32| All You Needed Was Boldness


__ __ __

Aku meninggalkan penginapan ketika jalanan masih diselubungi kabut tipis. Teman Jeon, yang ternyata merupakan teman semasa SMA sudah mengatakan padaku agar sebaiknya menunggu satu jam atau paling tidak sampai matahari terbit. Tetapi aku berkata dengan nada sabar, bahwa aku handal dalam berkendara saat gelap.

Sebelum meninggalkan kawasan Pohang langit menjadi sedikit lebih terang sehingga di sisi kiri jalan bisa kulihat pemandangan laut, rumah-rumah kecil, dan bandar kapal tangkapan laut, sementara sawah terbentang luas di sisi kanan.

Rasanya aku ingin kembali lagi ke sini bersama Jeon.

Aku tiba di Seoul sebelum jam makan siang. Karena terlanjur lapar dan merasa punggung pegal, aku mampir ke warung jjigae yang letaknya hanya perlu berjalan kaki dari kantor utama Jves & Koch. Aku memesan semangkuk sundubu dan segelas air. Jeon tidak salah, dia pernah memintaku sesekali makan di sini. Ternyata rasanya luar biasa. Dia bilang kedai ini sudah ada sejak puluhan tahun.

Usai makan aku kembali memperhatikan barisan foto di dinding. Banyak sekali wajah artis dan idola di sini. Mereka mengambil foto di dalam restoran ini. Tidak heran mengapa Jeon merekomendasikan tempat ini.

Selain itu ada wajah suamiku yang di dalam bingkai kaca bersama seorang nenek yang tadi mengantarkan pesanan. Meski wajahnya telah dimakan usia, aku masih bisa melihat dia adalah wanita cantik semasa muda.

"Orang itu tampan kan?"

Nenek itu menarikku dari lamunan dan menoleh padanya yang tengah merapikan meja bekas pelanggan yang baru pergi.

Aku menoleh lagi pada Jeon yang mengenakan sweater abu-abu berlengan panjang. "Iya. Tampan," gumamku, lalu membaca tulisan di bawah foto 'pendiri perusahaan Jves & Koch' yang membuatku tersenyum.

"Dia sudah lama tidak datang kemari. Biasanya dia akan membayar tagihan pegawai dan mampir ke sini minimal satu bulan sekali. Tetapi beberapa bulan ini dia jarang mampir."

Aku menumpu daguku di tangan kiri. "Apa lagi yang Halmoni tahu tentangnya?"

Nenek itu kembali meletakkan mangkuknya di meja dan menggeser bangku untuk duduk. Karena sekarang belum memasuki jam makan siang, jadi tidak ada orang lagi selain kami.

"Dia membantuku membayar pajak supaya toko ini tidak jadi digusur," paparnya sambil menumpu kedua tangan di atas masing-masing lutut. Kemudian nenek itu menunjuk wajah Jeon di dalam foto. "Sikapnya sangat baik. Dia selalu bicara lemah lembut. Kudengar dia juga sudah menikah. Tetapi orang seperti itu tentu harus punya kehidupan yang tertutup. Media bisa sangat jahat."

Setelah mengatakan hal barusan, nenek itu kembali berdiri dan mengangkut kembali mangkuknya. "Aku tidak ingin orang sepertinya mendapat musibah," katanya sebelum berjalan pergi ke dapur.

Aku memandangi foto suamiku sekali lagi, lantas memundurkan sedikit badanku ke belakang. "Halmoni, aku harus pergi sekarang. Terima kasih makanannya."

Nenek itu berlari terbirit-birit keluar dari tempat persembunyiannya serta mengucapkan terima kasih padaku. Dia sungguh wanita tua yang ramah. "Berkunjung lagi kapan-kapan. Sepertinya aku baru pertama melihatmu."

Aku mengangguk dan tersenyum. "Omong-omong sundubu jjigae buatan Halmoni yang paling enak dari semua restoran." Aku mengacungkan jempolku.

Wajahnya langsung berseri-seri.

"Aku juga akan meminta presdir Jeon datang kembali."

"Omo!" Dia langsung berjingkat kecil sambil menutup bibirnya dengan dua tangan. "Kenapa tidak bilang dari awal kau pegawainya? Kalau kau bilang aku bisa memberikan diskon. Setiap pegawainya pasti kuberi diskon."

Aku hanya tertawa mendengar ocehannya.

"Kau benar pegawainya presdir Jeon?" tanyanya memastikan.

Aku mengambil langkah mendekat ke arahnya, dan menempatkan tanganku di samping bibir—berbisik di telinganya, "Aku pegawai presdir yang tidak akan pernah bisa dipecat."

Kemudian menjauhkan kembali tubuhku seraya tersenyum lebar dan membungkuk kecil. "Terima kasih hidangannya. Aku pasti akan membujuk presdir mampir lagi."

***

Jeongmin membimbingku melewati lorong lantai 12 perusahaan Jeon. Sebelumnya aku telah menghubungi Jeongmin dan memintanya bekerjasama denganku agar merahasiakan kedatanganku pada Jeon.

Kami berhenti di depan pintu kaca dua sisi berlapis sandblast buram. "Dia tidak makan siang?" tanyaku.

Jeongmin membuka mulut tampak ragu seperti tertangkap basah karena melakukan kejahatan. "Itu..." Ia membetulkan letak kepala dasinya kelihatan gugup. "Sudah dua minggu ini presdir jarang makan siang."

Aku menukikkan alis padanya. "Sungguh? Kenapa bisa?" Aku tidak bermasuk membuat pertanyaanku terdengar seperti tak senang, tapi memang kedengaran seperti itu.

Jeongmin menatapku lekat-lekat seperti berusaha mencari jawaban yang pas, lalu dengan gugup memalingkan tatapannya ke pintu sebentar sebelum kembali padaku. "Jam makan siangnya digunakan untuk bermain piano. Maksudku berlatih piano," ralatnya, lalu buru-buru mendorong pintu untukku. "Anda boleh masuk."

Aku menelisik wajahnya curiga sebelum masuk.

"Silakan masuk," katanya masih menahan pintu.

Aku masuk dan membiarkan Jeongmin pergi. Ternyata benar Jeon ada di ruangan ini. Berjarak empat meter dari tempatku berdiri. Duduk membelakangiku di depan piano dan berdahapan langsung dengan lanskap kota Seoul di balik kaca perusahaannya.

Aku hampir menyeburkan tawa saat mendengarnya salah menekan tuts. Aduh, permainannya buat sakit telinga.

Berjalan mengendap-endap di belakangnya, kukecup kepalanya hingga membuatnya berbalik kaget bukan kepalang.

Dengan gaya lugu aku menjauh dan merentangkan tanganku. "Kejutan! Aku pulang!"

Aku melompat ke kursi piano, dan menggeser pantatnya agar Jeon bisa memberiku lebih banyak ruang.

"Coba kita lihat. Kunci D harusnya berbunyi seperti ini." Aku menekan tuts membenahi bunyi permainannya yang salah. "Tapi sepertinya kau memang tidak punya bakat main piano ya, Koch?"

Aku mendongak dan menemukan wajahnya yang masih menatapku heran.

Aku tidak tahu mengapa aku tertawa, tapi aku tertawa.

"Kenapa melihatku begitu?"

Jeon mengerjap dan menggeleng menyadarkan diri. "Kapan kembali dari Pohang?"

"Pagi ini sebelum matahari terbit."

"Kau bilang akan kembali sore?"

"Aku bohong," kataku dengan raut datar. Kuangkat telapak tanganku ke depan wajahnya. "Maafkan aku."

Aku mengangkat alis ketika Jeon menatapku cukup lama tanpa sepatah kata pun, hingga tiba-tiba ia menangkup pipiku dengan sebelah tangannya, dan memelukku punggungku merapat. Bibirnya jatuh di atas bibirku. Menekan bibirku dengan ciuman panjang. Dimulai dari kecupan lembut di sekitar bibirku hingga semakin lama ciumannya semakin intens.

Aku mendorong serta merta menggebuk lengannya terkejut. "Jangan kunyah bibirku."

"Siapa yang semalaman menggodaku?" tanyanya justru membela diri.

"Kau kan juga tidak menolak waktu kutawari bercinta lewat telepon." Pipiku terasa panas. Kuusap bibirku dari jejak liurnya.

"Habis kasihan kalau ibu hamil tidak dilayani."

Aku menggebuk lagi bisepnya, membuatnya tergelak.

"Kenapa tiba-tiba mau main piano?" tanyaku mengganti topik.

Jeon memandang bibirku, setelah itu kembali ke mataku. "Belajar."

"Untuk apa? Kau bisa minta tolong padaku. Aku bisa mengajarimu atau bermain piano untukmu kalau kau mau."

Secara mengejutkan, Jeon menunduk sejajar dengan perutku. "Belajar menjadi ayah yang baik supaya bisa mendongeng seperti ibunya." Dia menengadah padaku. "Bukankah aku sudah berjanji?"

Aku segera mencubit bibirnya keras-keras. "Ibu hamil sedang tidak bisa menerima ucapan manis. Khawatir gula darahnya naik." Setelah itu aku melepaskan bibirnya dan kembali menghadap tuts.

Jeon masih tertawa lebar. Namun karena perasaanku belum kunjung membaik, aku hanya mengabaikannya suara tawanya dan kembali menghadap tuts.

"Sini, biar kumainkan satu lagi gratis untuk calon ayah. Pria ini memang cuma tahu bekerja," sindirku.

Jeon mengulangi tawanya. Aku tetap tidak tertawa.

"Aku akan memainkan salah satu gubahan Pachelbel. Aria atau Canon? Pilih salah satu. Aku tahu musik Pachelbel adalah kesukaanmu."

Dia tampak terkejut sekali lagi. "Aku pernah mengatakannya?"

"Apa?"

"Tentang Pachelbel."

"Entahlah." Aku menatapnya dengan alis berkerut, berlagak tak tahu. "Atau aku yang salah?" Kemudian kuacungkan telunjukku padanya. "Tapi tunggu sebentar."

Aku mengaduk tasku dan mengeluarkan surat yang diberikan Ae Jin, kemudian meletakkannya di atas tuts di depannya tanpa kebimbangan. "Sebaiknya aku memainkan Aria saja. Aku lupa beberapa tangga lagu Canon."

Jeon menyetuh kertas itu, dan aku segera bersuara sambil mulai memasuki bagian awal musik. "Kemarin aku bertemu mantan istrimu. Dia menyerahkan itu padaku," ucapku tanpa kemarahan sambil terus melihat jari-jariku menekan tuts. Aku bersungguh-sungguh tidak ingin tahu reaksi Jeon saat ini. "Kau bisa membacanya sendiri."

Kepalaku menoleh sekilas. Aku menemukan Jeon hanya menatapku dalam kekosongan emosi. Berbeda dengan tatapannya beberapa menit lalu.

"Kenapa?" Aku menghentikan permainan musikku. "Kau tidak mau membacanya? Isi suratnya seperti novel romansa. Sepertinya mantan istrimu punya peluang jadi penulis."

"Runa." Dia menyebut namaku dengan nada dingin.

"Aku tidak bermaksud ingin bertengkar denganmu." Aku menghentikannya sebelum kami mungkin bertengkar sungguhan seperti beberapa waktu lalu.

Setelah itu aku kembali memainkan piano dengan perasaan yang aku sendiri pun tak mengerti. "Aku cuma tak suka. Aku cemburu karena kau memperlakukanku sama seperti caramu memperlakukannya. Cuma itu," jelasku sambil mengendik ringan. "Aku tak suka. Tak ada wanita yang suka tidak diperlakukan istimewa oleha suaminya sendiri."

Aku menyelesaikan permainanku sampai akhir tanpa ada satu pun dari kami yang bicara. Hari ini rasanya jadi sangat melelahkan dan aku kehilangan minat untuk sekedar bicara apalagi berdebat.

Kemudian aku memantapkan diri menatapnya. "Aku benci Go Ae Jin," ucapku ringkas.

Jeon kehilangan suaranya. Sedangkan aku seolah kehabisan tenaga untuk membentak, marah, atau pun namanya itu untuk melampiaskan kekesalan. Karena mulai sekarang aku tidak akan pernah membiarkan diriku sendiri terlihat seperti 'orang gila'. Hal semacam itu jutsru hanya mengalihkan perhatian dari siapa yang benar-benar salah.

Aku tidak bersalah dan aku tidak ingin terlihat menyedihkan termasuk di hadapan suamiku sendiri. Jeon harus paham itu.

Menyakiti orang yang sudah menipuku hanya akan membuatku tidak berbeda dari mereka.

"Aku benci Go Ae Jin," bisikku sedikit lebih samar.

Selanjutnya kuraih napas dalam-dalam dan berdiri dari kursiku. "Di ruanganmu punya tempat beristirahat tidak? Badanku pegal setelah perjalanan jauh."

Aku hendak berjalan meninggalkan ruangan dan kembali menghadapnya. "Ah, ya. Aku hampir lupa. Restoran dekat kantor yang kau rekomendasikan ternyata sangat enak. Kapan-kapan kau harus traktir ya, Suamiku."

[]

random question; kalian pernah nangis ngga baca oceanor?

jujur aja kalo ngga pernah haha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top