39| Pleasure and Happiness
Yang lebih menakutkan daripada pikiran seorang pembunuh adalah pikiran ibu sang pembunuh.
-J.D. Barker
__
"Kesenangan dan kebahagiaan itu apa bedanya, Jeon?"
Aku bertanya esoknya ketika kami berada di kasur, hendak beranjak tidur. Kesenangan dan Kebahagiaan. Dua kata itu menggangguku sejak pagi ini. Sulit mencerna makna mendasar antara kedua kata itu. Dua kata yang sering kudengar namun tidak pernah kuartikan secara mendalam. Sebagai penulis, itu adalah kesalahan besar.
Semakin lama aku terjebak pada pemikiran rumit hingga membuatku tidak lagi bisa membedakan mana yang kusebut kebahagiaan dan mana yang harus kukatakan bagian dari kesenangan.
"Pleasure and Happiness," ucap Jeon serupa belaian sama seperti cara jarinya menyusuri panggung dan kepalaku. Suranya pun teramat berhati-hati. Seolah tengah berupaya menggali jawaban yang jauh. Sedang matanya menatapku cukup lama sementara aku menanti dengan sabar.
"Happiness is giving. Pleasure is taking," bisiknya memberitahu.
Aku menarik napas panjang dan tetap diam.
Jeon mulai kembali menjelaskan. "Kesenangan terikat pada dopamin, kebahagiaan terikat pada serotonin. Itulah mengapa kesenangan bersifat sementara, dan kebahagiaan memiliki jangka waktu panjang."
Aku memandangi tepat ke dalam matanya. Andai boleh jujur, mata abu-abu itu tidak lagi memiliki dampak sebesar pertama kali aku dimabuk cinta. Mata itu mulai tidak bisa memberiku ketenangan seperti pertama kali dia menatapku dengan caranya. Aku seolah kehilangan lebih dari setengah harapan darinya.
Semua yang ada di balik matanya hanya sebatas bentuk semu nan samar lalu pudar, dan kusadar kini Shin Jaemin adalah serotoninku. Kebahagiaan jangka panjang terbesar yang kumiliki. Dan Jeon dihatiku belum sebesar rasa cintaku pada Shin Jaemin, adik yang telah hidup bersama lebih dari dua puluh tahun.
"Aku tidak tahu yang mana aku sekarang." Terlalu tenang, aku seolah kehilangan cara melepas emosi. Lupa cara melampiaskan seluruh beban dalam dada yang kutanggung. Rasanya terlalu penuh. Sekarang tidak ada lagi Jaemin. Aku masih terlalu ngeri membayangkan hariku tanpanya. Tanpa suara berisiknya yang bagiku sekarang tidak lagi mengganggu.
Dulu, Jaemin bilang (dia selalu mengatakan ini padaku berulang-ulang jika aku berpikir akan menyerah); Marah saja. Teriak saja sekeras yang Noona mau. Kalau tidak bisa berteriak silakan pukul aku. Pukul aku sebanyak yang Noona mau, pukul aku sekeras rasa sakit yang kau tanggung. Aku bisa menahannya. Lakukan apa pun yang Noona mau padaku. Tetapi, berpikir bahwa Noona akan mengakhiri hidup, sungguh membuatku tidak bisa menanggung rasa sakitnya.
Mungkin jika Noona benar-benar pergi dengan cara seperti itu, maka aku tidak bisa berjanji tidak akan menghukum diriku dengan cara yang sama. Maka dari itu, kumohon jangan pergi dengan cara begini. Jangan bunuh diri. Kumohon. Ayo jalani kehidupan bersamaku. Kalau Noona mulai lelah, tidak apa-apa berhenti asal jangan mengakhiri, tidak masalah mengeluh, dan tolong katakan padaku. Jangan menyimpannya sendiri.
Dunia tidak harus tahu, tapi Noona harus mengerti, kau begitu berarti untukku, dan aku tidak tahu apa jadinya bila tak pernah ada Noona dalam hidupku. Karena itu, tetaplah hidup. Bertahan hidup paling tidak untukku. Jika lelah, setidaknya sampaikan salam perpisahan dengan cara terbaik yang bisa kau lakukan. Aku baru akan membiarkan Noona istirahat bila memang sudah benar-benar tak ingin.
Setiap perkataan Jaemin bagaikan tinta yang tidak bisa dihapus air sekalipun. Namun mengingat perkataan Jaemin sekarang tidak lagi membuatku ingin menangis. Karena aku sungguh tidak tahu persis apa yang kurasakan malam ini.
"Aku tidak tahu yang mana aku sekarang," ulangku berbisik dengan laras sedih. "Aku hanya tidak bisa merasakan keduanya untuk saat ini."
Tanpa sadar kuremas bagian depan baju Jeon.
"Pernikahan ini..." Aku terdiam begitu lama. Memandangi dadanya, dan berbisik dengan nada yang teramat tenang, "...tidak membuatku bahagia, Jeon."
Setelahnya kami terdiam sangat lama. Sementara Jeon tidak kunjung mengeluarkan sepatah kata. Hanya napas kami yang menghalau sunyi. Menjadi bagian dari ketegangan yang baru pertama kali kurasakan, atau mungkin Jeon juga merasakannya. Yang pasti kami sama-sama menikmati suasana asing di antara kami.
"Artinya kau menyerah padaku, Runa?"
Aku menatap matanya, mencari kebenaran yang bahkan tidak kutahu apa yang barusan terucap, kemudian menggeleng pelan. "Aku telah berjanji akan bertahan, karena aku masih mau bertahan." Jaemin juga yang pernah mengajarkan itu padaku. Anak itu takkan pernah menyerah. Bukan karena untuk dirinya sendiri, melainkan agar bisa terus melihatku. "Kau juga telah membuatku berjanji untuk menjadi wanita pemberani, tapi, Jeon," kataku cepat sembari mengalihkan tatapan ke dalam matanya, "wanita pemberani juga bisa lelah."
Aku mengakui kejujuran yang tampung beberapa hari belakangan.
"Sekarang aku lelah." Aku hanya ingin Jeon tahu satu kenyataan bahwa aku bisa lelah. aku sakit, dan aku memerlukan waktu istirahat selama yang kubutuhkan. Bukan istirahat dalam arti sesungguhnya. Tetapi sesuatu yang selama ini kunanti. Tempat yang bisa kusinggahi untuk mendapat setetes air sebelum kembali berlari.
"Selama ini aku telah berlari." Aku bergumam setengah merenung tepat ke arah matanya. "Lintasanku... sangat sangat panjang. Aku terus berlari sejauh yang kubisa, selama yang kumampu, dan kau tahu pada akhirnya apa yang kupikirkan, Jeon?"
Jeon terus terdiam. Tidak ada tanda sedikipun dia akan bereaksi terhadap ucapanku, bahkan hanya sekadar berkedip.
Selanjutnya aku menggeleng pilu. "Aku tidak tahu apa yang selama ini kuinginkan. Detik ini aku tak tahu apa yang sebetulnya kucari. Aku tidak tahu apa yang sedang kukejar. Aku bekerja bertahun-tahun, menjadikan diriku seperti wanita yang kusaksikan di televisi, mengharuskan diriku memiliki segalanya, membuat diriku serba sempurna seperti wanita karir yang menyumbangkan pikiran dalam majalah mingguan, mendapatkan apa pun yang kumau, tapi..." aku mencoba kembali tenang sesaat setelah emosi sedikit terlibat dalam ucapanku, "setelah kehilangan Jaemin aku tidak lagi tahu apa yang sebetulnya kucari. Pada akhirnya semua ini cuma bentuk sekat untuk diriku sendiri."
Jeon mengangguk samar diiringin senyum kecil. Ibu jarinya berlabuh di sisi kepalaku dan mengusap juntaian rambutku yang kusut dengan gerakan pelan. Detik ini, tanpa sadar Jeon kembali memperkenalku pada bentuk kenyamanan.
"Aku telah melupakan banyak hal di sekitarku, dan aku harap kau mau mengerti," sambungku, "kau dan kandunganku adalah satu hal lain yang berharga untukku. Jadi, kumohon jangan tanya kata menyerah sebelum aku yang mengatakannya sendiri."
Jeon terdiam. Bibirnya kembali dikunci, namun tatapannya penuh kesungguhan. Aku tidak perlu bertanya, tapi aku kembali mengenal tatapan itu. Tatapan hangat yang senantiasa dia layangkan untuk menyambutku. Tak lama tangannya terbuka, menarikku lebih dekat untuk menikmati kehangatan dada dan bunyi detak jantung kami yang seirama.
"Sekarang kau boleh istirahat." Suaranya selembut satin, seperti benang tipis yang membelai permukaan telingaku. Usapan tangannya di punggungku terasa begitu hangat dan tenteram, "Wanita kuat juga butuh istirahat, Runa."
***
Bau amis darah tercium samar ketika jari telunjukku teriris. Anehnya aku tidak begitu terkejut sampai satu pelayan memekik ketika darah itu merembes keluar dari jariku dan mengotori permukaan apel. Ada sedikit sengatan nyeri, tapi tidak begitu sakit. Mungkin akibat belakangan ini aku terlalu banyak merenung.
Pergulatan emosi seperti baja pemisah antara jasmani dan jiwaku. Rasanya masih sama seperti kabar duka itu datang. Aku masih linglung meski telah menerima sepenuhnya bahwa eksistensi Jaemin tidak lagi ada. Hanya saja masih sulit percaya bahwa Jaemin sudah pergi.
Entah apa yang kusalahkan. Namun semuanya masih seperti pusara penyesalan. Andai malam itu aku tidak memintanya datang, andai kemarin kami lebih banyak menghabiskan waktu bersama, andai aku punya lebih banyak waktu untuknya, atau andai aku tidak memberi mobil itu padanya sebagai hadiah—Andai, aku menertawakan diriku sendiri. Satu kata itu tak pernah berguna. Tidak peduli sebanyak apa air mataku tumpah, tidak peduli seberapa keras teriakanku, Jaemin takkan kembali. Mencoba memunguti setiap nalarku yang berguguran di bawah kaki, aku sudah mengerti Jaemin-ku takkan pernah lagi kembali.
Aku membersihkan jariku, mengobatinya, dan membebatnya dengan plester. Kubiarkan pelayan mengambil alih seluruh pekerjaanku sementara aku kembali ke kamar lantaran baru teringat di mana kusembunyikan surat milik Lee Hwi Ja—rak buku nomor dua di kamar, diantara buku bersampul lawas. Jeon jarang menyentuh satu bagian itu karena dia tahu itu milikku, dan tidak ada yang pernah dia lakukan dengan seluruh koleksiku. Sama seperti seluruh sikapnya, Jeon takkan menyentuh apa yang bukan miliknya, dan aku bersyukur kertas yang telah kuperbaiki masih ada di sana.
Sekilas kupalingkan padangan ke ranjang. Pagi ini Jeon tidur lebih lama dari biasanya hingga aku bertanya-tanya mimpi apa yang membuatnya tidur selelap itu. Guratan wajahnya tidak berbeda dari hari lain. Tampak tenang dan sedikit menghidupkan kedamaian bagiku. Tubuhnya tidak sekalipun menggeliut atau sekadar berganti posisi. Aku sempat mengernyit saat tiba-tiba kakinya bergerak menekuk, menanti kapan ia bangun. Biasanya Jeon akan terusik dan langsung terbangun bila aku hendak turun meninggalkan kasur, tetapi ternyata dia tidak juga membuka mata. Aneh sekali.
Tiada lagi rasa takut, aku membawa suratnya ke ruang baca, menyelesaikan sisa kalimat terakhir dalam suratnya. Surat Lee Hwi Ja bukan lagi alasan terbesar akan ketakutanku. Potongan-potongan kalimat dalam suratnya tidak lagi terlalu mengusikku. Aku larut dalam sisa kalimatnya.
Kau tau rasanya, Jeon seperti membawaku pada kehidupan yang baru. Aku mencintai keponakanku, dan dia membuatku merasa lebih muda. Aku tidak ingin menulis surat ini, tapi aku harus melakukannya sebab aku telah memutuskan tidak akan pernah meninggalkan tempat ini. Aku dan suamiku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup kami di dalam penjara besi yang bau dan berkarat.
Apakah kami melakukan semua ini karena tidak memiliki pilihan?
Tidak. Aku punya begitu banyak pilihan.
Aku yakin suatu hari nanti, akan ada yang bisa membebaskan perasaan kami dari penantian yang panjang. Sampai saat itu tiba, aku akan menjaga pisauku dan mengasahnya agar tetap tajam saat akan digunakan.
Salamku,
Lee Hwi Ja
[]
Bagaimana dengan chapter ini?
Semoga suka. Semoga ga tambahin beban pikiran.
Ayo mana yang kemarin berteori di dm.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top