24| Unexpected Man Around Me
Dalam waktu lama aku masih diam memandangi telapak tanganku. Aku masih ingat rasa genggaman Jeon menguat dan bergetar.
Han Taejoon... Aku berkedip dengan pandangan kosong. Masih belum ada petunjuk pasti siapa Han Taejoon selain bagian keluarga ini. Jeon sama sekali tidak menyebut Han Taejoon sebelumnya.
Dilihat dari berbagai sisi, pria itu atraktif. Badan Taejoon muskular. Tak berbeda dengan Jeon. Mata yang kecil memancarkan kelembutan.
Sejauh ini, dari semua yang ada pada Taejoon aku paling suka matanya. Matanya seolah berkata tak pernah melakukan kejahatan apa pun. Lalu, bagaimana bisa dia berlutut di kaki nenek Lucy sambil meminta maaf.
Siang itu aku menunggu di latar rumah dengan rasa penasaran. Mewanti-wanti dan menerka apa yang Jeon, nenek Lucy, dan Taejoon lakukan dengan beberapa anggota kepala keluarga. Tak ketinggalan Mama ada di sana.
Sementara aku digiring duduk di kursi batu sambil menatap Yoshio yang sedang menyombongkan Hot Wheels barunya pada para sepupu.
Tetapi pikiranku tidak di sini. Melainkan di ruangan Jeon berada sekarang.
"Bibi," tahu-tahu Yoshio muncul di depanku.
Tidak, jangan lagi. Aku berdoa anak ini tak cari perkara.
"Ada apa, Yoshio?"
"Tadi kenapa wajah paman J seperti itu?"
"Seperti apa?"
"Lebih, um, apa ya?" Ia mengetuk dagunya bermonolog. Nadanya terdengar lebih bersahabat. "Seperti melihat hantu."
Sebelum aku menjawab, Cecilia menyela galak, "Diam Yoshio!"
Yoshio merengut pada gadis itu dan menoleh lagi padaku. "Bibi, pagi ini aku kena omel ibu karena bibi."
Aku menunjuk dadaku. "Karenaku? Kenapa bisa karenaku."
"Ibu bilang ucapanku tidak bagus. Maaf atas cara bicaraku kemarin."
Kemudian dia merungkuk dalam-dalam. Kalau seperti ini Yoshio terlihat seperti anak manis.
"Hanya mengatakan itu?" Menggoda. Kedua alisku terangkat. Daguku naik beberapa senti. "Aku sudah memberimu hadiah spesial tadi malam. Benar tidak ada hal lain yang mau kau katakan?"
Yoshio menggigit-gigit bibirnya, matanya mengitar-ngitar seperti sedang merencanakan sesuatu.
Lalu, kakinya mulai mengambil nacang-ancang menjauh.
"CeritadanlagubibiRunabagusbetul." Ia memuji setelah itu berlari pada sepupunya yang lain.
Aku menanggapinya dengan senyum. Berusaha terlihat baik-baik saja. Aku tidak ingin menunjukkan pada anak-anak seberapa kalutnya aku sekarang tentang Han Taejoon.
"Yoshio!"
Aku berpaling ke pintu, ibu Yoshio di sana.
"Ayo kita pulang."
"Lho sudah selesai bicaranya?" tanya Yoshio.
"Ya. Mama masih punya banyak kerjaan. Masukan mainanmu sendiri ke koper."
Yoshio mengangguk dan mendatangi tempatku lagi sambil memeluk seluruh koleksi mobil hadiahnya. "Bibi Runa, terima kasih. Aku punya banyak sekali buku dongeng."
Lalu, suara Yoshio merendah. Wajahnya mencondong padaku. "Tapi mama tidak punya waktu. Papa dan Mama mau aku baca sendiri. Omong-omong suara pelayan di rumah jelek sekali. Kapan-kapan aku mau main ke Korea bertemu bibi Runa. Di rumahmu ada piano?"
"Ada," sahutku bangga. "Suamiku membelikanku."
"Paman J memang luar biasa. Aku juga mau minta mobilan baru lagi padanya."
"Tidak boleh. Mobilannya sudah habis."
"Eh, mana mungkin habis!" protes Yoshio.
"Pokoknya jangan minta lagi pada suamiku. Akan kulaporkan pada paman J-mu kalau Yoshio belum jadi anak baik di depanku."
Yoshio menjulurkan lidah. "Paman J lebih sayang aku ketimbang Bibi."
"Tidak mungkin," kataku separuh bergurau.
"Aku bakal datang ke Korea. Jalan-jalan dengan semua koleksi mobil keren paman J." Lidahnya kembali terjulur.
Aku ikut mencondongkan wajahku dan balas berbisik, "Korea-Jepang hanya dua jam. Aku tunggu. Jangan lupa bawa buku dongengmu."
"Baik."
Aku tertawa dan menegakkan badanku ketika Yoshio berlari menghampiri sang ibu. Aku mengangkat pandangan pada ibunya.
Wanita itu melepas senyum oriental untukku dan meraih tangan Yoshio.
"Semoga keluargamu dilimpahi berkah," ucap wanita itu dalam bahasa Korea walau aksen Jepang mendayu masih kentara.
Aku berdiri sesaat untuk membungkuk. "Kakak juga, tetaplah sehat menjaga Yoshio dan Miso," jawabku dengan bahasa jepang patah-patah dan salah tatanan.
"Ih, bahasa Jepang bibi Runa buruk betul." Yoshio tertawa girang dan berlari meninggalkan kami.
Yoshio membuatku tertawa.
Aku pasti akan merindukan anak itu.
***
Jeon tidak bertanya apa yang sedang kupikirkan. Dia menaikkan koper-koper kami ke bagasi mobil dan menutupnya.
Siang ini Singapura terlalu terik, aku menyipit dan seketika itu jerit tangis Miso dari depan rumah megah ini terdengar.
Lambat-laun suaranya mendekat dan berhenti di depan kami. Ibunya kelimpungan menggendong Miso yang memberontak.
"Miso tidak mau pulang. Dia ingin terus bersamamu," kata ibunya menatap Jeon resah.
Tangan mungil pucat kemerahan Miso tiba-tiba menggenggam sejumput baju biru Jeon. "Mau sama Uncle."
Jeon mengambil Miso dari dekapan ibunya. Tangisnya masih merebak. Bicaranya sesunggukan. Terdengar suara hu...hu...hu yang membuatku tertawa.
"Sudah kubilang dia merindukan pamannya," kataku.
Jeon menjauhkan wajah Miso dari pundaknya. "Coba lihat hidungmu," ucap Jeon sembari membersihkan ingus Miso dengan jarinya dan mengelap ke bajunya sendiri. "Lihatlah, airnya banyak sekali,"
Miso malah menangis lebih keras sambil memeluk leher kokoh Jeon.
"Aku tidak mau pulang." Mulutnya terbuka lebar menangis, ingusnya dan air matanya meleleh di baju Jeon.
Ibu Miso menyingkap lengan jasnya dan mengecek arloji, lalu menghela dalam-dalam dari mulut. "Besok, pagi-pagi sekali aku punya jadwal Kongres. Bisa kau bantu bujuk Miso?"
"Miso-ya," Jeon berbisik tepat di samping kiri telinga anak itu. "Paman akan menemuimu lagi."
Miso menggeleng, masih memendam wajahnya di bahu Jeon. Tangannya meremas lengan kemeja Jeon lebih kuat.
"Pernah ke Korea?" tanya Jeon.
"B-belum," jawab Miso sesak napas.
Jeon membawa Miso menjauh dari kami. Kata-kata terakhir yang kudengar dari Jeon hanyalah; "Di Korea paman punya banyak robot dan mainan."
Selang beberapa menit saat kembali lagi kehadapan kami, Miso berhenti rewel. Ia menyerahkan Miso kembali pada ibunya. Anehnya anak itu tak mau melihat Jeon. Ia bersembunyi di pelukan ibunya.
"Aku mau pulang." Miso berbisik lemas di leher ibunya.
"Salam dulu pada paman dan bibi."
Namun Miso menggeleng, tetap bersembunyi. Aku mulai curiga pada Jeon.
"Pulang," ujar Miso lagi.
Ibu Miso tersenyum pada kami. "Terima kasih telah membujuknya. Aku dan suamiku menunggu kalian datang ke rumah."
Aku sempat mengelus punggung Miso sebelum mereka pergi.
Aku memantau wajah Jeon, tapi dia tidak membalas tatapanku. Padahal aku tahu dia menyadarinya.
"Aneh sekali. Kenapa tiba-tiba Miso berhenti menangis?"
"Entahlah," ucapnya jenaka. "Semua barangmu sudah lengkap?"
"Kau aneh."
Jeon mengendikkan bahunya. Ketika Jeon hendak berjalan ke sisi lain pintu mobil, Taejoon datang ke arah kami.
Senyum Taejoon masih manis seperti hari pertama kami bertemu. Dua sudutnya lancip dan dia punya cekungan pipi menawan.
"Kalian sudah mau pulang?"
Jeon mengangguk. "Bagaimana denganmu?"
"Aku masih harus bicara dengan nenek."
Aroma daun hijau segar menguar dari badan Taejoon. Baunya tumpang tindih dengan wangi oceanic tubuh Jeon. Sepintas tercium seperti rumput basah. Bagaikan aku berada di hutan alami yang menyegarkan.
Aku menunduk dan menarik napas panjang. Sulit membedakan kedua raksi ini.
Apa mereka sedang perang parfum?
"Haruskah kuberi waktu kalian berdua?" tanyaku mengangkat kepala. "Aku bisa menunggu."
Taejoon sontak menggeleng. "Tidak perlu. Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih."
Pandangnnya lurus pada Jeon, ia mengulurkan lengan.
Jeon menatap lengan itu sedikit lebih lama, lalu menjabat tangan Taejoon dan menggerakkan dengan masif. "Semoga kita punya kesempatan bekerja sama."
Ketika tangan mereka terlepas, Taejoon menatapku. "Aku juga tidak menyangka kau istri sepupuku, Shin Runa-ssi."
Aku membalas senyumnya. "Dunia terkadang sangat sempit, kan?"
Taejoon menunduk untuk tertawa, terdengar percaya diri dan tenang. Selain itu Taejoon juga punya tawa yang renyah.
"Aku tidak menyangka kau sepupu suamiku."
Dia mengangguk-angguk lurus padaku. "Ayo kita bertemu lain waktu. Di Korea." Taejoon terdengar sangat yakin, sangat berwibawa.
Saat itu juga tangan Jeon memeluk bahuku dan memberi sedikit remasan. "Aku tidak sabar." Jeon menyahut.
Hubungan sepupu terasa masuk akal. Namun tetap saja pikiranku bercabang. Apalagi aku menangkap ada yang berbeda di wajah Jeon.
"Aku tidak sabar kita bertemu di Korea. Kalau begitu aku harus kembali ke dalam."
Ketika Taejoon meninggalkan kami, ketika Jeon berjalan memutari mobil, bahkan ketika ia membuka pintu, aku masih berdiri. Kupandangi kepergian Taejoon.
Siapa sangka Taejoon menoleh lagi ke tempatku tanpa berhenti melangkah. Bola mata sehitam kopinya penuh waspada.
Aku menahan napas, dan aku tidak bisa menggambarkan jenis ekspresi Taejoon saat ini.
***
Selama enam puluh detik dalam mobil, aku belum punya rencana bicara. Otakku mengingat baik-baik ekspresi Taejoon hingga aku kesulitan memikirkan masalah lain.
Lalu, suara Jeon menyentakku. "Setelah kita sampai bandara, mobilnya akan dijemput supir cadangan nenek."
Ah, ya. Benar. Sebelumnya aku ingin bertanya mengapa kami mengendarai mobil sendiri ke bandara.
"Kenapa kita pergi sendiri? Semua keluarga diantar sampai bandara, tapi kenapa cuma kau yang bawa mobil sendiri?"
Jeon menarik napas dari sela giginya, meninjau. "Supaya bisa mengajakmu jalan-jalan dulu?"
"Ah, jadi begitu." Aku mengangguk-angguk, tersipu.
"Apa ini indikasi pengantin baru?" Hawa panas seperti baru menguap dari tubuhku. "Jadi maksudnya kau sedang mengajakku berbulan madu?"
"Bukan."
Harapanku yang membumbung dihempaskan begitu saja dengan mudah.
Aku berdecak. "Harusnya kau bilang 'aku memang ingin membawamu bulan madu' atau apa saja yang menyenangkan hatiku."
Dia tertawa geli.
"Jangan tertawa. Aku punya banyak pertanyaan yang harus kau jawab setibanya kita sampai rumah. Dilarang mengelak."
"Aku tahu. Terlihat dimatamu ada beragam pertanyaan."
"Banyak sekali. Kalau kau mengelak, aku akan meninggalkanmu di bandara."
"Kau sanggup meninggalkanku?"
Oke, aku mulai jengkel dengan Jeon. "Kenapa kau jadi pandai membalikkan perkataanku? Kalau begitu, aku tidak akan melayanimu kalau kau bilang rindu lagi."
"Malam terakhir kaulah yang justru memaksaku." Jeon nyengir, meski pandangannya tetap fokus ke depan.
Aku menggebuk pahanya. "Kau juga mau. Jangan bicarakan itu."
"Sekarang kau malu?" dia menatapku sebentar dan tertawa.
Sementara jantungku bertalu-talu dan napasku seakan tersangkut. Belum lagi tubuhku memanas.
Kupukul sekali lagi paha tebalnya. "Stop!"
"Aku tidak mau."
Aku gugup sekali. Kemarin seharusnya kami selesai lebih cepat, tapi ternyata rinduku berlebihan, jadi aku memohon-mohon padanya dengan suara manja.
Pertama kalinya, kami baru merasa letih setelah dua sesi.
"Berhenti di drive-thru." Aku menunjuk logo McDonald's sekitar seratus meter sekaligus mengalihkan kecangungan.
"Ada yang mau kau beli?"
"Aku haus." Lalu meraba perutku memastikan sesuatu. "Sedikit lapar. Kau mau burger?"
Jeon menggeleng.
"Kentang goreng?"
Dia menggeleng lagi.
"Omo." Buru-buru kubekap mulutku menggunakan dua tangan. "Aku lupa kau tidak bisa makan itu semua. Maaf."
"Bukan karena itu."
"Apa pun itu kau jangan sampai konsumsi makanan tinggi kandungan gula, lemak, garam, ataupun minyak. Hasil latihanmu akan sia-sia."
Jeon cuma membalasku dengan senyuman maklum. Aku merendahkann tubuh mengintip papan led.
"Aku ingin minuman Double Chocolate Frappe, dan juga... burger Buttermilk Crispy Chicken. Tambahkan Oreo Cheesecake untuk penutup."
Jeon mengatakan semua itu pada pelayan tanpa perlu kusebutkan dua kali. Semuanya sama.
Aku menarik bajunya. "Pesankan es krim McFlurry dan Hasbrown juga."
"Kau yakin sebanyak itu?"
"Kenapa? Tidak boleh?" Aku menatapnya memelas.
Jeon menghela dan menggeleng. "Kau bahkan tidak menghabiskan makan malam dan sarapanmu?"
"Justru itu, aku mau makan ini sejak semalam."
Dia menyebutkan kembali apa yang kuminta. Ditambah segelas Long Black miliknya.
"Jeon?"
"Hm?"
"Kau yang bayar tagihannya, kan?"
Jeon terbahak-bahak. "Aku."
Dia mengeluarkan dompetnya dan menarik dua lembar mata uang Singapura.
Kami perlu menunggu waktu pesanan.
"Kau pernah pesan kopi di waralaba begini?" tanyaku.
Jeon menggaruk pelipisnya dengan ujung kelingking. "Seingatku tidak."
"Darimana kau tahu ada kopi jenis Long Black di sini?"
"Asal tebak."
"Ahh, jadi begitu." Aku mengangguk. "Sudah kuduga," gumamku.
Sudah kuduga orang ini takkan minum kopi sembarangan.
Kusadari dia mengawasi jari tanganku di atas pangkuan. "Di mana kau bertemu Han Taejoon?"
Kusadari muncul nada lain dari suaranya. Jeon agak gelisah, lalu kuceritakan kronologi saat kami bertemu di kantor polisi.
"Hari itu, apakah kau tidak memberitahu padanya sudah menikah?" suara seriusnya terdengar mengerikan. "Han Taejoon bilang kalian sudah bertukar nomor."
Aku menggigit bibir dalamku. Mendadak ngeri dengan tatapannya. Baru kali ini aku tidak suka dengan mata kelabunya.
"I-itu...," lalu kutarik napas mengumpulkan nyali. "J-jangan berpikiran aku selingkuh. Hari itu karena dia membantu Jaemin makanya kuberikan nomorku begitu saja. Kau tentu tidak berpikiran ke arah sana, kan? Sungguh, kuberikan nomorku sebagai balas budi."
"Termasuk pencuri yang akan meminta maaf?"
"Bukan begitu,"suaraku naik satu oktaf. "Kenapa disamakan dengan pencuri?"
"Aku percaya," putusnya.
Meskipun bicara begitu, bisa kurasakan tatapan Jeon mengusikku. Dia terus memandangiku, menunggu sampai aku membalas tatapannya.
"Kenapa menatapku begitu?"
"Seperti yang kau katakan, kau juga kularang melepas cincin pernikahan," ujar Jeon terdengar posesif.
"Aku mengerti." Aku menaikkan tatapan padanya dan kembali berpaling karena ternyata matanya menjadi sangat menyeramkan. "Sekarang tanyakan pada pegawai berapa lama lagi kita menunggu. Aku lapar."
Jeon bergeming. Dia terdiam lama sekali sampai akhirnya aku terpaksa mengangkat wajah.
Aku mengintip wajahnya ragu-ragu. "Kenapa terus menatapku?"
Lambat laun di bibir kakunya muncul jenis senyum tak biasa.
Aku menekan rasa tegang di perutku dengan mengalihkan tatapan ke stir. "Berhenti menatapku dan tanya kapan makanannya selesai."
Nyatanya Jeon mengabaikan instruksiku. Lama-lama aku merasa terganggu ditatap dalam diam.
Kemudian dengan berani kupukul lengannya. "Jangan buat aku malu. Cepat tanya atau kau dilarang menumpang jetku."
Tawa Jeon meledak. Benar-benar pecah memenuhi isi mobil. Kemudian tangannya mengelus gemas rambutku penuh cinta.
Hangat. Sesuatu yang kurasakan saat Jeon menyentuh puncak kepalaku.
Dia bukan hanya seperti suamiku, melainkan seperti teman, kakak, dan juga ayah. Aku menyukai semua sikapnya.
"Aku mencintaimu. Jangan lepas cincinnya."
"Aku juga. Benar, benar, benar mencintaimu. Sekarang tanya pada pegawainya kapan makanannya jadi atau kau dilarang naik pesawat pribadiku, Tuan Kalinsky."
"Ya, nyonya Kalinsky."
Muncul atmosfer kebahagiaan yang memenuhi jiwaku.
Sekali lagi kupukul lengannya. "Berhenti membuatku malu. Cepat tanya."
Namun saat akan melakukan itu, pesanan kami selesai dikemas. Jeon meletakkan kantongnya di antara kami.
Sebelum menghidupkan mesin mobil, Jeon terdiam sejenak. Kali ini bukan diam menatap wajahku. Tatapannya justru terpaku pada jarinya di stir.
"Han Taejoon," ucapnya menunda.
Jeon terdiam cukup lama, lalu mengangkat dagunya, kemudian berbicara dengan penuh keyakinan.
"Anak dari orang tua yang melecehkanku."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top