17| He Makes Me Laugh
Paduan harum garam laut dan hutan membelai hidungku.
Bau tubuh Jeon meruap sebelum aku membuka mata. Wanginya berada di luar kepalaku namun melekat diingatan. Tetapi aku tak mengerti mengapa aromanya begitu pekat. Padahal tadi malam kami tidur terpisah.
Aku memilih tidak tidur bersamanya—di kamarnya, dan aku tahu inilah kesepakatan terbaik saat kembali ke kamarku. Kamar yang kupakai sebelum semuanya berbeda untuk kami. Kamar ini baru kutinggal dua malam, tapi rasanya sudah sangat lama. Toh, pakaian dan segala perlengkapanku masih tertinggal di kamar ini.
Infantil; terlalu kekanakan. Kusadari sikapku tadi malam agak menyebalkan. Tetapi Jeon dan segala pekerjaan sialannya lebih menyebalkan. Oh, apa barusan aku mengumpat?
Sialnya, aroma menyenangkan ini belum kunjung pergi. Aku masih bertahan menutup mata. Kepalaku lebih ringan setelah menangis semalaman. Entah jam berapa aku terjaga hingga lelah. Selain itu, aku terlalu ngeri membayangkan kasurku kosong tanpa Jeon.
Baru dua kali, tapi pelukan Jeon di ranjangnya membuatku kecanduan.
Aku menarik napas tersumbat dan meluruskan punggungku di kasur. Mataku berhasil terbuka dan langsung memusatkanku pada langit kamar. Sejenak aku menutup mata dan ketika badanku berbalik betapa terkejutnya aku.
Jeon tertidur pulas di samping kiriku. Dia berbaring miring. Siku kanannya dipakai sebagai penyangga. Sangat lama, kuperhatikan wajahnya dengan muka syok.
Mengangkat sedikit kepala dari bantal, kulihat pintu yang tertutup rapat, dan meletakkan kembali kepalaku pelan-pelan.
Apakah kemunculan Jeon di kasurku kesalahan proyeksi mata akibat terlalu rindu?
Kapan Jeon masuk?
Tetapi kemarahanku tidak seburuk semalam. Aku membuka selimut dan membagi ke tubuhnya. Kepalaku beringsut mendekat tanpa menimbulkan banyak gerakan. Aku terdiam menikmati bunyi napasnya. Tarikan dan embusan napas Jeon serupa desingan orang pilek. Aku menerka-nerka hidungnya tersumbat. Mungkin pilek sakit atau bisa jadi pilek sehabis menangis.
Secara naluriah, telunjukku mengetuk ringan bibirnya yang sedikit terbuka. "Mengapa mulut ini sulit sekali bicara?" bisikku. "Bicara. Aku mau dengar banyak suaramu."
Aku menatapnya yang tidak bergerak sedikit pun. Kembali kuketuk bibirnya tanpa menekan. "Jangan kerja terus." Kata-kata itu kutahu sulit diucapkan ketika Jeon terbangun.
Aku menarik napas yang tersendat. "Rinduku ini buruk sekali, tahu."
Jeon tetap pulas selama aku bicara. Kupandangi apa yang bisa kuamati seperinci wajahnya. Hanya memikirkan dia ada di sampingku cukup membuatku menerima, bahkan memaklumi sikap Jeon yang sulit ditafsirkan.
"Hei Koch, nanti kalau aku hamil, kau harus lebih sering memberiku perhatian, oke."
Setelah bilang begitu, ingin sekali aku mencubit bibirnya keras-keras, tapi aku menahan diri supaya dia tidak bangun mendadak.
Gemas, jengkel, dan sedih, semua kalut-malut dalam benakku. Aku tidak sanggup memilih perasaan macam apa yang paling dominan.
Beginikah? Beginikah perasaan istrinya dua tahun lalu sebelum wanita itu pergi?
Semuanya ternyata serumit ini. Belum pernah aku dikacaukan pria sebegini hebatnya. Dua kali berkencan, satu kali patah hati, semuanya tidak sama dengan apa yang Jeon perbuat padaku. Seperti bocah ingusan yg baru memahami kejamnya cinta, begitulah kondisiku sekarang.
***
"Jadi, maksud kedatanganmu pagi ini agar bisa kabur dari suamimu?"
Danna menoleh padaku hanya dua detik, lalu menopang pinggulnya dengan sebelah tangan ketika berjinjit mengambil cangkir dari kabinet. Perutnya semakin membuncit. Teringat kehamilannya memasuki trisemester ketiga.
"Sesekali dia harus paham aku bisa marah." Aku mencoba membuat suaraku tak seperti balita butuh susu.
Beberapa menit sebelumnya aku menceritakan bosan di rumah dan mogok bicara dengan Jeon lantaran dia super sibuk.
"Dengan kabur ke rumahku saat suamimu tidur?"
"Kira-kira begitu."
"Dasar cewek nakal." Danna mencibir dan meletakkan cangkir di depanku.
"Aku tidak mau mengusik tidurnya," alibiku.
"Kausebut kabur dari rumah tindakan bertanggung jawab?"
Merasa bersalah, aku tidak menyahut dan menyugar rambut ke belakang.
Ia menuang kopi dari alat french press dan memberikan padaku. Aku menunduk pada larutan pekat kopi. Ada bayangan seperdua wajahku ketika airnya mulai tenang. Wajahku lesu. Bayangan Jeon yang harus berangkat kerja membuatku meradang. Aku sedang bosan lihat wajahnya. Tepatnya, bosan kalau lihat sebentar. Seakan semua yang ada pada Jeon membuatku ketagihan.
Sekarang memilih kabur dari rumah sebelum Jeon bangun terasa lebih melegakan, karena saat melihatnya aku yakin aku bisa melarangnya pergi.
"Dan kau belum menyiapkan kebutuhan pagi untuknya?"
Aku mengendik dengan sikap cuek. "Hari ini minta asisten mengambil alih tugas rumah." Lagi pula bukankah Jeon terbiasa hidup berdampingan dengan pelayan dan penjaga rumah sebelum aku ada? Dan jangan lupakan dia hendak memakai jasa pramuwisma agar aku tidak repot masak.
Hah. Aku mulai terdengar kekanakan lagi. Bagaimana bisa Jeon membuatku uring-uringan dalam semalam?
"Apa yang sedang kau kerjakan?" Enggan membahas Jeon, aku menemukan bahan obrolan lain sebelum Danna bertanya macam-macam.
"Merampungkan epilog novel berikutnya." Danna duduk di kursi dengan hati-hati. Kami duduk di kursi makan biasa bukan meja bar.
Suami Danna yang overprotektif bersikap preventif semenjak trisemester awal kehamilannya, mengganti beberapa perabotan bahkan memasang anti slip pada lantai supaya mencegah kejadian buruk seperti tergelincir atau jatuh dari kursi.
"Kebetulan hari ini aku masuk siang, jadi punya waktu menyusun draft." Danna membetulkan sisi kimono satin di bahunya. Tadi ia cuma memakai gaun tidur baby doll ketika menyambutku masuk.
"Aku ganggu waktu kalian?" tanyaku ketika suaminya keluar dari kamar dan berlalu menuju ruangan sebelah.
"Tidak, kok." Dia mengibaskan tangan dengan gaya masa bodoh.
Padahal aku menangkap aura kurang bersahabat dari suaminya.
"Tapi suamimu kelihatan kesal."
"Biarkan saja. Mungkin suasana hatinya menurun setelah semalaman menemaniku menulis."
Aku bisa membayangkan sosok otoriter Danna saat meminta seseorang menemaninya menulis. Kecintaan Danna pada karya sastra tidak main-main. Ketika menulis kisah romansa, Danna berjuang mempraktikkan segala adegan dengan detail pada suaminya sendiri. Pernah saat bertandang ke rumahnya beberapa bulan lalu aku mendengar suaminya merengek kelelahan terus-terusan diajak main peran.
Omong-omong Danna itu terlalu gigih dan lucu. Kalau menolak, dia tak segan mencubit perut suaminya. Aku pernah memperingati Danna supaya jangan kasar. Tetapi Danna bilang cubitannya tidak seberapa ketimbang saat suaminya mengajak ia bercinta posisi misionaris atau posisi yang dia beri julukan: Aku Datang dari Belakang. Katanya, tenaganya banyak terkuras. Tapi sungguh, wanita ini amat keras kepala dan ahlinya mengeksploitasi pikiran lawan bicara.
"Ayo bicarakan suamimu lagi!" cetusnya semangat.
Aku meringis. "Lupakan."
"Kerinduanmu pasti seperti limbah yang menumpuk, kan?" tanya Danna tidak peduli kemudian menggebuk tanganku. "Mengaku saja. Cinta memang begitu. Hujannya setahun lalu, pelanginya masih muncul."
Aku tidak menjawab karena alegorinya benar. "Kutipan dari bukumu?" tanyaku. "Aku ingat."
Dia tertawa lebar dan menjentikkan jari. "Tidak diragukan. Shin Runa is Gil Danna's the biggest fan."
Aku membuang muka dan tertawa meremehkan. Tapi akhirnya aku memberi jawaban yang membuatnya semakin besar kepala. "Dan penggemar pertama. Kau puas?"
Dia mengabaikanku dan kembali menjelaskan. "Rindu di awal pernikahan itu wajar. Indikasi pengantin baru. Di mimpi pun masih berharap bertemu wajahnya. Kalau tidak bertemu sehari dengan wajahnya seperti tinggal di padang pasir saat kau kehausan."
"Bisakah kau bicara tanpa alegori?"
Dia mendesah seolah aku tidak pernah paham apa yang dia katakan. "Dulu juga sulit bagiku. Kau tahu bagian paling menyiksa? Saat kami makan di kafetaria kantor di meja terpisah. Dia bersama para atasan dan aku duduk dengan timku. Di kantor hubungan kami layaknya direktur dan ketua divisi. Kami cuma punya waktu sepuluh jam sebagai pasangan, dipotong waktu tidur. Artinya cuma tiga jam bermesraan. Kalau mau bermesraan, kami harus menjauh radius sepuluh meter dari gerbang kantor. Itulah saat-saat paling menyiksa dalam hubungan kami," katanya menjabarkan. "Sebagai sahabat, pantas bagimu merasakan penderitaanku dulu."
"Wanita jahat," ucapku menyinggung.
Ia malah tersenyum sombong. "Ada waktunya, Shin Runa."
Tak lama suaminya keluar dari ruangan tersebut dan memanggil Danna sementara aku mengeluarkan buku catatan. Sejenak aku menoleh pada suaminya yang berdiri jauh dari kami. Pakaian dan rambutnya masih kumal.
Kuberikan ia senyum sopan seraya menundukkan kepala sedikit. Dia membalas gerakan serupa dibarengi senyum sungkan. Kami tidak begitu akrab meski Danna penah memperkenalkanku seperti saudara kandungnya di depan sang suami.
Danna melotot pada suaminya. "Kenapa masih di sana? Belum mau mandi?" tanyanya garang.
"Ke sini sebentar," kata pria itu pelan kelihatan seperti anak-anak sambil memainkan kuku di depan perut.
Danna berpaling padaku, "Kau duduk saja nikmati kopinya." Yang kubalas anggukan setuju dan dia menghampiri suaminya.
Aku mendengar Danna menggerutu sebal. "Pria ini kan sudah mau punya anak, tapi sikapnya belum berubah juga."
Aku mendengar suara kasak-kasus dari samping kiriku. Tepat beberapa meter mereka bicara dari depan pintu kamar. Dapat kutangkap satu dua hal terkait 'itu' yang diucapkan tidak kentara.
Aku menjadi tidak enak hati. Pasti aku mengganggu pagi romansa mereka. Lalu secara sembunyi kulihat Taehyung mencolek pinggul Danna hingga wanita itu bergerak refleks.
"Apa?" Danna berbisik jengkel.
Suara galak Danna terekam di telingaku.
Taehyung mendekatkan wajah mereka. "Sebentar saja."
"Tidak mau. Ada temanku."
"Lima menit." Suaminya merengek. "Aku butuh, Sayang."
Walaupun mereka berbicara dengan nada rendah dan saling berbisik, aku masih mendengar dan tahu topik apa yang sedang mereka perdebatkan.
"Kau harus kerja. Kau ingat, kau masuk lebih awal."
"Selesaikan dulu yang tadi. Kepalang tanggung."
"Jangan merengek, ada temanku."
Aku mengalihkan diri dengan pura-pura menulis di buku catatan. Ketika aku menoleh, aku melihat Taehyung memiringkan sedikit punggungnya mengintipku dari bahu Danna. Tatapan kami bertemu dan dia kembali tersenyum sungkan. Aku membalasnya dengan senyum ramah yang sengaja dipoloskan. Padahal aku merasa bersalah bertamu pagi hari. Kemungkinan besar, sebelum kedatanganku, mereka berniat kardio kasur.
Sekejap aku merasa jahat. Tetapi aku senang setiap kali melihat perdebatan kecil mereka. Bukan karena menikmati, melainkan aku tahu mereka bukan bertengkar sungguhan. Danna dan suaminya faktor pembangkit gairahku menulis.
Aku mengalihkan diri kembali pura-pura sibuk dengan jurnal.
Sedikitnya, sudut mataku mengintip Danna sedang mencubit gemas perut pria itu. "Jangan manja."
"Yasudah," putus suaminya masih berbisik. "Nanti kalau kau yang minta tidak akan aku layani."
Danna memukul dengan kencang pantat suaminya ketika pria itu berbalik. "Mandi sana."
Aku tertawa ketika Danna kembali ke hadapanku.
"Penisnya sakit, katanya. Padahal bohong. Supaya bisa kupegang dan berlanjut macam-macam."
Sontak kutepuk-tepuk kedua telingaku. "Aaaa tidak! Tidak! Tidak! Sepagi ini kau sudah membicarakan hal jorok."
"Kenapa? Aku kan cuma bicara masalah intim padamu, sahabat terbaikku. Selain itu karena sekarang kau sudah bersuami, membahas topik porno seperti makanan wajib konsumsi."
Kugigit bibir menahan senyum.
Dia kembali duduk di tempatnya. "Dengar, suamimu bisa saja minta pagi hari dan mendadak punya banyak alasan. Hormon pria bisa meledak-ledak melebihi sebelum mereka tidur. Sekali saja kau berikan saat bangun tidur, mereka akan ketagihan."
Sejak dulu berbagi rahasia di antara kami adalah sesuatu yang wajar. Tetapi aku hanya tidak menyangka akan merasakan malu sebesar ini pada pembahasan Danna. Bukan lantaran canggung, tapi belum terbiasa.
"Mendekatlah. Kubisikan satu rahasia." Jari telunjuknya bergerak-gerak memintaku mendekat.
"Rahasia apa? Jangan aneh-aneh."
"Cepatlah, mendekat saja. Kubocorkan kiat-kiat suamimu betah di rumah sampai lupa kerja."
***
Hari ini Jaemin ulang tahun.
28 September tepat 21 tahun lalu aku masih melihat Shin Jaemin polos baru lahir ke dunia. Saat usiaku enam tahun, aku ingat betapa kecil kelima jarinya menggenggam telunjukku. Aku ingat pipinya bersemu dan subur. Ada waktu-waktu tertentu di mana sepanjang malam tangisan Jaemin sulit dihentikan. Tetapi mendengar Jaemin menangis 21 tahun lalu rasanya bagai mendapat berkah yang dikirim Tuhan. Aku dan dua orang tuaku hanya melihat Shin Jaemin sebagai bayi mungil yang takkan mungkin berbuat satu pun kesalahan.
Sekarang aku tak ingin bicara apa-apa dengannya—dengan Shin Jaemin—bayi yang dulu kurawat melebihi diriku. Anak laki-laki yang minta diantar kencing jam satu pagi. Laki-laki yang selalu menghabiskan sisa nasiku kalau kekenyangan. Dan bocah SMP yang berani memukul siswa SMA karena menggodaku. Shin Jaemin, si pemberani yang selalu melindungiku dari berbagai ancaman.
Sekarang aku lupa siapa Shin Jaemin 21 tahun lalu. Aku marah padanya.
Dua jam berlalu, kami masih duduk di kursi tunggu kantor polisi sambil berdoa surat permohonan pembebasan tahanan Jaemin disetuju. Sepanjang itu pula aku menolak diajak bicara. Jaemin terus berusaha memegang tanganku dan meminta maaf.
"Noona." Suaranya pelan dan memelas. Diliputi kesedihan. Dia mencoba mengambil tanganku lagi, tapi aku menepisnya.
"Noona..."
"Diam!" bentakku kecewa. Aku mengetatkan rahang dan bicara melalui sela gigi. "Jangan bicara padaku sampai kasusnya selesai."
"Bukan salahku. Tolong jangan sampai ibu tahu."
Aku berputar sedikit di kursi menghadapnya. "Masih berani bilang begitu setelah kau hampir membunuh orang lain?" Setiap perkataan Jaemin jelas hanya memancing kemarahanku.
Kejadiannya pukul empat sore. Aku menerima kabar Jaemin dibekuk polisi setelah meninju salah satu mahasiswa jurusan olahraga. Kini mahasiswa tersebut sedang dalam penanganan medis karena pingsan dipukuli.
Aku menghela napas dengan perasaan frustrasi. "Aku tidak mengerti padamu."
"Tapi memang bukan aku yang mulai. Kalau saja—."
"Kalau saja kau belajar dengan benar, kalau saja kau tidak sok jagoan dan bersikap dewasa, apa mungkin kejadian semacam ini menimpamu?"
Ekspresi Jaemin menegang. Berbeda dari sebelumnya. Ekspresi yang tidak pernah kuduga muncul dari wajahnya. Kesedihan dan kekosongan tersirat di baliknya. Dia berkedip tanpa suara seakan tak percaya pada sesuatu.
Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu.
"Noona meragukanku?" tanyanya pelan dengan nada bergetar, tampak tak ada daya.
Tetapi sebagai wanita yang sudah tinggal lebih dari 20 tahun dengannya, aku bisa melihat Jaemin mempuk segenap emosi dari balik wajahnya. Dia ingin membalasku dengan teriakan dan menumpahkan amarah.
"A-aku..." dia mengeluarkan udara dari mulutnya terputus-putus, "aku tidak memukul orang lain tanpa alasan dan Noona belum percaya?"
Kami berpandangan beberapa detik. Waktu yang entah mengapa menjadi lama. "Ya, aku tidak percaya," jawabku mantap dengan suara tertekan.
"Dan Noona tetap menjemputku di sini meski tahu aku bersalah?" Intonasi Jaemin meninggi. "Kenapa? Kalau begitu kenapa tetap memenuhi panggilan datang? Harusnya Noona jangan datang!"
"Kau tahu masalah apa yang sedang kuhadapi? Masalahku sudah telalu banyak. Belajarlah hidup normal, berhenti menyusahkanku. Aku sedang tidak baik-baik saja, Shin Jaemin. Aku juga punya masalah. Bukan hanya hidupmu. Mengertilah! Aku dan suamiku sedang bertengkar dan kau justru menambah bebanku."
Detik berikutnya aku sadar mengatakan sesuatu di luar nalar dengan apa yang tidak kuniatkan sampai kerongkonganku serasa terbakar. Namun tak ada cara menarik kalimatku kembali. Semuanya telah terjadi.
Lelah. Aku sedang lelah sekali. Bukan hanya ragaku tapi batinku terasa jauh sepuluh kali lipat lebih letih. Membuat kami akhirnya terkurung bedua dalam keheningan panjang sampai pintu di depan kami terbuka.
Segera aku mengadah pada pria berpakaian perlente dan lekas berdiri menyambutnya. Aku patut berterima kasih padanya. Pria ini setia menemani serta bersedia menjad wali Jaemin sejak berada di kantor polisi. Dari cerita yang kudengar pria ini kembali dari restoran cepat saji dan tanpa sengaja melihat keributan.
"Syukurlah Shin Jaemin boleh pulang," katanya tersenyum sambil menyerahkan kartu tanda pengenalku yang dipinjamnya untuk memperlancar proses penyelidikan. Terpancar sikap kelembutan dari gesturnya. "Aku sudah mengurus semuanya. Pihak keluarga setuju berdamai."
Pundakku melesak lega. Lalu kusadari Jaemin menarik kasar jaketnya dari kursi dan berjalan menuju pintu keluar.
"Hey! Anak Nakal, berterima kasihlah pada orang yang sudah membantumu."
Jaemin berbalik tak acuh dan membungkuk. "Terima kasih," katanya datar.
Ketika hanya tersisa aku dan pria itu, aku mengawali percakapan, "Aku minta maaf atas sikapnya dan membuatmu kesulitan hari ini."
"Jangan terlalu marah padanya. Cuma kenakalan remaja biasa."
"Kenakalan remaja bukan pengecualian. Memukul orang sudah termasuk tindakan kriminal dan tetap saja aku berhutang budi padamu."
"Bukan masalah... Shin... Runa-ssi?" Dia mengakhirnya dengan ragu. "Benar itu namamu, kan? Aku baca dari tanda pengenal."
Aku terdiam bimbang.
Diamnya aku membuat pria itu menggaruk belakang kepalanya kikuk, kemudian buru-buru melanjutkan, "Maaf jika menyebut namamu membuatmu kurang nyaman."
Aku menggeleng dan tertawa. "Tentu saja tidak." Setelah lumayan tenang, barulah aku bisa melihat betapa indahnya pria yang menjadi penyelamat Jaemin. Roman kehangatan terkumpul di wajahnya. Rambutnya yang ditata apik di kepala tanpa poni menunjang penampilan.
"Kalau begitu..." alisku bertaut, "namamu...?"
"Han Taejoon." Senyum membius Taejoon kembali ditunjukkan bersama deretan giginya yang rapi. Ada lesung pipit ketika dia tersenyum.
Kami saling menjabat lalu kembali menurunkan tangan. "Senang bertemu denganmu, Han Taejoon-ssi."
"Panggil saja dengan santai."
Aku mengangguk.
Lantas dia mengangkat tangannya mengecek arloji. "Aku masih ingin mengobrol banyak denganmu, tapi ada dua anjing yang harus kuberi makan."
"Baiklah. Kalau begitu... kurasa pertemuan kita selesai sampai di sini."
"Pertemuan kita selesai sampai di sini?" Taejoon mengernyit, kelihatan terusik dengan kata-kataku barusan.
Sementara aku belum menangkap maksud pembicaraannya hanya bisa membuka mulut.
"Maksudmu," dia menunjuk dirinya dan aku bergantian, "kita tidak boleh bertemu lagi?"
Aku langsung tertawa bebas dalam rasa malu. "Tentu saja boleh. Mana mungkin aku melarang orang yang sudah membantu adikku bertemu denganku." Selanjutnya kepalaku mengangguk kukuh. "Baiklah, kalau begitu kita bisa bertemu lagi kapan-kapan. Aku juga harus membalas kebaikanmu hari ini."
Taejoon memetik jarinya di depan wajahku seolah kami teman akrab. "Oke. Kau harus mau bertemu denganku lain waktu."
Sejenak aku menunduk seraya tertawa dan ikut meniru sikap informalnya yang menyenangkan.
"Okeee, Han Taejoon-ssi. Aku tunggu."
"Aku harus pergi," ucapnya mengarahkan jempolnya ke pintu. Aku mempersilakannya meninggalkanku lebih dulu.
Kami harus berpisah dan dia berhenti sebelum mencapai pintu.
Taejoon menepuk keningnya, kemudian berjalan lagi ke arahku. "Boleh bertukar nomor? Mungkin kalau kau tidak keberatan."
Aku tertawa. Entah keberapa kalinya Taejoon membuatku tertawa kurang dari lima belas menit.
"Berikan ponselmu."
Walaupun tidak ingin mengakui, tetapi perasaanku tidak bisa berbohong, bahwa Taejoon memperbaiki suasana hatiku.
Dan membuatku melupakan sebentar pertengkaranku dengan Jeon.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top