25| An Old Flame
Kulitku merasakan dingin secara intensif. Hingga terpaksa setibanya di bandara Gimpo aku membeli serta mengganti kausku dengan baju rajut leher tinggi lengkap dengan mantel daripada membongkar isi koper.
Pukul setengah sembilan malam, mobil yang dikendarai Jeongmin tiba di jalan Namchang. Baru melewati kantorku. Riuh bising tak ayal berbeda dari sebelum kami pergi. Masih seputar gemelip ibu kota. Namun sejauh ini aku bersyukur kami belum menjumpai kemacetan.
Roda mobil berhenti total di lampu merah. Sepanjang perjalanan, aku tidak banyak bicara. Jeon juga urung bertanya. Tampaknya dia memang tidak kasihan dengan rasa penasaranku. Sialnya, rasa penasaranku bisa lebih parah ketimbang sakit pinggang datang bulan.
Aku gelisah, tak tenang, dan ingin segera mendengar kisah Han Taejoon darinya. Tetapi aku tahu, ditodong dengan cara apa pun Jeon tidak bakal memberikan jawaban sekarang.
Sampai detik ini aku masih belum mengerti apa yang salah dari Han Taejoon. Kenapa pria itu berlutut? Kenapa wajahnya lesu? Kenapa semua orang memandangnya dengan cara yang berbeda.
Sejujurnya, sekali lihat aku bisa memafhumi seperti apa Han Taejoon. Di mataku dia bukan pria yang punya kemungkinan membuat skandal atau sekedar menggoda wanita sembarangan. Pria itu kelihatan sepadan dengan Jeon.
"Data kuartal tiga dari berbagai sektor sudah kau dapatkan?" Jeon bertanya dengan iras serius. Dia duduk di sampingku, tepat di belakang kursi Jeongmin. Sejak tadi tatapannya tak lepas dari layar iPad yang menyuguhkan portal Enterprise.
"Givenchy naik satu peringkat pada kuartal pertama setelah meluncurkan koleksi sneaker ditunjang berbagai selebriti papan atas. Terakhir mereka mendaulat Ariana Grande sebagai model musim dingin."
"Palm Angles?"
"Mereka masih bertahan di posisi sebelumnya dengan koleksi Under Armour."
Jeon mengangguk mengerti. Ia berkutat kembali dengan elektroniknya.
Aku masih mengamati setengah fitur wajah Jeon ketika dia kembali membuka suara. "Tahun depan aku ingin punya wajah baru untuk tema Colorism dan Devinity Essence. Bagaimana dengan Beyoncé?"
Sekarang aku bisa melihat langsung apa dia lakukan di mobil sementara Jeongmin menyetir. Melihat Jeon membicarakan pekerjaan membuatku terkesima. Seksi sekali. Pesona Jeon saat sedang membahas urusan kantor seolah berbading terbalik 180 derajat ketika berada di rumah. Sosoknya yang mengitimidasi dan tak banyak mengumbar senyum membuatku merinding.
Jeongmin berdeham, sekilas menoleh. "Adidas dan Beyoncé masih bekerja sama, Presdir."
Aku bisa mendengar Jeon menarik napas pasrah.
"Tapi, Presdir, untuk musim selanjutnya beberapa merek mulai mengganti dengan para penyanyi muda Billboard," ucap Jeongmin memberi masukan.
Atas saran itu Jeon membuka tab baru dan mengetikkan kata pencaharian Spotify's Global Top Lists. Dia menghembuskan napas sembari memijat ujung pelipisnya. "Baiklah. Kumpulkan semua daftar artis dan pencapaian mereka. Serahkan ke kantorku besok. Aku akan mempertimbangkannya sendiri."
Jeongmin hanya sedikit menganggukkan kepala.
"Bagaimana dengan Vogue?" tanya Jeon tanpa mengangkat kepala. "Mereka setuju memberi kita dua editor?"
"Mereka akan memberikan kita editor terbaik. Menganalis sembilan belas tahun terakhir mereka juga setuju terkait konsep warna kulit beragam."
"Berapa peringkat kita hari ini?" Jari tengah Jeon menggilir layar. Membalik halaman web, mencari-cari sesuatu.
"Berdasarkan Interbrand, mereka telah mencatat tingkat pertumbuhan kita sebanyak sembilan persen dari tahun lalu. Tercatat kita menempati peringkat empat belas berdasarkan demografi dan penjualan rata-rata global."
Aku bisa mendengar Jeon menghembuskan napas lagi. Terlihat jelas kecewa.
Empat belas bukan angka yang buruk bila disandingkan dengan jutaan merek mode seluruh dunia. Tetapi menilai ekspresi Jeon sekarang, sepertinya dia kelihatan tidak senang.
"Sampai sini saja." Jeon menyamankan punggungnya di jok. "Untuk sementara jangan tambahkan rencana apa pun. Aku sudah memperbaharui rancangan untuk rapat berikutnya."
Jeon menggilir panel, berpindah membuka daftar kontak, kemudian memasang sebelah AirPods sebelum menghubungi seseorang.
Rekan kerja, mungkin.
Ketika roda mobil kembali berputar, ketika itulah aku melihat wajah familier di barisan halte terdepan. Shin Jaemin berdiri menunggu bus. Ia bergelut di balik jaket North Face-nya. Telinganya disumpal earphone pasar malam (hasil buruan diskon satu tahun lalu), dan menyimpan AirPods pemberianku di laci kamar bagai benda sakral alih-alih memakainya.
Aku merasa prihatin karena sebelah earphonenya rusak dan ujung kabelnya terkelupas. Entah mengapa penampilannya selalu mirip gembel urakan.
Namun aku salut padanya. Sejak dulu adikku jarang memakai fasilitas keluarga. Saat-saat sekolah, Jaemin menolak diantar-jemput supir pribadi, mengurangi keperluan praktis, dan kini ia terlihat seperti mahasiswa pada umumnya—menunggu bersama tiga orang pengguna moda publik. Malahan penampilannya sangat normal dikatakan sebagai calon pria yang akan meninggalkan keluarga untuk memulai hidup lanjutan. Suatu saat, siapa sangka dia akan mengikuti langkahku pergi dari jangkauan keluarga demi membina rumah tangga.
Melihat Jaemin saat ini membuatku semakin mengerti ungkapan anak tak pernah dewasa ketika di rumah. Karena begitulah orang tua memperlakukan kami. Menolak anak mereka tumbuh. Merasa sedih sekaligus takut.
Namun aku bangga, Jaemin-ku sudah dewasa.
Perjalan masih sekitar dua puluh menit. Aku dilanda bosan selagi Jeon tetap berbicara di telepon. Kulihat Jeongmin menguap. Wajah kuyunya membuatku sungkan menjemput kami malam-malam.
"Jeongmin-ssi, kau butuh teman ngobrol?"
"Perjalanan udara pasti melelahkan, sebaiknya nyonya istirahat. Aku akan mengantar dengan selamat."
"Aku tidak ngantuk." Sekilas kulirik Jeon yang belum menghiraukanku, lalu kembali pada Jeongmin. Menggeser pantatku maju agar kami lebih mudah bicara. "Kalau mengendarai mobil malam hari pasti aku butuh teman bicara."
Jeongmin tertawa redup. Kurasa itulah jawabannya.
"Kau pernah dengar lelucon apa saat kecil?"
Jeongmin mendengung, mengingat-ingat. "Banyak."
"Kalau begitu kau mungkin tahu kenapa anak kura-kura jalan lambat?"
Jeongmin kembali mendengung. "Karena masih kecil?"'
"Bukan."
"Karena dia membawa tempurung?"
"Salah."
"Aku tahu jawabannya. Tunggu sebentar, sepertinya aku ingat."
"Menyerah saja."
"Baiklah. Aku menyerah. Jadi kenapa si anak kura-kura jalan lambat?"
"Karena ayah dan ibunya kura-kuranya."
Kami tergelak. Aku tahu lelucon ini tak pernah mempan bagi orang lain apalagi Jaemin. Tetapi aku senang Jeongmin bisa menghargai upayaku. Namun satu-satu yang tidak tertawa di mobil ini hanya Jeon.
Ketika Jeon mengeraskan volume suara dan bertanya 'Apa?' pada orang dalam telepon sambil menutup sebelah lubang telinga dengan jari, aku sontak melipat bibir meredam tawa. Wajah Jeongmin menjadi kaku meski ia mati-matian menahan geli.
Tiba-tiba ide muncul dalam benakku.
Aku mengetikkan sesuatu di ponsel, menunggu sesaat, dan kusadari tatapan Jeon langsung fokus pada sesuatu di layar iPad-nya.
Aku kembali mengirim satu balon pesan. Membuat sebelah alisnya terangkat. Lalu mengirim pesan susulan.
Kira-kira enam detik berikutnya setelah Jeon mengatakan 'baiklah' pada lawan bicaranya di telepon, sambungannya barulah selesai. Namun pandangannya masih tetap di layar. Ia tampak mencermati pesanku lebih lama.
|Kau seksi saat membahas pekerjaan
|Mau kencan denganku?
|Lusa malam
Katakanlah aku gila.
Jeon tidak membalas pesanku. Dia meletakkan iPad-nya di antara kami lalu menyelipkan kelima jarinya disela jemariku. Belum cukup sampai di sana, bibirnya mengecup punggung tanganku.
"Bisa?" tanyaku memastikan.
Jeon kembali mencium kulit tanganku. "Jam delapan."
***
Jeongmin segera pamit setelah membantu kami menurunkan barang-barang di depan rumah. Jeon membawa koper kami masuk, dan membiarkanku berada di belakang membawa tas tanganku sendiri.
Sebelum menginjakkan kaki di anak tangga taman, suara seorang wanita menginterupsi langkahku.
Aku menoleh dan mendapati wanita yang beberapa tempo lalu berkunjung memberikan sekotak cokelat. Ah, omong-omong cokelatnya dihabiskan Jaemin sendirian saat sedang mampir.
Dalam pendar remang lampu kompleks aku melihat wanita itu merapatkan kardigannya datang menghampiriku.
"Kalian pergi liburan panjang?" tanyanya sambil mengintip pintu rumahku yang terbuka.
Aku menganggukan kepala kalem sambil tersenyum ramah meski sekujur badanku sudah sangat letih.
"Sejujurnya aku ingin mengajakmu bergabung menjadi anggota asosiasi. Kau bisa dapat banyak keuntungan kalau bisa kenal dengan banyak wanita di lingkungan ini."
"Permisi," kataku menyela dengan sopan. "tapi aku baru saja pulang, bisa kita bicara nanti? Aku harus memikirkannya dengan keadaan segar dan meminta pertimbangan suamiku."
"Zaman sekarang jangan terlalu banyak mendapat keputusan dari suami. Sebagai wanita kita harus hidup mandiri. Ada istri politisi dan pengusaha besar. Kalau sampai kau lewatkan kesempatan ini, kau akan menyesal seumur hidup. Istri kepala dinas pendidikan juga ada di dalamnya. Mungkin anakmu kelak bisa dibantu jika bermasalah."
Sekeras mungkin, aku berusaha menunjukkan senyum. "Sungguh, maafkan aku. Aku harus masuk."
"Pertimbangkanlah lagi. Aku menawarimu karena yakin orang-orang yang tinggal di lingkungan ini sudah pasti punya nilai dan pendapatan stabil."
"Runa, sedang apa di sana?"
Aku menoleh cepat, tidak bisa menjawab saat melihat Jeon berdiri di ambang pintu menutupi setengah cahaya dari dalam. Dia berjalan menghampiri kami.
"Astaga, itu suamimu?" Wanita itu berbisik kagum. "Bentuk tubuhnya indah sekali."
Aku tersentak mendengar ucapannya. Mana boleh memuji tubuh suamiku. Tetapi saking terkejutnya aku hanya bisa membuka mulut, sementara wanita itu belum melepaskan Jeon dari perhatiannya.
"Annyeonghaseyo," ucapnya mendadak kemayu. Dia mengulurkan tangannya ke arah Jeon. "Aku Kim Dabin."
Wanita itu tersenyum manis-manis berbading terbalik dengan ekspresinya di depanku. Aku segera menahan tangan Jeon di samping tubuh kami.
"Tangan suamiku sedang sakit. Aku Shin Runa, ini suamiku Jeon. Semoga kita bisa jadi tetangga yang akur, Kim Dabin-ssi."
Tetapi sepertinya Dabin memang tidak tertarik dengan wajahku. Dia terus memandangi wajah suamiku penuh damba. Kemudian ia tertawa sambil menarik tangan sendiri namun tatapannya sempat tertuju pada tangan kami.
Luar biasa. Dia hebat sekali. Tahan aku agar tidak menjambak rambutnya.
"Aku sudah membawakan sekotak cokelat. Kau sudah menerimanya?" tanya Dabin tertuju pada suamiku.
Aku balas tertawa ramah. Tepatnya pura-pura. "Terima kasih cokelatnya." Padahal Jeon tak tahu menahu soal cokelat.
Sesaat kemudian dia menyipitkan mata seperti mencari-cari sesuatu di wajah suamiku. "Tunggu dulu," katanya. "Aku yakin pernah melihatmu sebelum ini."
Sekarang aku bukan hanya ingin menjabaknya, tapi ingin memilin bibirnya agar berhenti bicara.
"Ternyata benar!" serunya mengagetkan kami. "Kau pria waktu itu. Lelaki dua puluh tahun lalu. Kau masih ingat padaku? Ingatanku memang agak berantakan, tapi aku masih mengenali bola mata dan tahi lalatmu di leher."
Membaca potret wajah Jeon yang kebingungan, wanita itu berujar layu. "Ah, benar. Kau mungkin sudah lupa padaku. Tapi apakah kau masih ingat dengan wanita 82 kilo di bawah kaki gunung Seorak?"
Jeon menunjukan perubahan raut wajahnya dengan jelas.
"Itu benar kau 'kan, Oppa? Katakan bahwa orang itu dirimu? Wanita yang pernah bicara denganmu itu adalah kakakku. Selama ini aku sudah mencarimu ke mana-mana. Waktu itu aku masih siswa sekolah dasar dan kau masih SMA," katanya menggebu-gebu. "Jika benar itu kau, kau tentu masih ingat kakakku, kan? Apakah itu kau orangnya yang berbicara dengan kakakku saat di gunung Seorak?"
"Benar," kata Jeon akhirnya. Kemudian pandangan Jeon jauh lebih serius dari sebelumnya. Terpecik harapan juga kesedihan. Dan aku langsung mengingat siapa wanita 82 kilo yang pernah Jeon ceritakan saat di pesawat. Inspirasi terbesarnya mendirikan Jves & Koch.
"Sekarang di mana kakakmu?"
Wanita itu tidak lantas menjawab. Dia memberi batas waktu sekiranya tiga kali tarikan napas. "Bertemu Tuhan." Suaranya seperti teredam dalam air.
"Apa?" tanya Jeon dengan cemas. Suaranya terdengar seperti berasal dari jarak yang amat jauh.
Dabin berdeham. Lalu dengan susah payah menjawab lagi, "Kakakku ingin berterima kasih padamu sebelum hari terakhirnya. Itulah kenapa aku masih mencarimu selama ini. Dia mengakhiri hidupnya tanpa penyesalan setelah beberapa hari kalian bicara. Dia menganggapmu penyelamatnya dari kekhawatiran atas pandangan orang-orang. Dia merasa tenang setelah kalian bicara. Sekarang aku sudah lega bisa menyampaikan pesan ini padamu."
***
Aku masuk ke rumah tanpa membawa perasaan burukku pada Dabin. Setelah mendengar ceritanya, aku kehilangan firasat jelek tentangnya. Mungkin Dabin memang tulus memuji suamiku tanpa maksud tertentu.
Aku berhenti di samping dinding, di mana biasanya menempelkan post-it. Sudah berapa lama kami tidak menempelkan kertas baru.
Tanganku meraba tulisan terakhir Jeon berisi 'sudah pulang' yang ia lekatkan sebelum kami bertengkar.
Setelah melihat semua ini aku sadar catatan kami lebih mengganggu hatiku dari pada sikap Dabin.
"Jeon, haruskah aku mencopot semua kertas-kertas ini?"
"Kenapa?"
"Aku merasa..." agak terganggu dan gelisah. Namun aku buru-buru menarik napas panjang dan menggeleng. "Lupakan saja."
Aku melepas sepatuku dan meletakkan tasku di sofa. "Di mobil tadi aku memperhatikan wajahmu saat bicara dengan Jeongmin."
Aku membantu Jeon melepas mantelnya dan menggantung di tiang ramping pakaian musim dingin.
"Kenapa?" tanyaku kembali ke hadapannya. "Kau tidak suka angka empat belas?"
Dia membalasku dengan senyum lemah. Sulit menebak apa maunya.
"Aku suka angka empat belas," sahutku. "Zaman Yunani kuno, 14 berarti punya daya tarik khusus. Angka para penolong, seperti yang kau lakukan pada kakak Dabin."
"Aku tidak suka."
"Kenapa?"
"Bagiku artinya jauh tertinggal."
Gambaran tidak ingin kalah terlihat jelas di wajahnya.
"Bagiku kau sudah menjadi angka satu. Angka satu sesungguhnya bagi seorang pria adalah menjadi pria bertanggung jawab setelah menikah dan menjaga keluarganya."
Jeon tersenyum. Tetapi aku tahu ucapanku kali ini sama sekali tidak bisa memenangkan hatinya. Dia tetap ingin perusahaannya menjadi pemenang.
"Aku mau membersihkan diri dulu," katanya.
Aku mencubit kecil pinggangnya. "Tidak mau mandi bersama? Aku baru membeli varian bath bomb baru dan membeli garam mandi ungu. Aku bosan warna biru."
"Kau menggodaku lagi?"
Mendeteksi perubahan ekspresinya, aku mengambil satu langkah mundur. "Kau jadi gampang tersinggung." Tujuanku memang menggodanya. Wajahnya saat digoda selalu membuatku puas. "Aku cuma bosan bau garam laut dan mau coba wangi esensial lainnya. Kenapa? Tidak boleh? Kau mau marah?"
Jeon menggigit bibir bawahanya sambil tersenyum kecil.
"Ahjussi dilarang marah nanti usianya berkurang." Aku menggoyangkan ujung jariku ke depan hidungnya. "Ahjussi jangan marah supaya tetap tampan."
Seperti serangan kilat Jeon mengulurkan tangannya, lantas menggapai tanganku dengan erat sebelum aku berhasil kabur. Aku terpingkal-pingkal minta ampun saat dia menggelitik badanku.
Suasana yang semula lucu berubah menjadi panas dan memicu adrenalin. Entah siapa yang memulai kami terjebak dalam ciuman mesra. Jeon memeluk pinggangku secara protektif. Mengelepas ikat rambutku dan mengelus helai rambutku persis anak kucing butuh belaian tanpa berhenti mengincar bibirku.
Langkahnya memandu kakiku untuk terus mundur dan bertubrukan dengan sofa. Ketika dia membuatku terbaring, jantungku semakin berdetak keras dengan irama teratur. Di sofa ini kami terus bercumbu. Dua jarinya menjepit daguku sementara punggung luasnya menaungi bahu sempitku dari langit rumah. Tak tinggal diam tanganku meremas pangkal rambutnya. Menjadikannya kusut lantaran semakin terpukau akan ketampanannya saat berantakan.
Tidak bohong, napasku mulai sesak saat dia terus memangut bibirku yang berlangsung cukup lama. Paham dengan kondisku, Jeon segera memberi waktu istirahat. Memindahkan ciumannya pada jengkal wajah hingga leherku, dan aku semakin tercekat ketika mendengar suara ikat pinggangnya ditarik jatuh ke lantai.
Dengan lembut dikecupnya pipiku. "Jangan nakal."
"Memang apa yang kuperbuat?" Aku menelan ludah dan menyembunyikan kegugupan untuk diriku sendiri.
"Kau menggodaku."
Aku pura-pura bersikap tenang. "Aku tidak menggodamu."
"Di bandara, di pesawat, saat kau melemparku ke kasur, dan dalam pesan tadi."
Dia menjemput ingatanku di hari-hari sebelumnya. Jantungku berdebar sangat keras mengingat segala kekhawatiran karena aku kerap menggodanya untuk kesenangan pribadi.
"Aku tidak menggodamu."
"Kau melakukannya." Dia tertawa di pipiku dan mengecupnya gemas.
"Jadi, kau menghitung semuanya untuk hari ini?"
"Aku minta jaminannya sekarang," jawab Jeon seketika.
Kemudian dia mulai melakukan apa pun yang dia inginkan. Mengambil kendali atas seluruh tubuhku.
Dari awal hingga akhir, Jeon bagaikan Nahkoda yang mendisplinkan awak kapal rese sepertiku.
Astaga. Seks bukan peristiwa baru bagi kami. Tetapi setelah merasakan beberapa kali, Jeon adalah ahlinya. Tentang tak pernah menyakiti dan selalu membuatku nyaman. Menghargai dan terasa berhati-hati.
Aku memberi nilai tinggi kemampuan seksualnya. Semua yang Jeon berikan tak pernah membuatku kecewa. Selalu menggambarkan ilusi bahwa kami lebih dari sekedar memiliki. Maka dari itu, aku menganggap Jeon lah ahlinya bisa berulang kali tersenyum dan memuji usahanya.
Malam itu kami melakukannya bukan hanya sekali.
***
Leherku seperti engsel yang kehilangan satu baut. Setiap kali menggerakkan kepala ke kanan rasanya seperti serat-serat punggungku ikut tercerabut. Tetapi tubuhku jauh lebih enak dan ringan.
Jeon masih ada di kamar, belum bangun, dan aku membiarkannya sebentar sambil aku mencuci muka dengan air dingin. Usai menyikat gigi dan membuat sarapan, barulah aku beranjak ke kamar membangunkannya.
Seperti biasa, tugasku harianku adalah membuat kondisi rumah kami ramai. Aku bisa sangat cerewet namun tidak menghabiskan waktu bercakap-cakap selain mengatakan 'bersiaplah, pergi mandi, akan kubuatkan kopi' sambil menepuk pantatnya seperti balita.
Karena masih malas bangun, aku menambahkan, "Jeon, hari ini kau harus observasi tempat bagus untuk kencan besok. Aku tidak mau dibawa ke sembarang tempat. Makanya cepat bangun."
Jeon hanya terkekeh dan mengecup bibirku sepintas. Ketika memastikan dia mengunci pintu kamar mandi dan menyalakan keran, aku bergegas mengaduk tasku.
Sedikitpun aku kesulitan untuk tenang. Dalam arti aku sedang bahagia. Benda di tanganku adalah penyebabnya. Tatapanku berpendar dalam kamar.
Di mana aku harus meletakkan ini? Aku ingin dia segera menemukan benda ini. Aku benar-benar tidak sabar menanti reaksinya nanti.
Jadi begini. Ini mungkin bukan berita mengejutkan, atau malah mengejutkan untuk diriku sendiri. Tetapi aku akan langsung mengatakannya tanpa efek dramatisir.
Aku hamil.
Rencananya aku akan memastikan kehamilanku hari ini ke dokter kandungan. Tetapi sebelum itu, aku membeli dan mencoba dua testpack sekaligus. Aku membelinya kemarin malam di apotek bandara karena merasa akhir-akhir ini tubuhku mulai tidak beres. Belum lagi saat aku menyadari terlambat datang bulan. Ditambah saat pertengahan hari nafsu makanku meningkat tapi sering kesulitan menghabiskan sarapan dan makan malam. Uniknya aku sama sekali belum mengalami gejala mual.
Aku mendatangi meja kerjanya. Aku tidak pandai menyembunyikan barang, tetapi semenjak kami tidur bersama aku cukup sering melihat Jeon berkutat di sini.
Aku tidak ingin meletakkannya di atas meja atau dibalik tumpukan kertasnya. Aku masih mempertimbangkan tempat yang pas yang bisa ditemukan Jeon dalam waktu dekat.
Aku menarik asal salah satu laci, dan tepat saat itu, tepat saat lacinya tersingkap, aku merasa menyesal telat membukanya. Tapi sudah terlambat.
Di sana ada foto mantan istri Jeon.
Dunia di atas kepalaku bagaikan runtuh seketika memandangi foto mantan istri Jeon beserta foto pernikahan mereka tersimpa rapi. Bukan hanya satu-dua. Fotonya lumayan banyak.
Ada yang sakit. Tapi tak tahu pasti letaknya.
Meskipun punggungku seperti baru ditembak mesiu dari tempat nun jauh, aku tetap melihat-lihat beberapa foto dan menemukan selembar sketsa paras wanita serupa foto. Di bawahnya tertera sebaris tulisan:
Cinta dalam hidupku.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top