38| A Text of Terror
Mimpi.
Mimpi.
Segalanya cuma mimpi. Jaemin masih ada di sini. Semuanya masih baik-baik saja.
Namun itu cuma sebatas harapan agar kepergian Shin Jaemin hanyalah bunga tidur. Jika aku penulisnya, maka akan kutulis ulang kisahku agar Jaemin tetap di sini. Namun seolah akulah lakon penulis lain dari kehidupanku sendiri. Sekarang aku mengerti bagaimana rasa sesungguhnya membuat kisah menyakitkan.
Adikku memang sudah tiada. Rasanya baru kemarin, dua puluh dua tahun yang kujalani bersama kemudian direnggut hanya dalam semalam. Mengingat setiap bagian dirinya yang tertinggal masih seperti mimpi. Ingatanku meraba-raba berapa kali aku marah padanya. Seberapa banyak waktu yang kupunya untuk dihabiskan satu tahun dengannya. Seberapa sering aku mendengarnya. Payahnya, aku tidak bisa mengingat semua yang telah kulakukan kecuali sikap burukku.
Sungguh, rasanya baru kemarin. Sabtu siang ketika dia selalu menangis sesunggukan sembari melarangku pergi les sekadar minta ditemani main panjat. Rasanya baru kemarin aku mengantarnya ke kamar mandi di jam tiga Subuh. Baru kemarin Jaemin kecilku yang manis pergi sekolah sendiri dan menjadi adik yang mulai tumbuh dewasa. Rasanya... masih sama seperti malam dia menghubungiku dan mengatakan ingin menjadi seorang paman. Masih seperti ketika dia membuka pikiran jujurnya tentang bisnis masa depan. Aku sungguh tidak ingin percaya pria muda nan manis yang beberapa malam lalu masih tersenyum padaku telah hilang dalam sekejap saja.
"Aku tahu," bisikku ketika kami memasuki rumah. Mengingat satu hal yang kuyakini, tenagaku seolah terkumpul.
"Apa?" tanya Jeon yang hendak membantuku melepas alas kaki.
"Aku tahu." Hanya itu yang bisa kukatakan sambil menarik beringas tanganku darinya. Tanpa melepas sepatu, tubuhku berjalan sigap memasuki kamar. Aku mengambil tasku dan menumpahkan isinya. Dengan gemetaran kusingkirkan satu persatu barang—slip kafe, pulpen, buku catatan—tidak ada benda yang kucari di antaranya. Dengan gerakan gelisah kubuka satu persatu laci di kamar. Tidak juga di sini. Otakku kesulitan mengingat. Akalku seperti dijamah kepanikan.
"Apa yang kau cari?"
"Aku tahu."
"Runa." Jeon menahan tanganku dan aku menepisnya lebih kuat saat berlari meninggalkan rumah menuju sunroom. Murkaku kian meluap mengingat Jaemin berakhir dengan cara tragis hingga tidak bisa mendengar Jeon dengan jelas setiap kali dia menyebut namaku atau memintaku lebih tenang.
"Kita bicarakan nanti. Mandi dan istirahat dulu." Jeon masih berusah mencekal tanganku saat aku membuka laci meja satu persatu. Aku tidak ingin mendengar Jeon untuk sekarang.
Ia kembali membekuk tangan kiriku yang hendak menarik laci lainnya. Segera kutarik tanganku penuh kekuatan sampai tulang pergelanganku membentur meja dan menimbulkan bunyi cukup keras. Namun aku tidak peduli rasa sakitnya. Aku terus bergerak membuka laci satu demi satu.
"Aku tahu. Aku membacanya." Rahangku gemetaran seperti orang menggigil. Seberapa seringnya dia menahanku, sesering itu pula kusentak tanganku dengan amarah yang seolah menjilat-jilat tubuh.
"Kita cari bersama, tapi kumohon tenangkan dirimu terlebih dulu."
"Aku tahu, aku melihatnya, aku pergi ke Goyeongsang malam itu," panik, terus kucari surat dari Lee Hwi Jae hingga Jeon tidak memiliki kesempatan bicara, "aku bertermu dengannya. Aku sungguh, sungguh bertemu dengannya. Kami bicara, lalu..." suaraku terdengar serampangan dan tidak jelas intinya. Tetapi aku mencoba menjelaskan apa yang bisa kukatakan. "Saat itu kami bicara, tidak, bukan, dia memberiku surat, lalu..."
"Siapa?"
Air mataku merebak dan dalam sentak kuat kuputar tubuhku menghadapnya. "Kami berbicara banyak," kataku lemah.
Jeon menatap kedalaman mataku dengan sendu. "Apa maksudnya?"
"Bibimu," bisikku bergetar. Kerongkonganku menjadi sangat kering dan air mataku kian deras. "Aku bertemu bibimu malam saat kukatakan padamu di Pohang. Lee Hwi Ja. Aku bertemu dengannya di penjara dan saling berbicara."
Melalui tatapannya, Jeon menunjukkan kembali lukanya yang baru kusingkap. Dia membeku beberapa lama untuk mencerna segala sesuatu yang baru kukatakan.
"Lee Hwi Ja," suara serakku menyadarkan Jeon dan seolah tidak lagi peduli pada lukanya. "Kami bertemu. Aku menemuinya dan dia menceritakan kisah masa lalumu dalam suratnya. Lalu sebelum membaca seluruhnya, aku menghancurkan kertasnya. Setelah itu aku menyambungnya kembali dan aku mencari itu karena aku yakin adikku tidak mungkin pergi dengan cara seperti ini."
Binar mata Jeon menatapku dengan cara asing. Mulutnya sedikit terbuka menunjukkan ekspresi tak percaya. Entah mana yang tidak ia percayai, suratnya atau sosok Lee Hwi Ja. Tetapi satu yang keluar dari bibirnya hanya, "Kenapa?"
Aku mengejap pelan tidak mengerti arti kenapa yang Jeon maksud. Suasananya mendadak berubah bagi kami berdua.
"Kenapa bertemu dengannya?" tanya Jeon melanjutkan tanpa sedikit pun berpaling dari mataku. "Kenapa bertemu dengannya tanpa seizinku?"
Geraham di dalam mulutku menggigil lantaran tidak percaya ucapan Jeon terdengar menyudutkan. "A-apa?"
"Harusnya kau katakan padaku sebelum menemuinya. Kenapa melakukannya sesuka hatimu?"
Aku membuka mulutku dan mengatupkannya lagi. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar. Tangisku terhenti dan mendadak tidak tahu apa yang sedang kupikirkan.
"Karena aku peduli padamu," ucapku serupa bisikkan. "Aku takut kau sakit."
"Dengan menyembunyikan semua ini dariku?"
"Aku..." kepalaku menggeleng pelan, "aku tidak ingin kau sakit lagi, Jeon. Cuma itu."
Jeon menunduk seraya menggigit kuat bibir bawahnya. Kelihatan jelas menahan kemarahan yang nyaris didesak keluar.
Aku tidak mampu bergerak, namun tatapan mataku masih untuknya. "Kenapa kau terdengar seolah menyalahkanku, Jeon?" tanyaku masih tidak mengerti. "Aku melakukannya untukmu. Kenapa kau seperti marah padaku?"
Jeon mengangkat kepalanya dengan mata yang mulai basah. "Berhenti melakukannya semaumu, Shin Runa."
Kata-kata itu mirip belati yang baru ditikam ke jantungku dan ditarik keluar perlahan. Aku tidak mengerti bagian mana dariku yang salah.
"Kau marah padaku?" tanyaku teramat lembut dan berusaha menekan keinginan meledakkan emosi agar kami tidak terlibat perseteruan. "Kau marah karena aku peduli padamu, Jeon?"
Aku sungguh tidak bisa mengerti. Selama ini aku rela melakukan apa pun untuk Jeon, asalkan dia berhenti merasakan kepedihan. Aku mengizinkannya berteriak untuk menggantikan kemarahan, aku tidak bisa marah ketika dia meninju barang. Aku justru senang karena Jeon memiliki banyak emosi. Namun hal mendasar yang tidak pernah kumengerti adalah, dia senantiasa memintaku tetap tenang setiap kali kemarahan membakarku.
Aku mengambil langkah mundur dan mencoba menghindari matanya. Telingaku seperti seperti tidak lagi berfungsi dan hanya mendengar gaung hampa. "Ah, benar." Aku tertawa lirih, begitu malu dan bingung harus melakukan apa.
"Aku..." mataku berbendar di sekitar lantai, "harusnya aku selalu mendengarkanmu." Aku mengangguk-angguk, "Aku tidak marah. Aku tidak boleh kesal meski baru kehilangan adikku. Aku tahu. Tidak apa-apa. Aku tahu. Aku akan baik-baik saja."
Jeon menjangkau lembut tanganku dan aku menariknya, lalu berjalan ke pintu tanpa sekali pun berhenti. Pandanganku berkunang-kunang. Ada sejumpun emosi yang tidak bisa kusampaikan hingga terlalu penuh dan membuatku bingung apa yang kurasakan sekarang.
Di pintu aku berhenti. Berusaha menarik napas dalam-dalam, namun yang bisa kulakukan hanya terdiam dengan napas bergetar. Secara lambat kedua tanganku yang tremor menjangkau sisi kepala dan meremas rambutku penuh tenaga, tak lama aku berjongkok kuat bersama teriakanku sendiri. Jerit yang menyurai kesunyian malam. Aku menjerit seperti pesakit, dan aku memang sakit memikirkan besok tidak akan pernah ada lagi Shin Jaemin dalam hidupku.
Duniaku tidak lagi utuh.
Sebelum Jeon menarikku bangun, aku lebih dulu menarik napas dan kembali berdiri. Menggosok mataku yang basah dan tanpa peduli padanya berjalan ke kamar. Mengambil ponselku bermaksud menghubungi kantor polisi di mana Lee Hwi Ja berada.
Namun begitu ponselku menyala terdapat tiga notifikasi pesan yang masuk tiga belas menit lalu dari nomor yang sama. Terdapat dua foto Taejoon di depan pintu toko perhiasan miliknya. Sebelah tangannya yang tidak memegang gelas kertas mendorong pintu. Fotonya kelihatan jelas diambil secara sembunyi-sembunyi.
Berikutnya foto kedua dengan latar dan pakaian berbeda. Masih sama, Taejoon tidak melihat ke kamera. Tengah berbicara dengan dua orang pria. Dan di bawah foto terakhir terdapat pesan satu kata yang membuat jantungku seakan terhenti.
Dengan separuh kesadaran, kuhubungi nomor Han Taejoon. Berharap dia segera mengangkatnya. Taejoon tidak menjawabnya meskipun kuhubungi berkali-kali, yang terdengar hanyalah bunyi operator. Kemudian pilihanku berganti dengan menghubungi kantor polisi Masan.
Aku menanti dengan cemas sekiranya enam detik sampai petugas menerima panggilanku. "Saya Shin Runa," kataku sebelum petugas sempat bicara. "Tahanan Lee Hwi Ja," dadaku bagai dihimpit, "bagaimana keadaannya?"
"Ah, Nyonya Shin, mohon tunggu sebentar. Kami akan menghubungi petugas yang bersangkutan."
Aku menunggu dengan cemas bunyi udara di telepon sambil menggigiti kutikula ibu jariku. Kepalaku sontak menengadah pada pintu ketika terbuka. Jeon masuk dan aku memilih membuang pandanganku darinya.
"Nyonya Shin," terdengar suara wanita di seberang telepon. Suaranya sama seperti petugas yang mengantarku bertemu Lee Hwi Ja namun ada nada sedih dalam cara bicaranya. "Kami sudah berusaha menghubungi Anda sejak dua hari lalu. Tetapi sepertinya ada begitu sibuk. Mohon maafkan kami. Sekarang Lee Hwi Ja sudah hidup damai. Dia memilih mengakhiri hidupnya sendiri. Kami sudah memakamkan di samping mendiang suami Lee Hwi Ja. Kami sungguh-sungguh meminta maaf pada seluruh keluarga. Tetapi Nyonya, saat kematiannya kami menemukan kertas di sakunya dengan tulisan angka dua beserta nama Anda."
Seluruh persendianku bagai mati rasa. Aku mengakhiri sambungan tanpa pamit dan membuka kembali pesan seseorang yang mengirim foto Taejoon dan membaca ulang pesan terakhir yang berisi;
Tiga.
[]
Tiga. Hehe
Udah tiga aja tau2. Ayo jadikan genap. Tambah satu, dan mari akhiri versi wattpad.
Boleh ramaikan lagi di snapgram, nanti aku balesin. Thank you mucho anak laut baik!
Have a good day buat Ochild!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top