20| What Defines You
(Penasaran) sebelum baca, penyebutan Jves & Koch versi kamu gimana?
Jves & Koch?
— — —
Sekian banyak cara melihat sisi pria romantis adalah ketika melihat mereka membawakan tas wanitanya.
Jeon menenteng tas tanganku ketika kami berjalan dalam garbarata*. Dibandingkan melihat adegan dalam drama, ternyata aku lebih suka menikmatinya secara langsung. Tidak banyak adegan romantis dalam naskahku, namun semenjak menikah, aku ingin sekali seumur hidup menulis .
(*jembatan penghubung
antara ruang tunggu
dan pintu pesawat)
"Apa jenis pesawatnya?" Aku bertanya sebelum kami sampai di pintu pesawat.
"Boeing 737 BBJ."
"Kau sungguh memberi hadiah jet pribadi? Tanpa cicilan, kan?"
Jeon tertawa. Tawa yang enak menjelang siang.
"Cicilan atau bukan?"
"Cash."
"Sungguh untukku?" Aku memastikan dan Jeon mengangguk.
"Untuk Shin Runa."
"Atas namaku?"
"Ya."
"Aku tersentuh," kataku serius. "Boleh kujual?"
Tiba-tiba Jeon berhenti melangkah dan menoleh padaku, sementara aku ikut berhenti. Dia menatapku dengan tatapan... entah harus kusebut apa tatapan menarik itu dari matanya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Dijual?"
"Ya. Uangnya masuk rekeningku. Kira-kira berapa harganya?"
Jeon membuka mulut bimbang dan mengatupkannya lagi. Dia berkedip, lalu kulihat jakunnya bergerak menelan ludah.
"Bercanda!" Aku berseru girang dan menyambar lengannya dengan pelukan erat.
Namun Jeon terus bergeming seolah aku telah merusak sayap pesawat atau apa.
"Harusnya kau lihat ekspresimu," kataku menyandarkan sebagian pipiku ke lengannya. "Kau manis."
Dia tersipu dan aku tahu, aku dimaafkan.
Setibanya di pintu pesawat, aku tersenyum pada seorang pramugari yang menyambut dan membimbing kami menuju kabin. Wanita itu memandu serta membantu kami mengingat segala macam hal yang ada dalam peswat ini. Dimulai dari empat kursi sayap kiri yang berhadapan dan empat kursi lain di sayap kanan.
Kedelapan kursi itu diberi jarak sebagai jalur masuk ke ruangan berikutnya. Personal iPad dipasang pada masing-masing lengan kursi dan berfungsi mengontrol segala sesuatu—musik, jendela, maupun permainan warna cahaya di bagian atap. Bagian atas kabin dilapisi kristal putih Baccarat (yakni produsen kristal mewah asal Prancis). Semua penjelasan itu diberikan detail oleh sang pramugari.
Ruangan kedua hanya dibatasi pintu kaca geser bertirai yang bisa dikendalikan jika kau menekan tombol kontrol pada layar. Kemudian wanita menunjukkan padaku sofa panjang santai, serta kursi dan meja relasi bisnis yang bisa diatur memanjang.
Sepanjang itu pula aku menduga-duga total biaya yang dikeluarkan Jeon untuk semua ini. Selanjutnya wanita itu menunjukkan kami kamar mandi privasi. Berlanjut menyusuri jalan sempit menuju sebuah kamar rahasia. Kamar itu tidak terlalu besar. Ranjangnya queen di sampingnya terdapat meja sempit. Semuanya jelas berbeda dari pesawat yang pernah kutumpangi. Hal lain yang membuatku takjub ialah sepetak kamar mandi VIP di dalam kamarnya.
Terpenting, sesuatu yang seperti mimpi siang bolong bagiku adalah, aku punya jet pribadi dan kamar tidur dalam pesawat. Ah, hidupku benar-benar mujur.
"Kau beri nama apa pesawatnya?" Aku mengambil tasku darinya dan meletakkan di nakas.
"Kau punya nama?" Jeon bertanya sambil melepas jam tangannya dan menyeburkan benda itu ke tasku.
Sementara aku mulai memikirkan sebuah nama yang keren sambil melepas sepatuku dan naik ke ranjang. Omong-omong kasurnya empuk. Lebih empuk dari kasur kami di rumah.
"Punya," sahutku. "Oceans. Aku suka namanya. Kau tidak boleh protes. Karena pesawat ini sudah menjadi milikku."
Jeon tertawa. "Namanya yang bagus," komentarnya.
Aku berguling di kasur dan bertelungkup saat Jeon ikut naik ke ranjang. Dia hanya duduk bersadar sambil meluruskan lutut tanpa melepas kaus kaki.
"Bagaimana jika kita mulai mendirikan maskapai penerbangan?" Pemikiran itu tiba-tiba saja muncul sambil aku mengawasi wajahnya.
"Haruskah?" Jeon menatapku. Dia perlu waktu sebelum melanjutkan, "Hm, baiklah. Jika kau mau—"
Aku buru-buru berdecak menyela. "Bercanda. Cuma bercanda."
Hari ini aku ingin banyak bercanda dengannya. Tetapi aku tidak tahu, apakah pada dasarnya leluconku kurang sesuai untuk karakter Jeon, ataukah Jeon jenis manusia tanpa selera humor.
Kami tidak lagi berbicara ketika aku memindahkan kepalaku ke pahanya dan tidur meringkuk di kakinya. Aku tahu orang seperti apa aku ini. Tetapi saat bersama Jeon, ketika hanya ada kami berdua, aku merasa seperti anak-anak dan ingin terus bersikap manja.
"Tapi ide itu bagus untuk investasi anak kita." Jeon mendeklarasikan sebuah gagasan.
"Tidak. Biarkan mereka memilih jalannya sendiri. Orang tuaku melakukan itu padaku, orang tuamu juga membebaskanmu sampai sekarang."
"Jadi kau sudah punya rencana untuk anak kita?"
Aku menatap wajahnya dari bawah. "Belum ada. Buat saja dulu," ujarku datar sambil memainkan bibir bawahnya. "Kadang-kadang kau jadi menyebalkan kalau pakai rencana. Lakukan saja. Buat dulu. Aku juga sudah menanam saham dan berinvestasi untuk anakku."
Selanjutnya, perhatianku berganti pada majalah Jves & Koch di dekat tasku yang akan rilis musim dingin tahun ini. Aku menggapai majalah itu dan menyerahkan padanya. Jeon terus memperhatikanku saksama ketika aku menjauh dari pahanya dan duduk bersila menghadapnya.
"Ceritakan tentang Jves & Koch."
"Dari mana ingin dengar?" Dia melihat-melihat majalahnya dan menutupnya kembali sebelum akhirnya mata kami bertemu, tapi dia tidak berkata apa pun sambil menungguku menjawab.
"Ungkapkan apa saja."
Jeon menarik napas, tampak berbicara dengan dirinya sendiri. Aku mengerti apa pun yang ingin dia sampaikan selalu butuh pertimbangan.
Jariku mengetuk nama brand perusahaannya di sampul majalah. "Bagaimana cara kau menyebut nama ini?"
Aku penasaran bagaimana bila Jeon mengatakan Jves & Koch, karena dia memang tidak pernah menyebut nama brandnya sendiri di depanku. Tapi Jeon tidak mengatakan apa pun lagi selain diam.
"We learn something new everyday. Aku ingin belajar dari pendirinya langsung. Jadi bagaimana cara penyebutan Jves & Koch?"
"Jeiv and kawkh."
"Sekali lagi." Aku mendekatkan telingaku ke wajahnya.
"Jeiv and Kawkh. Jika fasih, mereka bisa membacanya tanpa getaran di akhir huruf seperti menggunakan metode fonetik," katanya informatif.
"Jeive. Jeive," aku menggumam, "Jeive and Koohh. Ini sulit untuk lidah orang Korea. Apa itu terdengar sama seperti saat kau mendesah?"
Jeon menatapku dengan alis berkerut.
"Bukan mendesah saat kita bercinta. Maksudku, seperti kau menghembuskan napas dari tenggorokan."
"Tanpa getaran." Dia menuntun telunjukku menekan tenggorokannya. "Jeiv and Kawkh. Apa yang kau rasakan?"
"Tenggorokanmu tidak bergetar di akhir kata."
Jeon melepas tanganku dan mengangguk. "Terdengar mirip ketika kau menghela napas. Tetapi jika bingung, cukup katakan Jeiv and Coke atau Kotch saja. Bagiku bukan masalah."
"Ini menyenangkan." Aku tersenyum lebar. "Sekarang aku ingin tahu arti dibalik nama tersebut? Koch sendiri diambil dari namamu, benar?"
Jeon menganggukkan kepala.
"Kalau begitu darimana kau dapat nama Jves?"
"Melalui analisis huruf acak. Aku suka namanya karena menggunakan awalan huruf sama dengan namaku."
Aku menangguk-angguk beberapa kali. "Aku mengerti. Jadi, apa artinya Jves?"
"Ada beberapa arti dan analisis nama Jves dari berbagai aspek. Secara emosional, Jves memiliki pandangan jauh dari kata membosankan, sanggup membentuk banyak koneksi, dinamis, intuitif, serta inovatif. Dan dalam makna pekerjaan maka Jves bisa juga bermakna ilmu manusia. Aku ingin manusia selalu bergerak. Terus menciptakan segala sesuatu yang baru. Semuanya kembali lagi ada tujuan, karena apa yang kubuat selalu berdasarkan manusia.
"Kau juga mendapat inspirasi dari mereka?"
Tatapan Jeon mendarat di kedua bola mataku. "Banyak orang memberiku inspirasi."
"Apa salah satu inspirasi terbesarmu? Mengapa kau berpikir harus mendirikan brand retail dibanding bisnis lain padahal aku tahu kau tidak pernah mengambil pendidikan yang berhubungan dengan bisnis ini."
Pancaran kebahagian tumpah ruah di matanya. Aku senang Jeon semakin mahir membuka diri.
"Seorang wanita dengan berat badan 82 kilo pernah bilang padaku, bahwa dia tidak ingin dikecualikan karena pakaian."
Sebelah siku tanganku menekan paha dan aku bergerak menopang wajah mendengarkannya tanpa membuat suara berisik kecuali napas tenang.
"Sulit menemukan ukuran plus yang kecil dan pas," Jeon melanjutkan dengan suara ringan. "Maka dari itu aku ingin membuat produk inklusif. Membuat seluruh ukuran untuk lebih banyak orang sebab itu membuat mereka lebih percaya diri dan diterima, dan aku tidak ingin mereka membenci diri mereka sendiri hanya karena besar-kecil maupun seberapa tinggi tubuh mereka. Aku hanya tidak ingin...," Jeon menerawang sejenak dan senyumnya merekah, kemudian ia mengangguk, "aku tidak ingin mereka merasa dikecualikan. Lalu dari sana aku mulai berpikir untuk membuat produk lainnya."
Senyum Jeon membuatku tersenyum. Wanita sepertiku tentu masih bisa membedakan mana pria tampan dan biasa saja. Tapi semakin kau tumbuh, wajah rupawan itu tidak sebanding dengan kepribadian menarik.
Kini, sebagai wanita dewasa yang telah menikah aku mengerti ungkapan wajah sempurna tanpa cacat itu hanya milik novel, drama, dan idol.
"Aku beruntung," bisikku kagum. "Kau punya hati yang hangat, Jeon."
Dan aku jatuh cinta pada pria menarik ini.
"Berikan aku senyummu," pintaku dan ia tersenyum. "Persis dirimu." Senyum Jeon sungguh menawan, persis kepribadiannya.
Karena aku telah lama menyadari ini. Bahkan sejak pertemuan kedua kami, bahwa senyunya adalah ketulusan. Senyumnya adalah definisi Jeon itu sendiri. Definisi dari seorang pendiri Jves & Koch yang sebenarnya.
***
"Jaemin akan mengirim proposalnya dalam waktu dekat."
Perjalanan udara ini terasa semakin membosankan. Masih tersisa sekitar lima jam sebelum kami sampai. Rasanya waktu seakan diperlambat. Kami sudah makan, menonton beberapa tayangan, dan bersantai di kabin. Tetapi semua itu sama sekali tak menolong.
Akhirnya kami mengutuskan kembali ke kamar dan menghabiskan sisa waktu berbaring di ranjang sambil membicarakan beberapa topik. Sementara Jeon tidak melakukan apa-apa selain membuatku nyaman dengan meminjamkan tangannya di belakang kepalaku.
Hah. Memiliki pesawat pribadi ternyata tidak seseru kedengarannya.
"Kau sungguh akan menanam saham untuk Jaemin?"
"Akan kupratinjau prosedur dan tujuannya terlebih dahulu."
"Artinya ada kemungkinan Jaemin ditolak?"
Jeon menarik napas dan terdiam sejenak. Secara lambat matanya melirik ke samping, ke leherku, dan kembali ke bola mataku. "Kita lihat nanti."
"Aiguu, mengejutkan sekali. Betapa liciknya dirimu."
Namun Jeon tidak mengelak dengan sindiranku. Dia justru tertawa seolah benar apa adanya jika dia orang yang cukup serius dalam bekerja.
"Jangan bilang... ayahmu menyerah dengan proposalnya saat itu?"
Beberapa detik Jeon terdiam, lalu menangguk.
Aku meninju halus perutnya. "Perlakuanmu jahat sekali."
"Jika papa mau, dia bisa terus berusaha."
"Sepertinya aku sudah bisa mengira sejahat apa kau saat bekerja."
Jeon tertawa lagi dan menjatuhkan bibirnya di atas rambutku, lalu tangannya mengusap punggungku.
"Runa?"
"Hm?"
"Masih ada waktu empat jam."
"Lalu?"
"Bisa kita melakukannya lagi? Aku rindu."
Aku menyeringai. "Apa itu keinginan Jeon Koch atau Jey Key?"
"Jey Key?" Jeon terdiam dengan wajah bingung, melihat itu, aku curiga ia sudah melupakan apa yang dikatakannya kemarin.
"Jey Key? Siapa itu?"
"Kau tidak tahu? Tidak ingat?"
"Itu semacam benda atau temanmu?"
Aku tersenyum miris. "Lupakan saja." Sepertinya Jeon memang sudah melupakan perkataan konyolnya sendiri.
Kemudian aku berkedip, lalu menengok ke pintu dan kembali menatapnya. "Bisa kau jamin tidak akan ada yang masuk?"
Dia mengecup bibirku dan menarik selimut. "Tentu."
[]
Part ini potongan part 19. Tapi karena ragu kepanjangan dan nanti bosen jadilah aku cut dan masukkan judul baru. Harusnya bab ini juga agak panjang, tapi karena ga mau cepet pisah jadilah aku cut untuk part depan.
Selama karantina aktivitas kamu ngapain aja?
Btw, ocean child ada yg ikut po selfish?
Terakhir berdoa semoga semuanya terhindar dari virus dan sehat selalu di mana pun itu ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top