61. ODETTA
Tangisan menyambut pendengaran Bima saat perlahan membuka mata. Kepalanya agak pusing, efek benturan keras tiang kayu di vila yang mereka tempati sekarang. Posisinya masih di dekat tiang kayu dengan kepala yang sudah dialasi oleh bantal sofa dan istrinya berada di sampingnya dengan tangis yang tidak bisa ditahan sebentar saja. Padahal Bima baik-baik saja, hanya pingsan karena terkejut—mungkin.
"Cengeng banget kamu, Det."
"Bim? Kamu udah bangun?"
"Kelihatannya gimana? Kalo aku bisa bilang kamu cengeng berarti apa? Masa masih tidur."
Odet tidak peduli dengan jawaban Bima yang terkesan judes. Perempuan itu langsung memeluk tubuh Bima dan menangis di dada sang pria.
"Aku takut kamu kenapa-napa, Bim. Beneran aku takut."
Bima mengusap punggung Odet dan berkata, "Aku baik-baik aja. Tadi terlalu kaget sampe kepala pusing dan gelap gitu aja."
Pria itu pingsan dan masih bisa berkata baik-baik saja. Meski sekarang Bima berlagak bisa bicara santai dan mudah mengajak bicara Odet, tetap saja ada yang mengganjal dalam tatapan Bima.
"Kamu pasti kecapekan ngurus semua permasalahan yang terjadi, Bim. Makanya begitu kepentok tiang kamu langsung pingsan."
Bima menarik napasnya dan mengangguk singkat. "Bisa jadi emang kelelahan."
"Berdiri kalo gitu, Bim. Ayo, istirahat di kamar."
"Cuma istirahat?" tanya pria itu sengaja menggoda Odet.
"Kamu lemes gini masih bisa bercanda."
Bima menuruti istrinya untuk pindah menuju kamar dan memikirkan cara bagaimana bisa mengajak bicara Odet tanpa menyinggung perempuan itu. Sebab saat terbangun, kepala Bima seolah bisa bekerja untuk memastikan bahwa yang terjadi pada Odet bukanlah pemaksaan.
"Kamu mau ke mana, Det?" tanya Bima yang melihat istrinya hendak turun dari ranjang.
"Bikin makanan. Sesuatu yang bisa kasih tenaga buat kamu."
Bima menggeleng dan meminta perempuan itu untuk duduk di sampingnya yang berbaring di ranjang. "Kita bisa pesen makanan sama penjaga di sini, nggak perlu repot."
Odet menuruti ucapan Bima dan merasakan genggaman tangan pria itu kembali.
"Det, aku mau tanya sesuatu ke kamu apa boleh? Aku harap kamu juga nggak marah atau tersinggung dengan pertanyaanku."
"Iya, aku akan berusaha jawab sebaik mungkin, Bim."
Bima tidak langsung menjabarkan pertanyaannya. Dia memastikan seperti apa ekspresi yang Odet tunjukkan.
"Waktu kamu melakukannya dengan Anggada. Kenapa kamu terlihat sangat pasrah? Kamu juga kelihatan bingung dan terkejut dengan video yang dikirim Anggada lewat flashdisk itu. Apa ada kemungkinan kalo kamu dipaksa melakukannya?"
Odet menggali ingatannya mengenai hal yang membuatnya terkejut. Sikapnya yang menghindari Anggada dan bahkan terkesan takut untuk berdekatan dengan pria itu jelas ada hubungannya dengan kebingungan yang membawanya pada pagi itu.
"Aku sempet diajakin minum sama Anggada. Aku nggak minum sampe mabuk, Bim. Seingetku juga, aku cuma coba nggak sampe satu sloki. Aku cuma lemes, tapi aku cukup yakin kalo malem itu yang datang dan jemput aku itu ..." Odet menatap Bima dengan pandangan dalam.
"Kamu ngira aku yang dateng jemput kamu?" Bima bisa menebak hal itu karena Odet memang aneh menatapnya.
"Ya, gitu, Bim. Aku pasrah karena aku lemes banget. Aku juga lihatnya kamu yang melakukannya sama aku. Gimana aku bisa tahu soal kamera? Aku bahkan bingung waktu bangun dalam kondisi telanjang dan sendirian. Anggada nggak ada di hotel waktu aku bangun, tapi yang dia lakukan berikutnya adalah dia tahu persis bentuk tubuhku dan membahasnya sekilas-sekilas pas ada di kantor atau pulang bareng."
"Dan kamu masih bertahan saat itu?"
Odet menghela napasnya dalam. "Aku harus akui dia pinter untuk mempengaruhi pikiranku. Bukannya pergi, aku malah semakin percaya kalo dia bisa nerima aku dan bantu aku bisa mendapatkan bentuk tubuh yang aku mau."
Bima tetap menggenggam tangan istrinya itu.
"Aku udah hampir kepala tiga, tapi aku nggak lebih dewasa dari Dastari yang bisa mendeteksi perilaku negatif Anggada sejak awal. Aku nggak bisa nyalahin Anggada sepenuhnya karena aku juga yang bodoh mengambil keputusan, Bim."
Bima juga berpikir demikian, baik Anggada dan Odet memiliki porsi salahnya masing-masing. Lalu, semakin Bima pikirkan, semakin dia mendapatkan fakta bahwa dia juga memiliki andil kesalahan. Bima yang terlalu menyangkal perasaannya hingga Odet mendengarnya, jika kebodohan itu tidak Bima lakukan, Odet tidak akan mengambil keputusan nekat dengan memihak Anggada.
"Aku juga salah, Det. Kalo aku nggak bikin kamu kecewa sejak awal, kamu nggak akan memilih Anggada. Kita bisa kerja bareng di kantorku dan nggak terjadi hal begini. Maafin aku, Det."
Odet mengangguk dan masuk dalam pelukan suaminya. Mendengarkan detak jantung Bima yang menenangkan bagi perempuan itu sekarang ini.
"Kamu mau bawa masalah ini ke meja hijau, Det?" Bima bertanya untuk memastikan langkah apa yang akan mereka ambil.
"Nggak. Aku malu kalo sampai lebih banyak orang tahu masalah ini."
"Tapi kamu dalam kondisi nggak sadar waktu Anggada melakukannya."
"Orang lain nggak akan melihat fakta itu, Bim. Mereka bakalan nilai aku yang murahan dan nakal karena mabuk sampai bisa disentuh seorang pria. Aku akan menjadi satu-satunya pihak yang mendapatkan hukuman moral walaupun ayah dan kamu memenangkan kasus dengan membawa pengacara handal sekaligus."
Bima sepertinya hanya bisa berharap pada rencana awal untuk meminta Seda menjauhkan Anggada dari Odet. Kasus semacam ini tidak akan mendapatkan keadilan dan Odet hanya akan dicap sebagai perempuan nakal, bodoh, dan nista. Inilah yang membuat banyak perempuan memilih bungkam mulut atas ketidakadilan.
Meski Bima ingin membantu istrinya, tapi Odet yang akan merasakan hujatan. Bima tak mau memaksa dan mungin mereka harus membuka lembaran baru saja tanpa adanya dendam dan bahagia dengan cara mereka.
***
Cerita ini sudah tamat, ya, bebs. Sudah ada versi ebooknya. Atau kalo kalian mau beli bab satuan, bisa langsung ke Karyakarsa kataromchick.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top