22| You're Over It
Pepatah bilang, dalam hidup terdapat dua pil. Pil pertama adalah pil biru yang membuat kita bahagia meski hidup dalam kebohongan.
Kedua, adalah pil merah membuat kita terluka ketika mengetahui sebuah kebenaran. Dan aku telah menelan keduanya.
Hari ini pun begitu. Aku seperti dijejalkan kedua pil itu sekaligus.
Engsel persendianku seperti diputus paksa satu demi satu, membuat setiap langkah yang kuambil menjadi semakin berat setelah Lana mengatakan mantan istri Jeon ada di tempat yang terjangkau olehku.
Aku mencoba menghirup napas dalam-dalam sebelum mendekati Nenek Lucy. Di bawah temaram bulan, taman ini bagaikan sebuah buku rahasia yang kehilangan kunci. Seperti terkungkung dan lepas dari jamahan tangan manusia, tapi juga asri. Lampu-lampu seperti sulur-sulur tanaman ivy dan berterbangan layaknya kunang-kunang, menyediakan penerangan hingga beberapa meter jauhnya. Ada bagian paling cantik ketika melihat indahnya kelasa langit terbuka, awan gemuk putih bergerak tenang, dan bintang-bintang mulai bermunculan satu demi satu bagaikan rongga-rongga kecil di kanvas gelap.
Hawa sejuk membebaskan kengerian hatiku dan berusaha tidak memikirkan hari esok. Jika memang kami harus bertemu, aku sudah mempersiapkan diri.
Dari tempatku sekarang, kulihat nenek Lucy sedang mengusap kelopak bunga sepatu yang warnanya masih muda. Menggunakan ibu jarinya, beliau mengusapnya penuh kasih. Sementara sebelah tangannya dilipat sebagai penyangga punggung. Tubuhnya sudah agak bungkuk. Tetapi aku mendengar jika Nenek Lucy bisa marah kalau diberi tongkat apalagi kursi roda. Saat menyebrang jalan, dia menolak dituntun meski jalannya sesantai siput dan membuat beberapa orang kesal. Pokoknya, dia mau selalu terlihat gagah.
Diam-diam aku masih menganggumi sosok Nenek Lucy. Sebelum berkunjung ke sini, aku memanfaatkan waktu mempelajari semua tentang keluarga ini termasuk pencapaian dari masing-masing mereka. Anggota keluarga Jeon mendapatkan kekayaan dari berbagai sektor.
Jika Jeon memfokuskan diri pada satu sektor ritel, yakni Jves & Koch, lain halnya dengan nenek Hwang Lucy. Beliau mempunyai berbagai sumber kekayaan (yang benar kata Lana) manusia takkan memikirkan uang ketika uang selalu ada dalam hidupnya.
Manusia yang memiliki kekayaan berlimpah akan memikirkan hal lain lebih berguna, misal meningkatkan kualitas diri atau memperluas jaringan sosial.
Kerja keras mereka sudah seperti kecanduan operasi plastik. Meskipun sudah menembus awan, mereka masih ingin lebih tinggi lagi. Bukan hanya alasan untuk bersaing semata, tapi sesuai teori Maslow, itulah tingkatan dari sebuah kebutuhan.
Dan di usianya sekarang, wajar bila nenek Lucy berhenti memikirkan uang. Meskipun tidak memikirkan uang, hartanya selalu bertambah setiap harinya. Kontribusinya menyebar dari berbagai sektor. Sebanyak 23 persen didapat dari infrastruktur Asia Tenggara dan transportasi Korea Selatan. Sektor jasa dan investasi menyumbang sedikitnnya tiga persen, serta penyumbang terbesar didapat dari bank swasta dan industri barang konsumsi.
"Sampai kapan bunga ini hidup?"
Aku terkejut dengan pertanyaan itu. "Ya?"
"Kadang-kadang aku tidak tega bila bunganya ditanam di rumah. Orang-orang selalu tak mengerti cara memperlakukan mahkluk hidup," katanya dengan suara ringkih. "Peganglah. Nanti kau merasakan dunia juga butuh disayang."
Aku menghampiri beliau dan menyentuh kelopaknya, kulit telunjukku seperti membelai sesuatu berbulu tipis. Aku menoleh padanya, lalu berbisik kagum. "Bunganya cantik."
Awalnya ia tidak tersenyum, tapi kemudian wajahnya sedikit ceria ketika menoleh padaku.
"Kau suka gaunnya?" Dagunya bergerak tak kentara menunjuk ke arah tubuhku.
Aku mengamati penampilanku lagi. Hijau sewarna emerald, butiran swarovski, serta bahan lungsur yang bisa mempertahanku suhu tubuhku dititik normal... "Aku suka. Suka sekali. Benar-benar menyukainya. Terima kasih."
"Nanti kukirim gaun lainnya." Nenek Lucy terkekeh.
Aku hendak menolak, tapi teringat hal lain yang bisa membuat nenek Lucy kesal adalah menolak barang pemberiannya.
"Usiaku sudah delapan puluh tahun lebih." Beliau mengangguk-angguk sendiri dan duduk di atas batu alam hitam besar daripada duduk di bangku taman yang tersedia. Aku ikut duduk di sebelahnya walaupun kudukku agak merinding.
Bagaimana tidak? Tepat di belakang kami berdiri gargoyle, yakni makhluk buruk rupa terbuat dari batu dan biasanya dipasang pada puncak gereja Eropa abad pertengahan. Lalu, di sebelah barat daya dekat pintu masuk dipajang pula patung serupa.
Entah bagaimana Nenek berani menungguku sendirian ditemani dua mahkluk gotik mengerikan.
"Aku sudah delapan puluh tahun lebih," katanya mengulangi seraya mendesah, mengurut-urut lututnya. "Bagaimana menurutmu wajahku ini?"
"Tentu saja. Nenek masih cantik."
"Kau pembual. Aku sudah tua."
Aku tersenyum lebar. "Tapi aku tidak bohong kalau menduga seberapa cantik Nenek saat muda."
"Aku tidak suka cantik. Aku lebih suka manis," protesnya.
Aku tak sanggup menahan tawaku dan nenek keliatan tidak marah. "Nenek lucu sekali."
"Sudah kubilang, aku manis."
"Iya, aku mengerti. Nenek masih manis sampai sekarang. Manis mirip persik."
Pujianku membuatnya tersipu. "Nanti kubelikan gaun lebih banyak lagi. Perhiasannya juga."
"Ah, sedih sekali." Wajahku pura-pura muram. "Jika Nenek membelikanku pakaian, suamiku pasti sedih kalau tahu aku dapat pakaian dari toko lain. Selain itu dia jadi tak punya alasan membelikanku pakaian baru." Dalam kata lain, aku menolaknya secara sopan.
"Benar juga," ucapnya spontan. Selanjutnya wajah beliau condong mendekat ke arahku dan tangannya menepuk-nepuk lengan atasku. "Baiklah, kalau begitu biarkan Jeon yang memanjakanmu."
Aku bisa mendengar senyum dari suaranya yang membuatku mengangguk seperti gadis polos. "Ya. Akan kusampaikan padanya supaya membelikanku baju lebih banyak."
Nenek tertawa. Suaranya tidak terdengar cukup tua untuk usianya. Keyakinan kuat, nenek adalah perempuan tangguh pada eranya.
Selama beberapa saat aku memikirkan sesuatu dalam kepalaku. "Terkait keluarga ini," aku menggigit bibir bawahku sebelum memutuskan bicara, "sebetulnya ada yang ingin aku sampaikan langsung pada Nenek."
"Apa itu? Katakan." Pupil matanya membesar.
"Aku senang Nenek mau menerimaku dan semua orang bersikap hangat padaku." Kecuali bibi Ivy. "Aku baru pertama kali makan malam bersama anggota keluarga sebesar ini dan aku terus berpikir seberapa hebatnya Nenek mendidik mereka semua. Aku seolah melihat Nenek mengajarkan banyak cinta dan kasih."
Aku mengucapkan setiap kata dengan pelan dan halus. Tetapi saat ini beliau malah menggeleng dan melihat ke bawah, sesuatu dekat kaki kami. Wajahnya bergerak lagi ke arahku dengan kelambatan yang disengaja.
Ketika matanya lurus memandangiku, detak jantungku memelan, tidak setakut itu bicara pada nenek Lucy. Sebab perasaanku padanya lebih mengarah pada rasa hormat dan penghargaan.
"Menurutmu apa perbedaan dari pendidikan dan pengetahuan?"
Aku berpikir sejenak, barangkali jawabanku cukup benar. "Pendidikan adalah proses formal, sementara pengetahuan adalah pengalaman dari kehidupan. Apa aku benar?"
Nenek tertawa lalu mengangguk. "Maka begitulah. Biarkan saja mereka berbuat kejahatan. Lakukan saja." Tangannya mengibas ke udara. Seakan beliau berdiri di mimbar. "Aku tidak peduli. Biarkan saja mereka membicarakan orang lain. Biarkan saja mereka menyiksa sesama mahluknya, karena aku," suarannya merendah, lalu tangannya bergerak naik-turun seperti memotong sesuatu di atas pahanya dalam gerakan lambat dan berulang, "sepanjang hidupku, aku lebih memilih mengajarkan keluargaku ilmu pengetahuan yang memberikan pelajaran tentang segala sesuatu dunia dan akhirat. Kasih sayang, cinta, damai.
Sementara pendidikan hanya membantumu tubuh dalam kedewasaan. Namun, dunia dan akhirat seperti benang tipis, tidak boleh terpisah, di mana kau harus menebusnya suatu hari nanti. Itulah mengapa aku ingin semua orang mengerti ujung sumbu dari semua masalah manusia—semua keserahakan dan ketamakan manusia. Karena mereka hanya mempeributkan jabatan pendidikan daripada mendapat ilmu pengetahuan. Sesuatu itulah yang jarang membuat hati mereka dipenuhi empati dan simpati."
Melihat sorot mata beliau dipenuhi kedamaian, aku kehilangan kata-kataku. Bibirnya menyunggingkan senyum teduh. Dia membuatku tersentuh.
Lalu, tiba-tiba saja Nenek Lucy terbahak keras. "Hah. Wajahmu itu sudah seperti melihat pendeta tanpa dosa. Sekarang aku tanya, kalau masak ramen, kau lebih suka memasukkan daun bawang di akhir atau merebusnya bersama mi?"
"Aku selalu meletakkannya di akhir sebagai taburan. Tapi Jeon tidak suka bawang."
Nenek Lucy mendecih. "Anak itu. Sejak dulu dia tidak suka bau bawang."
"Nenek benar sekali. Rumah kami benar-benar wangi. Jeon sungguh orang yang sensitif terhadap bau."
"Sifat manja suamimu itu memang butuh wanita seperti kita yang terbuka."
Aku langsung mengangguk setuju dan merasa hebat. Kalau bisa, sekalian saja aku ingin pamer pada mantan istrinya kalau aku seribu kali lipat lebih profesional mengurus Jeon ketimbang wanita itu.
Nenek Lucy kembali tertawa menemani malam kami. Dia pintar berdialek dan bercanda. Membuatku sempat melupakan dua gargoyle mati yang mengawasi kami.
Tetapi satu terpenting yang beliau lakukan padaku malam ini adalah, beliau tak bertanya sedikit pun tentang pekerjaan maupun sumber pendapatanku.
***
"Curang."
Aku masuk ke kamar dan menemukan Jeon sudah mandi. Dia memakai piama dan bersiap tidur.
Yang benar saja? kadang-kadang kadar kepekaannya menurun drastis. Well, aku hampir lupa Jeon nyaris tak peka.
"Kenapa?"
"Kau mandi tanpa menungguku?"
Jeon tergelak. "Nenek mengganggumu?"
Aku menggeleng. "Tidak. Kami berdua cocok."
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Rahasia." Kaki telanjangku berjalan di atas karpet kamar dan mencuri kecupan singkat di bibirnya.
Jeon memejamkan mata dalam sekilas jentikan jari, kemudian diam seperti batu. Kedua tanganku di belakang tubuh saling berpegangan dan ujung kaki kananku mengetuk-ngetuk karpet lantai. Sudah kubilang, aku senang di waktu tertentu apabila Jeon memanjakanku.
"Kau senang ada di sini?" tanyanya.
"Tidak seburuk yang kubayangkan."
Ia tersenyum mendengar nada suaraku. Kemudian tatapannya berkelana memerhatikan tulang selangkaku, bahu, lengan, dan apa pun yang tak tertutup kain.
"Kemarilah." Ia menjangkau tanganku dan mengukung tubuhku dalam dekapannya. Serat pakaiannya mengirimkan kehangatan. "Mulai hangat?"
Aku mendongak. "Aku mau lebih hangat."
Pangkal hidungnya mengerut.
Sebelum dia mencerna tujuanku, aku lebih dulu mendorong kedua pundak Jeon ke arah kasur kuat-kuat hingga Jeon jatuh terbanting di atas selimut dan berbaring terlentang tanpa daya. Wajah Jeon agak terkejut, tetapi aku menginginkan dia menerka adegan selanjutnya selagi aku menyingkirkan perhiasan kecuali cincin pernikahan kami.
Selama mencopot semua aksesoris yang akan menghambat proses malam panjang kami, mataku tidak berpaling darinya. Jeon juga memberikan tatapan yang lagi-lagi sulit kutafsirkan.
Demi Tuhan, aku sedang melawan malu.
Sejujurnya hatiku sudah tak bisa dikatakan baik-baik saja. Aku berantakan di dalam. Jantungku berpacu dan merasa malu dengan sikapku.
Taruhan bahwa ini membuatku terlihat seperti wanita jalang yang menggoda pria tampan berdasi kaya raya persis seperti novel stencil pinggir jalan.
Ia terus mengawasiku. Betapa aku menyukai bola mata itu. Abu-abu yang memikat. Safir biru yang mengelilingi seperti cincin. Penuh pesona, ketertarikan seksual, gairah mendamba, paduan kehangatan. Bagaimana bisa itu semua campur aduk di sana?
Akal waras diteguk gumpalan animo ketika aku merangkak menaiki ranjang, duduk di kedua pahanya, dan Jeon tetap mempertahankan tatapan yang tidak berubah.
Kedua matanya tampak kelaparan. Bukan dengan cara yang membuatku takut, tapi yang membuat otot perutku tegang.
Sebenarnya apa yang ada di pikirannya tentangku malam ini?
Apakah aku terlalu agresif?
Aku menelan seluruh praduga buruk yang membuatku semakin malu.
Jemariku masih melepas satu demi satu kancing paiamanya, dan kurasa dia sudah sangat mengerti apa tujuanku. Karena Jeon mulai tersenyum.
Begitu dua otot dadanya terlihat, gerakan tanganku turut berhenti dan berpindah menopang tubuhku. Detik ini dalam waktu yang sangat panjang kami seolah sedang berbicara melalui perantara mata. Harus berapa kali kubilang, aku mencintai matanya, bukan hanya bagian itu, tetapi secara keseluruhan dalam diri Jeon K. Kalinsky.
Namun, secara tidak terduga dia memegangi bahuku dan membalik keadaan. Mataku membelalak. Badanku dirobohkan ke samping dan tahu-tahu sudah ada di bawahnya. Terperangkap dalam belenggu lengannya. Kemejanya yang terbuka menjuntai di atas tubuhku.
"Ow, kerja bagus, Koch."
Dia tertawa dengan suara lembut, namun tidak menjawab. Jeon hanya menyeringai menang.
"Pembalasan?" Aku mengangkat alis. Menatang dan terlihat mempertahankan arogansi.
"Aku belum ingin di bawah, Runa."
Sadar, selama hubungan ranjang kami Jeon tak pernah ada di bawahku. Mungkin terkait traumanya. Tapi aku tidak bertanya dan tersenyum manis ketika dia mengecup bibirku. Memancing kekehanku yang mengendap sampai dia meniru tawaku. Kami berbagi tawa. Lalu entah bagaimana juga tawa kami semakin redup dan terhenti ketika dia mendekatkan wajahnya lagi.
Kuraba sisi-sisi rahangnya dengan kedua tanganku. Semakin teduh, mataku menatap bola matanya bergantian. "Coba kita lihat. Berapa banyak wajah ini menarik lawan jenis? Sekarang beritahu aku caranya keluar?"
"Tidak bisa."
Aku tertawa lagi. Kemudian jempolku mengusap kantung matanya yang tidak terlalu bengkak seperti beberapa minggu lalu.
"Kau lelah?" Aku sedikit berbisik karena jarak kami yang intim.
"Karena apa?"
"Acaranya berlangsung panjang." Kutatap matanya bergantian, ingin mencari banyak ungkapannya. "Pasti sangat melelahkan."
Jeon menggeleng membuat anak rambut yang bergoyang-goyang. "Bagaimana denganmu?" Dia menempelkan dahi dan hidung kami.
Alisku berkerut sesaat. "Hmmm, mau coba sesuatu?"
"Apa?"
"Bagaimana kalau satu babak?"
Dan kami kembali tertawa, sebelum akhirnya Jeon mengecupku. "Tidak masalah. Satu babak."
Aku balas mengecup bibirnya sembari jemariku mengusap pipi Jeon lalu turun ke arah lehernya. "Sebanyak yang kau mau, Koch." Aku menggoda.
Dia segera menjauhkan wajah kami. "Nanti kau lelah."
"Aku memberi izin. Kau boleh mengusaiku malam ini, besok malam, dan malam berikutnya kurasa aku bisa menyerahkan segalanya padamu."
Secara mengejutkan, Jeon mengecup pipiku, kedua tangannya menyelinap ke ketiakku, wajahnya tenggelam di leherku. Semua itu dia lakukan dalam satu waktu.
"Biarkan aku memandumu, Shin Runa Kalinsky."
"Aku suka nama itu. Namaku terdengar menarik di antara namamu."
Jeon tertawa setuju sebelum akhirnya dia menjepit beberapa bagian leherku dengan belah bibirnya yang sempurna.
"Jangan tinggalkan bekas apa pun. Masih ada satu gaun yang harus kupakai untuk besok."
***
Selasa petang. Duduk bersama seorang wanita yang tidak pernah kuinginkan keberadaannya.
Lana membantuku mengatakan pada Jeon bahwa aku pergi sebentar bertemu teman lama. Jeon tidak pernah mencurigaiku, aku merasa dia memberiku banyak kelonggaran dalam berteman.
Namun, sekarang aku berbohong. Aku tahu, aku tidak pantas dimakafkan bila Jeon tahu tentang ini.
Wajah wanita yang duduk di restoran bersamaku saat ini belum berubah dari yang kuingat melalui selembar foto. Perbedaan besar yang kusadari hanyalah warna rambutnya yang lebih cokelat setara karamel.
Sampai pramusaji mengantarkan minuman, belum ada dari kami yang bicara. Aku yakin wanita ini egois, sama sepertiku. Melihat wanita ini sekarang, seakan melihat masa laluku yang penuh masalah.
"Kau cantik, terlihat lebih muda dariku. Berapa usiamu?" tanyaku merebut garis awal bicara.
"28 tahun." Matanya yang gelap menyorot tajam. Suaranya dalam, parau, dan tegas.
Sedikit demi sedikit aku bisa menilai seperti apa dia sebenarnya. Sesuatu yang paling mencolok, dia adalah wanita yang kerap ingin didahulukan.
"Tulang pipimu cantik," pujinya lalu mengangkat gelas wine dan meneguknya pelan-pelan.
Tidak ada ucapan terima kasih dari bibirku.
Wanita itu mengembalikkan gelasnya. "Aku tidak suka suasana dingin ketika bicara berdua. Omong-omong aku terkejut mantan suamiku menikahi orang yang lebih muda dariku. Apakah kau tidak keberatan?"
Aku menunduk dan tertawa geli. Butuh waktu empat sampai enam detik menghentikan tawaku. "Go Ae Jin." Aku membisikkan namanya dalam mulutku ketika mengangkat kepala dan merubah kembali suaraku, memanipulasi emosi. "Kau berasal dari Gwacheon?"
Kening Ae Jin bergerak tampak tersinggung. "Kenapa? Aku terdengar memakai dialek?"
"Tidak. Asal tebak. Aku punya teman bernama Ae Jin dari Gwacheon. Tantang saja, itu bukan kau. Tapi tujuanku menemuimu jelas bukan menanyakan provinsi kelahiranmu. Jadi kenapa kau bercerai dengan suamiku?"
Ae Jin seketika membisu seakan aku baru menembakkan senapan udara ke dadanya.
Beberapa detik berlangsung dalam keheningan, ia bersuara lagi. Suaranya terdengar pahit, tapi ia mencoba terlihat berani. "Karena dia membosankan."
Saat mengatakan itu, matanya tak lepas dari cincinku. Setelah itu mata kami kembali beradu. "Aku tidak bisa hidup dengan pria yang penuh luka sepertinya. Itu sulit. Aku tidak sanggup membantunya seperti psikiater menolongnya. Aku tidak mengerti hal semacam itu. Sekarang jelaskan letak salahku?"
Aku menekuk kesepuluh jariku di atas paha, meremat dalam tinjuku saat mendengarnya mengucapkan seluruh rangkaian kalimat yang rasanya bekerja seperti kail pencungkil organ.
"Kau tahu kenapa hari ini aku bersikukuh supaya kita bertemu?" Dia bertanya lagi tanpa membiarku bernapas sebentar.
"Tujuanku menemuimu demi memuaskan dahagaku." Dia mengangkat bahu acuh tak acuh. "Melihatmu sekarang membuatku lega."
"Kenapa?" Aku memainkan alis. "Karena kau menanggap dirimu lebih baik dariku?" tanyaku dengan berani di atas seluruh nyeri hatiku. "Karena sekarang kau menikahi pria yang sama sekali tidak membutuhkanmu? Karena kau baru berhasil lolos dari pria yang terobsesi padamu?"
Lana memberitahuku informasi ini. Aku patut berterima padanya kasih nanti.
Ae Jin menengadahkan kepalanya dan tertawa mencemooh tanpa suara. Dia mengambil napas sejali tarikan dan menatapku jengah.
"Aku juga..." Aku tersenyum walau hatiku pedih, "aku bersumpah, aku hampir pergi meninggalkannya."
Kejujuran yang kupendam selama ini akhirnya bisa kuluapkan pada seseorang. Semua rencana ini hanya aku yang tahu.
Jika aku tidak tahu masa lalu Jeon sebelum hari itu, aku sudah pasti meninggalkan Jeon dan menggugat cerai. Setiap malam aku selalu berpikir 'apakah sampai akhir hubungan kami akan tetap seperti ini' tapi seperti yang semua orang lihat hari ini. Kami masih bersama. Jeon membuatku yakin setiap harinya.
Kemudian aku membuang napas kesal. Aku merasa gegabah malam ini terlalu banyak bicara pada orang yang baru kukenal.
Ae Jin menarik dua sudut bibirnya. Kali ini aku gagal menebak apa arti senyumnya.
"Kau wanita hebat, Shin Runa-ssi."
"Begitukah? Aku bahkan hampir menyisipkan kata hebat dalam namaku."
"Dan percaya diri," tambahnya.
Ae Jin... namanya sekarang menjadi sesuatu yang paling menganggu. Aku benci mendapat pujian darinya.
"Go Ae Jin, bukankah sebelum menikah seharusnya kau tahu, siapa pun pasangannya, bagaimanapun kondisinya, dan apa pun masa lalunya, kau harus mengerti ikatan pernikahan akan lebih menyakitkan dari putus cinta?" Aku menahan diriku sejenak. "Jika hanya mencari bahagia, hidup saja melajang." Aku menggeleng pelan. "Tujuan pernikahan bukan hanya tentang mencari bahagia. Pernikahan bukan hanya tentang cinta. Ada masa depan di dalamnya."
Dia mulai kelihatan terpancing dengan kata-kataku.
"Go Ae Jin-ssi, pernahkah kau dengar ungkapan; marriage comes with 3 rings: engagement ring, wedding ring, and suffering?"
Dengan mata segelap jelaga, Ae Jin terus menatapku dalam diam.
"Tanpa usaha, pernikahan mungkin akan jadi neraka," kataku, lalu kulanjutkan dengan nada setengah merenung ke dalam gelas wine Ae Jin yang hampir habis. "Ayahku pernah mengatakan pernikahan itu berat. Hampir setiap hari dia terpikir, apakah dia bisa memperjuangkan pernikahannya sampai akhir, apakah kelak mereka bisa memiliki anak, apakah dia sanggup menjaga keluarganya, pastikah mereka akan tinggal sehidup-semati, belum lagi memikirkan sumber pendapatan atau jaminan untuk keluarga. Terdengar mudah, tapi sulit dijalani. Sampai saat itu kau takkan pernah menemukan seseorang yang cocok selain menerima mereka dengan tangan terbuka."
Selagi Ae Jin masih bungkam, kugunakan kesempatan itu untuk terus berujar.
"Kau juga harus menerima hal lain yang lebih berat, Go Ae Jin-ssi; bahwa orang yang kau nikahi sekarang, bisa jadi dia bukan orang yang sama 10 mendatang. Sekarang kau sadar jika mantan suamimu punya luka, dia tidak pernah bisa sempurna. Apa seluruh pemahaman ini cukup untuk pertemuan pertama kita?"
Ae Jin membuka mulutnya ragu-ragu sesaat sebelum bertanya pelan, "Beritahu aku sekali lagi, pria seperti apa yang sudah kubuang?"
Kusadari suara wanita itu mulai serak. Sekelumit perasaan putus asa mewarnai nada suaranya.
"Seperti apa pria itu? Mantan suamiku—pria yang sudah kubuang?"
Aku menarik napas lebih dalam dari yang pernah kulakukan di depan orang lain. Tak percaya harus mengatakan ini.
"Pria yang kau buang, adalah seseorang yang melihatmu bukan dari nilai, namun menjadikanmu di atas standar. Seseorang yang peduli dengan kondisimu. Seseorang yang benar-benar mendengarkanmu ketika berbicara. Yang mampu mengingat hal-hal kecil yang kau sebutkan dalam percakapan. Seseorang yang akan keluar menjemput dan mengantarmu pulang dengan selamat. Seorang pria yang sanggup menahan rindunya agar dia tidak mengganggumu ketika istirahat. Yang lebih peduli pada kekuatan hubungan daripada merasa benar. Yang bersedia menghubungimu ketika dia akan datang terlambat.
"Yang tidak pernah membuatmu merasa buruk tentang siapa dirimu. Seseorang yang selalu memberimu tatapan bahwa kau paling indah di setiap ruangan. Dia yang cukup dewasa menghormati keputusanmu. Yang mau merelakan cintanya atas kehendakmu meskipun hatinya menderita. Dan Seseorang yang berbesar hati melepaskanmu yang tidak ingin memberinya kasih sayang meskipun dia terluka dan seperti dunia akan membunuhnya. Itulah sosok yang baru kau buang."
Lambat laun Ae Jin menunduk dalam-dalam ke arah pahanya. Dia menangis hebat meskipun aku tidak bisa melihat sendiri air mata yang keluar dari matanya kecuali tetesan-tetesan air berjatuhan.
Kemudian aku menggeleng-geleng samar. "Sesungguhnya dia tidak pergi, Go Ae Jin-ssi. Dia tak pernah pernah meninggalkan seseorang kecuali seseorang itu memintanya. Sekarang dia layak mendapat seseorang yang ingin tinggal bersamanya dan mengingatnya sepanjang waktu."
"Aku berhak menyampaikan ini karena aku juga wanita. Kukatakan ini karena aku tidak ingin kau mendapat kesalahan sama. Perlu kau tahu, bahwa kaum laki-laki juga manusia. Mereka tidak bodoh untuk terus menutupi lukanya seumur hidup. Setelah ini, tolong pikirkan lagi seluruh perkataanku. Aku harus pergi."
Aku bangkit dari kursi sambil menahan sengatan tiada kira di sekitar dadaku. Aku mengambil tasku dan menahan diriku sebelum beranjak pergi.
"Go Ae Jin-ssi, sebelum kita berpisah, aku ingin mengatakan sesuatu. Tolong jangan rebut kembali apa yang sudah kau buang padaku. Jangan datang lagi ke hadapan pria yang sudah kau lemparkan padaku. Kumohon, jangan-pernah-datang-lagi."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top