36| My Worst Nightmare

Tanganku sedikit gemetar dan dingin. Hal lazim sebelum bertemu banyak jurnalis. Sekarang kecemasan itu tidak separah beberapa tahun lalu yang membuatku menjadi takut bila Danna atau Jaemin tidak ada.

Kini ada Jeon. Apa lagi yang harus kukhawatirkan?

"Kau ingat apa yang kukatakan tadi?" Aku membetulkan kerah kemeja Jeon sebelum kami bertemu sutradara di ruang terbuka untuk melangsungkan konferensi pers satu jam lagi. "Kamera mungkin akan langsung tertuju padamu. Kemukakan saja apa yang ingin kau katakan nanti."

Jeon mengangguk. Sudah sepuluh menit kami duduk di samping poster besar filmku—Come Home to the Sea. Latar kisahnya diambil tahun 1933, Busan, pada saat terjadinya ilje gangjeomgi*. Pemeran utamannya adalah Nam Jebin, anak laki-laki 14 tahun yang harus menghadapi kematian sang nenek akibat pemerkosaan tentara Jepang tepat lima hari setelah neneknya memberi hadiah kuda di hari lahir. Nenek berpesan, latih kuda berjalan di pantai agar ototnya kuat. Karena itu, setiap hari Jebin mengajak kudanya ke tepi laut sampai petang.

(*penjajahan Jepang di Korea)

Suatu hari di musim panas ia bertemu seorang gadis imigran berpakaian mahal. Gadis itu datang bersama ayahnya yang merupakan makelar ikan di semenanjung Korea. Semua orang memanggilnya Bos. Jebin dan gadis itu menjadi akrab. Tiap bertemu, gadis itu membawakan Jebin ayam rebus dan buah melon. Pertemuan singkat itu berlangsung kontinue selama satu bulan sekali. Namun semakin lama, Jebin jatuh hati pada gadis cantik itu.

Empat tahun berselang, sebelum tentara Jepang membawa Jebin untuk dijadikan pelacur pria, ayah gadis itu membeli Jebin atas permintaan putrinya. Jebin pun rela meninggalkan kudanya agar bisa bersama pujaan hati. Singkatnya mereka menikah karena saling menyukai. Namun Jebin jatuh hati pada ibu mertuanya, begitu pun sebaliknya. Mereka sering tidur bersama dan menjalani kehidupan terkutuk hingga si gadis mengetahui kebenarannya dan menenggelamkan diri di laut.

Setelah filmnya tayang kuyakin akan ada banyak kontra, namun aku puas sutradara Bong setuju dengan penutup ceritanya. Sadari saja, hidup memang tak adil, terutama bagi wanita. Karena pada tahun itu feminisme seperti dikucilkan. Para wanita, baik muda maupun tua hanya akan ditelanjangi oleh mata-mata lapar tentara.

"Masih gugup?" tanyanya.

Aku mengangguk sambil menggigit bibir. "Ceritakan sesuatu tentangmu. Apa saja. Aku gugup sekali."

Jika mulai gugup aku akan minta siapa pun untuk menceritakan sesuatu padaku. Akhirnya, Jeon mengambil cerita acak terkait riwayat pendidikannya di universitas elite—Harvard, Stanford, Yale. Mengikuti tes GRE, PSAT, SAT, dan ACT dengan hasil nyaris sempurna. mustahil untuk telingaku, tapi dia berhasil.

Menanjak dewasa, Jeon menghabiskan hari-harinya di perpustakaan atau bertemu orang-orang penting dari perkumpulan Abraham Kalinsky. Buku adalah sahabat terbaiknya. Namun terkadang, ada saja perempuan yang ingin dekat atau mengajak Jeon seks terang-terangan. Semua tertolak.

"Menurutmu mengapa mereka mendekat?" Aku menyelipkan pertanyaan sesekali.

"Penasaran."

Masuk akal. Jeon muda, pria Eurasia*, duduk sendirian di balik mejanya. Bicara secukupnya, cenderung misterius, tapi kelihatan kaya raya—aku menemukan gambaran itu dari beberapa foto masa kuliahnya.

(*Istilah untuk orang berdarah
campuran Eropa dan Asia)

Jeon melanjutkan kisahnya saat dia mengajar kelas relawan selama dua bulan di rumah anak Mary Abbott Oklahoma. "Di tempat itu ada banyak anak terlantar, korban pelecehan seksual, kekerasan fisik, hingga anak yang terancam bahaya narkoba," jelasnya.

Aku mengangguk, sampai kemudian kisahnya mengerucut saat ia menganut ajaran Buddha selama dua tahun, namun tak lama menjadi Kristiani setelah tinggal dengan nenek Lucy yang merupakan penganut taat. Beruntungnya nenek Lucy bukan misionaris* yang membuat Jeon tertekan menentukan kepercayaan. Hingga sekarang Jeon tidak begitu mendalami agama apa pun.

(*seseorang yang menyebar keagamaan
kepada yang belum mengenal Kristus)

"Sudah lebih baik?" tanyanya perhatian.

Aku menarik napas. Intensitas kecemasanku mereda. "Siapa yang memilih nama Koch?"

"Mama."

"Mengapa harus Koch? Itu terdengar seksi banget untukmu, kau tahu."

Jeon menunduk sekilas sambil tersenyum malu. "Mama adalah aktuaris* di perusahaan papa sebelum mereka menikah." Jeon mengendik samar. "Namanya didapat satu jam setelah aku lahir. Dari geometri fraktal—Koch snowflake—cabang matematika."

*aktuaris: ahli matematika

"Koch snowflake? Aku tidak mengerti."

Jeon mendadak terdiam, namun matanya seolah berpikir. Mungkin sedang merangkum penjelasan panjang di kepala. "Definisi matematisnya sangat rumit, tapi begini, fraktal adalah bentuk yang ketika diperbesar akan terlihat rinci dan menakjubkan. Dalam bunga salju, terdapat detail tak hingga di tiap sisinya. Fraktal ini bisa menggambarkan objek dunia seperti awan atau garis laut dengan geometri rumit. Dan mama ingin aku menakjubkan seperti fraktal pada banyak skala dengan cara liberal."

Aku mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti. Inilah alasan mengapa kau sulit dipahami. Karena namamu saja sudah rumit. Kelak, aku tidak mau tanggungjawab kalau anakmu tanya macam-macam padaku."

"Kalau begitu mamanya harus belajar."

Aku memutar bola mata dengan enggan.

Jeon terkekeh lalu mendekatkan wajahnya untuk mendapat ciuman.

Kepalaku refleks mundur. "Kau bau." Aku serius aroma Jeon tidak enak sejak kami bangun.

Aku mungkin bisa berdiri di dekatnya, tapi aku tidak mau dia menyentuhku. Aku tidak mau bibirnya bersentuhan dengan kulitku. Karena wangi apa pun yang dipakainya hari ini baunya sama seperti citrus atau susu yang setiap hari (terpaksa) kuminum. Membuat perutku seperti diaduk oleh tangan besar.

"Kau belum menciumku sepagian ini." Dia tersenyum tapi tampak kecewa.

"Kau bau. Kalau kau terus memaksa, aku bisa muntah sekarang." Setelah mengatakan itu aku bisa merasakan lambungku bereaksi. Oh, Tuhan. Aku membungkuk sedikit dan bersiap mengeluarkan isi perutku, namun aku berhasil menahannya. "Aku tidak bercanda, Jeon," kataku marah dan dia tertawa.

Bersamaan dengan itu suara nyaring Danna terdengar. "Ah, itu di sana!"

Aku dan Jeon lekas berdiri ketika Danna dan suaminya mendatangi tempat kami.

Danna memelukku ketika Jeon dan suaminya berjabat tangan. "Selamat atas film kelimanya. Kau sudah bekerja keras, Penulis Shin." Setelah itu berpaling pada suaminya yang lebih tinggi. "Ngomong-ngomong, sayang." Tiba-tiba jemarinya lentiknya membelai permukaan perutku. "Pasangan untuk anak kita ada di sini."

Kami bertiga kontan membisu, namun Danna tetap ceria. Aku tahu seberapa besar keinginan Jeon untuk bertanya padaku dan aku hanya mengangkat bahu cuek ke arahnya.

"Kita akan jadi calon besanan, kan?" Danna melihat satu persatu dari kami. "Mulai besok kita harus lebih sering bertemu. Ada baiknya jalin hubungan keluarga sejak dini. Jenis kelamin anakku diprediksi laki-laki, semoga kalian dapat perempuan."

Suaminya berdeham lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Danna. "Anu... sayang, sebaiknya jangan bicarakan itu sekarang."

"Tidak! Kau diam dulu, jangan buat aku malu," omelnya, lalu tersenyum manis pada Jeon, dan beralih padaku, kemudian mulai melanjutkan wacana masa depannya di hadapan kami bertiga.

***

"Apa yang membuatmu berpikir untuk menulis kisah dalam film kali ini?"

Pertanyaan ketiga yang dilontarkan seorang pewarta. Pertanyaan itu selalu terdengar mudah buatku. Tetapi kali ini aku harus berpikir lebih lama meski sudah mempersiapkan segala macam jawaban. Aku berkedip dan kepalaku berpaling sedikit pada Jeon yang berdiri bersama satu kru di belakang barisan kursi wartawan. Jeon seharusnya meminta pengawal pribadi atau Jeongmin untuk menjaganya, tapi dia bilang tak perlu, hari ini kamera media hanya untukmu.

Senyum Jeon membuatku lebih baik untuk sekarang. "Suamiku yang membuatku bisa menulis kisahnya sampai selesai. Kedepannya aku akan selalu menjadikannya muse untuk banyak tulisanku." Selanjutnya mataku tertuju pada Jeon cukup lama. Dia tengah tersenyum bangga padaku. Memang benar, tanpa sadar dia telah memperngaruhi lebih banyak dari ideku sendiri.

Ketika seorang pewarta kembali mengajukan pertanyaan, kudengar bisik-bisik samar para reporter di bagian belakang. Bisikan itu berubah menjadi distraksi suara di tempat ini. Satu reporter mulai berbalik ke belakang dan diikuti reporter lainnya. menjadikan Jeon target kamera. Sudah kuduga akan jadi begini. Media Korea jarang mendapat kesempatan mewawancarai pembisnis retail terbaik Korea, maka dari itu mereka langsung berbondong-bondong mengajukan pertanyaan.

Moderator di podium berusaha mengembalikan keadaan, namun suasanya terlanjur ramai. "Bagaimana Anda bisa ada di sini?", "Bisa ceritakan sedikit tentang bisnismu?", "Apakah ada kemungkinan menjadikan BTS atau Blackpink duta merek Jves & Koch?"

Jeon menerima salah satu mikrofon yang disodorkan seseorang. "Untuk sekarang, saya tidak akan menjawab apa pun. Tolong beri perhatian lebih untuk istriku saja."

***

Kesenanganku belum berakhir sampai filmnya selesai dan lampu-lampu kembali dinyalakan. Sepanjang pemutaran film aku terus bertanya dan Jeon memberiku banyak ulasan jujur.

"Sepertinya anak itu mirip denganku," komentarnya saat kami turun ke bawah.

"Benar. Tapi jangan coba-coba berpikir kau bisa selingkuh."

Dia tersenyum manis sambil mengamit tanganku. Di lorong gedung kami bertemu beberapa pemain film dan kru yang saling mengucapkan terima kasih sebelum berpisah. Dari tempatku sekarang, aku bisa melihat Jaemin yang berdiri membelakangiku menghadap Se Jin Ah. Wajah Jin Ah tersipu malu. Manajer Jin Ah mulai menegur agar mereka harus segera pulang. Gurat kesedihan terpancar di wajahnya yang cantik ketika harus meninggalkan Jaemin.

"Kau senang bisa dekat dengannya?" tanyaku ketika sudah ada di belakangnya. Jaemin bergumam sedih sambil terus melambai lemah ke arah Jin Ah yang sesekali menoleh lagi ke arahnya dengan sedih.

Karena Se Jin Ah, Jaemin bahkan belum memberi ucapan selamat padaku sejak datang. Begitu Jin Ah sudah menghilang dari pandangan, Jaemin berbalik sigap. "Noona, kenapa kau jahat sekali?" Matanya sembab dan hidungnya merah.

"Kau nangis?"

"Siapa yang tidak nangis menonton filmnya." Jaemin menyedot ingusnya dengan bunyi keras. "Film Noona membuatku tersiksa. Kenapa harus Se Jin Ah yang mati? Kenapa menulis cerita dengan akhir begitu?" Ia bersiap akan menangis lagi. "Kenapa harus berikan peran itu padanya? Nam Jebin sialan itu."

Aku dan Jeon tertawa geli.

"Kalian jangan tertawa!" Jaemin barpaling pada kami bergantian. "Masalahnya aku kami baru jadian satu minggu."

"Ahhh, ternyata kalian pacaran diam-diam?"

"Maka dari itu, bagaimana kalau kisah kami ternyata berujung tragis. Noona mau tanggung jawab? Kenapa sulit sekali buat cerita bahagia. Paling tidak sekali saja buat cerita manis untuk penggemarmu, Penulis Shin. Kumohon, sekali saja."

"Aku butuh kisah sedih dalam hidupku."

Ia membuang napas frustrasi, "Sekali saja, kumohon sekali saja, buat cerita yang tidak mengganggu mental orang lain."

Aku tergelak, tidak menganggap serius. "Apa pun jangan berkencan dengan gadis lain. Jaga hatinya. Jadilah pria sejati di keluarga Shin."

Senyumnya melebar. "Aku janji dia yang terakhir."

"Jangan janji. Hidupmu masih panjang," ucapku. "Cukup buktikan."

Dia mengangguk kukuh. "Akan aku buktikan padamu. Ngomong-ngomong selamat atas filmnya, Penulis Shin. Kau telah bekerja keras." Kemudian kepalanya berpaling pada Jeon.

"Hyung, malam ini aku ingin mengakui rahasia terbesarku padamu. Jujur saja, aku jatuh cinta pada istrimu. Jadi jangan buat dia sakit, jangan buat dia sedih atau marah. Selain hebat, wanita yang kau nikahi ini berbahaya. Selalu bawa pluit dan pakai lencana tatib semasa sekolah. Dia juga tidak segan menghajar siswa yang merokok. Kalau kau lukai hatinya dia bisa lebih ganas dari titan monyet."

Aku terbahak untuk kesekian kalinya lalu menyikut lengan Jeon. "Sekarang kau dengar apa yang dikatakan Shin Jaemin? Pria muda ini akan selalu melindungiku."

Jaemin mengangguk setuju. "Ini peringatan terakhir dariku, Jeon Hyung."

Jeon ikut tertawa sambil mengulurkan tangannya mengacak puncak rambut Jaemin. "Pulanglah. Sudah malam."

"Hyung jangan sentuh rambutku begitu dong." Jaemin melipat bibirnya sekilas. Pipinya bersemu. "Aku berdebar." Dan seketika suara melembut. "Jangan lupa proposalku ya, Hyung. Sketsa warnetnya menyusul. Hampir selesai."

***

"Sudah kupertimbangkan sewa dua atau tiga housekeeper untuk beresekan rumah." Aku membuka suara saat kami sudah melewati seperempat jalanan ibukota. "Sarapan, kamar, dan ruang kerjamu biar aku yang urus."

"Kalau begitu apa artinya punya pelayan?" tanya Jeon tanpa menoleh sedikit pun padaku.

"Memangnya kenapa?"

"Kalau masih menyibukkan diri apa artinya housekeeper?"

Entah mengapa kalimat-kalimat Jeon yang sejak tadi terdengar santai malah memicu emosiku. "Aku tidak suka ada wanita lain masuk kamar. Apalagi kalau dia masih muda dan harus tinggal di rumah. Zaman sekarang banyak asisten nakal tidak berbudi. Kalau dia terpikat dan berusaha menggodamu bagaimana?"

"Aku akan menjaga batasku."

"Kau tidak tahu hati Wanita Penggoda. Kalau sudah terobsesi merebut suami orang, bisa hilang akal."

"Lalu bagaimana?"

"Minimal empat puluh tahun. Berpengalaman dibidangnya. Datang satu minggu sekali untuk bersihkan rumah."

"Jangan pria," balasnya.

"Kenapa?"

"Khawatir saat aku tidak di rumah. Pakai housekeeper yang ada di rumah orangtuaku. Mereka bekerja sejak aku kecil."

"Setuju," putusku.

Saat sedang mengecek satu persatu ucapan selamat dari teman-temanku di ponsel, telepon Jaemin masuk. "Lihat." Aku mengarahkan layarku pada Jeon. "Sepertinya anak ini mudah rindu padaku."

"Aku cemburu," kata Jeon bergurau.

Aku mengangkat panggilannya. "Aku akan langsung tutup teleponya jika—"

"Sakit." Suara Jaemin di ujung sana bergetar dan kecil. "N-noona..." Ia tidak lagi bicara, namun telepon kami masih terhubung.

"Tidak lucu. Ada apa denganmu?" Selama Jaemin membisu serangkaian pikiran buruk melintasi kepalaku walau aku tahu ini terlalu cepat. Jantungku berdebar kecang selagi mendengar keheningan total yang janggal.

"N-noona..." napasnya berdeguk, "t-tolong aku. Tolong aku."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top