putih itu terdengar dingin. Meski begitu sekarang ini dia tengah menggendong Yuko ala bridal style dengan hati-hati. Demikian, Quanxi mengantar Yuko sampai ke UKS untuk diperiksa lebih lanjut. Hasilnya sungguh mengkhawatirkan.

***

"Makanya kaki kananku retak, tetapi sekarang lebih baikan kok, tidak apa-apa!"

Saat itu jam istirahat kedua, dan Asa terlihat sangat gundah di samping kasur UKS yang dibaringi oleh Yuko sekarang ini. Dia pikir, teman-teman sekelas Yuko sungguh jahat karena sengaja melakukan ini.

Kalau saja Yuko tidak berteman denganku... mungkin reputasinya akan jadi lebih baik.

Oh, Asa merasa sangat bersalah.

"Nanti ketika pulang aku akan minta jemput Yoshida, jadi tidak apa-apa!" Yuko lanjut menjelaskan. Dia tersenyum sumringah kepada Asa seolah rasa sakit di kakinya sedang tidak ada saat ini.

"Yuko, maaf, ya...." Asa menundukkan kepalanya. "Kalau seandainya aku merepotkanmu."

Yuko memiringkan kepalanya sedikit, dia tersenyum getir. Tangannya lalu menggapai rambut Asa. Ia mengelus kepalanya.

"Kamu minta maaf untuk apa, hm? Asa sayang kamu tidak salah apa-apa. Aku juga seharusnya melompat lebih tinggi tadi."

Wajah gadis berambut hitam panjang itu jadi memerah, tetapi dia masih tidak berani menatap Yuko. Asa kemudian bangkit berdiri lalu memberi salam perpisahan dengan awkward. Yuko melambaikan tangan dengan senang sebagai wujud terima kasih karena ia sudah menjenguknya di UKS. Asa melangkah keluar dengan malu-malu.

Tetapi Asa jadi lebih malu lagi karena saat dia keluar, dia tanpa sengaja menabrak seorang lelaki tinggi.

"Ah-eh! Yoshida, maaf!"

Asa berkata dengan kaku lalu ia segera berjalan cepat meninggalkan Yoshida yang bahkan belum sempat menyapanya.

"Cewek itu kenapa lagi...." Yoshida bergumam. Agaknya sedikit khawatir. Namun, dengan cepat dia kembali fokus dengan tujuan awalnya untuk menemui Yuko.

Lelaki bersurai gelap itu melangkah masuk ke dalam UKS dan mendekati tempat tidur Yuko.

"Halo, Yoshida. Tumben nggak sama Denji?" Yuko menyapa duluan. Dia berwajah ceria seperti biasanya.

"Oh? Denji katanya lagi ada urusan jadi aku pergi ke sini sendiri. Kau masih merasa sakit kah?" balasnya sambil berbasa-basi.

"Sekarang udah mendingan, tapi tadi pas jatuh rasanya sakit banget aw!" Yuko bercanda dengan dramatis. Yoshida terkekeh pelan dengan hambar. Seolah tiba pada suatu kesimpulan kalau kasus bullying yang menimpa temannya ini mungkin tidak akan pernah selesai.

"Oh ya, kebetulan karena kau datang duluan sebelum aku telepon, aku boleh minta tolong buat diantar pulang ke rumah nggak?" tanya Yuko untuk memecah suasana.

"Gampang, nanti aku pakai mobil."

"Sekalian aku titip motorku buat dibalikin ke rumah, boleh? Nanti aku kasih kuncinya. Maaf jadinya ngerepotin banget."

Yoshida tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku tidak merasa repot kok bolak-balik."

"Thanks, Yosh! Kau memang partner OSIS terbaik!"

"It's fine. Haha, anyway ada tugas baru dari Bang Haruka di grup OSIS-"

"Tugas lagi?" Seketika senyum ceria Yuko memudar menjadi ekspresi capek.

"Sekolah kita didaftarin buat ikut program Anti-Bullying dari Dinas Pendidikan. Jadi, aku dan kau diminta buat bantu menyiapkan seminar sama rekrut anggota untuk jadi bagian dari workshop."

Oh, ini sangat ironis.

Yuko seketika lemas mendengarnya. "Kenapa aku dan kau yang dipilih? Apa alasannya?"

"Kau kan humas, mereka pasti berpikir kau mau dapat kerjaan kayak gini. Terus alasan kenapa mereka memilih aku sebetulnya juga aku nggak tahu." Yoshida menghela napas panjang.

Yuko sontak memprotes. Tentu bukan tanpa alasan. Siapa yang akan senang bila tiba-tiba diberi pekerjaan seperti ini, terlebih saat kondisi sedang sakit?

"Siapa yang main tunjuk gitu!? Aku baru off grup beberapa jam karena lemas dari jam istirahat pertama terus tiba-tiba dikasih tugas kayak gini!?"

"Kak Kiga."

•••

.
.
TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top