Salam Kenal, Nengsih!

Listya masuk setelah sebelumnya dibukakan pintu oleh Tio. Ya, dia adalah adik laki-laki Listya satu-satunya. Mereka adalah dua bersaudara. Saat ini Tio duduk di bangku kelas 3 SMA.

"Dari mana? Tumben keluar, Kak? Sama siapa?"

"Berisik lo, baru juga dateng udah banyak cincong!"

"Cuma nanya aja kali, nggak dijawab juga gapapa," jawab Tio kemudian kembali menutup pintunya. Lelaki itu pun kembali ke kamarnya.

Listya kemudian melemparkan tubuhnya sendiri ke sofa yang ada di ruang tamu, lumayan lelah juga hari ini padahal tidak melakukan aktivitas yang berat. Ia hanya jalan-jalan saja namun rasanya seperti orang yang seharian memanggul semen puluhan sak.

"Udah pulang?" tanya Ratih yang sontak membuat Listya menoleh, wanita itu sedang sibuk dengan tablet dan buku orderan berukuran sedang. Listya bahkan baru menyadari kalau Mamanya ada di ruang tamu juga.

Bisa dipastikan kalau Mamanya sedang mengurusi berbagai pesanan. Maklum saja, Ratih memiliki usaha kue kecil-kecilan. Dari birthday cake, cup cake, mini cake, anniversary cake, berbagai jenis roti dan lain-lain. Usaha kecil-kecilan ini patut mereka syukuri karena Ratih bisa mengelolanya sehingga bisa membiayai segala kebutuhan Listya dan Tio semenjak Papa mereka pergi untuk selamanya empat tahun silam.

Listya ingat, pernah sekali ia sedang membantu Mamanya menyiapkan berbagai pesanan, ada orderan yang paling membuatnya jengkel yaitu anniversary cake. Bayangkan saja, anniversary yang harusnya terjadi satu tahun malah ada yang memesan cake untuk merayakan satu bulan berpacaran. Benar-benar tidak menghargai single, parahnya lagi yang memesan adalah anak SMP. Ya ampun, tentu Listya semakin geram.

"Udah, Ma," jawab Listya. Ia sebenarnya sedang waspada. Mungkinkah di saat sibuk seperti itu Mamanya masih membombardirnya tentang jodoh.

Ratih meletakkan tablet di atas buku orderan yang masih terbuka, ia kemudian menghampiri putrinya.

"Pulang di antar siapa? Mama nggak liat kamu bawa motor," tanya Ratih saat ia sudah ada di sofa yang sama dengan Listya. Listya pun langsung bangkit dan duduk di samping Mamanya. Rasa waspadanya naik level ke arah bahaya dan siaga, ia yakin sebentar lagi Mamanya akan menceramahi tentang jodoh.

"Sama mamang Grab, Ma."

"Kok naik Grab sih?"

"Terus aku harus jalan gitu, Ma?"

"Emangnya kamu nggak ketemu siapa-siapa? Maksud Mama, jodoh atau minimalnya temen cowok gitu."

Listya menggeleng.

"Lis.." ucap Ratih, ada nada kekecewaan dalam ucapannya. "Mama itu..."

"Mama itu pengen aku cepet nikah. Iya kan?" Listya memotong kalimat Mamanya. "Ma, denger aku. Harus berapa kali aku bilang kalau jodoh itu udah di atur, jadi Mama tenang aja. Aku pasti nikah ya walaupun aku sendiri nggak tau kapan."

"Mama ngerti, tapi kasih Mama kesempatan buat ngenalin kamu sama seseorang."

"Juragan itu?" tanya Listya.

"Lis, Mama tau yang terbaik buat kamu."

"Apa yang terbaik menurut Mama, belum tentu buat aku. Jadi yang harus Mama lakukan adalah sabar. Kasih aku waktu satu tahun, seenggaknya kalau aku bener-bener nggak menemukan pilihan aku sendiri. Aku bakal pasrah."

"Mama ngerti, Lis. Tapi jodoh itu ..."

Lagi-lagi Listya memotong ucapan Mamanya. "Jodoh lagi, jodoh lagi. Mama plis, bisa nggak sehari aja nggak bahas tentang jodoh?"

"Bisa. Sehari aja nih? Berarti besok Mama boleh bahas lagi dong?"

"Ih, Mama." Listya merutuki dirinya yang malah salah bicara, yang ia inginkan selamanya tidak membahas jodoh juga tak apa-apa.

Ratih terkekeh. "Asik, sehari aja. Besok udah boleh bahas dong."

"Mama, lama-lama aku bisa pindah rumah karena stres nih."

"Pindah kemana emangnya?" tanya Ratih.

"Aku ingin pindah ke Meikarta," ucap Listya dengan nada bicara seperti anak kecil yang ada di iklan.

Alih-alih menjawab, Ratih malah tertawa. "Kamu ini ada-ada aja, Lis. Korban iklan kali ah," jawab Ratih kemudian.

"Lagian ini kan September, jadi Septemberkarta bukan Meikarta."

"Ma, Ma, Ma. Tunggu deh." Listya memerhatikan wajah Mamanya secara intens.

"Kenapa-kenapa?"

"Mama kalo abis bikin cake ngaca dulu napa."

"Kenapa sih? Belepotan, ya? Perasaan Mama udah mandi."

"Itu di dagu Mama ada sisa micin."

"Apa?" tanya Ratih dengan nada terkejut, ia memegangi dagunya. "Perasaan cake yang Mama bikin nggak pake micin, kok bisa?"

"Yakali Mama abis nyemilin micin sambil rekap orderan tadi," jawab Listya kemudian bangkit dari sofa. Ia tengah menahan tawa.

"Enak aja, nggak ada deh."

Listya sudah bangkit dan melangkah menuju kamarnya. "Tapi boong!" ucap Listya sambil terkekeh.

"LISTYAAAA!" Mamanya berteriak gemas, namun apa daya. Putrinya sudah ke kamar. "Ngerjain Mama, ya. Awas kamu."

Sementara Listya terkekeh sambil menutup pintu kamarnya dari dalam, sekali-kali gunakan cara cerdik untuk menghindari pembahasan tentang jodoh. Lagi pula ia harus mandi, biasanya guyuran air ke seluruh tubuh bisa membantu menghilangkan rasa lelah yang ia rasa.

oOo

Listya baru saja selesai mandi, ia menghampiri smartphone nya yang berkedip. Kemungkinan besar notifikasi wattpad, kalau bukan berarti sms dari operator atau Line today.

Ternyata dugaannya salah semua, faktanya ada dua panggilan tak terjawab. Siapa lagi kalau bukan Mia Mallen. Sejak dulu nomor nyasar sekalipun tak pernah ada yang mampir ke nomor Listya. Oke fix ponsel jomblo adalah kembaran kuburan.

Ia pun menelepon balik Mia, kalau sahabatnya sudah menghubunginya sampai dua kali pasti ada yang penting.

Selama beberapa detik ia masih mendengar bunyi tut tanda panggilan belum tersambung.

"Hallo, Lis?" jawab Mia di ujung telepon sana.

"Tadi kenapa nelepon? Rajin amat sampe dua kali."

"Oh itu, lagian lo sok sibuk banget sih. Pasti pura-pura sibuk biar nggak di anggep ngenes. Aslinya mah kan gabut lo tuh, Lis."

"Aduh ini kenapa ya, gue baru kelar mandi udah di judge yang nggak-nggak."

"Mandi? Lo baru mandi? Ini jam setengah delapan malem. Jangan bilang baru bangun tidur. Nggak jadi keluar lo?"

"Gue baru pulang. Puas lo!"

Mia tampak kegirangan. "Jadi gimana sama kutukan gue tadi pagi?"

"Nggak penting, sekarang gue tanya lo nelepon sampe dua kali ada apa?"

"Ya itu, mau nanya tentang kutukan."

Tunggu, Listya berusaha mengingat sesuatu. Tadi pagi Mia memang mengatakan tentang kutukan. Itu artinya Mahesa. Ah, tidak. Listya sangat tidak rela kalau jodohnya lelaki menyebalkan seperti Mahesa. Lebih baik ia tidak menceritakan tentang pertemuannya dengan lelaki gila itu.

"Lis? Lo molor?" Mia meninggikan nada bicaranya.

"Ada.. ini Listya yang cantik masih denger lo."

"Jadi gimana?"

"Kayaknya lo musti narik kata-kata lo deh, gue nggak ketemu sama siapa-siapa. Itu artinya kutukan lo gagal. Lagian apa-apaan ya pake kutukan segala. Unfaedah banget."

"Yakin lo nggak ketemu siapa-siapa? Gelagatnya kayak lagi dusta nih. Gue mencium bau-bau kebohongan.."

"Sialan, pake indra ke berapa si Mia Mallen ini." Geritu Listya dalam hati. Gadis itu langsung memutar otak agar bisa mengeles.

"Ya itu mah terserah mau percaya atau nggak. Lagian ngapain sih bahas beginian kayak orang pacaran kehabisan topik aja. Segala yang nggak penting di omongin."

"Duh omongannya kayak orang pernah pacaran aja." Mia terkekeh.

"Forget it! Gue mau tanya, gimana acara lo hari ini?"

"Lancar banget kayak jalan tol, Lis. Gue seneng banget."

"Jalan tol nggak selamanya lancar kali ah, kalo musim mudik sama liburan juga suka macet."

"Ih, sirik aja lo. Serius gue seneng banget. Acara berjalan lancar. Tadi tuker cincin sama nentuin tanggal. Gue udah posting di instagram sih, lo pasti belum buka sosmed yakan? Atau nggak mau buka sosmed karena takut baper soalnya banyak dua insan yang bersatu alias nikah."

"Jadi kapan kawinnya?"

"Hush, nikah. Bukan kawin!"

"Udah, sama aja."

"Beda Lis. Kalo kawin mah langsung indehoy di ranjang!"

"Frontal banget sih. Iya iya deh banyak cincong, jadi kapan nikahnya?"

"Sabar dulu atuh, tarik napas dulu biar nggak kaget. Lo itu sensitif banget tau, udah kaya pantat bayi!"

"Kenapa harus kaget? Tinggal jawab aja ih."

"Gue nikah minggu depan."

"APAAAAA?" Listya terkejut bukan main.

"Tuh kan, kaget. Dibilangin tarik napas dulu, malah nggak nurut sih..."

"Kok bisa cepet banget. Katanya taun depan. Lo hamil ya?"

"Ya ampun, auto-sialan lo mah negative aja pikirannya. Nggak lah, gue kan udah bilang pihak sana emang pengen dicepetin."

"Lo tega sama gue?"

"Ampun dah, kita tetep sahabatan kali. Lo kira gue mau kemana."

"Maksud gue, lo tega bikin gue makin di bully di kantor."

"Nah, kalo nggak mau di bully buruan nikah dong. Ya, minimalnya punya pacar lah."

"Omongan lo nggak beda jauh sama nyokap. Janjian ya? Lo kira nemuin cowok yang tepat itu gampang?"

"Kapan sih lo sadar, Lis? Punya pasangan itu enak tau. Ya lo berusaha lah."

"Gue udah sadar. Lo pikir gue pingsan? Ya ampun Mia, gue udah males bahas pasangan, jodoh, pacar, gebetan, suami jadi nggak usah sebut kata-kata itu lagi."

"Capek deh, gue berharap ada cowok yang bisa ngubah pandangan lo. Kalo lo gitu terus bisa jadi perawan tua."

"Whatever, Mia. Gue mau istirahat dulu deh. Besok senin, mau upacara bendera."

"Ya udah iya, bye Lis."

Setelah sambungan telepon terputus. Listya meletakkan smartphone nya di atas nakas lalu membaringkan diri di kasur. Matanya menatap ke langit-langit kamar.

Tiba-tiba Listya jadi ingat Mahesa, ia sendiri bingung kenapa harus memikirkan lelaki itu.

Pikirannya mengingat detail kejadian tadi sebelum ia pulang, seperti film yang diputar...

"Tunggu, tunggu." Mahesa mencegah Listya pergi saat mereka baru saja keluar dari bioskop. Mau tidak mau gadis itu menghentikan langkah sehingga kini posisi mereka berhadapan.

"Apalagi sih?" tanya Listya, tentu nada bicaranya jauh dari kata ramah.

"Apa lo nggak mikir, dari sekian banyak laki-laki di dunia ini kenapa hari ini lo harus ketemunya sama gue?"

Listya bungkam, lagi pula itu pertanyaan yang sungguh tidak penting.

"Oke, mungkin lo belum kepikiran sekarang. Tapi catet kata-kata gue ini, lo pasti kepikiran tentang gue nanti malam," ucap Mahesa.

"Udah? Ada yang mau di omongin lagi nggak? Gue mau pulang," jawab Listya.

Mahesa tersenyum singkat sebentar. "Oh ya satu lagi, salam kenal ya Nengsih!"

Memikirkan itu membuat Listya menjadi kesal pada dirinya sendiri, kenapa harus mengingat Mahesa? Listya terus memerintahkan pada dirinya sendiri agar segera tidur.
Namun sial, ucapan Mahesa sebelum mereka berpisah benar-benar terbukti. Listya juga menyimpan pertanyaan dalam hatinya tentang alasan kenapa harus dipertemukan dengan Mahesa?

"Ya ampun, Nengsih..Nengsih.." gerutu Listya, refleks ia menepuk jidatnya dengan telapak tangan. Lagi pula, dari banyaknya nama samaran kenapa harus Nengsih yang ia pakai.

"Tidur, Lis. Tidur..." ucap Listya pada dirinya sendiri.

oOo

Bersambung..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top