60. ODETTA

[Cerita ini sudah tamat, ya, bebs. Bagi kalian yang ketinggalan dan mau untuk langsung baca sampai selesai, bisa ke Karyakarsa kataromchick, atau beli ebook di google playstore dengan cari username 'Faitna YA'. Happy reading!]

"Kamu mau sesuatu nggak?" tanya Bima pada istrinya yang kini matanya begitu sembab.

"Sesuatu apa?" Suara perempuan itu pun sengau karena pasti saat ditinggal Bima ke kantor tadi Odet sibuk menangis.

"Dari tadi di perjalanan pasti ada sesuatu yang menarik, kan? Mau apa? Martabak? Atau mau makan mie ayam bakso? Biar semangatnya balik."

Odet terlihat menatap asal ke depan saat bergumam, "Nanti berat badan aku naik—"

"Masih mikirin yang begitu? Padahal aku aja belajar nerima kamu, Det. Masa kamu nggak bisa nerima diri kamu sendiri?"

Odet menggeleng dengan cepat untuk menghentikan kekesalan suaminya. "Maaf, Bim. Aku ... aku cuma mau kamu nggak jauhin aku."

Tangisan Odet kembali datang. Bima tahu butuh kesabaran tinggi menghadapi Odet yang sekarang serba sensitif.

"Kamu takut aku tinggalin? Yang ada aku yang takut kamu pergi karena aku nggak bisa ngasih kamu pengetahuan soal gimana pola diet yang bagus. Belakangan aku pikirin, aku nggak masalah kamu membatasi makanan apa pun. Meskipun aku maunya bisa makan bareng kamu tanpa takut ajak kamu. Dulu, mood kamu selalu berhasil bagus lagi kalo konsumsi makanan yang kamu suka."

Odet hanya mampu menitikkan airmata dengan ucapan Bima yang masih terkontrol karena pria itu masih fokus mengemudi. "Kamu sebenernya takut yang mana, Det? Takut gendut? Takut dijauhin? Atau takut nggak bisa memenuhi ekspektasi Anggada yang udah terdoktrin di kepala kamu?"

"Bim ..."

"Kamu harusnya tahu waktu aku bilang aku cinta kamu, itu artinya aku beneran sadar kalo aku maunya sama kamu. Harusnya pemikiran mengenai bentuk tubuh itu nggak mengganggu kamu lagi." 

"Maafin aku, Bim."

"Jangan minta maaf sama aku, tapi minta maaf sama diri kamu sendiri yang nggak bisa kamu terima sepenuhnya. Kamu harus mulai sayang sama diri kamu, apa adanya. Aku aja bisa sayang kamu, maka kamu harus bisa ngasih cinta ke diri kamu sendiri juga."

Odet tidak tahu bahwa Bima bisa sekeren ini dalam berpikir. Odet menjadi mengulang masa-masa dimana mereka bisa keluar dan mencoba banyak makanan tanpa takut berbagi. Odet pernah sebebas itu bersama Bima dan pria itu malah suka bertanya semua rasa makanan yang Odet coba.

"Bim, maaf karena aku yang harusnya sudah dewasa ini nggak bisa jadi benar-benar dewasa."

Bima mengangguk pelan dan menggunakan sebelah tangannya yang terbebas untuk menggenggam Odet.

"Aku juga pernah melakukan kesalahan. Nggak akan aku sadari kesalahanku kalo bukan kamu yang jadi obatnya. Kamu juga bisa, kok, jadiin aku sebagai obat supaya sadar sama kesalahanmu. Kita bisa sama-sama belajar, Det. Jangan sibuk menyalahkan diri, oke?"

"Iya, Bim. Makasih, Bim. Aku nggak tahu gimana aku kalo kamu nggak ngotot deketin aku lagi sampai kita nikah."

Bima mengecup telapak tangan Odet penuh kasih sayang. "I love you, Odetta. Remember that, okay? Ada aku dan keluarga kita yang sayang sama kamu. Hidup kamu sangat berarti bagi kami, apa pun kesalahan yang pernah kamu buat. Be you, stay strong with us."

*

"Kamu habis telepon siapa?" tanya Odet yang selesai mandi dan mendapati suaminya mematikan panggilan dari arah balkon.

"Ayah," jawab Bima jujur.

"Ada masalah?"

"Masalahnya tetap sama. Anggada."

Odet menghela napasnya lelah. "Aku nggak tahu harus gimana, Bim. Ini juga andil aku. Seandainya aja—"

"Berhenti menyalahkan diri kamu. Toh, kalo Anggada benar-benar suka kamu, maka momen intim kalian berdua nggak akan dia umbar. Itu tindakan bodoh karena menjatuhkan harga dirinya dan kamu." Bima mengecup singkat bibir Odet. "Kalo kasih sayangnya tulus, kamu adalah kenangan terindah yang harusnya dia kenang sendiri. Bukan malah berusaha membuktikan kamu akan melakukan apa yang adiknya lakukan."

Odet menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Menenangkan diri sendiri agar tidak terbawa kepanikannya sendiri.

"Benar. Mengenal Anggada bukan kesalahan jika pria itu benar-benar suka aku dan menerima perpisahan kami."

Bima tersenyum senang. Pria itu menyenggol bahu Odet dengan bahunya. "Gitu, dong, Det!" seru Bima seperti saat mereka melakukannya dulu saat berusaha menyemangati satu sama lain.

"Resek!" Odet menyerang suaminya dengan kepalan yang terarah pada punggung pria itu. "Lihat, nih, serangan Alfa Odetta Mayoris! Hiyaaakkkk!"

Bima tertawa lepas dan berlari karena tangan perempuan itu jelas terasa sakit bila memberikan pukulan bertubi-tubi di tubuhnya. Odet tahu tubuh besarnya bisa menjadi kuat disaat yang dibutuhkan.

"Det, Det! Kira-kira, Det!" seru Bima panik karena Odet terlihat berambisi menyerang Bima. "Det—aduh!"

Kepala Bima terbentur tiang kayu dengan bunyi keras hingga Odet menganga. "Bim!"

Ya, bagus sekali. Kepala pria itu terasa pening dan gelap.

"Bima!" Hanya itu yang terdengar sebelum Bima merasa gelap menyerang begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top