40| A Blood-Soaked Gun
Firasatku sejak pagi tak nyaman.
Benar saja, berita kematian Han Tae Joon sampai di telingaku siangnya. Dikabarkan langsung oleh dua petugas kepolisian yang masih berdiri di depan pintu, menungguku menyerahkan Kartu Tanda Penduduk. Dugaan terbesar menyempit pada kasus bunuh diri akibat intoksikasi karbon monoksida di apartemennya yang tidak jauh dari kawasan sungai Han. Namun aku bukanlah pengecualian dalam kasus ini. Rupanya polisi menemukan Kartu Tanda Pengenalku yang tergeletak di dekat jasadnya saat ditemukan di bilik dapur.
Mustahil. Aku bahkan menyimpan Tanda Pengenal yang selalu kubawa ke mana pun. Sehingga mustahil kartu identitasku ada pada Taejoon.
"Apa yang terjadi?" Jeon masuk ke kamar dengan wajah cukup serius. Aku sadar suaranya terdengar panik ditambah dadanya yang seperti habis berlari. Ia melihat ke arah kartu di tanganku dan kembali ke wajahku. Tatapannya memandangku penuh tanya. "Runa, kenapa kau memiliki dua Kartu Tanda Pengenal?"
Aku menatapnya nelangsa kemudian menggeleng seperti sudah kehilangan hampir seluruh tenaga. "Aku tidak tahu," ucapku selayang bisikan sembari menatap kembali kartu di telapak tanganku. Aku tidak memiliki kesinambungan berpikir. Di kepalaku hanya berputar-putar pertanyaan bagaimana bisa Kartu Tanda Pengenalku ada bersama Taejoon. Selanjutnya kuangkat kepalaku dengan cepat ke arah Jeon dan kembali menggeleng tegas. "Aku tidak tahu, Jeon."
Mendengar suara ketakutan yang baru keluar dari tenggorokanku, Jeon segera membawaku masuk ke pelukannya. Aku tidak bisa menemukan kehangatan dari dadanya, aku sudah tidak tahu lagi apa yang sekarang kurasakan. Dadaku bergemuruh akan sesuatu yang tidak tentu.
"Jangan takut. Jangan takut. Tenangkan dirimu." Jeon seolah mencoba menenangkan seluruh syarafku dengan suaranya yang damai. Tidak terlawat pula kecupan yang di kepalaku yang terasa menggetarkan jiwa. Namun sekali lagi, segala rangsangan sensorik tubuhku bagai menolak seluruh perlakuannya.
Setelah ketenangan dalam jiwaku terkumpul, kami kembali ke depan menemui kedua polisi yang masih menunggu.
"Apa Anda memiliki hubungan khusus dengan korban semasa hidupnya?" Polisi yang berdiri sedikit lebih maju bertanya dengan gurat tegas.
Sementara polisi di dekatnya membuka kantung ziplock transparan agar aku memasukkan kartuku ke dalamnya. Aku mengangguk gamang. Rasanya setiap kali aku mencoba bergerak tulangku patah satu demi satu. "Tidak sedekat itu."
"Dia sepupuku."
Aku bisa mendengar suara Jeon yang sedikit tertekan saat mengatakan itu. Aku tidak ingat pernahkah ia menganggap Han Tae Joon adalah bagian dari keluarganya. Tangannya di bawah sana mengenggam tanganku sebagai bentuk proteksi dan peneguhan bahwa tidak ada yang perlu aku khawatirkan.
"Pertanyaan selanjutnya akan kami ajukan di kantor. Mohon bantuannya untuk datang dan melakukan pemeriksaan lainnya."
Aku mengangguk.
Detektif itu melanjutkan tanpa merubah mimik maupun ketajaman suaranya, "Kami akan menyita Tanda Pengenal Anda sebagai barang bukti sekaligus memastikan mana Tanda Pengenal yang asli."
Sebelum beranjak pergi, detektif sempat melihat ke arah perutku, mendesah, dan pergi berlalu. Bahkan setelah kedua petugas kepolisian itu pergi beberapa lama, aku dan Jeon masih terpaku berdiri dengan genggaman tangan Jeon yang semakin menguat.
Pandangan Jeon terus tertuju ke depan saat ia mengatakan sesuatu. "Aku sudah meminta Jeongmin untuk mencari pelaku malam itu. Dia mendapatkan titik terang dari informasi yang baru dia dapatkan tentang adikmu, termasuk soal Han Tae Joon." Kemudian tatapannya berpindah ke mataku. "Dia akan segera memberitahu kita. Kau tengan saja. Semuanya akan baik-baik saja."
Sinar mataku kian meredup. Lalu lahir dua kata dari bibirku yang tidak pernah kuucapkan di depan siapapun selain Jaemin. Bahwa aku takut. "Aku takut."
Mata kelabu Jeon terus terpaku padaku. Dia menyentuh pipiku tapi tidak ada lagi perasaan manis yang pernah kurasakan dulu. Semuanya menjadi begitu hambar.
"Aku takut, Jeon." Air mata yang kemarin kukira sudah mengering ternyata tumpah lagi saat dia menarikku dalam dekapannya.
Aku tahu pada akhirnya aku tidak pernah menjadi seberani yang Jeon minta atau Shin Runa Pemberani yang selama ini orang-orang nilai dariku. Aku hanya gadis kecil yang membawa pedang kayunya untuk bertahan dan bersikap seakan-akan akulah kesatria di taman bermainku sendiri. Aku terlalu takut memikirkan bahwa ternyata selama ini Shin Jaemin adalah akar dari keberanian seorang Shin Runa.
Sekarang di saat tidak ada lagi sosok Jaemin, kenyataan bahwa aku masih terlalu kecil untuk dunia ini membuatku ketakutan. Aku takut.
Aku takut sesuatu terjadi pada kami dalam waktu dekat.
***
Laporan kepolisian atas kasus Jaemin tidak menghasilkan apa-apa kecuali kecemasan. Belum ada di antara mereka yang mampu memecahkan kejanggalan atas tragedi kecelakaan Jaemin dan membuatku curiga bahwa sebetulnya polisi tidak berada di pihakku, karena belakangan aku mulai menuding banyak orang yang tidak terhitung nalar. Apabila mereka meminta, aku sanggup membayar berapa pun yang mereka inginkan, aku sanggup melakukan apa pun untuk Shin Jaemin, paling tidak sebagai wujud pengorbanan terakhirku padanya sebagai kakak, dan juga sebagai bentuk permohonan maaf.
Aku menoleh pada Jeon. Dia duduk di sampingku. Kali ini tidak ada jarak yang terbentang di antara kami ketika duduk berdua di kursi belakang sementara Jeongmin menyetir. Sudah sekitar lima menit Jeon sibuk menghubungi segelitir relasi maupun koneksi, termasuk Abraham, ayahnya. Dia menghubungi satu nama ke nama lainnya dalam kurun waktu singkat. Beberapa kali aku mendengar Jeon mendesak genting atau sedikit memaksa, nada bicara yang hampir tidak pernah kudengar dari sosoknya, seperti; "Sekarang!", "Habisi saja.", "Cari saksinya segera", "Berapa pun akan kuberi", terlebih saat ia melakukan panggilan kolektif dalam bahasa Inggris kepada organisasi ilegal.
Aku mulai bertanya lagi... siapakah sebetulnya pria yang sedang duduk di sampingku?
"Pergerakan kalian terlalu lamban. Kendalikan semuanya. Cari siapapun pelakunya." Suara lantangnya pada seseorang di seberang telepon yang tidak ingin dibantah seolah baru saja menekan udara dan membuatku sulit bernapas.
Aku melihat lagi ke arah tangan kami ketika ia berganti menghubungi Abraham. Dari jarak ini bisa kudengar suara berat Abraham samar-samar. Papa mengatakan 'datang', 'bukan kecelakaan', 'dia', 'kasus pembunuhan', 'teror' dan menambahkan kalimat panjang yang tidak bisa tertangkap dipendengaranku. Kepalaku pusing dan perutku mual tetapi kengerian di dadaku seakan mengalahkan semua rasa itu.
Kemudian mataku berpendar pada tanganku—tangan kami. Di mana tangan suamiku menjadi penghangat alami ketika salju turun di sepanjang jalan. Ibu jari Jeon mengusap-usap buku jariku dan kembali naik ke punggung tanganku dengan gerakan tenang dan jelas berbanding dengan ekspresi mengeras setiap kali dia mengatakan sesuatu di ponsel.
Jelas, Jeon memiliki dua sisi yang hadir bersamaan, yang sebelumnya tak kuketahui. Diam-diam aku mulai melakukan reka ulang di kepala tentang seberapa banyak dia pernah menunjukkan kedua sisi ini bersamaan?
Secara pelan-pelan ingatan tentang Jeon datang berjubal di kepalaku. Ketika kami bertengkar, ketika aku menemukannya tergeletak di kamar mandi dengan beberapa botol alkohol, ketika mengatakan kehamilanku untuk pertama kalinya, beberapa kebohongannya, sikapnya yang cenderung berubah, segala tindakan dan ucapannya yang mempengaruhiku lebih banyak dari keputusanku sendiri, dan matanya yang seolah takkan pernah membiarkanku pergi.
Hatiku mendadak sakit. Siapa yang sebetulnya sedang kami bohongi? Itu adalah pertanyaan keduaku setelah kami menikah. Baru tersadar pula di benakku, beberapa kali Jeon menunjukkan kesedihan di balik matanya ketika bibirnya tersenyum.
"Papa yakin?" Jeon bertanya dengan suara bengis. Jeon membiarkan beberapa waktu diam untuk mendengar jawaban Abraham.
"Kalau begitu aku akan membunuhnya," sahut Jeon cepat tanpa pikir panjang.
Mendengar itu, sontak kulemparkan pandangan padanya terkejut. Bisa kurasakan Jeongmin sama terkejutnya denganku. Waktu seakan dihentikan paksa ketika Jeon balas menatapku tajam, lama dan butuh pertimbangan.
Lalu ia merendahkan suaranya saat berkata lagi di telepon.
"Aku akan membunuhnya pertama kali bila dia menyentuh orang yang kucintai." Tepat ke dalam mataku, dia mengucapkan itu.
Namun bagiku, itu bukanlah kata-kata romantis. Tidak sama sekali sampai kau mengerti seberapa banyak ketakutan yang saat ini kutampung. Kata bunuh yang baru diucapkan Jeon entah mengapa dua kali terdengar menegangkan dibandingkan kata-kata keji yang biasa kudengar di lokasi syuting, di jalan, maupun orang-orang terdekat. Entah bagaimana bisa kata yang keluar dari mulut Jeon bukan lagi selayang umpatan biasa. Bukan lagi sekadar candaan semata. Itu adalah acaman.
Jeon yang tidak pernah berkata kasar, Jeon yang kutahu selalu bertutur lembut, Jeon... yang kupikir tak pernah memiliki keinginan untuk membunuh siapa pun bahkan meski semut yang menghalangi jalannya. Ke mana Jeon yang membuatku tergila-gila dengan semua sikap manisnya?
Mataku mulai berkaca-kaca ketika melihat matanya baru berkata ada dendam yang takkan pernah selesai. Dan aku bersumpah tidak lagi melihat Jeon sebagai protagonis dalam film, maupun tokoh antagonis. Karena Jeon mencakup keduanya. Pernahkah aku memikirkannya sebelum ini?
Berangsur-angsur kemarahan yang merangkup wajah Jeon menghilang. Ia mengakhiri panggilannya dengan Papa tanpa sekalipun melepaskan pandangannya dari kedua mataku. Setelah beberapa detik yang terasa mencekam bagiku, barulah Jeon menurunkan ponselnya dan menyandarkan di kursi sambil mendesah. Tidak sekalipun mataku berpaling dari Jeon yang kini tengah terpejam meredakan diri.
Aku termenung di kursiku, terpaku. "Siapa kau?" tanyaku bergetar, tanpa sadar.
Jeon membuka pelan matanya dan menoleh padaku, saat itu juga aku merasa baru ada yang menarik lepas jantungku dari tempatnya.
Dia terdiam lama sebelum menggeleng. "Aku tidak tahu," bisiknya.
Aku berkedip dan berjuang keras menelan ludahku tapi tidak ada suara lagi yang keluar dari kerongkonganku.
"Jika ada jawaban yang ingin kau dengar dariku, sudah pasti kau tidak akan mendapatkannya, Runa. Karena aku tidak tahu." Dia kembali menggeleng. "Maaf membawamu pada semua kesulitan ini."
Bibirku bergetar ketika membuka mulutku lagi. "Sebenarnya apa yang terjadi?"
Jeon menegakkan punggungnya dan duduk menghadapku. "Kau tahu, Runa," ujarnya, "malam ini tidak akan kita lewatkan dengan sia-sia. Setidaknya hanya itu yang bisa kukatakan sekarang."
Aku menatapnya tak mengerti. "Barusan aku mendengarmu. Aku mendengar segala hal yang katakan, Jeon. Apakah kau menghubungi pembunuh bayaran? Mafia? Atau..." napasku tertambat, "atau siapa? Tolong beritahu padaku."
"Aku tidak ingin melibatkanmu lebih banyak dari ini, Runa." Cara bicaranya tidak seperti sebelumnya. Kali ini dia benar-benar terkendali. Lembut seperti biasa.
"Aku sungguh tidak mengerti maksudmu."
"Aku akan mengatakannya segera. Tolong tetaplah menjadi wanita pemberani sampai malam ini berakhir. Jadilah wanita pemberani untukku."
Kepalaku menggeleng. "Aku tidak ingin lagi berpura-pura lagi menjadi berani, Jeon. Cukup katakan padaku apa yang kau rencanakan? Apa yang kau lakukan pada semua orang di telepon tadi?"
Samar-samar dia menjawab, "Kau akan tahu pada akhirnya, tapi takkan kubiarkan kau terluka lebih dari ini."
Aku nyaris membantahnya lagi kalau saja Jeongmin tidak menjadi penengah kami. "Kita sudah sampai."
***
Meski dimasukan dalam daftar tersangka, dua petugas polisi yang datang meminta Tanda Pengenalku justru memberiku senyum tulus. Entah apa maksudnya. Aku berpikir mungkin saja mereka merasa sedikit iba melakukan pengusutan pada ibu hamil.
"Silakan duduk." Polisi yang dipeluk jaket kulit cokelat mempersilakan kami duduk di kursi yang ada di depannya. "Jadi, Shin Runa," detektif itu memulai, "maaf menyita waktu Anda sekalian. Ada beberapa yang harus kami tanyakan di sini. Mohon kerjasamanya untuk menjawab apa pun semua yang kau tahu tanpa mengurangi atau menambahkan sesuatu dalam cerita Anda."
Aku mengangguk.
"Han Tae Joon, Anda mengenal nama itu?"
"Ya. Aku belum lama mengenalnya." Aku mencoba menjawab sesingkat mungkin sesuai yang pria itu tanyakan.
Polisi itu terdiam dan mengesek maju kedua sikunya di atas meja, mengawasi mataku seperti mengorek sesuatu. "Di mana dan kapan tepatnya kalian bertemu?"
"Kami bertemu di kantor kepolisian Seoul Metro kira-kira dua bulan lalu karena hari itu adikku terlibat masalah dengan salah satu mahasiswa di kampusnya dan Han Tae Joon membantu kami. Hanya itu—Itulah kronologi bagaimana akhirnya kami saling kenal."
Tiga detik mengawasiku, polisi itu berpaling pada rekannya dan mereka mengangguk bersamaan. "Dugaan sebelumnya merujuk pada kasus bunuh diri. Namun kami terpaksa melakukan penyelidikan mendalam terkait Kartu Identitas Anda yang berada di lokasi di saat hari kematiannya. Dan ini," dia menyodorkan kantung barang bukti ke depanku, "Kartu Tanda Penduduk yang baru Anda berikan pada kami adalah Kartu Tanda Penduduk yang palsu."
Udara dingin sama sekali tidak menolong. Tanganku tetap berpeluh. Meskipun dalam hati aku tahu bukan aku pelakunya, tetap saja kepalaku didera sakit yang luar biasa seperti yang pernah kualami dulu. Tidak, jangan sekarang. Napasku mulai mencekik tenggorokan. Kumohon jangan sekarang. Bertahan sebentar lagi, Shin Runa. Semua akan baik-baik saja. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
Sebelum kecemasan menyita napasku lebih banyak, Jeon sudah lebih dulu menarik tanganku ke pangkuannya. Meremat begitu kuat. Efeknya sama seperti yang pernah Jaemin perbuat; menenangkan sampai napasku melega.
Jeon sengaja tidak membantuku bicara. Karena kami sama-sama tahu apa pun yang akan dikatakan Jeon, orang-orang di hadapan kami hanya ingin dengar jawaban dariku.
"Aku t-tidak..." aku terbata.
Detektif itu langsung mengangguk bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku. "Pelaku utama memang bukan tertuju pada Anda. Tapi kami tetap menyatakan Anda sebagai tersangka karena tidak bisa menjelaskan terkait Kartu Identitas ini. Berutungnya, dari semua CCTV dan petunjuk yang ada kami tidak menemukan tanda-tanda atau jejak Anda pernah berada di lingkungan kejadian."
Bunyi napasku terdengar berat. Kemudian muncullah satu arsip yang tersimpan di kepalaku. "Detektif..." gumamku pelan.
Detektif itu menoleh padaku setelah baru meminta rekannya untuk merapikan kembali barang bukti di hadapan kami.
"Aku ingat hari itu aku tidak sengaja..." aku terdiam sesaat, mengingat dan bicara lagi, "Hari itu aku berada di kafe yang letaknya seratus meter dari stasiun Seoul. Keesokan harinya aku menyadari dompetku hilang. Aku bahkan masih memiliki bukti seseorang menyobek tasku dengan pisau. Suamiku menemukan dompet yang sudah diserahkan pada polisi. Meskipun jawaban ini belum membuat kalian pupas, aku bersedia untuk melakukan penyidikan berikutnya."
Pria itu ragu-ragu sejenak, kemudian menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Kasus ini masih akan kami selidiki lebih lanjut. Sampai saat semua bukti ditemukan kami akan menghubungi Anda kembali."
***
Musim dingin adalah musim yang selalu kunanti, setidaknya aku memiliki alasan untuk membelikan pemanas ruangan yang baru dan lebih berkualitas. Alasan lain yang lebih sederhana karena aku cinta butiran salju segar yang hinggap di sepatu kecil atau rompiku semasa dulu. Naik ke tempat tidur dengan piama flanelku tanpa perlu memikirkan apa yang hari ini terjadi.
"Kulitmu dingin sekali." Dalam perjalanan pulang Jeon menyentuh dan mengusap-usap tanganku yang tidak kunjung menurunkan suhu.
Aku mencoba tersenyum getir dan menyandarkan tubuhku ke bahunya tanpa permisi. Jeon segera menerimaku dengan pelukan hangat sambil membetulkan bagian depan mantelku yang terbuka.
"Aku takut," bisikku.
Jeon menggeleng dan memelukku makin erat, lalu mengecup kepalaku. "Pikirkan banyak hal baik yang bisa kau lakukan, sayang. Maka tidak akan ada hal buruk terjadi."
Setelah semua yang terjadi, batinku kembali dalam kondisi damai yang memungkinkan. Aku menarik napas panjang dan memejamkan mata sebentar. "Uri-Jaeminie," kataku pelan disertai sepulas senyum, "punya nama untuk anak-anak kita kelak."
"Sungguh?" Jeon mencoba terdengar antusias meski aku tahu energi kami tidak jauh berbeda. Setidaknya hal ini bisa membantu kami pura-pura melupakan rasa sakit sesaat.
Aku membuka mata dan mengangguk, lalu mendongak padanya. "Dia ingin memberi nama anak kita sebuah nama berhubungan dengan laut." Aku sedikit tertawa saat mengingat alasannya yang tidak masuk akal—jika penggalan nama suamiku Sky. Langit dan laut saling terhubung—itu konyol sekali, namun mengingat itu membuatku hampir menangis karena rasanya dia baru mengatakan itu kemarin.
"Oh, ya? Apa itu?"
Aku menunggu sesaat untuk menghalau rasa sakit di tenggorokan karena menahan tangis. "Jeon Oceano Kalinsky untuk seorang putra, dan Jeon Oceana Kalinsky jika bayinya perempuan. Bagaimana menurutmu?"
Jeon menarik daguku dengan dua jarinya dan memandangiku cukup lama sampai ia menarik wajah kami mendekat dan mengecup bibirku. "Aku suka keduanya."
"Lalu..." aku menambahkan, "kau masih ingat pabrik kertas yang kau akuisisi untukku?"
Dia mengangguk.
"Rencanannya aku ingin..." bibirku membeku ketika sepintas muncul wajah Jaemin yang berseri-seri setiap kali mengatakan mimpinya mengenai tempat game online, "memberikan itu untuk hadiah terakhirnya. Bagaimana menurutmu?"
Jeon mengangguk lagi bersama dengan sebelah tangannya yang mengusap sesuatu pipiku dan membuatku tersadar bahwa air mataku baru saja mengalir.
"Kau boleh melakukan apa pun dengan itu. Maka aku juga juga akan melakukan apa pun yang kau inginkan."
Meskipun ingin berhenti bicara, firasatku berkata lain. Aku butuh banyak bicara dengan pria ini, aku ingin kami mengobrol lebih banyak seperti sebelumnya.
"Jeon, boleh aku meminta ciumanmu lagi?"
Jeon tersenyum lega. Dia memberikan ciuman dan menghadiahi lumatan tanpa harus kuminta. Setidaknya perasaan sedikit membaik.
"Tolong jangan katakan pada orang tuaku tentang masalah ini. Kasus kematian adikku sudah lebih dari cukup membuat mereka menderita."
Jeon langsung menyetujui permintaanku. Dia memejamkan mata dan mengecup keningku lama. Lalu menitipkan kata-kata yang membuatku jauh lebih tenang. "Tidak bakal ada menyakitimu. Kali ini kau harus percaya padaku."
Kami terus berpelukan sampai mobil yang dikendarai Jeongmin tiba di pelataran rumah. Jeon mengatakan sesuatu pada pria itu sebelum Jeongmin membiarkan kami masuk.
"Jeongmin telah menemukan siapa pelaku pembunuhan Jaemin. Jika benar, dia akan membawanya menemui kita."
Informasi itu sangat berguna bagiku. Seharusnya aku tidak meragukan Jeon sejak awal. Aku kembali memberinya kecupan di bibir sebagai pengganti ungkapan terima kasih.
Ketika memasuki rumah, ada satu keganjilan yang aku temukan. Sebuah lilin menyala di atas pianoku. Alisku mengernyit. "Kau menyalakan lilin sebelum kita pergi?" tanyaku lantas meniup mati apinya.
Jeon menggeleng bersamaan dengan itu muncul dua orang pria yang berdiri beberapa meter di belakangnya. "Siapa kalian?" tanyaku kaget.
Menyadari keterkejutanku, Jeon segera berbalik. "Siapa?" tanyanya.
"Harusnya kalian bertanya padaku." Suara di belakang kami membuat aku dan Jeon sontak memutar tubuh ke belakang
Dadaku berdetak kencang melihat orang asing yang tidak pernah kutemui berada dalam rumah kami. Pria tinggi itu berjalan turun meniti tangga. Berkostum hitam-hitam. Tampilan kelas atas bak metropolitan. Perawakan elok, wajah memikat, dan dua bola mata yang jernih. Mengingatkanku pada warna alami bola mata Han Tae Joon. Bahkan aku baru menyadari parasnya seperti cerminan Han Tae Joon.
Di kedua tangannya membawa Bearbrick paling besar seukuran 70 senti berwarna emas. "Aku tamu utamanya. Tidakkah kalian sadar?"
Aku menoleh sebentar pada Jeon. Mata Jeon menjelaskan segalanya. Menunjukkan kembali tatapan dendam yang kulihat saat di mobil. Tak lama, ia menarikku mendekat ke balik punggungnya. Dari gelagat dan tatapan mata Jeon jelas ia menunjukkan bahwa ini bukan suatu perkara yang baik untuk kami.
"Jadi... bagaimana hidup tenang tanpa satu pun masalah, Adik Jeon?" Sorot mata pria itu dipenuhi kebencian dan juga kelicikan.
Ruangan yang semula hanya ada kami dan tiga orang lainnya bagaikan berubah menjadi arena terbuka. Beberapa orang lainnya yang entah dari mana muncul satu persatu mengitari kami.
"Apakah menyenangkan?" Pria itu bertanya serak. Memandangi figura emas dan meletakkannya di tangga paling bawah dengan amat hati-hati.
Aku mendekatkan wajahku di belakang telinga Jeon. "Mana ponselmu? Aku harus menghubungi polisi." Aku meraba saku mentelnya dan tidak menemukan apa yang kucari.
"Di mobil," balas Jeon sama berbisik.
Aku mendesah dan menoleh ke belakang. Menghitung ada berapa banyak orang orang di ruangan. Kira-kira terdapat tujuh pria tampil rapih dengan potongan eksekutif muda. Bisakah kami melalui situasi yang mencekam ini?
Merasa menemukan secerca harapan, Jeongmin muncul di sana, di antara pria berjas seperti lentera. Memegang ponsel Jeon yang tertinggal dan membawanya pada kami.
"Jeongmin-ssi, tolong hubungi kantor polisi. Katakan mereka ada penyusup yang masuk ke rumah kami. Usir mereka semua dari sini." Mataku mengikuti setiap pegerakan Jeongmin yang semakin mendekat penuh harap.
Dan Jeongmin justru berhenti di depan pria itu. Mempersembahkan ponsel Jeon kepadanya.
"Hyung..." kudengar ada getaran dalam suara Jeon. Aku bisa mengira-ngira seberapa terkejut wajah Jeon, karena aku merasa sama sepertinya.
Muncul seringaian puas di satu sudut bibir pria itu ketika Jeongmin kembali ke hadapan kami. "Aku memang berhutang nyawa padamu. Maka dari itu aku telah mengabadikan diriku lebih dari puluh tahun yang tidak kuperkirakan. Sementara istriku berhutang nyawa padanya. Kau mungkin akan melakukan hal sama pada istrimu seperti kulakukan untuknya. Maka aku akan melakukannya hari ini."
"Hyung," Jeon berbisik memelas, "Aku telah mempercayakanmu mengurus kasusnya. Aku telah mempercayakanmu segalanya. Bagaimana mungkin kau lakukan ini padaku?"
Jeongmin tersenyum tenang, berwibawa, sama seperti cara yang selalu ia tunjukkan pada kami. "Paling tidak aku merasa lega sudah memenuhi janjiku untuk mempertemukanmu dengan pelakunya. Sekarang tugasku selesai. Terima kasih atas kesempatan hidup yang kau berikan, Jeon. Terima kasih untuk kesempatan hidup yang takkan kudapat dua kali." Usai mengatakan itu Jeongmin membungkuk dalam dan pergi berlalu dari hadapan kami.
Aku terpaku di tempat. Dihujam kata-kata Jeongmin yang mirip belati menembus jantungku. Aku yakin rasa sakitku tidak sebanding dengan apa yang Jeon rasakan sekarang.
"Han Tae Bin." Jeon mendesis penuh ancaman.
Han Tae Bin... Han...
Memori-memori lama seolah menggempur paksa otakku hingga ke dasar; Han Tae Sung suami Lee Hwi Ja. Han Tae Sung sudah meninggal empat tahun lalu. Biarkan anak-anakku tetap hidup. Han Tae Joon... Han Tae... Han.
Tak berapa lama mataku membelalak menyaring satu ingat yang muncul dan berdenging di telingaku. Hei, Han Tae Bin, aku berharap bisa menendangmu keluar dari sekolah. Bila kau tetap merokok dan merisak anak lain, jangan salahkan aku bila masa depanmu hancur.
"Hei, Han Tae Bin, jangan salahkan aku bila masa depanmu hancur." Taebin meniruku kala SMA dengan suara merengek-rengek, lalu tertawa keras. Sekarang aku ingat jelas paras pria yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya karenaku. "Aku selalu mengingat kata-kata darimu Shin Runa, si Tukang Sok Sempurna di sekolah. Sekarang bagaimana bisa kalian..." Taebin menunjuk kami bergantian, "menikah?" Mulutnya menganga skeptis. "Wah, semakin menarik, ya. Dua orang gila yang dipertemukan, menikah bersama, dan bertukar rasa sakit."
Ruangan dalam sekejap diselimuti tawa dari berbagai arah. Kemudian pandangannya tertuju pada Jeon setelah suara gelak surut. "Terutama kau, Jeon. Ternyata kau tidak berubah, ya, masih seperti bongkahan daging tak berdaya di ranjang orang tuaku. Bagaimana?" Dia tersenyum licik sambil menyusun langkah demi langkah mendekati tempat kami. "Bagaimana rasanya menjalani hari-hari yang seperti neraka? Kau senang? Menikmatinya? Aku juga menikmati pertunjukkan saat itu. Menikmati kau yang tampak menikmati penyiksaan seksual saat itu, tapi aku jauh lebih senang melihatmu sekarang. Karena melihatmu sekarang merasa kau belum berubah, Adik Malang."
Jeon semakin menarikku ke balik tubuhnya.
Taebin memutar tubuhnya sepintas memandangi rumah kami. "Kecuali tempat ini, dan... Jves & Koch?" Nadanya mengolok-olok. "Kau bertahan hidup dengan kemewahan dan membiarkan orang tuaku kesusahan di petak jeruri? Benarkah? Mana balas budimu karena mereka pernah membuatmu senang? Mana balas budi karena mereka pernah merawatmu seperti pengungsi?"
Mataku melirik telepon di dekat jendela. Di sana, aku harus bergerak cepat ke sana. Namun seorang dari mereka lebih dulu menyadari pergerakanku dan langsung menghancurkan satu-satunya harapan kami, meskipun kami tidak tahu bagaimana malam ini akan berakhir, dan Taebin tak segan memberiku satu pukulan kuat yang menyebabkanku terjerembab ke lantai. Pekikanku mengabur bersama udara.
Semuanya berlangsung cepat ketika Jeon menerjang baju Taebin dan menghantamkan beberapa kali pukulan. Kilatan di mata kelabu Jeon tampak menyeramkan saat dia membanting serta menindih tubuh Taebin sambil melemparkan tinju berkali-kali. Menghajar Taebin yang tidak sedikit pun melawan justru tersenyum sambil mengangkat sebelah tangan untuk memberi arahan pada pengikutnya agar sebaiknya mereka diam menikmati tontonan. Seolah pukulan Jeon yang membuat rahangnya diguyur darah bukan sesuatu yang menyakitkan.
Jeon menarik Taebin berdiri. Belum puasnya ia menghajar Taebin sampai darah pria itu berceceran di lantai. Namun yang dilakukan Taebin hanya terkekeh-kekeh seperti pesakit. Aku gemetaran di tempatku, diam tidak bisa melakukan apa-apa.
Entah siapa yang lebih mengerikan di sini.
Ketika Jeon sudah menemukan sedikit demi sedikit kesadarannya kembali, Taebin bertanya, "Apa yang kau lakukan selama ini, Jeon, adik manisku?" Darah merembes keluar dari celah bibirnya dan mengalir menuruni leher sampai kerah kemeja.
Aku dapat melihat Taebin memiliki banyak rencana di balik matanya. Terlebih posisi kami saat ini begitu terdesak.
"Ayo beri aku beberapa pukulan lagi."
Benda mengkilap seketika muncul di balik telapak tangan Taebin ketika keadaan Jeon mulai lengah. Mulutku berusaha bergerak, mengumpulkan kata-kata acak yang mendadak tidak terpikirkan, dan jeritku membahana dua detik sebelum ujung pisau itu menancap di perut Jeon. Ada kejut hebat di balik mata Jeon.
Seseorang menahanku ketika hendak berlari ke arahnya. Aku meronta, memohon separuh menjerit, agar mereka atau siapapun menolong Jeon yang telah bersimpuh di lantai begitu Taebin menarik keluar pisaunya pelan-pelan.
Taebin melipat kembali pisaunya dan memasukkan ke saku celana. Ia berjalan ke ujung ruangan dan duduk di sofa melipat kakinya sambil membersihkan darah di wajah. "Tadinya aku tidak ingin melukai adik manis sepertimu. Tetapi ternyata kau masih begitu menyebalkan seperti dulu. Selalu membuatku repot. Dulu aku yang harus bertanggung jawab mengawasimu agar tidak mengatakan semua hal yang dilakukan orang tuamu. Aku melakukannya bertahun-tahun, tapi kau menghancurkannya dalam sehari."
Meski tampak raut kesal, pria itu tetap mengatakannya sambil tersenyum. "Aku masih tidak mengerti kenapa kau melaporkan kami pada akhirnya? Kenapa, Jeon? Kenapa kau menghancurkan keluargaku? Kenapa kalian membuang keluargaku?"
Aku menangis hebat melihat Jeon terkulai tidak berdaya, masih terus mencoba mengerahkan tenaga untuk menjerit dan melepaskan diri.
Taebin mengambil ponselnya dan memotret foto Jeon yang bersimbah darah. Sebelum hendak berkutar pada ponselnya dia kembali melihatku. "Aku ingin mengirim pesan padamu. Baca nanti, ya, Shin Runa Tukang Onar."
Kemudian mengetikkan sesuatu di layar sambil melantangkan suara keras-keras. "Empat." Dan tersenyum puas, lalu menambahkan. "Satu untuk adikmu, satu untuk ibuku, satu untuk adikku, dan satu... yang akan segera kuberikan untuk suamimu. Skornya dua sama."
"Kumohon, hentikan." Suaraku bergemuruh pecah ddan berubah menjadi getaran lemah. "Kumohon."
"Aku mencoba adil untukmu, Shin Runa sayang."
Otakku buntu. Kesulitan berpikir dan bertindak saat Jeon sedang menahan sakit akibat satu tusukan di perutnya.
"Apakah artinya aku tidak bisa membunuhmu, Runa?" Mata Taebin membola antuasias menatapku; terlihat senang bermain-main seperti peneliti gila pada tikus jarahannya. Tak lama kepalanya menengadah tinggi-tinggi. "Menyingkirkanmu terlihat lebih mudah daripada menyingkirkan kutu. Tetapi aku masih memberimu kesempatan untuk melihatnya sendiri. Aku akan menjadikanmu pengeculian sampai akhir, jadi anggap saja ini tontonan eksklusif untukmu, Nyonya Jeon."
Taebin meregangkan otot lehernya ketika meminta dua orang bawahannya untuk memegangi tangan Jeon dengan gerakan singkat ujung jari. Seseorang lainnya datang mendekat pada Taebin dan membuka koper berisi berisi senjata api laras pendek.
"Tidak, tidak, tidak. Jangan. Kumohon. Jangan." Tubuhku menggelapar dalam cengkeram kuat. "Kumohon." Tangis semakin menderu mengalahkan suaraku sendiri. "Kumohon, aku akan melakukan apa pun untukmu."
Taebin berdiri dan kursi dan mendatangi tempatku. Dia berlutut di hadapanku yang sudah beringsut duduk di lantai.
"Kumohon," pintaku parau.
Taebin menggeleng iba. "Lihatlah Jeon sekarang? Dia tinggal dan hidup di rumah ini tanpa mempertimbangkan perasaan orang tuaku. Belum lagi Han Taejoon sialan yang pura-pura tidak tahu dan berada di pihak kalian. Apakah itu cukup adil untukku?" Dia mendesah panjang. "Ah, sialan."
"Kumohon," pintaku lebih pelan.
"Tidak sekarang, sayang." Dia mendekatkan wajahnya ke telinga kiri. "Nikmati pertunjukkanmu." Kemudian mengecup pipiku sekilas sebelum berjalan menjauh.
Aku menjerit lagi ketika Taebin berdiri beberapa meter jauhnya lurus dengan Jeon yang tidak berdaya dalam dua cengekeram di kanan-kiri tubuhnya.
"Kumohon!" Tubuhkku berusaha menggelepar. "Kumohon!"
"Lihatlah baik-baik. Buka matamu lebih lebar. Pertujunkannya akan segera dimulai, sayang."
Aku tidak tahu persisnya. Semua terjadi dengan sangat cepat. Bunyi letupan pistol menggelegar bersama suara melengking dari jeritanku sendiri, disusul tubuh Jeon yang merosot ke lantai, dan tubuhku yang seakan menjadi kosong saat mereka melepaskanku, saat aku berlari ke arahnya.
Aku menjerit lebih keras, menarik Jeon dalam pangkuanku. Ototku seketika menegang ketika Jeon membuka matanya. Jeon menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara. Aku terpaku tepat di atas noda merah yang semakin banyak mengalir di bawah kakiku. Merasakan betapa lengketnya sela jariku saat menekan perutnya, berharap bisa menghentikan darah yang semakin mengucur deras tidak tertahankan.
"Shin Runa..." dia mulai berkata, dan air mataku mengalir semakin banyak. Namun setelah menyebut namaku Jeon tidak pernah lagi menyelesaikan kalimatnya.
Karena di penghujung minggu, ceritaku telah diubah seluruhnya.
Ketika semuanya menjadi lengang aku tahu, aku mengerti, bahwa semuanya baru dimulai di sini.
***
Tidak. Mungkin ini bukan cerita sedih. Tapi ternyata ceritaku cukup menyakitkan untuk dinikmati.
Dan sekarang aku mengerti arti cerita menarik sesungguhnya. Bukan kisah bahagia, bukan juga kisah menyedihkan. Untukku sekarang, kisah paling menawan yang ingin selalu kubaca adalah kisah yang memuat ironi di dalamnya.
Karena kisahku tidak pernah sebahagia seperti yang kukatakan. Tidak akan pernah.
***
They are estuaries;
where fresh river water
and salty ocean water meet.
OCÉANOR
Halo Ochild, Anak laut, anak ocean, dan apa pun nama kesayangan you've pinned on me and for this story, thank you so much. It's been a long journey, lebih dari setahun dari rencana awal tapi akhirnya kita sampai di chapter penutup.
Terima kasih atas pesan dan komentar-kometar positifnya, terima kasih untuk segala bentuk apresiasinya, terima kasih untuk semua dukungannya, and of course thank you for stick with me for sooo so long. Your support really means and matters a lot to me.
Dan mungkin ada banyak dari kalian yang bertanya-tanya apa yang terjadi selanjutnya setelah chapter ini, dan aku harap temen-temen bisa sedikit lebih sabar menunggu sampai bukunya terbit, karena di dalamnya mencakup banyak sekali part tambahan. Mulai dari prolog, scene-scene yang baru, scene eksklusif yang hanya ada di privatter, dan yang paling kalian tunggu sudut pandang koch untuk kisah Océanor ini.
Cerita sedikit, aku inget bagaimana awalnya nulis Océanor. I was on beach, and then the idea comes to me. Aku ambil judul ini pakai konsep estuari seperti kutipan di atas tadi.
Sungai dan laut saling terhubung begitu pun sebaliknya, and that's why I'm calling it Océanor (Océano + r (sign of river in map))
Honestly aku ngga banyak terinspirasi dari buku dalam nulis Océanor. Beberapa kisahnya aku catut dari cerita orang-orang nyata. And I was absolutely amazed sama temen-temen yang mau berbagi pengalaman serupa seperti Koch, through comment sections, ig dms, or anywhere else you've ever told me, aku salut banget untuk keberanian kamu mengungkapkan trauma paling menyakitkan dalam hidup. Diantara banyaknya pesan cinta, aku terharu karena ada yang mau terbuka seberapa sakitnya hal itu. Aku berharap Ochild di mana pun selalu dalam keadaan baik.
Sekali lagi makasih ya. Terima kasih banyak udah mau kenal sama cerita Océanor. Terima kasih atas semua bentuk cintanya untuk Koch, Runa, terutama Jaemin.
Untuk kesan-pesan, boleh titip di sini.
Boleh tag aku di instagram juga. Untuk info-info seputar buku atau spoiler akan aku post di instagram; idybooks
Terima kasih, Anak Laut!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top