37| I Will Always Remain Noona
Anak laut! Ochild!
Kangen Koch-Runa?
Udah setahun lewat sama-sama. Harusnya tahun lalu kita selesai, tapi ternyata seluruh tugas kerjaku dipindah untuk akhir tahun. Thanks bearing with me a year! Kalian yang baik kirim komen—satu, dua, tiga, bahkan puluhan komentar, buat aku merasa dapat banyak apresiasi.
Lalu ada dua kabar hari ini. Kabar baik, oceanor akan tamat dan terbit. Kabar kedua, spoiler! Kemungkinan besar dark ending untuk versi wattpad, tapi kita lihat nanti setelah masuk meja editor. Tegas, berhenti di sini jika takut/tidak ingin kecewa. tapi aku yakin anak laut tangguh. bc the ocean child knows...
the ocean only speaks to those who are willing
to take the waves. —rana mir
#inibukanceritasedih
— — —
Sebelum berusia 30 tahun, aku telah mencapai puncak gunung di atas kakiku sendiri. Aku melihat banyak tepat indah yang menjanjinkan ketenangan. Aku telah berjuang pagi dan malam untuk bisa menawarkan satu saja naskah pada sutradara. Berkat itu, aku bisa melakukan liburan ke berbagai tempat kumau dengan uangku sendiri. Aku tidak lagi bergantung pada orang lain. Aku bisa melihat diriku yang teratur dan bisa mengelola penyakit kecemasanku dengan baik selama bertahun-tahun. Hidupku menjadi semakin mudah karena pada akhirnya aku bisa melihat diriku menjadi istri yang telah kunjanjikan sebelum menikah.
Tetapi satu yang tidak akan pernah bisa kulakukan adalah menjadi kakak yang baik Bagi Shin Jaemin. Itu adalah pukulan pertama dan terakhir yang harus kuterima seumur hidup. Mulai sekarang aku akan selalu mengingat diriku sebagai kakak yang payah.
Aku kakak yang payah.
Rabu malam berubah menjadi rabu duka. 18 Desember pukul enam sore, dokter menyampaikan pada kami hari terakhir Shin Jaemin setelah dua puluh dua jam menjalani serangkaian operasi. Hari itu kami semua mengenang kepergian Shin Jaemin yang mengenaskan.
Polisi melaporkan Jaemin mengalami benturan hebat di kepala setelah mobilnya melewati pembatas jalan arah provinsi Gangwon. Kulit leher Jaemin robek sepanjang tujuh senti tergores pecahan kaca, dan beberapa bagian rusuknya patah akibat terbentur benda keras. Aku membayangkan seberapa besar usaha Jaemin saat dia menghubungiku. Polisi menyampaikan Jaemin tidak mabuk. Namun jalanan berada di titik buta sehingga sulit bagi mereka mengetahui penyebab pasti mengapa mobilnya bisa melewati pembatas jalan.
Dua petunjuk yang ditemukan polisi hanya bon penatu dan sepatu Berluti sebelah kiri keluaran 1980 ukuran 43. Ukuran yang besar untuk pemiliknya. Sudah pasti bukan milik Jaemin. Orang yang kira-kira setinggi Jeon atau Han Tae Joon. Entah mengapa pikiranku langsung tertuju padanya.
Jerit histeriku dan ibu di rumah sakit menjadi satu-satu yang paling menggema sore itu. Aku ingat seberapa bertenaganya pelukan Jeon agar bisa sedikit lebih tenang sebelum menemui jasad Jaemin. Semuanya salahku. Setidaknya Jaemin punya peluang hidup lebih lama andai malam kemarin tidak meragukan suaranya. Kini penyesalanku sama sekali tidak dibutuhkan.
Intensitas tamu yang bersungkawa sudah berkurang sejak pagi tadi. Jeon menjadi salah satu orang sibuk melayani tamu sementara dia membiarkanku duduk di dekat tempat doa, menyaksikan orang silih berganti memberi perhormatan terakhir. Satu-satunya yang tidak beranjak dari depanku sejak pagi adalah Se Jin Ah. Aku bersyukur bahwa Jaemin memiliki cinta dari seorang gadis di penutup harinya.
Beberapa kali mencoba mengatakan terima kasih pada Jin Ah, namun yang keluar hanya bunyi napasku sendiri. Jin Ah terus berlutut sambil menatap kosong foto Jaemin yang tersenyum cerah menggunakan jas kelulusan SMA di belakang dupa sampai penjaganya datang lagi, berusaha membujuknya pergi. Ia meminta izin sebentar untuk mengatakan sesuatu padaku sebelum pamit.
"Aku beruntung pernah mengenalnya, Eonni," kata Jin Ah pelan. Suaranya nyaris habis dimakan tangis. "Hari itu dia datang padaku dan minta maaf dengan tulus."
Aku terus duduk bersimpuh menatap Jin Ah sambil menyandarkan belakang kepala ke dinding. Seluruh dunia menjadi sangat berat begiku sekarang.
Jin Ah berkedip lambat. Sejenak diambilnya sedikit napas agar membuatnya tegar bicara. "Setelah itu, setiap kali kuminta datang dia pasti datang." Jin Ah kembali berhenti dan menghirup napas hingga dadanya terangkat.
"Lalu ada satu hari di mana aku mulai melihatnya seperti pria sungguhan." Ia mulai menatapku dengan matanya yang kembali basah. "Satu malam di mana kami membicarakan sesuatu tentang Eonni berhasil mengubah segala yang kupikirkan tentangnya. Jaemin bilang dia menyangimu lebih daripada dirinya sendiri. Eonni adalah wanita paling berharga terlepas dari seluruh hal yang pernah kau lakukan padanya." Air mata Jin Ah bergoyang-goyang di atas kantung matanya.
"Sebagai mahasiswa arsitektur, dia selalu menceritaka keinginannya untuk mendirikan tempat main game terbesar di Korea." Jin Ah sempat tertawa sedih karena perkataannya sendiri. "Lalu dia ingin membuat satu rumah untukmu, makanya harus lulus dan segera bekerja. Atau paling tidak, Jaemin berharap bisa mengatakan sekali seumur hidup betapa dia mencintai seluruh yang ada padamu. Perasaannya tidak bisa dibatasi kata-kata, namun baginya, dua puluh dua tahun bersamamu membuatnya seperti memiliki ibu kedua, dan betapa dia tidak suka seorang pria telah membawa pergi kakaknya dari rumah."
Jadi, inilah sebabnya. Aku masih ingat seberapa sering dia menghindari mataku di hari pernikahanku. Aku ingat segala perubahan sikapnya setiap kali membicarakan pernikahanku di rumah.
Jin Ah memberiku sekali lagi senyumnya yang cantik. "Bagi dunia mungkin kau telah menjadi nyonya seseorang, tapi baginya kau akan tetap selalu menjadi Noona."
Air mataku meluncur saat mendengar kata-kata itu, namun aku tidak sanggup menghapusnya. Jadi kubiarkan air itu membuat jejak basah di pipi tanpa mengisak.
"Jaemin terus perpikir sepanjang hari, jika Eonni menikah, masihkah bisa meluangkan waktu untuknya, masihkan dia bisa diandalkan, namun terlepas dari semua itu dia hanya ingin kau tahu, kau telah mejalani kehidupan yang layak untuk diikuti. Begitulah yang sebetulnya ingin dia sampaikan." Seketika Jin Ah membekap mulutnya dan tidak kuasa mencegah air mata.
"Itulah yang ingin disampaikan adik laki-laki kepada kakak perempuannya."
***
Tiga kali Jeon datang membawakan makanan untukku, sejenis makanan laut, nasi, dan sup yang belum sanggup kusantap.
"Makan dulu." Dia meletakkan nampan di sampingku dan aku menggeleng pelan sambil menatap matanya yang sembab.
Jeon tidak tidur. Aku tahu dia menangis lebih sedikit dariku. Namun aku lebih mengetahui bahwa dia telah banyak mengucurkan air mata ketika aku tidak melihatnya. Jeon semata-mata tidak ingin membuatku semakin terpuruk.
"Jangan begini," pintanya sambil mengusap tulang pipiku, pura-pura mengalahkan rasa sakit dari bagaimana caranya bersuara dan tersenyum. "Ibu hamil harus makan teratur."
Aku terus menatap matanya, dan Jeon langsung mengerti apa yang semestinya dia lakukan. Merengkuhku dalam kehangatan nihilisme, yang bagiku bukan apa-apa lagi dibanding kehilangan Jaemin. Lagi-lagi tangisku pecah di dada Jeon.
Ketika aku selesai menangis dan berisitirahat kira-kira dua jam, segerombolan teman Jaemin datang dengan pakaian hitam. Mata mereka basah dan tidak satupun dari mereka memiliki tatapan semangat. Aku melihat banyak kepedihan dari cara pandang mereka dan luka berkabung yang disampaikan secara jujur. Sedang Jeon berdiri di sampingku sambil memegangi kedua lenganku agar tidak terjatuh.
Satu lelaki yang paling tinggi berdiri seperti pemimpin barikade di balik keenam temannya. Tangan di samping pahanya yang memegang amplop uang bergetar. Air matanya mengalir deras ketika membuka mulut.
"Noonim..." Bibirnya bergetar kuat, saking kuatnya aku bisa mendengar suara gemelutuk grahamnya. Tiba-tiba ia membungkuk dalam padaku. "Aku Song Insoo, teman Jaemin sampai sekarang. Kami ada di jurusan yang sama. Saat SMA aku sering main ke rumah. Maafkan aku. Maafkan aku tidak bisa menemani Jaemin malam itu. Maafkan aku. Maafkan aku."
Aku tidak ingat siapa Song In Soo dan aku tidak mengenal siapa orang-orang seusia Jaemin yang berdiri di belakang In Soo. Jaemin sering membawa bermacam-macam teman datang ke rumah tapi tidak satu pun dari mereka yang pernah kuingat. Sudah kubilang aku ini kakak yang payah.
"S-Shin Jaemin... kami merasa sangat kehilangan. Saat itu Jaemin bilang Anda marah karena dia bekerja di kafe. Sebenarnya, dia menggantikanku sementara supaya aku bisa tetap dapat gaji. Dan ini," In Soo menyodorkan ampol tebalnya padaku. "Untuk sekarang hanya itu yang bisa kami kumpulkan. Akan kami kembalikan sisanya."
Aku tidak menerima dan tetap bergeming tidak mengerti.
"Shin Jaemin," gadis di bagian kiri In Soo ikut bicara, "meminjamkan uang pada kami. Dia bahkan rela membiayai kuliah dua teman kami."
Sepenuhnya kini aku dibuat mengerti alasan mengapa uangnya selalu kurang meski kuberi lebih. Aku mengangguk namun menolak mereka mengembalikan uangnya sekaligus membiarkan mereka mengirim doa sebelum pulang.
Belum seberapa jauh mereka melangkah, aku baru teringat sesuatu. "Song In Soo."
Langkah pemuda itu berhenti dan berbalik badan. "Ya, Noonim?"
"Kau..." tanyaku pelan seolah takut melukai, "apa kau yang meminta Jaemin datang ke Cheorwon malam kemarin?"
Dahi In Soo mengerut. Ia menatap ke enam temannya yang juga tidak begitu mengerti, kemudian kembali melihatku. "Cheor...won?" katanya teramat ragu. "Gangwon?"
Aku menggangguk kukuh berkali-kali, berharap menemukan sedikit harapan. "Kemarin Jaemin mendapat pesan darimu, kau bilang ada yang ingin kalian kerjakan di sana dan butuh pertolongannya segera. Kau tahu sesuatu?" Berdasarkan keterangan polisi, kemungkinan besar malam itu Jaemin akan menuju Gangwon, daerah yang berbatasan langsung dengan Korea Utara dan memakan waktu tempuh dua jam lebih dari Seoul. Selain itu Jin Ah sempat mengatakan setelah pertunjukan filmku dia akan menemui temannya yang bernama Song In Soo di Cheorwon, seperti yang tadi kukatakan.
"Tidak," In Soo menggeleng ragu sama seperti suaranya, "ponselku hilang seminggu ini. Jaemin tahu itu."
Tubuhku melemas. Satu tanganku mencari pegangan dengan mencengkeram lengan jas Jeon erat-erat. Selanjutnya aku tersentak kuat dan bergegas mengambil ponsel yang kutinggal di lantai dan tak kusentuh lebih dari enam jam.
Aku membuka pesan yang pernah menjadi firasat burukku dan di sanalah aku menemukan satu pesan yang baru masuk dua jam lalu. Balon pesan yang berada di bawah foto Jaemin.
Satu.
Begitulah isi pesannya.
[]
Idybooks apologies for killing off beloved oceanor character.
Coba bales aku pake stories ig keluh kesah anak laut, nanti aku repost semua, maaf ya. haha...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top