33| Anger and Longing

Antara pukul tujuh sampai delapan malam kami tiba di rumah setelah mengembalikan mobil kru ke bandara.

Sepanjang jalan Jeon lebih banyak memimpin percakapan; 'Mau makan malam apa?', 'Seafood keliatannya enak', 'Ada yang kau inginkan?', 'Sebelum itu, kita harus mampir beli susu' dengan kata-kata yang diucapkan penuh ketenangan. Di supermarket pun Jeon terus bertanya sambil mendorong troli; 'Mau camilan?', 'Mau es krim? Es krim tidak masalah untuk ibu hamil', 'Besok bagaimana kalau buat sup Miso?', namun aku akan menyangkal Jeon dengan gelengan singkat atau satu kata ringkas, "Terserah" dan "Boleh" dengan suara yang tak enak didengar. Jeon tahu aku marah, namun dia terus mengalah dengan segala sikap ketusku perihal surat Ae Jin.

Saat akan tidur, mataku sulit terpejam. Beberapa kali kubenahi letak tidurku dan berakhir menghadap sisi kanan, membelakanginya. Pandanganku mengawang jauh ke depan; ke antara kumpulan Bearbricknya hingga kurasakan ada jemari yang mengusap lengan telanjangku sebelum menarik selimut menutupi bahuku. "Perutmu masih sakit?"

Aku terus diam saat ia mulai meraba-raba perutku. "Kubuatkan teh kalau masih mual."

Dia terus bicara tapi aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Saat ini benakku menolak menerjemahkan arti kata-kata Jeon. Ucapannya hanya sebatas ritme bunyi. Sungguh tidak ada yang masuk akal. Jeon-ku pernah menikah, memalsukan status pernikahan, dan masih mencintai istrinya. Nanti akan ada apa lagi?

Apakah Jeon juga bercinta dengan istrinya? Di kasur ini? Seberapa sering? Aku membayangkan wajah Ae Jin dan Jeon di ranjang ini seperti yang tertulis dalam surat. Pikiran itu membuatku memejamkan mata cukup lama. Rasanya pening, seperti ada ratusan voltase yang menerjang kepala.

Shin Runa seperti surga. Aku ingin tertawa lepas.

Mana mungkin Jeon berbohong padaku. Sisi manusiawiku masih menolak segala macam kejanggalannya. Sejak kami berkenalan, aku menganggapnya selalu jujur. Setiap janji yang dibuatnya pasti ditepati. Setiap kali Jeon bicara selalu terselip kejutan. Dia juga sering membawakan hadiah untukku.

Sejak mengenal Jeon, aku tidak pernah curiga Jeon adalah tipe laki-laki yang bisa hinggap dari satu perempuan ke perempuan lain. Dia nyaris murni tanpa noda. Itulah mengapa aku selalu percaya padanya. Bahkan meski menolak, hatiku sekarang tetap percaya pada Jeon jika dia masih pria yang sama. Pria saat pertama kali kami berjumpa.

"Bicaralah," pintanya sambil menggeser tubuh dan meletakkan dagunya di bahuku tanpa menekannya. "Kau marah tentang suratnya?"

Aku menghela. "Tidak." Itu memang benar. Aku tidak marah padanya ataupun suratnya tetapi aku sendiri tak mengerti apa yang mengusikku.

Aku menghela lagi, lalu membuka suara bimbang dan mengubah posisi tidurku menjadi di  bawah tatapannya. "Boleh kutanya sesuatu?"

"Apa?" Jemarinya terus membelai perutku dan itu membuatku nyaman.

"Tentang hubungan kalian—kau dan Go Ae Jin."

Jeon tampak tak terusik dengan pertanyaannya. Sepertinya dia telah mempersiapkan berbagai jawaban dari apa yang kupikirkan. Tindakan cerdas, menunda waktu sampai aku bertanya. Dan tentu saja, tipikal Jeon sekali, menjawab jika ditanya. "Apa yang ingin kau tahu?"

Aku menunda sebentar sampai yakin bisa bicara. "Berapa lama kalian menikah?"

"Dua bulan," jawabnya tanpa harus berpikir. "Denganmu lebih lama."

Aku menarik napas dan tetap saja terasa berat. Semua ketakutanku terasa konyol sekarang. Aku memindai ujung rambutnya lantaran tak sanggup menatap matanya. Aku takut dibohongi lagi. "Sudah berapa lama saling kenal?" Ludahku menjadi sangat pahit, tapi suaraku terdengar mantap dan kokoh. Tidak menunjukkan gelagat batin tertekan, karena aku tahu apa pun yang dikatakannya hanya sebatas obat pereda nyeri, bukan penyembuh.

Jeon bukan penyembuhku, tidak keluargaku, atau siapa pun.

Aku satu-satunya penyembuh untuk diriku sendiri. Validasi itulah yang tertanam dalam diriku sejak kecil agar tidak terlalu sakit saat dilukai.

"Berapa lama?" tanyaku menunggu jawaban.

"Satu tahun. Tidak lebih dari satu tahun."

1 tahun 2 bulan. Aku merapal dalam hati. Rasanya tak nyaman. pernikahannya denganku belum lama, dan kebersamaannya dengan Go Ae Jin lebih banyak. Dia jelas lebih banyak hidup dalam bayangan Ae Jin dibanding denganku.

"Bagaimana kehidupan kalian?" Aku melihat otot leher Jeon mengejang dan melihat jakunnya bergerak menggulir ludah. Tapi aku tak peduli, dia sudah mempersiapkan jawabannya, aku tahu.

"Menarik."

Mati rasa. Aku mulai tertawa pelan alih-alih menganggap ini lawakan. Sudah terlalu lelah menikmati pergolakan batin, hingga menolak menghubungkan ucapannya ke seluruh bagian tubuh. "Jeon, kau lucu omong-omong."

Menunggu hingga keberanianku terkumpul, kusingkirkan tangannya dari atas perutku dan beranjak bangun.

"Mau ke mana?" tanyanya saat mengambil jubah tidur yang kuletakkan di kursi ottoman depan kaki ranjang.

"Sunroom," jawabku singkat. "Temui aku lima belas menit lagi. Aku ingin menghubungi Jaemin dulu."

***

Bukan gagasan pokok membuat kami terlibat perseteruan. Aku benci harus lari dalam siatuasi ini. Namun aku tidak ingin kamar menjadi saksi bisu perdebatan. Karena aku yakin setelah kami bertengkar di kamar rasanya akan berbeda. Akan ada bayangan tentang Go Ae Jin dan keributan kami. Aku menolak tempatku beristirahat punya kenangan buruk.

"Noona marah padaku?" suara Jaemin di ujung telepon menyela lamunanku. Aku menarik napas sekejap dan mengerdip.

"Aku benar-benar keceplosan waktu bilang pada ibu," sesal Jaemin. Ternyata ia masih membahas topik awal. Jaemin langsung meminta maaf begitu dia mengangkat panggilanku karena memberitahu orang rumah terkait kehamilanku. "Tapi aku tidak bermaksud buat Noona dimarahi atau apa. Semua ini karena aku terlalu bahagia sebagai calon paman, jadi aku mengatakannya tanpa pikir panjang saat makan malam. Ibu juga tidak terlalu marah karena mengerti kondisi kalian berdua yang belum sempat memberi kabar. Maafkan aku."

"Kenapa harus minta maaf?"

Jaemin meringis. "Aku pikir aku buat kalian kecewa. Baru-baru ini marak video TikTok pasangan yang memberitahu orang tuanya kehamilan dengan cara unik. Aku pikir kalian salah satu pasangan yang mau coba."

Aku tertawa sambil menatap taman rumah dari kaca besar sunroom. "Kami bahkan tidak punya ide. Rencananya hanya ingin bicara saat makan malam keluarga saat Natal nanti."

"Noona tidak marah?"

Aku tertawa sumbang. "Berhubung kau sudah mengatakannya, yasudah, apa boleh buat."

"Bagaimana dengan kakak ipar? Dia tidak marah?"

"Hei, aku yang mengandung kenapa suamiku yang harus marah. Dia sibuk kerja dan kami tidak punya cara menyampaikan berita kehamilan spetakuler."

Kami terdiam beberapa saat. Kemudian Jaemin berkata hati-hati, "Itu... sebetulnya aku mendengar suara Noona agak lain."

"Mungkin karena udaranya kering," kilahku tanpa harus berpikir lama.

"Payah. Masa rumah semewah itu tidak punya satu pun alat pelembab."

Aku berdecak. "Alatnya dalam rumah. Aku sedang di sunroom."

"Sun room? Ruang matahari? Ruangan jenis apa itu?"

"Bukan begitu cara menyebutnya. Sunroom, digabung. Ruang dengan banyak jendela besar dan atap kaca yang memungkinkan banyak cahaya matahari masuk. Biasanya kau gunakan untuk berjemur sambil bersantai."

"Woah. Mantap juga. Seberapa besar?"

Aku meringis dan berpendar ke segala sisi untuk mengukur kira-kira seluas mata memandang. "Mungkin hampir sama dengan penthouse yang menghadap sungai Han atau warnet dekat apartemenmu, atau mungkin dua kali lebih besar? Entahlah," kataku mengiming-imingi. Padahal aku sama sekali tidak tahu perihal warnet di kawasan apartemennya. "Ini sungguh luas."

"Ah, sial!" keluhnya menggerutu. "Harusnya aku yang menikah dengan kakak ipar. Dengan begitu aku bisa pakai rumahnya untuk usaha warnet."

Aku tertawa lepas mendengarnya. Jaemin selalu menjadi penghiburku paling ampuh.

"Tapi apa karena itu suara Noona serak?"

"Tidak. Malam ini Noona harus lembur menulis untuk menutupi cicilan mobilmu."

"BENARKAH?!" Jaemin terdengar seperti baru tersedak. "Kalau begitu kenapa berikan mobilnya untuknya?" tanyanya berang. "Ternyata Noona bergadang untuk cicilan mobilnya. Ah, sudahlah. Besok aku kembalikan. Noona jual saja lagi ke dealer. Mobilnya belum kupakai. Jangan membuatku merasa bersalah. Mulai sekarang berhenti berikan aku barang mahal. Kelak aku bakal kaya raya. Jangan khawatir aku bisa beli mobil lebih bagus dari itu," cerocos Jaemin kalang kabut.

"Aku bercanda." Tawaku keluar sekali lagi. "Aku sedang tidak enak badan."

"Kakak ipar di rumah, kan?"

"Ya."

"Tapi Noona jelas-jelas terdengar seperti baru menangis?"

Jaemin benar. Dalam perjalanan ke tempat ini aku sempat menangis meski tidak ingin. Entah mengapa suasana hatiku jadi mudah sekali berubah-ubah. "Tidak menangis, kok. Aku terharu Jaemin sudah dewasa."

"Memangnya kapan aku tidak dewasa?" celotehnya dengan suara kesal. "Ah, sudahlah. Sebaiknya Ibu hamil jangan banyak menangis, nanti keponakanku bisa dehidrasi. Kalau sampai calon keponakanku kekurangan nutrisi dan lahir dengan kulit pecah-pecah, akan kulaporkan sebagai kasus penganiayaan dalam kandungan."

"Aku mengerti, Calon Paman."

"Noona, Noona!" panggilnya bersemangat. "Sejujurnya, aku menemukan nama bagus untuk calon anakmu."

"Tidak mau dengar."

"Namanya muncul saat aku baca di perpustakaan hari ini," ucapnya tidak peduli penolakan. "Noona pernah dengar kutipan dream the high ocean—apa itu, ah, sial aku lupa."

Aku terkekeh, dan membenahi, "Dream higher than the sky and deeper than the ocean."

"Benar itu!" serunya semringah. "Suamimu punya penggalan nama sky. Laut dan langit saling terhubung. Ada makna mendalam, tapi aku lupa penjelasannya. Cari tahu sendiri."

"Aku tidak mau. Gagasannya pasti buruk."

"Tidak, dengarkan dulu. Namanya sangat bagus, very visioner. Bila ternyata laki-laki beri nama Shin Oceano Kalinsky, kalau perempuan Oceana."

"Ide ditolak," kataku tetap datar. "Kau pikir anak kami bahan uji coba cocoklogimu?"

"Tidak. Tapi itu terdengar bagus. Shin Oceano Kalinsky, bila jenis kelaminnya pria. Shin Oceana Kalinsky, bila dia perempuan."

"Kenapa marganya harus Shin?"

Jaemin terkekeh-kekeh. "Supaya orang-orang percaya anak kalian keponakanku."

"Terima kasih usulannya. Aku menolak."

"Ah, wanita ini kenapa sombong sekali."

"Wanita ini?" aku mengutip ketus. "HEI!"

Jaemin menutup telepon sepihak. Sesaat kemudian muncul sebaris pesan di ponselku. [Noona jangan ngomel. Antisipasi keponakanku stres dalam kandungan]

Aku tidak menggubris pesan Jaemin. Kuletakkan ponselku bergabung di meja sudut bersama gelas anggur dan sebotol wine yang kutemukan di dapur. Botol yang telihat mahal hanya dari tampilan. Koleksi wine perusahaan Jeon ini baru diperkenalkan pada publik tiga hari lalu. Ingin sekali meminumnya, tapi berusaha mati-matian tidak mencicipi setetes pun kenikmatan anggur yang disimpan selama belasan tahun untuk menjaga kandunganku.

Sambil menetap gelasnya, aku menunggu kapan Jeon datang. Tapi ternyata kami sama-sama menunggu. Dia ada di dekat pintu masuk sunroom, memakai kardigan coklat sepanjang betis. Tubuhnya menjulang, bahunya sekokoh beton, rambutnya punya nilai tambah.

Jangan buat aku memujinya. Dia indah, tapi aku tetap marah.

"Mau minum sebelum kita bicara?" Aku mengangkat botol itu dan menempelkannya ke pipi. Tersenyum lebar seperti cara seorang gadis tanggung yang merayu dengan naif.

"Letakkan botolnya."

"Aku boleh coba ini?" Aku mengabaikan ucapannya dan Jeon tampak tidak senang.

Dia terus diam saat aku mulai membuka botolnya. Namun matanya melayangkan tatapan elang.

"Wanginya enak," pujiku jujur saat mengendus aromanya dari penutup botol. "Malamnya masih panjang. Lebih baik suamiku minum dulu. Kemarilah."

Jeon tidak terpaku di tempatnya, senantiasa merajamku dengan bidikan mata.

"Tidak mau?" Aku menggeleng-geleng lugu. "Baiklah kalau begitu." Aku mengangkat botolnya lebih tinggi, menuang ke gelas dengan sangat berhati-hati. Gerakan lambat namun penuh akurasi.

Kucuran airnya terdengar nyaring di tempat ini. "Dunia mulai gila, kan?" Aku tertawa geli, sekedar bersenda gurau. Sementara Jeon tidak menunjukkan gelagat akan ikut tertawa.

"Aku juga bisa gila," kataku sambil meletakkan botol setelah gelasnya terisisi melebihi setengah kapasitas, emudian mencekik gelasnya dengan sikap paling anggun yang pernah kupelajari dari kelas etika saat SMA. Kudekatkan ke wajahku dan mengirup baunya.

"RUNA!" Membentak, teriakan Jeon untuk pertama kalinya. Lebih keras, lebih nyaring dari yang pernah kuduga. Dadanya naik dan turun, terengah karena marah.

Aku mematung sebentar. Sudah pasti terkejut. "Ya ampun. Kau membuatku kaget. Kenapa semarah itu sih? Aku cuma mau siram tanaman, kok," sahutku mendelik lalu berjalan menuju tanaman hias yang kutempatkan dekat jendela. "Semakin lama kau jadi mudah tersinggung ya, Sayang?"

Kutumpahkan cairannya dari pangkal tanaman hingga tetes penghabisan. "Cara cepat hamburkan uang," gumamku senang.

Airnya mengalir sampai terserap ke dalam pot. Aku tidak khawatir tanamannya rusak. "Kalau seluruh produk winemu dibuang begini pasti kerugiannya besar sekali. Jadi semakin sadar kalau punya suami kaya raya. Ulang tahunmu nanti, tidak usah kuberi hadiah, ya? Soalnya bisa beli sendiri."

Jeon mendesah. "Kau merusak tanamannya, Runa."

"Cuma artifisial. Tanaman palsu, tidak bakal mati," selorohku. "Tapi Jeon, kau tahu apa yang lebih menakutkan dari orang gila yang terlihat sehat, dan orang jahat yang tampak baik?"

Jeon terdiam kaku. Aku segera menjawab, "Kepalsuan."

Jeon terus mempertahankan ego untuk tidak membalas. Fakta paling sial dalam perdebatan adalah ketika lawan bicaramu terpojok, tak berkutik. Menjemukkan dan seolah kau si sinting yang memenangkan kompetisi tanpa lawan.

Astaga, Jeon membosankan saat berdebat.

Aku mendatangi tempatnya dan menuntun tangannya agar kami menduduki sofa yang berhadapan dengan rak buku tinggi sejauh enam meter.

Aku menelan ludahku dan tersenyum lebar. "Sekarang jawab aku." Kuseret pantatku lebih dekat dengannya. "Lihat baik-baik. Senyumku ini terlihat bagaimana?"

Jeon meneliti bibirku dan kembali ke mataku. "Palsu."

"Iya, palsu. Soalnya kau jadi sering membuatku sakit." Telapak tanganku membelai pipi tebalnya. "Kemarin kan sudah diperingati, tidak boleh jahat padaku. Tapi ternyata sudah jahat sejak awal, ya? Kau bilang aku seperti surga, kau bilang aku rumah baru, sudah kepalang cinta, tapi malah didorong ke dasar jurang. Tindakan semacam itu sungguh jahat, ya kan?" Aku mencebik sebal selagi Jeon terus meneliti mataku, memproses apa yang bisa ia temukan.

"Pernah baca buku Aku Menggigit Orang-Orang Jahat?" Aku mengendik sesaat dan menurunkan tangan dari wajahnya. "Cuma buku anak-anak sih, namun kadang kala aku merasa seperti Horangi—tokoh utama," kataku amat santai.

"Dia senang melindungi banyak orang. Bangga dengan dirinya, tapi sulit menghilangkan firasat bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Selalu bertanya; Apakah orang lain bisa mencelakainya? Mungkinkah ada orang jahat di sekitarnya? Jika benar ada, Horangi akan langsung menggigit tanpa kenal ampun. Horangi akan menggigit setiap orang jahat." Aku mengangkat alisku, lalu melanjutkan dengan intonasi lambat, "Karena kau tahu apa? Karena dia harimau. Itulah yang dilakukan Horangi si harimau. Sebelum bertemu denganmu aku sering menjadi Horangi, jadi bukan tidak mungkin kalau kulakukan itu padamu." Aku tersenyum sedih, yang orang bilang meluluhkan hati.

Tapi yang kuhadapi saat ini Jeon. Suamiku yang setengah kukira sudah tak punya hati.

Kemudian wajahku menjadi sangat datar ketika tidak ada dari kami yang bicara. Aku melihat punggung tanganku di atas paha yang rasanya tidak berada di sana. Seluruh sendiku bagai mati rasa.

"Mestinya begitu," ucapku menggumam, "menggigit orang jahat. Tapi jelas aku tak akan menggigitmu."

Jeon tidak menyangkal, namun belum bereaksi. Aku bukan hanya menikahi pria sakit rupanya, tapi juga bisu.

Entah mengapa Jeon terus diam setiap kali aku hendak memperbaiki situasinya. Dia tidak menyanggah, menjelaskan, maupun membantu. Jeon punya pola berulang. Diam adalah cara jitu, namun ekpresi Jeon menyiratkan semuanya. Ada permintaan maaf dan penyesalan.

Aku terbengong dan mengerdip. "Sejak awal aku berjuang untukmu, Jeon." Tarikan napasku mulai terdengar menggigil. Aku tidak ingin bicara jahat padanya, tapi Jeon harus ingat akulah alasan mengapa dia bisa hidup sampai hari ini.

Aku menarik napas selama beberapa detik. Memejamkan mata sembari kuputar pelan cincin yang tersemat di jari manisku. "Sekarang... bagaimana keputusannya?"

Jeon terus bungkam. Sayangnya itu mempermudahku mengambil satu tindakan lugas; melepas cincin, dan meletakkan di antara paha kami.

Dia tersetak hebat, menatapku tidak percaya. "Runa...?"

"Sudah kuberi dua kali kesempatan."

Jeon langsung tersungkur di depan kakiku. Aku sadar air mata merebak di pelupuk matanya saat ia berlutut dan menangkup tanganku dengan genggaman tremor.

"Aku kehilangan setengah harapan darimu," kataku berterus terang. "Kau tahu kan apa akibatnya bila berbohong di pengadilan?" tanyaku lembut.

Jeon semakin meremat tanganku dan menggeleng di sana. "Kumohon."

"Kenapa harus berbohong sejak awal, Jeon?" Aku mencoba tidak goyah. Sempat ingin menangis, namun bisa menghalaunya, "Kenapa terus menambal satu kebohonganmu dengan kebohongan lain?" cecarku tak memberinya celah. "Aku semudah itu untukmu?"

Dia menggeleng lagi tanpa suara.

"Aku telah bekerja sepanjang hidupku. Aku bisa menghasilkan uangku sendiri. Aku punya cukup tabungan. Bahkan jika malam ini aku harus melarikan diri, aku tahu ke mana harus pergi." Sesaat aku menggeleng dengan sekujur badan gemetar. "Aku bukan jenis wanita yang menumpang hidup pada pria kaya sepertimu. Aku sudah menyiapkan tempat tinggalku sendiri jika kau melakukan kesalahan, tapi..." Aku tersendat lagi dan sekilas mengatupkan mulut dengan gelisah. Tidak kubiarkan air mataku tumpah ketika dia menangis di atas tanganku. "Mengapa aku dibohongi? Kenapa tidak katakan sejak awal tentang pernikahanmu? Kenapa tidak ada yang satu pun yang mengatakan padaku—Orang tuamu, Lana, seluruh keluargamu—kenapa?"

"Kau harus percaya..." Jeon terisak dalam kalimatnya, "semua kulakukan untuk melindungimu. Aku tidak ingin jadi pria buruk bagimu atau anak kita."

Aku terbahak hilang akal. Lucu sekali. Sesaat kemudian kuangkat wajahnya menengadah dengan kedua tanganku, lalu menatapnya datar. "Enigma," kataku berbisik tepat di depan wajahnya. "Ucapanmu sungguh tidak jelas, Jeon."

"Bukan soal penyesalan, Jeon. Melainkan semua yang kau lakukan. Ucapanmu, tindakanmu, kertas yang kita tempel, pujianmu untukku, kau melakukan itu pada mantan istrimu dan kau ulangi lagi padaku." Aku menelisik kedalaman matanya dan nyaris menjerit. Namun yang keluar justru nada serak yang semakin menipis. "Kau lakukan semua kejahatan itu padaku."

Tangannya gemetaran. Aku terdiam dan menyimak tatapannya dengan sungguh-sungguh.Jemariku di pipi Jeon merasakan hangat dari tiap tetesan air matanya.

"Apakah..." aku menerka-nerka dengan suara dingin, "kau... memberiku parfum yang sama dengannya? Parfum yang kau bilang terinspirasi dariku?"

"Tidak." Dia langsung menggeleng tegas. "Sama sekali tidak benar."

"Jujurlah." Suaraku mulai melambat dan pelan. "Katakan saja yang sejujurnya."

"Aku sungguh-sungguh dengan itu. Shin Runa."

Entah bagaimana aku tertawa disela-sela tangisku. "Kau... akan jadi orang pertama yang dibunuh ayahku jika tahu apa yang telah kau perbuat pada putrinya selama ini."

Jeon segera duduk kembali di sampingku, lalu menarikku ke dadanya saat aku mulai benar-benar menangis histeris. Pelukannya terasa erat hingga aku sulit meronta. Satu tangannya memeluk punggungku, satu lainnya memegang kepalaku. Tidak ada yang dia katakan selain maaf yang diucapannya sesering mungkin di dekat telingaku.

"Aku sakit," kataku mengiba. "Aku tidak suka sakit." Jariku mulai mencari pelampiasan di otot lengannya. Mencengkeramnya seiring tangisku menghebat.

Aku memukul lengannya berulang kali, bukan dengan pikiran rasional, melainkan hasrat semata sampai tubuhku melemah. Kesedihan sudah terlalu banyak menguras hati dan psikisku.

Dengan lemah kubisikkan sesuatu di dadanya, "Aku hamil. Kau tidak boleh menyakitiku," kataku nyaris kehilangan suara. "Jangan jahat padaku, Jeon. Ini peringatan terakhirmu."

***

Lima belas menit sekiranya waktu yang kami habiskan untuk saling menangis. Jeon berhenti menangis lebih dulu dan membiarkan tanganku melampiaskan semua yang kumau padanya. Namun itu semua belum cukup. Aku berhenti menyerang lengan ataupun punggungnya dengan pukulan dan cakaran hanya karena tenagaku banyak terkuras. Aku masih ingin melakukan sesuatu yang bisa menghentikan pergulatan amarahku. Berita terburuknya; aku menyerah pada emosiku, aku tetap marah padanya, dan jiwaku bermasalah lagi.

Tak lama kemudian aku memisahkan diri dari pelukannya dan bangkit dari kursi. Jeon tidak bertanya ketika aku bangkit dan berjalan mengjangkau pintu. Lalu terpaksa berhenti karena terpikirkan sesuatu.

Aku bukan orang dangkal dalam menemukan kesinambungan gerak dan bepikir dalam berbagai situasi. Tetapi Jeon membuatku sering bingung langkah apa yang sebetulnya harus kuambil. Beberapa menit lalu aku mengatakan marah padanya. Lalu tiba-tiba saja detik ini aku malah berbalik dan menunjukkan sikap aku-butuh-kau tanpa kenal malu.

Jeon masih duduk di tempatnya, memegang cincinku, dan menatapku dengan kedipan bingung ketika kutarik tali gaun tidurku saat mendatanginya, kemudian membiarkan kain itu melungsur ke lantai. Bibirku meraup bibirnya sebelum dia bertanya macam-macam. Jeon payah dalam bicara tapi hobi bertanya. Fakta itu semakin menyulut rasa kesalku.

Dan fakta menyedihkannya, adalah ketika aku berharap Jeon menyentuhku lebih sering. Terbaca seperti wanita komersil gila materil. Masa bodoh, siapa peduli.

Aku beringsut naik ke pangkuannya dan melepas tautan bibir kami sebentar. "Aku butuh kau. Segera." Jelas terdengar tidak mau ditolak.

Aku tahu, dilihat dari mimik wajahnya, Jeon punya banyak pertanyaan. Tetapi aku masih marah. Marah dan membutuhkannya. Kesal tapi masih lebih banyak muatan rindu untuknya.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top