Telepon di Pagi Hari

VOTE dulu sebelum baca, boleh? 😂😂 sori republish, ada perubahan di note bawah wkwkwk

oOo

Pengennya mah nggak punya utang sama cicilan. Tapi butuh, gimana dong? Alhasil RIP gajian

Listya kemudian menumpahkan seluruh isi tasnya hingga berhamburan di tempat tidur.

Tidak ada salahnya membaca satu persatu. Dan ternyata hanya ada satu foto. Kemana dua foto yang lain? Listya berusaha mengingat-ingat kapan terakhir ia menyentuh foto tersebut. Ya, Listya ingat, terakhir kali ia menyentuhnya adalah di jalan saat bannya bocor. Ia yang semula akan meminta bantuan namun batal karena rasanya tidak mungkin. Mungkinkah terjatuh dan Listya tidak menyadarinya? Ya Tuhan, kini tersisa satu foto dan itu foto Adam Rich. Entah ini kebetulan atau pertanda kalau Adam Rich adalah jodohnya?

Tidak!!! Listya menggeleng dan entah kenapa bulu kuduknya merinding saat berpikir Adam Rich adalah jodohnya. Dari kenarsisan identitasnya Listya sudah bisa menilai dengan mudah tentang pribadi lelaki itu.

Beberapa saat kemudian smartphone-nya berdering. Ia langsung menghampiri untuk mengangkat panggilan telepon tersebut. Sudah tidak aneh kalau Mia yang selalu menghiasi riwayat panggilan di smartphone Listya.

"Hallo, Miong," jawab Listya malas.

"Ih, kok lesu banget?"

"Ada apa? Baru juga ketemu, udah kangen aja lo. Kayaknya nggak bisa ya nggak ganggu gue sehari aja."

"Bukan gitu, gue mau bahas yang tadi. Harusnya lo seneng punya sahabat perhatian kayak gue, baru juga nyampe rumah udah nelepon lo. Lagian selama ini nggak pernah ada yang nelepon lo, kan?"

"To the point, Please. Mau bahas apa Mia Mallen?"

"Gue mau bahas masalah foto tiga cowok yang gue kasih ke lo."

"Hmm."

"Gimana? Lo serius belum hubungin mereka?"

"Gue nggak minat, Miong."

"Ah, lo nggak panas kuping apa Tante Ratih ngejer lo masalah jodoh terus? Coba hubungin lah.. Kali aja cocok."

"Lagian fotonya juga ilang."

"Ha? Ilang? Kok lo teledor banget sih. Kebiasaan deh."

"Lagian nggak penting ah.."

"Penting, Listya! Itu ilang semua?"

"Ada satu sih, yang dua gue nggak tau kemana."

"Naaaah, ada satu. Siapa emangnya?"

"Adam Rich!"

"Wew, ini udah jelas pertanda."

"Pertanda apa? Jangan aneh-aneh deh."

"Ya pertanda kalo kalian jodoh."

"Big No!! Lo tega ya, masa jodoh gue narsis gitu. Show off lagi!"

"Jangan nilai orang jeblag jeblug gitu dong sebelum lo ketemu dan ngobrol langsung."

"Nggak usah ketemu. Nggak minat juga."

"Lo hubungin dia duluan gih."

"No!"

"Lo beneran cewek ya? Cewek kan nggak mau ngehubungin cowok duluan. Ya udah, biar gue suruh Novan bilang ke Adam supaya hubungin lo. Serius nih, temennya Novan yang jomblo ya mereka. Sayangnya gue nggak kenal."

"Tuhkan, tega ya. Lo aja nggak kenal malah kasih ke gue."

"Ya itulah gunanya kenalan dan PDKT. Ah, capek ngomong sama lo mah, Lis."

"Siapa juga yang nyuruh lo ngomong sama gue. Lagian lo yang nelepon gue duluan. Gue tuh mau mandi tau!"

"Tinggal mandi mah mandi aja. Tapi lo harus inget besok gajian. Masih save nomor rekening gue kan? Transfer aja ya, gue kan udah mulai cuti."

"Apa? Wafer? Lo kan mau minta wafernya lagi. Silakan, ambil aja ke rumah." Listya sengaja menjawab seperti itu.

"Ih kuping lo bermasalah deh. Transfer, Lis. Bukan wafer! Ih.."

"Iya, masih ada kok dua karung. Kalo mau, ambil aja wafernya ke sini. Jangan manja."

"Lis, kok ngeselin ya."

"Gue mau mandi, bye Miong... Wafernya ambil sendiri aja. Okay?"

Belum sempat Mia menjawab, Listya langsung menutup sambungan teleponnya.

"Rasain lo, makan tuh wafer!" kekeh Listya kemudian meletakkan smartphonenya. Ia harus mandi, dari tadi mandinya tertunda-tunda terus, bahkan ini sudah hampir jam delapan malam.

Listya kemudian melangkah menuju kamar mandi. Pikirannya jadi teringat Mahesa. Bukan, ini bukan karena Mahesa pernah mengatakan kalau ia akan memikirkan lelaki itu di malam hari. Sungguh bukan karena itu. Listya memikirkan Mahesa karena utangnya yang hampir setengah juta. Namun sampai saat ini Mahesa belum juga mengirimkan nomor rekening. Mungkinkah Mahesa lupa dan menganggap lunas saja? Listya akan kegirangan jika Mahesa mengikhlaskan ongkos bengkel itu.
Tapi, apa mungkin?

"Bodo amat lah, yang penting sekarang gue mandi!!!"

Listya sudah ada di kamar mandi, ia pun mulai melucuti pakaiannya.

oOo

Keesokan hari...

Listya memarkirkan motor, sungguh Listya merasa motornya benar-benar jutaan kali lipat lebih baik dan nyaman dari hari-hari sebelumnya. Ini karena Mahesa, tapi lelaki itu juga yang menyebabkan Listya harus merelakan hampir setengah juta gajinya hari ini.

Kalau begini ceritanya, gajian hanya akan benar-benar numpang lewat. Setelah itu akan melambai-lambai tersisa struk penarikan tunai dan transaksi kredit.

Setelah bercermin melalui kaca spionnya. Listya bergegas melangkah masuk.

"Neng...Neng Listya!"

Hampir saja mencapai pintu, suara khas atasannya terdengar memanggilnya. Listya langsung menoleh dan benar saja, Bu Astuti sedang melangkah menghampirinya.

"Pagi, Bu Ti," sapa Listya.

"Neng, apa kabar?"

"Baik," jawab Listya. Ia baru ingat kalau atasannya itu hanya ke Jawa dua hari saja. "Ayah Bu Ti gimana keadaannya?"

"Saya nggak punya Ayah, Neng," jawab Bu Astuti dramatis. Lebih drama dari telenovela.

Ya Tuhan, Listya tak menyangka kalau Ayah Bu Astuti sudah pergi untuk selamanya.

"Saya turut berdu..."

"Saya nggak punya Ayah, Neng. Saya punyanya Bapak."

Ya ampun, hampir saja Listya mengatakan kalimat duka cita. Benar-benar. Tapi, apa bedanya ayah dengan Bapak? Bukankah sama artinya?

"Udah baikan kok Bapak saya. Nanti sore juga minta main kasti padahal dokter nyuruh istirahat, ditambah nanti malam pengen main futsal juga duh Bapak saya susah dibilangin banget jadi jangan heran, nackhal. Yang lebih parah cucu-cucunya pada dipaksa nemenin main monopoli. Saya juga udah beli kuota 4G buat nonton Marsha and the Bear, berita kriminal di youtube. Saya sengaja beli kuota 24 jam biar Bapak nggak nonton pake kuota malem lagi. Kasian harus begadang demi kuota malam tuh. Saya gini karena saya anak sulung, Neng," jelas Bu Astuti panjang lebar. Lagi-lagi itu hal biasa bagi Listya, atasannya memang begitu karakternya.

"Jangan pernah perhitungan sama orang tua ya, Neng," lanjut Bu Astuti. "Selagi kita mampu, kasih aja. Ini nggak sebanding sama apa yang mereka berikan buat kita selama ini."

"I...iya, Bu. Syurlah kalau Bapak udah baikan," jawab Listya.

"Oh ya, benda titipan saya, Neng taro di mana?"

"Sesuai perintah Bu Ti, saya taro di depan monitor."

"Bagus! Neng tau kotak itu isinya apa?"

Listya menggeleng, meski kepo sekalipun. Ia tidak mungkin berani membuka kotak kecil yang berbentuk wadah cincin itu.

"Itu isinya memory card."

Refleks, bibir Listya membentuk huruf O.

Gue kira cincin, ucap Listya dalam hati.

"Takut ilang kalo dibawa ke Jawa tuh. Itu isinya lagu-lagu hits zaman now. Kerja kalo tanpa musik serasa sayur tanpa micin," lanjut Bu Astuti.

"Eh, ngomong-ngomong Neng kenapa kok mukanya ditekuk-tekuk gitu?"

What? Jelasin ke gue gimana caranya nekuk muka?

"Nggak kok Bu Ti."

"Jangan bohong. Saya selalu melihat binar kebahagiaan kalo tanggal gajian begini. Kenapa Neng sedih? Mikirin utang?"

Ya ampun. Ini atasan gue jujur banget sih. Wait, tapi ini jujur apa peka ya?

"Gajian itu hari kemerdekaan karyawan. Kalopun setelahnya harus terjajah sama utang dan segala cicilan. Itu mah kesalahan sendiri, suruh sapa punya utang," ucap Bu Astuti lagi.

"Bu Ti bener. Seharusnya kita kurangin cicilan dan utang terus banyakin nabung ya." Listya terpaksa menjawab seperti ini. Entah kenapa hatinya tidak singkron dengan ucapannya. Karena utang dan cicilannya selama ini adalah tuntutan kebutuhan. Yang terpenting bayar, kan? Walaupun waktunya tidak bisa ditarget kapan.

"Nah, iya betul itu, Neng. Makanya jangan sedih dong ah."

"Iya Bu Ti..." 

"Lah dalah, itu masih sedih aja mukanya. Perlu saya ajakin goyang baby shark? Baby shark dudududu.. Baby shark dudududu.. Baby shark dudududu.. baby shark.. Momy shark dudududu.. Momy shark dudududu..Momy shark dudududu.. Momy shark.."

Ya Tuhan, Listya ingin pergi dari situ sekarang juga, suara cempreng Bu Astuti tidak mengubah utangnya menjadi lunas, malah membuat Listya tambah pusing dengan suaranya.

"Dady shark...dud.."

Untung saja ponsel Listya berdering tanda ada panggilan masuk, hal itu membuat Bu Astuti berhenti bernyanyi.

"Bu Ti, kayaknya saya duluan deh. Ada telepon."

"Boleh telepon, tapi ingat kalo pas jam kerja udah mulai.. Jangan lupa di-ma-ti-kan," jawab Bu Astuti dengan penekanan di kalimat akhir.

Setelah pamit, Listya segera memeriksa smartphone-nya. Ternyata yang menghubunginya adalah nomor tidak dikenal. Selama ini tidak pernah ada yang meneleponnya selain Mia. Tapi, ini siapa? Mungkinkah Mahesa menggunakan nomor lain?

Daripada penasaran, Listya akhirnya mengangkatnya. Setelah smartphone itu sudah menempel di telinganya, Listya sama sekali tidak berani menyapa terlebih dahulu. Menurutnya, lebih baik menunggu sang penelepon berbicara lebih awal.

"Good morning selamat pagi, baju kuning belum mandi.." ucap seorang lelaki di ujung telepon sana.

Untung gue pake batik merah! ucap Listya dalam hati.

"Maaf ini siapa?" tanya Listya kemudian.

oOo

Bersambung..

Alhamdulillah ya lancar update tiap hari. Nggak panjang-panjang banget sih, tapi gapapa kan ya asal tiap hari hihihi...

Hayo.. nyampe sini udah VOTE belum? WKWK hayo siapa yang lupa.

Btw bantu Gia pilih cover buat cerita ini dong.. Gia mah suka bosenan sama cover gonta ganti aja biar lebih seger.

Nih covernya


Atau mending yang sekarang lagi dipake aja? Ini..

boleh juga kasih saran misal itu harusnya warna ini dong, font nya kurang gede, warnanya kurang cerah, atau gimana wkwkwk

Atau ini (Barusan ada orang baik, cantik, imut, lucu yang bikinin) Thanks Evi hehe


*Bisikin typo ya kalo ada*

Makasih udah mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top