21| Someone from the Past
"Aku tidak yakin."
Aku mengatakan itu dengan jelas setelah memasang anting terakhir di telinga.
Bayangan wajahku di cermin agak pucat meskipun tubuhku terasa pas dengan gaun kiriman nenek Lucy. Setidaknya penampilanku membantu menutupi kegelisahan rautku.
Terkait gaun, Jeon tidak protes tentang gaunnya, atau jengkal kulitku yang terbuka. Dia sudah mengatakan cantik sebanyak dua kali, dan satu kali lewat bisikan. Tetapi malam ini aku terus berdebat dengan diriku sendiri bahwa tidak seharusnya aku di sini, datang dan berkumpul bersama keluarga Jeon yang lainnya.
"Aku ragu." Sekali lagi aku bicara serupa bisikan dan menunduk memperhatikan ujung sandal ruangan yang belum kulepas sejak keluar dari kamar mandi.
Baru pada saat itulah aku merasakan kehadiran Jeon di belakangku melalui aromanya yang tercium jelas. Dia membuyarkan lamunanku dengan eksistensinya. Kemudian tangan kanannya memeluk bahuku, dan tangan kirinya melilit pinggangku.
Jeon sedikit merendahkan badannya agar pipinya sejajar dengan pipiku sedang dagunya berlabuh di pundakku. Kini aku bisa melihat senyum manis dan kedamaian turut andil di wajahnya.
"Mereka akan senang bertemu denganmu."
"Masalahnya, keluarga ini punya lebih dari satu etnik, Jeon. Mereka tinggal di negara berbeda. Aku takut salah bicara."
"Mereka tahu budaya Korea, mereka semua pandai berbahasa Korea."
Aku menoleh padanya. "Sungguh? Kau tidak katakan ini sebelumnya."
Dia mengangkat sebelah alisnya, berpikir sejenak. "Kau tidak tanya."
Aku sontak membalik badan dalam sekali putar, membuat ia mundur dan mengurai pelukan kami. "Apakah aku harus selalu bertanya sementara kau bisa menjelaskan? Kau tidak katakan padaku tentang semua keluargamu bisa berbahasa Korea."
"Kau sudah tidur saat aku bilang." Setelah menjelaskan itu, Jeon memeluk pinggangku. Pelukannya seakan menyatakan aku miliknya.
"Oh, ya?" Alisku bertaut tinggi. Aku ingat, malam itu aku jatuh terlelap saat Jeon masih berbicara.
"Nenek ingin semua yg bergabung ke keluarga ini pandai berbahasa Korea."
"Hanya itu syaratnya?"
"Ya."
Aku agak merengut, karena suasana hatiku belum membaik. Lalu jemariku berlabuh membelai kepala dasi Jeon, kemudian sedikit menyempurnakan posisi simpulnya.
"Karena Korea adalah kewarganegaraannya?" Aku menengadah, menelisik matanya.
Jeon mengangguk pelan dibarengi senyum. Aku menatap bibir merah mudanya yang melengkung alami. Dia indah dari berbagai sisi.
Ah, kalau sedang berdiri berhadapan dengan Jeon dari jarak dekat, rasanya aku ingin memiliki anak perempuan. Tetapi jika ingat sikap Jeon, aku ingin kami punya anak laki-laki yang kelak bisa diandalkan.
Kemudian telunjukku menyentuh secara halus pangkal hidungnya dan menarik garis lurus di tulang mancungnya menuju cuping, lalu semakin turun mengukir busur bibirnya yang membentuk dua lekukan sempurna menyerupai huruf M.
"Mungkin ini terdengar kekanakan untukmu, tapi aku membutuhkan sesuatu sekarang," ucapku.
Aku memindai tatapan dari mata Jeon turun ke bibirnya. "Bisakah aku mendapat ciuman lagi? Supaya tenang."
Tanpa kuminta dua kali Jeon langsung memindahkan sebelah tangannya masuk ke dalam untaian rambutku. Dan Jeon selalu tahu cara ampuh membuatku merasa lebih baik.
***
Cemas. Meja makan begitu panjang dan luas. Aku baru pertama kali makan dengan keluarga besar yang jumlahnya lebih dari sepuluh.
Semua ramai, tetapi juga sepi. Mendadak aku merasa paling mungil dan jauh dari semenanjung Korea. Kini aku tersadar aku telah meninggalkan keluargaku terlalu jauh.
Bolehkan aku jujur?
Aku tidak nyaman dengan semua ini. Dengan situasi ini.
Tetapi beberapa kali Jeon memberiku tatapan bahwa aku bisa melaluinya sedikit lebih lama. Jeon, Lana, dan Sabrina, juga Nenek Lucy menjadi keempat orang yang membuatku tidak mati gaya.
"Shin Runa, katanya kau penulis. Benar?" Bibi Ivy tiba-tiba mengajukan pertanyaan menjebak, yang membuat semua orang menatapku.
Kenapa dia menanyakan ini padahal dia tahu aku penulis. Mengapa dia harus membahasnya di depan semua orang?
Semua mata terhunus padaku hingga aku dapat merasakan intensitas jantungku meningkat.
Aku menarik napas berusaha tenang, kemudian melepas senyum natural, yang kuyakini bisa mengelabui mereka dari kepanikanku. "Ya. Aku mencintai pekerjaanku."
"Wah, ini menarik." Dephnie Park, cucu ke-7 nenek Lucy menatapku dengan tatapan berbinar. Usianya baru setengah dari usia Jeon.
Aku sungguh payah mengingat silsilah keluarga ini. Yang pasti Dephnie seorang gadis keturunan Prancis-Korea, memiliki beberapa restoran cepat saji yang tersebar di semenanjung Balkan dan kota Vatikan. Sejenak dia memutari pandangan ke keluarganya. "Bukankah ini menarik? Lihatlah, ini luar biasa. Kita kedatangan penulis untuk makan malam kali ini dan kurasa makan malam berikutnya."
Sang ayah mengangguk menyetujui perkataan putrinya.
"Ceritakan apa yang penulis lakukan?" Dia menggeser mangkuk sup misonya menjauh beberapa senti dan bertopang dagu.
"Penulis apa?" Satu keponakan lelaki Jeon yang berusia 18 tahun ikut bertanya sembari memandangiku dan Jeon bergantian.
"Naskah film dan drama." Jeon angkat bicara.
Aku terpukau ketika menyadari usahanya agar tidak membuatku terjebak sendirian.
"Apa arti menulis bagimu?" tanya Liam Kalinsky, adik satu-satunya Papa dari pernikahan nenek yang keempat sebelum menggigit secuil daging di ujung garpu.
"Meditasi," kataku tanpa pikir panjang. "Menulis bagiku seperti meditasi. Aku bisa merasakan emosi, empati, dan mempelajari bahwa manusia memiliki karakter berbeda-beda."
"Kau luar biasa," puji Liam.
Kemudian laki-laki SMP yang duduk berseberangan denganku bernama Yoon Dean mengacungkan kedua jempol kepada Jeon. "Paman J hebat punya pasangan penulis," sanjungnya. "By the way, film genre apa? Apa itu semacam laga atau animasi? Pernah berkontribusi dengan DC atau Marvel?"
Aku tersenyum pada Dean. "Kuberitahu saat usiamu tujuh belas."
Ruangan yang semula hanya berfokus padaku mulai diisi keriaan tawa. Secara keseluruhan, keluarga ini fleksibel. Kecuali Ivy Tsai.
Ivy Tsai benar-benar masalah untukku. Punya perangai aneh dan arogan, seakan-akan dia menyembunyikan dua tanduk merah di rambutnya. Namun pada akhirnya dia ikut tersenyum. Tetapi tidak terlihat tulus, senyum remeh-temeh yang justru membuatnya tampak semakin tua.
Mereka semua memulai kembali pada percakapan tentang ini dan itu, topik satu dan lain, tertawa saat paman Henry Chow (putra ke empat nenek) melontarkan lelucon terhadap orang-orang Peranakan, menjadi serius saat Alexandra dan Cecilia Shang (kembar identik cucu ke-13 nenek) membahas properti apartemen mewah di Beverly Hills yang kacau, lalu saat Mama Jeon, Jeon Eun Suh mengembalikan suasana dengan candaan untuk memboyong kelompok Cirque du Soleil dalam pesta pernikahan Dephnie Park, hingga membuat kami tertawa karena kami semua di sini tahu Dephnie tidak ingin menikah.
Tetapi ada satu yang membuatku penasaran. Ada sekelumit pertanyaan yang mengganggu pikiranku selama makan malam berlangsung.
Siapa paman dan bibi yang melakukan pelecehan seksual terhadap Jeon?
Aku menebak. Apakah mereka ada di sini?
Jika tidak, di mana keberadaan mereka sekarang? Penjara?
Aku tidak tahu. Aku sangat pengecut untuk sekedar bertanya. Takut melukai batin Jeon. Takut mengorek luka suamiku lagi dan membuatnya menderita.
Akan tetap di balik semua pertanyaan itu, aku bersyukur, aku tetap menjadi bagian paling kecil di keluarga ini. Karena mereka tidak akan bertanya macam-macam lagi tentang apa yang kulakukan atau bisnis apa yang kupunya. Karena aku yakin aku tidak bakal punya jawaban lainnya.
Sejak detik itu, tubuhku menjadi lebih ringan. Sebab aku yakin, aku diterima.
Aku diterima dalam keluarganya.
***
Selesai makan malam, Jeon pergi ke wastafel mengantar Miso Chow, putra paman Henry yang masih berusia tiga tahun. Jeon menggulung kedua lengan jas Miso dan menggedong anak itu mencuci tangan di bawah kucuran air.
Menyejukkan. Pemandangan Jeon yang menggendong Miso menghadap wastafel membuat hatiku sejuk. Bagaimana cara Jeon menempatkan tangan kiri di bawah pantat Miso dan memeluk perutnya, serta membantu anak itu mencondongkan tubuhnya ke arah keran menimbulkan sensasi sejuk.
"Mencuci tangan adalah hal pertama yang dilakukan sebelum dan sesudah makan, bukan begitu?" tanya Jeon perhatian, kemudian menatap Lim Junsu yang berdiri di samping kakinya.
Junsu mendongak dan mengangguk kuat. Tinggi mereka jauh berbeda, dan mungkin Lim Junsu menunggu giliran Jeon menggendongnya membersihkan tangan.
"Iya." Miso mengusak tangannya cepat-cepat dan berantakan. Anak itu kelihatan senang bermain dengan busa.
"Cuci tangan sampai bersih. Sela kuku jangan lupa."
"Iya!" sahu Miso berteriak.
Untuk kesekian kalinya, setiap kali melihat Jeon, aku langsung memikirkan sosok malaikat. Setiap kali melihat suamiku, aku merasa apakah dia seorang malaikat yang sengaja menyembunyikan sayapnya?
Sesungguhnya dia benar-benar membuatku menduga bahwa dirinya adalah malaikat, sampai memunculkan rasa penasaranku untuk melakukan sayembara pencarian sayapnya.
Ketika seseorang menepuk pundakku, saat itulah aku keluar dari ilusi panjang. Aku berbalik dan melihat Lana mengintip sesaat anaknya yang sedang mencuci tangan sebelum kembali padaku.
"Nenek, ingin bertemu denganmu. Dia menunggumu di teras taman dekat gargoyle."
Rasa ragu sekilas terlintas di wajahku. Sepertinya aku terlalu banyak memikirkan premis-premis negatif agar bisa diterima sebagian keluarga ini sampai lupa jika nenek Lucy pasti akan membuka tangannya untukku.
Beliau akan selalu menerimaku tanpa peduli latar belakangku. Beliau bukanlah orang konservatif, aku bisa menilai hanya dalam sekali lihat.
Aku menggerakkan otot wajahku agar dapat tersenyum, lalu berbalik meninggalkan Lana.
"Runa?"
Aku memutar tubuhku lagi. Lana maju beberapa langkah mendekat. Dia berkedip bimbang. "Ada yang ingin bertemu denganmu. Hanya jika kau bersedia menemuinya."
"Siapa?"
"Mantan istri Jeon. Dia tahu kau ada di sini dan sengaja ingin menemuimu."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top