26| Still in Love With His Ex?

Takut, takut, takut. Perasaan itu yang membelengguku sejak pagi. Memompa jantungku hingga menggila.

Nalarku bilang jeon tidak mencintainya lagi. Namun firasatku yang mengatakan bahwa sebagian hatinya bukan cuma untukku kembali menang. Memegang tahta atas kendali diriku.

Siapa yang tahu. Kemungkinan buruk pasti selalu hadir dalam pernikahan.

Otakku seperti masih terlelap sejak meninggalkan rumah sakit dan dokter menyatakan kehamilanku memasuki trisemester pertama. Dokter memberiku vitamin prenatal yang harus kuminum setiap pagi dan memintaku melakukan konsultasi prenatal sebelum memasuki 8 minggu masa kandungan.

Aku terus mengingat-ingat semua yang kudengar di ruang pemeriksaan sambil memesan sepotong croissant isi tuna bersama secangkir teh aromaterapi dengan separuh kesadaran.

Suasan kafe siang itu lumayan penuh. Namun ketika berjalan membawa nampan ke kursi, aku mencoba tidak melirik seberapa ramainya orang-orang berbincang. Hanya berdebat dalam hati dan melamun.

Tahu-tahu ujung pakaianku tersangkut pada kail tas di ujung meja. Tasnya terseret mengikuti gerakanku dan menyenggol gelas. Gelasnya jatuh memuntahkan cairan pekat yang menyiram iPad seseorang dan menggelinding pecah di lantai. Bunyi benturannya cukup menyita perhatian.

Sementara orang yang mendapat nasib itu sontak melompat dari kursinya. Suara pecahan gelas dan decitan kursi itu membuatku panik, lalu mundur menabrak sisi meja pelanggan lain, dan hampir menjatuhkan nampan di tanganku jika seseorang tidak segera mengambil alih. Semuanya berlangsung dalam hitungan detik.

"Maafkan aku," kataku gemetaran kemudian berjongkok memunguti pecahan. Napasku naik dan turun.

"Jangan." Seseorang mencegahku, sebelum aku mengumpulkan lebih banyak pecahan lalu mengambil tanganku.

Ia mengelap tanganku yang sempat terkena kopi panas dengan sapu tangan lalu memanggil pegawai untuk membersihkan kekacauan. Aku segera mendongak dan menemukan tatapan hangat milik Han Taejoon.

Kehadirannya membuatku lebih tenang. Saat senyum tersungging di wajahnya, muncul beragam perasaan aneh. Semacam familier, senang, aman, dan sedikit canggung.

***

"Hubungi aku jika ternyata iPad atau tasmu tadi rusak." Taejoon menyerahkan secarik kartu nama perusahaan pada wanita yang berwajah muram.

Tampaknya wanita itu masih kesal. Terbukti dari caranya mendengus dan melirikku. "Nona, lain kali berhati-hatilah."

Aku menundukkan pandangan dan mengangguk lesu. Terlalu malu menatap wajahnya.

Taejoon beralih padaku saat wanita itu meninggalkan kami. "Kau baik-baik saja?"

Aku mengangkat kepala dan mengangguk. "Terima kasih."

Dia menatapku prihatin. "Mau minum kopi di tempatku?"

Aku melemparkan tatapan tempatmu dengan penuh tanda tanya.

Seolah bisa menangkap arti tatapanku, Taejoon tertawa supel. "Aku punya kantor di sekitar sini. Kita bisa minum kopi sambil membicarakan hal lain misalnya. Jarimu juga terkena luka bakar. Harus segera diobati."

Aku menarik napas sekilas kemudian mengangguk tanpa pikir panjang. Minum kopi siang ini bersama Taejoon kurasa tidak buruk.

***

Taejoon mengajakku ke toko perhiasan dan memintaku duduk di kursi yang bersisihan dengan jendela jalan sementara dia membawakan kami kopi. Dia menolongku lebih banyak daripada seharusnya. Lukaku baru saja selesai diobati dengan salep bacitracin antiobiotik.

"Jadi ini yang kau sebut kantor?" tanyaku saat dia menyodorkan segelas kertas kopi panas dan duduk di depanku.

Taejoon mengangkat alisnya. Mulutnya terbuka cukup lama sambil mengeluarkan suara dari dalam tenggorokan. Terlihat mempertimbangkan sesuatu yang sulit dikatakan. "Bisnis kecil-kecilan."

"Kecil-kecilan," aku tertawa meledek. Terang-terangan tidak setuju.

"Maksudku..." mulutku terbuka ragu, merasa lucu sekali lagi dan memandangi sekitar tempat ini sekilas, "kau punya ini semua. Toko berlian. Dan berani-beraninya kau bilang bisnis kecil. Serius?" Aku melotot garang. "Han Taejoon-ssi, kau mencoba mengajakku bercanda atau pura-pura merendah?"

Taejoon melipat bibir sekilas. "Aku malu," bisiknya mengakui. "Bisnis Jeon seratus kali lebih... bagus?"

Aku sontak tertawa. Ada semacam kenyamanan yang terlintas. "Kau pasti tipe pria romantis," ucapku memangku dagu. "Aku jadi penasaran siapa wanita yang sudah memenangkan hati pemilik toko berlian ini?"

Dengan lembut Taejoon tersenyum. "Belum ada."

"Sayang sekali." Aku meringis sedih. "Tidak coba kencan?"

"Belum ingin." Taejoon menunduk dan tersenyum malu-malu sambil menggoyangkan gelas kertas di tangannya. Kemudian wajahnya kembali menghadapku. "Terkait masalah di Singapura, apakah kedatanganku membuatmu terkejut?"

Aku menggangguk gamang. "Sedikit."

"Sejujurnya, sejak lulus kuliah itu pertama kalinya aku kembali bertemu sanak saudara." Tiba-tiba aku melihat kilasan menyedihkan berkelibatan di balik matanya. Kudengar napas Taejoon agak memberat. "Aku tidak ingin muncul tiba-tiba tapi sulit jika terus bersembunyi karena rasanya beban." Suaranya selayu sutra, tak lagi tegas. "Aku tidak mengerti bagaimana cara kembali ke titik awal dan memperbaiki keadaan."

Aku tidak menjawab. Masih memerlukan waktu berpikir lebih lama.

Kemudian ia berdeham dan memalingkan wajahnya ke jendela untuk meneguk kopinya. "Jeon pasti sudah menceritakan ini padamu."

"Hanya sebagian," jawabku pelan. "Dia hanya mengatakan kau adalah sepupunya dan..." aku menggigit bibir merasa tidak berani mengatakan masa lalu mengerikan.

"Orang tuaku," sahut Taejoon meneruskan. Muncul senyum pedih di bibirnya. Taejoon memegangi gelasnya dengan kedua tangan di atas meja sambil memandangi cairan kopinya dalam beberapa detik. "Aku benci orang tuaku. Mereka mematri kenangan menjijikan."

Tangannya mulai gemetaran dan aku melihatnya dengan jelas. Melihat sakitnya, rapuhnya seorang Han Taejoon meski dia belum mengatakan banyak rahasianya.

"Sebelumnya aku tidak pernah tahu apa pun. Aku tidak tahu Jeon mengalami hal-hal buruk selagi aku tinggal di luar negeri. Aku tidak pernah tahu awal mula hancurnya sepupuku karena orang tuaku. Tapi suatu hari, ketika liburan sekolah dan aku kembali pulang, aku melihat yang tidak semestinya kusaksikan. Aku bersumpah aku hanya melihatnya sekali." Bibir Taejoon bergetar kuat dan suaranya sudah berubah menyerupai orang yang tertekan dalam ruang interogasi. "Mereka ada di sana, maksudku, Orang tuaku dan Jeon. Di kamar orang tuaku."

"Oke, oke." Aku meremas tanganku tanpa sadar. Merasakan ketakutan Taejoon sudah memengaruhiku semakin jauh. "Aku tahu. Aku tahu. Aku mengerti. Jangan katakan lagi. Jangan ceritakan bagian itu." Aku tidak ingin membayangkan suamiku saat kecil ada di sana, tinggal dan mendapat perlakukan yang bahkan tidak pernah bisa kubayangkan. Aku benar-benar menghalau otakku untuk memberikan gambaran.

Semua ini bukan hanya tentang Taejoon, tetapi aku objek utama dari seluruh rangkai ceritanya tentu mengarah pada suamiku.

"Saat itu aku tidak memiliki keberanian mengatakannya karena mereka orang tuaku. Aku mencoba mendorong Jeon untuk bicara, tetapi aku sungguh-sungguh tidak tahu alasannya kenapa dia terus bungkam. Aku sungguh takut pada masa laluku. Aku takut pada kejadian yang kusaksikan tapi juga takut mengatakannya pada siapa pun. Sampai akhirnya aku memberanikan diri menulis surat untuk seseorang dan pergi dari rumah meninggalkan segalanya. Sejak hari itu sampai sekarang pun, aku belum pernah melihat orang tua lagi," sahut Taejoon menjabarkan dengan cepat. Kemudian menutup wajahnya dalam telapak tangan dan mengusapnya gusar.

Mataku membulat saat Taejoon menjauhkan kedua tangannya dari wajah. Ujung bulu matanya sedikit basah.

"Aku akan terus merasa bersalah. Hingga saat ini, setiap kali memejamkan mata, aku akan melihat kejadian yang sama berulang-ulang," ucapnya teramat pelan dan menggeleng seolah meyakinkan dirinya sendiri. "Seandainya aku mengatakan lebih awal, Jeon mungkin tidak akan kesulitan dengan semua ini. Aku bukan pemberani, Shin Runa. Akulah awal mula kehancuran suamimu."

Aku menggeleng menolak perkataannya. "Tidak. Aku ingin berterima kasih karena kau mau menulis surat untuk Jeon. Aku berterima kasih kau mau melakukan keberanian itu walau sulit."

Taejoon kembali menggeleng. "Aku bukan pemberani. Aku sama sekali bukan pemberani."

Aku meraih sebelah tangan Taejoon dan memandang lurus matanya. "Kau pemberani, Han Taejoon-ssi. Kau sangat sangat pemberani. Aku tahu sedalam apa luka hatimu atas perbuatan orang tuamu, aku tahu sebesar apa kebencian dan rasa sayangmu pada mereka. Aku bisa memahami. Karena itulah aku mengatakan kau pemberani dan pria yang tegar."

"Tapi tetap saja pelecehan yang dilakukan orang tuaku pada Jeon adalah kesalahanku. Jika aku tidak pergi keluar negeri, mereka akan memilih melakukan itu padaku, mereka...."

Aku meremas kepalan tangannya semakin kuat. "Tidak apa-apa jika ingatan itu tidak bisa meninggalkanmu, tapi berjanjilah padaku untuk berhenti menyalahkan dirimu."

Dia memberanikan diri memandang lurus mataku dengan matanya yang memerah.

"Semua ini bukan salahmu," sambungku. "Kalian masih terlalu muda saat itu. Mulai sekarang berjanjilah kau takkan menyalahkan dirimu lagi. Pikirkan saja seberapa besar usaha ketika kau mencapai titik balikmu." Aku menggeleng-geleng pelan memberi semangat padanya. "Semua ini bukan salah Jeon, bukan juga salahmu, Han Taejoon-ssi."

Taejoon mengangguk kuat-kuat. "Terima kasih, Shin Runa. Terima kasih banyak."

***

Aku kembali ketika waktu menunjukkan pukul tujuh lewat enam belas.

Cukup mengejutkan karena melihat Jeon berdiri diambang pintu kamar. Menggosok rambut yang habis dikeramas dan melempar senyum padaku. Aku ikut tersenyum ceria seolah dengan begitu masalah kami selesai. Seolah aku tidak terkejut dia pulang sebelum pukul delapan.

"Aku beli daging." Kuangkat kantong belajaan dan menghambur ke hadapannya.

Ketika mencium ujung bibirnya, dan ketika dia memeluk badanku, aku berdoa kami bisa terus begini selamanya. Aku tak pernah meminta kenyamanan semacam ini selesai. Sedikitnya, aku berharap pelukan Jeon bisa membantuku melupakan sesuatu yang kutemukan pagi ini di laci kerjanya. Namun nihil, tidak berhasil. Pelukannya malah membuatku makin tersiksa.

Cepat-cepat kulepaskan pelukan kami sebelum aku menangis. "Bantu aku potong dagingnya. Kau belum makan malam, kan?"

"Belum." Jeon membuntutiku ke dapur, mengambil alih kantong dan mengeluarkan isinya ke meja.

Saat dia membantuku memasangkan tali apron, aku menceritakan banyak kejadian beberapa jam terakhir. "Hari ini panjang sekali. Aku pergi ke kafe dan melakukan kesalahan. Kacau sekali." Aku melaporkan semua kejadian dan melewatkan nama Taejoon, termasuk kunjungan ke dokter kandungan dengan sengaja.

Jeon mendengarkan semua celotehanku tanpa menyela sebelum aku benar-benar selesai.

"Hari ini aku beli kado untuk Danna. Kau masih ingat Gil Danna, kan? Nanti saat persalinannya, kita harus datang menjenguk. Dokternya bilang jenis kelamin bayinya perempuan padahal suaminya bersikukuh ingin anak laki-laki."

Jeon mengangguk perhatian dan tersenyum.

Namun jika pagi ini aku tidak menemukan foto Ae Jin di laci kerjanya, mungkin aku masih menganggap Jeon adalah pria yang sama. Pria yang beberapa tahun lalu kulihat. Masih sama dengan pria yang sebelum kami menikah akan bertanya 'sudah makan' di jadwal padatnya. Pria yang meluangkan waktu sepuluh menit makan malam bersama keluargaku, dan pria pertama yang berani melamarku dengan kata-kata gila.

Tapi ketika ingat dia pernah menipuku dan menyimpan sesuatu untuknya sendiri, aku tidak lagi bisa melihat Jeon K. Kalinsky dengan cara sama. Begitulah aku tumbuh.

"Saat makan malam besok, aku akan memberikanmu sesuatu."

Jeon sudah bersiap melumuri bumbu di atas daging merah. Dia berhenti untuk memastikan apa yang hendak aku katakan.

"Coba tebak apa?"

"Ciuman," katanya polos.

Jawabannya membuatku tertawa. "Itu sih bukan hadiah, dong." Selanjutnya aku memberi Jeon senyum rahasia. "Filmku. Kau dapat satu tiket premier. Ada banyak kursi kosong untuk penulis. Jadi kau bisa dapat satu. Adikku dan Jeongmin juga boleh datang," tuturku riang gembira.

"Artinya aku harus buat rencana makan malam paling romantis?" tanya Jeon dengan nada antusias.

"Tentu. Aku masih ingin kau bertanggung jawab tidak membuatku stress sampai hari itu tiba."

Jeon mendesah pura-pura. "Baiklah," katanya seolah tidak punya pilihan.

"Pokoknya saat hari pemutaran film perdanaku, kau dilarang bekerja," mataku berseri-seri penuh harap. "Kosongkan waktu untukku, ya? Ini film pertama setelah aku menikah."

"Tentu."

Aku melompat gembira dan memeluknya sayang. Tetapi Jeon tidak bisa membalas pelukanku karena tangannya terkena minyak daging.

Setelah itu aku mengatakan sesuatu diluar topik ketika melihat Jeon melakukan kesalahan pada dagingnya. "Bukan begitu," protesku saat dia menaburkan garam dan ladanya sembarangan.

Aku mengambil penjepit rambut dari tas dan melipat rambutku mirip roti bun. "Perhatikan baik-baik. Supaya lebih nikmat lumuri bumbu ke dagingnya bukan ditaburi."

Terbukti Jeon tidak begitu memperhatikan penjelasanku. Ia malah mencium gemas tengkukku dua kali sambil menggosok hidungnya di sana.

Sungguh perbedaan sikapnya terlalu jelas terlihat. Kini setiap kali aku banyak bicara maka Jeon akan memberiku tatapan memuja, dan seolah-olah ingin menyimpanku dalam kantong celana.

Setelah selesai dengan dagingnya, aku melanjutkan cerita lebih banyak.

"Benarkah?" tanya Jeon ketika ceritaku merambat pada dua orang di supermarket yang menimbulkan kericuhan karena salah satu dari mereka bermain api dengan suami wanita satunya. Aku juga tidak luput menceritakan kondisi tanganku yang terciprat kopi panas pengunjung kafe.

"Lihat nih." Aku menunjukkan warna merah seperti putri mungil yang mengadu pada ayahnya sepulang kerja sambil mencebikkan bibir. "Perih, tahu," laporku dengan suara mengayun manja.

Jeon langsung memegang ujung jariku. Melupakan tangannya yang masih kotor. Ibu jarinya mengusap penuh penghargaan seolah aku adalah benda yang mudah rusak. "Pain, pain go away. Don't come back another day." Ia menyanyikan dengan suara manis pada kelima ruas jariku hingga membuatku tertawa.

Lalu, dengan semua ini, apa kalian mengira suasana hatiku membaik?

Belum.

Aku masih ingin melihat berapa banyak lagi bagian tentang dirinya yang dia sembunyikan.

Termasuk hatinya yang mungkin masih tertinggal di tempat lain.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top