27| He Never Fails to Surprise Me
Pergulatan batin itu masih berlanjut sampai esok harinya. Ketakutanku berubah menjadi kegelisahan yang memicu kurangnya tidur.
Terus kupandangi wajah Jeon yang tertidur pulas sambil memupuk ribuan pertanyaan, praduga acak, dan klausa mengerikan.
Bulu mata, alis, hidung, bibir—pandanganku mengurutkan apa yang bisa kujajaki di wajahnya, lalu berasak dari selimut, berhati-hati melangkah turun dari kasur untuk mengambil amplop putih.
Tertera nama instansi rumah sakit bertinta hijau pudar di bagian kanan atas. Aku membaca ulang hasil pemeriksaanku dan semua yang ada di dalamnya kurasa cukup jelas. Begitu melihatnya, Aku yakin Jeon akan langsung mengerti.
Subuh itu napasku sedikit lebih pendek saat menyimpan kembali amplopnya. Aku ingin membuat kejutan sekali lagi. Ini agak menyakitkan untukku atau mungkin bagi kami. Namun mengingat cara Jeon selama ini memperlakukanku, aku yakin Jeon punya alasan mutlak untuk membuatku pulih.
Pada hakikatnya aku masih percaya Jeon adalah pria yang sama seperti pria yang berani menuntunku keluar dari rumah.
Bukankah Jeon memang seperti itu? Seolah ditakdirkan meringankan kepedihanku. Dia datang padaku bagaikan malaikat yang bertugas melimpahkan banyak cinta sebagai jaminan agar aku tak bisa pergi ke mana-mana. Seperti lentera dalam lorong gelap tiada ujung. Seperti penawar mujarab penghapus luka.
Jeon masih seperti itu, kan?
Aku masih ingin melihat Jeon yang sama. Jeon yang kemarin masih menghubungiku melalui sambungan video ketika rindu atau Jeon yang jago membuatku memendam rindu dan tak tahu kapan aku bisa menyentuhnya.
Bagaimanapun aku ingin rasa penasaran ini meninggalkan hatiku secepatnya. Dan sudah kubilang, pura-pura atau tidak tahu sama sekali akan jauh lebih melegakkan untukku.
Aku mengedip-edipkan mataku dan menarik napas dari mulut, mencegah agar air mataku tak tumpah. Kami harus baik-baik saja. Sumpahku dalam hati.
Pagi itu aku kembali ke kasur, mengambil waktu berbaring sampai alarm berbunyi. Tidak tertidur.
"Tanganku gemetaran sejak bangun tidur," ucapku pada Jeon yang sedang mengancingi lengan kemeja.
"Kenapa?" Dia mengangkat pandangannya padaku dan kembali beralih pada kancing lengan lainnya.
"Entahlah. Mungkin karena aku baru dapat pesan dari sutradara." Aku meletakkan satu stel jas kerja biru tua dan dasi yang kuambil dari ruang ganti, lalu meletakkan di tepi kasur yang sudah rapi. "Bagaimana menurutmu? Aku gugup sekali. Aku harus bicara lagi di muka publik. Ada banyak reporter berita dan kamera."
"Kau sudah melakukan itu sebelumnya, benar?"
"Rasanya berbeda," kataku pelan. "Sutradara bilang aku harus bersiap kalau ada dari mereka yang menyinggung pernikahanku. Penulis yang sudah menikah tentu menjadi ketertarikan sendiri. Mereka pasti membandingkan tulisan naskahku sebelum dan sesudah memiliki suami."
Jeon berjalan mendekat padaku dan menangkup rahangku agar aku mendongak padanya. "Kau bisa."
"Aku gugup sekali. Bagaimana jika aku melakukan kesalahan? Misalnya salah bicara kalau suamiku kaya raya, mapan, tampan luar-dalam."
Jeon tertawa kalem. "Lakukan yang terbaik. Aku percaya padamu."
"Kalau begitu aku butuh saran warna atau menurutmu pakaian seperti apa yang pantas? Aku butuh pertimbangan direktur mode kelas dunia."
Selagi dia berpikir aku memuaskan diri menghirup wangi garam laut yang terlanjur dihafal penciumanku. Wangi paling kuat selalu berasal dari leher bersihnya.
"Putih atau kuning?" tanyanya memperhitungkan.
"Kenapa?"
Dia mengangkat pundaknya kasual. "Aku suka ketika kau memakai kedua warna itu."
Seketika aku teringat perkataan Danna pagi itu ketika menjelaskan karakter pria berdasarkan warna favoritnya. Coba tanya suamimu pakaian apa yang paling membuatnya terangsang. Pakaian putih kadang-kadang merangsang naluri jantan. Tidak selalu benar, tapi biasanya pria yang tertarik warna putih cenderung emosional, pekerja keras, dan punya standar tinggi pada wanitanya di ranjang.
Danna juga memaparkan banyak warna. Kalau kuning, artinya dia pria optimis dan cukup sensitif. Diam-diam menjadi evaluator dan sering menilaimu ketika bercinta.
Kedua warna itu mungkin berlaku bagi Jeon. Sifat Jeon nyaris keduanya, meski aku tak pernah tahu apa yang dia pikirkan saat tubuh kami menyatu.
"Ada alasannya?" Mataku membulat energik.
Jeon tampak berpikir.
"Apa warna kuning atau putih cocok dikulitku?" tanyaku terdengar seperti todongan anak-anak.
Selama beberapa saat dia memandangi mataku penuh kekaguman. "Seperti surga."
Aku melayangkan pukulan ringan ke perutnya. "Pembohong." Pembohong.
Dia tertawa puas. "Aku serius. Shin Runa seperti surga."
"Ahjussi jangan menggodaku begitu dong." Aku tersipu dan Jeon menyambar bibirku. Menghadiahi lumatan sebentar.
"Ada yang ingin kutunjukkan padamu," kataku begitu bibir kami terpisah.
"Tentang?" tanyanya.
"Kau akan suka." Aku berjalan riang gembira menarik tangannya, nyaris seperti gadis gembala kecil yang melompat-lompat di pandang hijau.
"Di sini," kataku ketika kami sampai di meja kerjanya.
Mimik Jeon yang kulihat belum lewat dari satu menit lalu mendadak berubah. Pias senyum hampir menghilang dari wajahnya menyisakan keterkejutan.
Aku mengetuk lacinya. "Hadiahmu ada di sini," ujarku masih dengan senyum lebar walaupun rasa sedih mulai menyelungkupi hatiku.
"Bukalah. Supaya kau tahu hadiahnya. Aku bersumpah kau akan suka sampai bisa menangis."
Jeon tidak memandangku, melainkan terpaku pada laci itu. Tak lama kemudian dia menelisik wajahku. Bibirnya terbuka hendak mengatakkan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata kecuali napas berat.
"Kenapa? Tidak mau buka?" Aku menggeleng dipenuhi rasa ingin tahu. Aku terus berharap bahwa Jeon punya jawaban yang takkan melukaiku. "Buka saja."
"Runa-ya..." ucapnya terdengar seperti mengiba. Seolah ingin kami meninggalkan laci itu.
"Jika tidak mau aku bisa mengambilnya untukmu."
Jeon membasahi bibirnya, menarik napas sesaat sebelum meraih gagang laci. Enam detik, tidak ada yang dia lakukan selain mengatur napas. Kemudian barulah Jeon menarik lacinya perlahan.
Aku bisa melihat jakunnya naik dan turun menelan ludah sebelum meraih amplop hasil kehamilanku. Lalu tangannya terhenti ketika melihat foto paling atas milik Go Ae Jin.
Suasana menjadi amat berbeda ketika Jeon terus memandangi foto itu. Tubuhku dibungkus kepedihan mendalam saat ikut memandang foto Ae Jin mengenakan baju tradisional membungkuk ke arah pohon mugunghwa. Sebelah tangannya menekan lutut, jari lainnya menjepit tangkai bunga. Wajahnya dibalut suka cita bagai dia menghirup bunganya dengan cara paling anggun. Pipinya bersemu kemerahan dan kepangan rambutnya terjuntai indah melewati bahu.
Nyeri rasanya membayangkan Jeon mengambil gambar itu atau merekakan peristiwa dalam foto. Walaupun tidak mencoba menebak, aku bisa melihat Go Ae Jin pada saat itu tumbuh penuh kasih sayang. Balutan hanbok ditubuh wanita itu menjelaskan segalanya. Warna merah pada chima (rok hanbok) adalah simbol nasib baik dan kekayaan; warna yang digunakan oleh wanita yang akan melangsungkan pernikahan.
Aku membimbing tangan Jeon untuk segera membuka bungkus dokumennya. "Coba baca, kau pasti senang."
Jelas saja, reaksi yang diberikan Jeon sudah kuperhitungkan. Dia tidak akan tersenyum. Aku pun takkan mengharapkan senyum darinya.
Jeon membaca semua yang tertera di sana. Matanya bergerak dari kiri ke kanan dan kembali membaca ulang poin-poin penting. Dia terus membacanya dengan mulut terbuka seolah jika tidak begitu Jeon akan kesulitan bernapas.
"Aku hamil," kataku semringah, lalu menuntun tangannya agar mengelus permukaan perutku.
Jeon mengangkat wajahnya yang menjadi merah ke hadapanku.
"Kata dokter wajar saja kalau aku tidak mual. Tapi beberapa waktu ke depan aku pasti merasakannya. Mulai besok kau harus sabar-sabar ya kalau dengar suara muntahan di kamar mandi."
Tidak ada jawaban apa pun dari bibirnya.
Begitu pun denganku, kalimatku mungkin akan tersendat di ujung lidah jika berhenti bicara.
"Coba lihat di sini." Aku melepaskan tangannya dan menunjuk kertasnya dengan semangat menggebu. "Tertera umur kehamilanku. Aku belum punya foto USG-nya. Dokter bilang USG tahap awal baru bisa dilakukan saat usia kehamilannya 6 minggu supaya denyut jantung janinnya terdengar. Pemeriksaan kedua nanti kau harus ikut bersamaku, ya? Aku takut sekali kalau kembali tes sendirian. Akhir pekan nanti kita harus belanja kebutuhan," ujarku cerita. "Aku belum tahu merek susu hamil yang cocok atau makanan apa saja yang boleh dimakan, tapi siang ini akan kucari tahu dan mencatat semuanya."
Aku mengangkat kepala tanpa ragu dan menemukan air mata Jeon meleleh.
Aku tertawa dan menghapusnya singkat. "Tuh kan, sudah kubilang kau akan menangis." Kemudian cepat-cepat membuang pandanganku dari matanya. Takut pertahananku hancur. Terlalu tak sanggup.
"Sebaiknya kita bicarakan saat kau pulang kerja." Aku beranjak dari hadapannya dan mengambil jasnya. Kuraih kertas itu dari tangannya dan meletakkannya ke meja, lalu membantunya memasang jas. "Kau jangan pikirkan kondisiku. Aku bisa mengurangi waktu kerjaku dan diam seharian di kantor. Nanti kuminta asisten membelikan makan siang. Jangan khawatir, aku tidak akan makan yang aneh-aneh. Calon ayah juga tidak boleh melewatkan makan siangnya. Nanti berpengaruh pada bayi. Biasanya ikatan ayah kuat sekali dengan janin."
Aku sempat mengatupkan rahang saat merasakan desakan kuat dalam diriku; sebuah dorongan agar aku menangis. Namun aku berhasil menghalaunya.
"Kau akan jadi ayah seperti keinginanmu," bisikku tidak benar-benar menatap mata kelabunya. Hanya menatap lurus pada tanganku yang sibuk membetulkan kerah bajunya. "Padahal kita baru membicarakannya di tepi pantai kemarin, tapi tidak menyangka akan secepat ini, kan?"
Sampai kemudian air matanya jatuh di atas pergelangan tanganku. Rahangku kembali terkatup. Seluruh gerahamku saling tekan sampai aku tak tahu mana yang lebih sakit.
Aku menunduk dalam-dalam dan mencengkeram kuat bajunya untuk memupuk segelintir air mata yang bisa kusimpan untuk nanti. Payahnya, air mataku tetap mengalir. Setetes demi tetes melandai di ujung sandalku.
Aku terus memejamkan mata erat dan menarik napas sangat panjang, menghentikan ledakan emosi sekejap. Kembali menarik napas untuk meyakinkan diri sebelum menegakkan tubuh.
Emosiku telah mereda. Kubereskan pakaiannya yang menjadi sedikit lecek. "Kau sudah reservasi restoran kita malam ini, kan?"
Jeon tentu masih kesulitan bersuara.
Aku menghela napas dalam-dalam. Ada perasaan dingin di sudut hatiku.
"Kau..." suaraku terdengar sayu-sayup, "masih mencintainya?" Tibalah pertanyaan ini. Sakit mengejar sekujur tubuhku.
Kulipat bibirku selagi menunggu Jeon menjawab. Sejujurnya masih ada begitu banyak pertanyaan dan dugaan. Namun penjelasan untuk pertanyaan tadi saja sudah mahal harganya.
"Runa-ya..."
"Tidak apa-apa, katakan saja." Bibirku meregang senyum getir. "Kau masih mencintai mantan istrimu atau tidak?"
Jeon masih membisu.
"Tidak apa-apa." Aku menggeleng sambil tertawa. Meyakinkan dirinya agar tetap kuat. "Jujur saja. Tentang kau masih mencintainya. Go Ae Jin ..." Aku menelan ludah saat pandanganku kembali mengabur, hanya berani menatap mata kancingnya. "Masihkah kau mencintainya?"
Tinju di samping tubuhnya mengeras.
"Jeon," pintaku dengan suara tipis. "berikan aku jawaban. Masihkah?"
Bibirnya bergetar sesaat. "Masih."
Tanganku sontak terkulai. Darah disekitar kepalaku terasa menguap. Jiwaku hampa mendengar pengakuan Jeon, karena rasanya masih terlalu takut mendengar hal yang sudah kuduga.
Apakah aku sedang bermimpi?
Kugosokkan tangan pada sisi leher kemudian mengusap ke wajahku dengan gugup bercampur gelisah. Aku terbata melakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan. Lututku terasa sangat lemas. Bingung apa yang harus kuperbuat, hingga akhirnya kupegangi kedua pahaku ketika tubuhku membungkuk perlahan kemudian berjongkok di depannya mengubur tangisku dalam telapak tangan.
Awal hari ini aku tersadar hampir tidak memandang lurus mata kelabunya. Aku rindu sorot mata suamiku. Namun menatap Jeon saat ini sama halnya seperti menjangkau seluruh hatinya untukku seorang; terasa sulit dan jauh.
Sekujur tubuhku menikmati rasa sakit yang tidak biasa. Daripada menemukan foto Ae Jin, daripada mendengar fakta ini, dan dibanding semua kegelisahanku pagi ini, aku lebih takut ditinggal sendirian. Aku takut Jeon pergi.
Namun pria yang selama ini kupikir takkan pernah menyakitiku, baru saja menyakiti dengan cara yang tak pernah kuduga.
Telapak tanganku membesut kasar permukaan wajah dan mengerahkan kekuatan agar bisa kembali berdiri. Kemudian tertawa putus-putus. "Kalau masih cinta, aku bisa apa."
Dia hendak menyentuh tanganku jika aku tak segera melangkah ke tengah kamar, aku berhenti di sana. Seluruh ujung tubuhku terasa kebas. Tremor yang menyengat membekam buku jariku.
Sejenak kupejamkan mata sembari menarik napas bergetar, merasakan bagian mana saja yang sakit. Namun aku tetap tak tahu. Energi tubuhku seakan dicabut paksa.
Setelah punya cukup kekuatan kuraih dasinya. Jeon tetap terdiam di tempatnya, membiarkanku memakaikan dasi.
"Runa-ya..."
"Nanti, biar kupikir dulu."
Aku tidak bisa menolak kemungkinan terburuk dalam hubungan kami. Kemungkinan terburuk akan selalu muncul dalam pernikahan. Jeon mencintainya. Masih mencintainya. Sisa cinta itu pasti selalu membekas dalam hati setiap pria pada pasangan masa lalu. Aku mencoba tegar dengan kenyataan semacam itu.
Aku menyelipkan dasinya dalam kerah kemeja. Belum memiliki keinginan membalas tatapannya yang kurasakan sejak tadi mengepungku.
Aku menghela dan tersenyum. "Pembohong," gumamku lalu tertawa getir. "Pembohong. Bagaimana bisa kau memalsukan identitasmu untuk menikahiku? Dengan status belum pernah menikah?" Aku kembali tertawa sarkastik sambil mensejajarkan letak dasinya.
"Lucu sekali," bisikku tajam. "Menurut undang-undang Korea, kau bisa terkena pidana jika melakukan itu. Kau memanipulasi dokumen pernikahanmu seolah-olah belum pernah menikah. Itu jahat sekali, Jeon." Aku sungguh tidak bisa menyimpan kegelianku. "Jeon Kalinsky," pelafalan namanya dari bibirku terdengar seperti mencemooh.
Kusilangkan dasinya. Semua yang kulakukan padanya kukerjakan begitu lambat.
"Aku hanya wanita muda yang baru sekali menikah. Orang-orang akan mengira akulah yang membuangmu jika kita selesai. Keluargamu akan mulai melihatku seperti wanita yang singgah sesaat dan tak tahu malu," kataku serak. "Semuanya akan menyalahkanku karena kau bisa dengan mudah memanipulasi semua orang dengan sikapmu selama ini."
Bagiku Jeon adalah hadiah, hiburan, seperti langit-langit rumah yang melindungi gadis kecil sepertiku dari terik dan hujan. Namun ketika berbohong rumah itu bukan tempat aman lagi. Dia berdusta padaku, separuh hatiku meragu. Suamiku takkan berbohong, separuh hatiku yang lainnya membatah.
"Sekarang hancurkan saja hatiku," ujarku tanpa gelegar emosi. "Lakukan sesukamu. Lakukan saja. Tetapi aku takkan membiarkanmu pergi kecuali aku yang melepaskanmu. Untuk sekarang cuma itu yang membuatku puas karena dicintai setengah-setengah."
Aku ingin jahat padanya. Aku ingin menjadi orang jahat pada suamiku sekali saja.
Kupandangi dasi yang telah kupola menggantung di kerahnya. Kemudian menarik kepala dasinya untuk mengencangkan ikatannya.
"Hancurkan saja. Tetapi untuk sekarang kau tidak boleh jahat padaku. Aku sedang hamil. Bersikaplah baik padaku. Bersikaplah seperti kau ingin diperlakukan. Jangan membuatku kesal. Bekerja saja selama yang kau mau, tapi jangan menemui wanita itu. Kau tidak boleh jahat padaku, mengerti?" tandasku mengirim ultimatum sambil membenahi bagian depan jasnya. Kemudian kuangkat wajahku tepat ke hadapan wajahnya.
Jeon masih belum menemukan suaranya.
"Aku akan baik-baik saja," kataku meyakinkan seraya mengangguk. "Dan aku tahu dengan jelas aku tidak boleh marah padamu. Aku tidak boleh menekanmu. Aku tidak boleh pergi seperti waktu itu. Karena kau pasti bisa lebih merana dariku, kan?"
Aku mulai bisa tersenyum lebih baik seperti biasanya. Mengusir kepedihan.
"Berhenti menangis!" Ibu jariku menyeka air matanya.
Sementara ia terus menatapku dan aku bisa melihat kata-kata yang mendekam di ujung lidahnya saat ini terlalu berat disampaikan.
Aku menepuk lembut pipinya dua kali untuk mencairkan suasana. "Aiguu. Wajahmu sudah semerah ini tapi bagaimana mungkin tetap tampan. Tidak adil," ejekku main-main kemudian tertawa.
"Jika urusanmu sudah selesai temui aku di dapur. Kau harus sarapan sebelum pergi."
***
Aku meminum banyak air untuk membantuku kembali bernapas lega. Kemudian berdiri diam menatap keran wastafel setelah meletakkan gelas.
Aku meremas ujung jari mengingat pengakuan Jeon. Aku ingin melupakan suara Jeon barusan. Aku ingin mengganti kata-katanya dengan tangisan. Rasa marah, bingung, sedih, dan kalit campur aduk dalam hatiku.
Beberapa saat kemudian langkahnya terdengar mendekat, tetapi aku belum ingin berbalik menyapanya. Untuk saat ini aku membencinya. Aku marah padanya, tetapi aku lebih marah pada diriku saat menyadari betapa besar rasa sayangku padanya. Tidak ada perasaan bersalah sebesar yang kaurasakan ketika mengetahui hatimu menyimpan ruang untuk mencintai suami pembohong.
Tangannya menjangkau bahuku dengan gerakan ragu-ragu. Aku bertahan tak ingin melihat wajahnya. Saat ini aku membenci Jeon sebesar rasa cintaku.
"Maafkan aku, Runa." Jeon berusaha keras bicara, tapi sedu sedan mengambil alih suaranya.
Aku tidak melepaskan tangan Jeon dari pundakku. Saat ini aku hanya tidak tahu bagaimana menanggapi kata-katanya.
"Aku berniat menceritakan segalanya. Aku hanya butuh waktu, dan... takut kau pergi."
Pengakuannya membuatku ingin tertawa.
"Aku menyesal." Jeon merapat padaku dan seketika memelukku. "Aku menyesal." Suaranya memelan.
Jeon mendekap bahuku bersamaan dengan air mata keduaku di pagi ini mengalir. Sekujur tubuhku berguncang hebat ketika tangisku meledak. Pipinya menekan pundakku dan aku mendengar ia menangis tanpa suara, kentara berusaha keras menahannya. Kami sama-sama kembali menangisi kekejaman yang menimpa kami.
"Kenapa tidak ada yang mengatakan apa pun padaku?" tanyaku dengan guncangan amarah yang tiba-tiba meledak. "Kenapa tidak ada yang kutahu sebelum kita menikah, Jeon? Ayahmu, ibumu... kau bahkan tidak pernah benar-benar mengatakannya dari mulutmu. Lihatlah betapa jahatnya dirimu sekarang."
"Maafkan aku." Jeon berusaha meminta maaf, namun setiap kali mendengar suaranya justru membuatku semakin marah.
"Bagaimana bisa kau masih mencintanya? Lalu bagaimana denganku?"
Dia mendekap bahuku semakin kuat dan aku kehilangan rasanya. Sekujur tubuhku seakan mati rasa.
"Sakit." Aku meringis pilu. "Sakit sekali. Aku sakit dan bukan hanya kau yang boleh sakit, Jeon. Aku mungkin bisa terus belajar menjaga perasaanmu karena masa lalumu, tapi aku juga bisa sakit, Jeon. Aku sakit. Semakin lama pernikahan ini sering membuatku sakit."
Perubahan perilaku Jeon selama beberapa bulan ini membuatku takut padanya. Aku makin takut tidak mengenali siapa suamiku.
"Waktu yang jarang kau bagi, cinta yang kau berikan setengah, lalu setelah ini apa lagi kenyataan yang akan kau berikan padaku? Apa lagi?" tanyaku sedikit menjerit. Meskipun begitu membiarkanku pergi dari pelukannya.
"Sekarang ini aku sudah keluar terlalu jauh dari rumahku, di mana lagi aku harus berlindung. Aku hanya memilikimu. Hanya kau yang bisa kuharapkan. Jadi kumohon berhenti menyakitiku. Kumohon jangan membuatku takut pada pernikahan. Kumohon."
Napasku terengah-engah. Mengizinkan rasa sakit singgah di seluruh bagian tubuhku.
Sebelumnya tak pernah sedikitpun hal ini terlintas dalam benakku. Aku tak lebih dari wanita muda yang merasa senang ketika cintanya disambut. Yang merasa bangga hanya karena hidupku diterima seseorang. Yang kutahu ketika menikah nanti aku telah memiliki pasangan.
Aku hanya belajar bagaimana menjadi pasangan yang bisa diterima. Belajar menjaga masa pengantinku tanpa mengira recik bara bisa menjadi gerigi api yang dapat memutuskan tali.
Namun ternyata semua itu belum cukup. Masih banyak yang harus kupelajari tentang pernikahan.
Sejenak aku merasa jahat pada Jeon. Tetapi lebih dari itu semua, aku merasa jahat pada diriku sendiri.
"Maafkan aku." Jeon mendekap bahuku semakin erat.
Pundakku merasakan betapa kuat tangisnya. Ia menitikan banyak tangisan sama sepertiku. Tetapi aku sedang membuat batas untuk kami. Sepagian ini kami habiskan waktu untuk saling menangis.
Ini adalah pagi terkelam dalam hidupku. Kami menangis tanpa teriakan, tanpa sulutan maki, tanpa menyampaikan lebih banyak rangkaian kalimat. Tetapi semuanya jelas menyakitkan.
Luka kami serupa, tapi tak benar-benar sama. Entah siapa yang lebih banyak dia tangisi. Kehadiranku atau kepergian istrinya di masa lalu.
"Kau tahu," aku menjeda, tak sedikit pun ingin membalas pelukannya, "kau—" Bibirku saling tekan bergetar. Menahan segala luapan itu sekali lagi.
Setelah yakin bisa menata kalimat, aku berujar pahit, "Kali ini kau benar-benar jahat, Jeon."
"Maafkan aku."
Aku tidak bisa. Aku tidak bisa memaafkannya. Aku kesulitan menerima kenyataan bahwa priaku mencintai wanita lain. Takkan pernah bisa.
"Seperempat, setengah atau sepertiga... yang pasti sebagian hatimu singgah di tempat lain, Jeon."
Tangisku bercucuran semakin banyak. "Kuucapkan selamat karena berhasil membuatku terkejut sekali lagi."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top