15| Unknown Caller

Pada hari yang sama Lana Shein berkunjung ke rumah. Mampir sekaligus mengantar pakaian. Lana menyiapkan sepotong gaun yang nantinya wajib kupakai saat makan malam keluarga besar Hwang Lucy di Singapura enam hari lagi.

Aku menggiring Lana ke kamar ganti setelah dia bilang ingin membantuku mencocokan gaun.

"Bibi Ivy akan datang." Lana memberitahu.

Aku diam. Tidak memiliki jawaban pasti.

"Kalau bibi Ivy bicara macam-macam jangan diambil hati." Lana meletakkan tas pakaian ke sofa persegi berkulit hitam dan mengeluarkan isinya. "Tentu kau masih ingat bibi Ivy, kan?"

Aku berputar menghadapnya. Tidak bersuara namun mengangguk muram. Ingatan tentang siapa Ivy Tsai dan perawakannya masih segar dalam kepalaku. Pesta pernikahanku menjadi awal mula kami bertemu.

Aku ingat bagaimana Ivy menjadi wanita 60-an nyentrik dengan kostum merah menyala bermotif bulu angsa mengikuti bentuk badan rancangan Calvin Luo. Anting berlian Yoko London yang terpasang di telinganya berayun-ayun selaras gerakan badan. Tangannya setia mengibas-ibas kipas berbulu ke arah wajah dengan gencar. Seolah-olah kulitnya tidak memiki resapan keringat. Sikapnya agak sembrono. Aksennya ketika bicara denganku lumayan kasar.

Tebak apa yang terburuk?

Hal paling buruk adalah, menorehkan nama Ivy Tsai sebagai tamu undangan VIP. Itulah yang terburuk. Pada dasarnya aku bisa menjadi jahat kepada mereka yang tidak menyukaiku tanpa alasan. Dulu aku selalu berpikir akan mematahkan leher para perempuan jahat. Namun semakin bertambah usia, pikiran-pikiran ekstrim itu hilang entah ke mana.

Sama seperti Ivy Tsai, aku ingin melakukan kejahatan padanya. Sebatas melotot atau berujar ketus. Pertemuan pertama kami jelas tidak meninggalkan impresi baik baginya maupun untukku. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Dalam bahasa Cina (aku pernah belajar dua tahun saat bekerja di kantor penerjemah) dia berbicara satire; 'Alamak, ini yang menikah dengan keponakanku' atau kalimat lain; 'Aiyah, kerja apa? Memang punya bisnis' kata-kata pedas itu hanya membuatku membisu dan menelan amarah tanpa mengatakannya pada siapa-siapa.

Beruntungnya selama itu pula Sabrina Tsai, putri kedua Ivy dengan mudah mengembalikan moodku. Acap kali Sabrina diam-diam meminta maaf padaku atas sikap Ivy. Sabrina menuding ibunya tergila-gila pada pengusaha. Terutama saudagar kaya. Dari penjelasan itu aku bisa menyimpulkan, bibi Ivy tak akan pernah menyukaiku karena aku bukan bagian dari mereka, dalam konteks lain.

Aku jelas bukan pebisnis. Sementara garis takdir keluarga suamiku adalah pengusaha sejak muda. Mereka terlahir dalam DNA berhubungan dengan orang-orang yang berasal dari kelas mereka: dengan siapa pun yang terlahir kaya atau ningrat. Lana yang merupakan cucu kedua pun adalah satu dari sepuluh pengusaha keramik paling terkenal dari Korea.

Aku tentu tidak boleh membandingkan diriku dengan mereka. Tetapi sekarang aku tahu satu-satunya kesalahanku di mata Ivy Tsai. Mungkin juga di mata beberapa anggota keluarga Jeon. Ini membuatku terluka, bahwa aku belum seratus persen diterima.

"Coba kita lihat." Lana memegang kedua sisi tali pada gaun yang nyaris menyentuh lantai, ia memadukannya ke depan badanku. "Kau suka warnanya?"

Aku mengangguk semangat. "Cantik sekali."

Gaunnya menyinggung rasa estetikku. Bercorak geometris gaya bohemian, v-neck—berpotongan dada rendah, yang sudah pasti bakal memperlihatkan sisi dalam payudaraku. Kurasa aku tidak membutuhkan bra saat malam itu tiba.

Warnanya hijau tua dipadu serat-serat emas vertikal. Bagian yang mempercantik adalah taburan kristal Swarovski di bagian pinggang sebelah kanan. Tingginya semata kaki. Tapi sedikit lebih panjang untukku. Mungkin solusi heels tujuh senti menolong agar gaun itu tidak mempersulitku berjalan.

"Nenek memesan langsung dari perancang busana keluarga yang telah bekerja satu dekade pada kami."

Kira-kira aku bisa menebak harga gaun ini hanya karena Lana menyebutkan kata kunci Nenek, bahwa artinya, harga pakaian harus melebihi lima puluh ribu dolar.

Namun, seberapa besar keinginanku menolak, aku tetap tidak diizinkan mengembalikan barang pemberian beliau. Kami semua dilarang menolak pemberian nenek Hwang Lucy. Apa pun bentuknya.

Jeon sudah memberitahuku pada hari pernikahan agar tidak menyanggah ketika Lucy memberikan kalung zamrud warisan keluarga sebagai kado pernikahan. Sebab apa pun yang beliau berikan adalah berkat.

"Hmm," Lana memundurkan wajahnya, menelisik, "Sepertinya masih agak longgar di sekitar pinggang." Ia melihat penampilanku dari atas ke bawah. Lalu mengangkat kepalanya sejajar denganku. "Pakailah dulu. Nanti kubantu perbaiki."

Sepuluh menit mengganti baju rumahanku dengan gaun, aku keluar lagi. Lana menyambutku dengan senyum berseri serta tatapan berdenyar kagum. Sebelah tangannya terlipat diperut, sementara tangan satunya menopang dagu. Ia mencermati tubuhku dari pundak ke betis lalu naik ke kepala.

"Aku bisa mengira-ngira harganya," ucapku, sambil berputar, senang dengan bahan gaunnya.

Lana tertawa kalem dan membimbing tubuhku berbalik mengahadap cermin. Dia mengambil tempat di balik punggungku.

Dia bergerak membetulkan kait yang ada di pinggangku. "Kau tidak akan terlalu memikirkan uang ketika uang selalu ada dalam hidupmu."

Aku mencoba memahami konsep itu.

"Nenek melakukan itu sejak bertahun-tahun lamanya," lanjutnya. "Dia menghabiskan uang untuk keperluan dan kepentingan orang banyak. Bukan untuk dirinya sendiri." Sambil tangannya tetap bekerja, kepalanya mengadah ke cermin membuat kami saling tatap. "Dia sudah menghabiskan masa mudanya untuk bersenang-senang."

"Dan menikah dengan banyak pria?" tanyaku teramat pelan, sedikit bercanda. Karena bagi keluarga Jeon pernikahan neneknya bukan aib.

Lana tertawa dengan suara merdu. "Kau benar. Rahasia umum nenek Lucy menikahi enam pria."

Giliran aku yang tertawa. "Kurasa nenek Lucy sangat kaya. Punya banyak usaha pasti membuatnya pusing. Sama seperti Eonni, kan?"

Ekspresi Lana tampak lebih cerah, dia menunduk pada sesuatu di bagian belakang bajuku sambil menggeleng-geleng. "Tidak. Aku cuma punya satu bisnis."

"Tapi punya banyak cabang," kataku cekikikan.

Ia melihat pantulan wajahku di cermin dan ikut tertawa. Aku tak pernah bertemu Lana sebelum mengenal Jeon, tetapi kami mudah cocok karena dia menyenangkan dan terbuka.

Saat sedang membetulkan tali gaun di belakang leherku, gerakan tangan Lana sempat terhenti dan tatapannya tertuju pada bahu kananku yang terbuka. Tatapannya agak berlama-lama. Membuatku bertanya-tanya apa yang dipikirannya.

Ah, benar! Lalu aku teringat Jeon meninggalkan Gigitan Cinta di sana.

Tanpa mengatakan apa-apa, Lana melanjutkan tugasnya. Aku bisa melihat sudut-sudut bibir Lana meregang berlawanan arah. Sangat tipis hingga aku tidak yakin apakah barusan dia tersenyum.

"Kami melakukannya." Suaraku menipis setelah bimbang sejenak. Aku menunduk dan mengulum bibir malu. "Tadi malam kami sungguh-sungguh melakukannya."

Aku merasakan pipiku panas ketika Lana masih tersenyum. Dia telah selesai dengan gaunku dan berjalan mengambil kotak perhiasan dalam tas tangannya dan duduk di sofa. "Duduklah. Biar kubantu pasang antingnya sambil kau bercerita."

Kami duduk berhadapan di sofa sempit yang hanya muat dua orang. Ujung lutut kami bahkan bersentuhan ketika ia membantuku memakai sepasang anting berlian.

"Karena itu Jeon itu tidak berangkat kerja. Dia ada di rumah seharian ini." Dengan Lana, aku bisa merasakan diriku yang mengalir. Dia pendengar yang baik sama seperti Jeon.

"Di rumah? Kenapa?"

"Demam tinggi. Aku merasa kondisinya memang memburuk sejak beberapa hari yang lalu. Tapi...," aku menjeda. Wajahku seketika berseri mengingat kegiatan intim kami kemarin malam. Aku kembali mengulum bibir.

"Tapi?" Lana menaikkan kedua alisnya.

Masih menunggu, ia menusuk lubang telingaku yang pertama dengan pengait.

"Kurasa aktivitas kami menjadi pemicu utama demamnya."

Mendengar pengakuanku, Lana tidak langsung menjawab, ia berkedip dan mengangguk-angguk tanda paham. "Jangan terlalu salahkan dirimu. Mungkin demamnya semacam gejala kecil atau kaget. Umumnya, pasca insiden, korban kejahatan seksual masih sering mengalami syok. Mereka cendrung mengalami gelaja menunjukkan pertahanan atau trauma, seperti disorientasi hingga pingsan. Namun, apa yang Jeon alami bukan merupakan representasi dari gangguan kejiwaan."

Lalu Lana menambahkan, "Saat kalian melakukan hubungan fisik, ada baiknya bantu dia agar selalu fokus pada kalian saja. Bantu dia pusatkan pikiran hanya tentang keintiman kalian. Awalnya akan terasa sulit, dan kalian hanya butuh sedikit waktu."

Aku mendengarkan setiap patah kata Lana dengan saksama. Dia beralih pada telingaku yang lainnya. "Dulu, tiap kali Jeon bertemu denganku atau orang lain dia sangat mudah terkejut meski dengan setuhan kecil sekali pun. Jeon telah melakukan beberapa terapis untuk mengalihkan pola pikir dari pelecehan seksual yang tidak aman. Para pakar juga telah membantu mengeksploitasi pola pikirnya ke arah yang lebih sehat. Berutungnya, dia mau berusaha dan membebaskan diri dari situasi yang tentunya sangat tidak nyaman."

Aku mengangguk. Masih membungkam bibir.

"Waktu itu aku juga terkejut ketika tiba-tiba dia bilang akan menikah," Lana kembali berujar. "Aku salut pada kegigihannya karena pada akhirnya mau menikahimu dan membuka dirinya lagi."

Aku tidak ingin mengasihani Jeon. Karena tidak ada seorang pun yang ingin dikasihasi dengan rasa iba karena kenangan buruk. Daripada iba aku lebih senang dia keluar dari mimpi-mimpi kelamnya. Karena terlepas dari apa pun yang Jeon alami di masa lalu, tak seorang pun membuatku merasa seperti yang ia lakukan sejak hari kami menikah. Jeon membuatku bangga pada diri sendiri sebagai seorang istri.

"Aku tahu di usianya sekarang sangat menyedihkan," kata Lana. "Tapi trauma bisa menyerang siapa pun." Kemudian ia menyetuh anting-anting di telingaku dan menelitinya sambil berbisik kagum. "Cantik."

Sementara aku merenung dan mengangguk. "Sangat menyedihkan karena dia tidak bisa memberitahu orang-orang dalam waktu lama."

Lana menegakkan punggung dan menarik napas seolah sedang merasakan sesuatu mengganjal di hatinya. "Apa pun itu jangan paksa Jeon melakukan hubungan terkait dengan insiden ini. Kalian bisa melakukan pendekatan konstan. Aku tahu ini sulit untukmu, tetapi pastikan melakukannya bertahap dan perlahan. Karena sebelum merasa aman dengan seseorang, mungkin dia akan merasa buruk sepanjang waktu." Aku bisa mendengar napas Lana yang berantakan ketika dia menarik dan mengembuskannya.

Aku tidak lantas menyahut dan mengganti subjek pertanyaan. "Eonni, ada yang ingin kutanyakan tentang mantan istri Jeon."

Sejenak aku memandangi Lana yang sedang membereskan kotak di pangkuannya. "Suamiku bukan orang yang dengan mudah melepaskan sesuatu. Aku merasa dia takkan pernah melepaskanku, tetapi kenapa dia membiarkan mantan istrinya pergi?"

"Wanita itu yang meminta." Lana mengangkat pundak tampak seperti wanita itu tidak berati apa-apa untuknya. "Bagaimapun sulit untuk melepaskan mantan istrinya. Bagi Jeon, ketika dia melepaskan seseorang, berarti dia melepaskan segala sesuatu yang telah dikenal dan dia cintai begitu lama."

Aku mengembuskan napas dengan tenang, mendebat pikiranku agar berhenti bertanya saat Lana menoleh kepadaku.

"Percayalah, kalian bisa melewatinya."


***

Petang ini terasa sepi. Jeon tidur cukup lama. Aku sudah membiarkan Jeon tidur selama empat jam lebih dan menunggu satu jam tambahan sambil memesan piza supreme ekstra keju ukuran reguler untuk kumakan sendiri.

Sambil mengecek ponsel, aku memeriksa satu persatu email, tiba-tiba masuk panggil dari nomor yang tidak terdaftar di kontakku. Aku menjawabnya, siapa tahu dari kenalanku yang mengganti nomor. Tetapi setelah menunggu sekitar dua-tiga detik hanya kehampaan udara yang kudengar.

"Halo?" Aku angkat bicara, tak sabar. "Halo. Dengan siapa aku bicara?"

Belum ada sahutan apa pun. Sekali lagi aku hendak mengulangi, sebelum orang itu membuka suara lebih dulu. Ternyata seorang pria.

Ia bernapas pendek dan menyebut namaku berbisik. [Shin—Runa, ya?]

Bisikan itu membuatku merinding lantas menarik ponsel dari telinga. Kupandangi nomor itu bila ada kemungkinan aku mengingat digit angka tersebut. Dengan separuh waspada aku menempelkan kembali ponselnya. Meneguk ludah sekedar menepis gelisah.

"Ya?" Aku ingin membuat suaraku terdengar mantap, tetapi aku gagal. Pita suaraku tak bisa berkompromi.

[Shin... Ru... Na]

Sialan! Aku mengumpat dalam hati. "Jangan menggertakku dengan panggilan iseng."

Dia tertawa dengan vokal He-He-He konyol. Perlu kuakui jenis suaranya indah, menarik, dan aku bisa menebak dia adalah pria matang, hobi main-main, berpenampilan pelente ala Bos Besar, dan punya daya tarik dikejar sekelompok wanita sepanjang Insa-dong.

[Lama tidak berjumpa. Kenapa kaku sekali?]

"Kau seharusnya katakan siapa dirimu atau kututup."

[Sial] Dia mengumpat bersama desas-desus orang yang saat ini seperti bicara padanya.

Aku mengernyit. Tunggu! Aku mengingat sesuatu. Aku pernah dengar jenis suara ini sebelumnya. Di mana? Kapan? Aku tidak ingat. Belum ada petunjuk jelas.

[Shin Runa] Dia menyebut namaku pelan seperti cara melafalkan sesuatu yang sulit sebelum memutus panggilan seenaknya.

Tanpa berpikir dua kali kali aku segera memblokir nomornya. Kemudian beranjak meninggalkan dapur.


***

Selesai makan dan menyikat gigi, aku kembali memeriksa Jeon di kamarnya. Dia mengubah posisi menjadi meringkuk dari yang terakhir kuingat. Posisinya berpindah ke tengah kasur. Pose tidurnya sekarang membuat perawakannya tampak lebih besar menguasai permukaan. Sejujurnya, selalu membayangkan letak Jeon tidur sebelum malam kemarin. Kini rasa penasaranku terjawab.

Aku memandangi Jeon sekali lagi. Sepertinya dia masih nyenyak tidur. Apa boleh buat. Akan kutunggu beberapa menit lagi.

Sambil menunggu Jeon bangun dengan sendirinya, aku berjalan ke sisi lain kamar. Tanganku menyapu tepian meja. Kemudian merambat ke beberapa buku yang tersusun di sana.

Ada satu buku yang menarik perhatianku. Judulnya Cosmos. Buku sains tahun 1980. Karya Carl Sagan. Buku ini sangat populer semasa aku SMP—yang artinya Jeon saat itu telah berusia 25 tahun—dan aku terpaksa mengkaji beberapa bagian untuk tugas akhir. Aku tidak suka bukunya, tetapi ternyata Jeon membaca ini (mungkin saja) karena melihat bukunya ada di meja kerja dan menguning. Kelihatan telah dibaca berkali-kali. Dibanding bukunya jauh lebih puas membayangkan kami memiliki anak dan Jeon mengajarkan apa yang telah dia dapat dari seluruh bukunya.

Lalu ada pula buku Please Look After Mom yang pernah kurekomendasikan. Ternyata Jeon tidak main-main dengan ucapannya. Jika dia serius membaca buku acuanku, maka aku bersumpah benar-benar jatuh cinta sampai mati dengannya.

Aku menembalikkan semua buku itu ke tempat semula dan tertuju lagi pada Jeon. Dia belum bangun.

Oke, rasa cemas mulai melanda. Hampir jam tujuh, langit sudah gelap dan dia tetap nyaman begitu.

Aku agak curiga. Apakah itu efek demam biasa dan pengaruh obat atau karena dia kelelahan bekerja?

Aku memeriksa temperatur tubuhnya. Suhunya sudah normal. Napasnya membaik, berhenti menderu dan berebutan. Kernyitan tak nyaman di sekitar wajahnya menghilang.

Aku memilih mengabaikan toleransi orang sakit. Beringsut ke kasur dan menutupi wajahnya dari penerangan kamar supaya tidak terkejut saat matanya terbuka.

"Bangun," kataku. "Makan malam dan minum obat."

Jeon tebangun ditepukan yang ke enam. Tubuhnya meregang dan kakinya menggeliut mencari tempat hangat dalam selimut. Matanya mengerjap-erjap menerima cahaya dari celah jariku.

"Ayo, bangun. Jangan lewatkan makan malammu. Setelah itu tidur lagi juga tidak masalah."

Jeon menurutiku. Dia membuka matanya setengah terbangun. Tetapi aku tahu kantuknya menghilang.

Aku membantunya duduk bersadar ke ranjang. "Kau tunggu di sini, kuhangatkan makan malammu."

Jeon mengangguk sembari memijat-mijat kepalanya. Aku kembali dengan beberapa lauk dan nasi, segelas air beserta obat. Jeon makan sendiri tanpa protes, sementara aku pergi ke belakang menyiapkan kain pembersih dan air hangat. Hanya dengan beberapa suapan saja, Jeon menyudahi makannya.

"Kenapa tidak dihabiskan?" Aku membawa piring itu ke nakas.

"Mulutku pahit." Keredaan bersembunyi di balik suaranya.

Aku mengangguk dan bisa memaklumi Jeon yang hanya bisa menerima separuh nasi dan lima sendok sayur.

Setelah minum obat, dia melepas bajunya sendiri, mengerti bahwa aku harus membersihkan tubuhnya. Dalam tanda kutip dia memperbolehkanku menyetuh bagian tubuhnya lagi.

Ia tetap pada posisinya sementara aku duduk di samping Jeon. Pertama-tama aku menyugar rambut Jeon menyingkap dahinya. Jeon mewarisi rambut ayahnya. Lembut dan halus seperti sutra. Secara lembut kusapukan handuk basah itu ke setiap bagian wajahnya.

Saat melakukan itu aku bisa merasakan tatapan intens Jeon ke dalam mataku, tapi aku tidak membalas tatapannya. Aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menggerakan jariku mengelap wajah sampai lehernya.

"Runa," katanya pelan. Aku melirik ke arahnya. Perutku melilit dan jantungku berdetak kencang.

Aku tahu tidak seharusnya begini, maksudku, kami sudah menikah, berciuman, bercinta, tapi mengapa rasanya selalu sama setiap kali dia menyebut namaku. Aku mulai tidak suka sesuatu dari Jeon ketika dia gampang membuatku kaget.

Aku meneguk ludah. "Kenapa?"

"Mau tidur di sini?"

Begitu tatapan kami berserobok, jantungku serasa dipukuli hingga nyaris tak bisa berdetak lagi. Sekilas kedutan senyum terbit di ujung bibirnya. Jeon keliatan tak mau membuatku tidak nyaman dengan pertanyaannya. Tetapi baru kali ini kurasakan keinginan yang begitu hebat untuk mencium wajahnya saat ia tersenyum.

Alih-alih mencium seperti yang kuharapkan, aku justru melotot padanya. Mendengar ajakan tidur bersama dari Jeon terdengar mirip saat diajak senior kampus memesan kamar hotel dan melakukan seks.

"Kenapa terkejut?" tanyanya dan dia mulai tertawa.

"Diam!" bentakku ketika aku tercerabut dari alur pikiranku karena gelak tawa Jeon.

Jeon membeku. Memasang wajah bingung.

Kain di tanganku jatuh ke atas pahanya saat kedua tanganku refleks menutup mulut. Apakah barusan aku berteriak padanya?

Ekspresi Jeon menjelaskan semuanya. Ia benar-benar bingung kenapa aku berteriak. Padahal aku cuma ingin bilang; Hey, jangan tertawa begitu terus. Nanti jantungku habis masa.

Mau tidur di sini? Aku mengulangi pertanyaan dalam kalbu.

Amat ragu-ragu aku mengangguk, membalas mata kelabunya. "Aku bisa tidur di sini, kurasa."

"Mulai malam ini."

Napasku langsung sesak. Barusan itu pertanyaan atau penawaran? Emosiku berantakan sekarang.

"Apa itu semacam permintaan, Jeon?"

"Pertanyaan." Dia meralat.

Astaga, detik ini aku tidak tahu siapa yang ingin kutinju. Bibirnya yang selalu bicara datar atau kepalaku yang sulit diatur.

"O-oke." Bagus. Aku mendapati suara tidak percaya diri dan Jeon menyadari itu.

Berikutnya aku buru-buru menyambar handuk dari pahanya dan kembali membersihkan badan Jeon dari sisa-sisa keringat. Aku berperang batin merasakan adrenalin ketika menyusurkan kain basah itu ke tubuhnya. Dimulai dari pundak, punggung, dan menggosok pelan permukaan perutnya. Sialnya, aku menikmati setiap detiknya. Bisakah seseorang menyentil keningku. Agar aku sadar, betapa gila fantasi hebatku bila di dekat Jeon.

"Rindu masakanmu," katanya tiba-tiba.

Sumpah, dia benar-benar tidak ingin membuatku bernapas tenang sebentar.

"Kau makan itu beberapa menit lalu."

"Rindu lagi."

Aku mengangkat kepalaku ke arah wajahnya sangat cepat. Apalagi? Apalagi sekarang? Aku menjerit dalam hati. Mungkinkah dia mau terus mengujiku dengan kejujuran-kejuran yang sengaja dibuatnya untuk melemahkan jantungku, atau dia bicara makna sesungguhnya kangen masakan buatanku.

"Aku mau Doenjang-jjigae* buatanmu."

(Sup tahu pedas dengan
bumbu pasta kacang)

"Doenjang-jjigae?" Aku menarik napas dan menyelesaikan urusanku dengan badannya secepat yang kubisa.

"Yang pernah kaubuat seminggu setelah kita menikah."

Butuh sekiranya delapan detik mengingat-ingat. Kapan aku pernah membuat Deonjang-jjigae untuk Jeon? Ingatanku memasak di rumah ini hanya berputar-putar pada daging wagyu, ikan salmon, ikan fugu, sayuran organik, nasi organik, roti gandum, kacang-kacangan, susu rendah lemak, kopi luak— "Ah, aku ingat!" Aku berseru. "Kau benar, aku pernah memasak itu sekali. Tetapi sekarang kau belum boleh makan itu. Lain waktu akan kubuatkan. Janji."

Dia mengangguk patuh. Ugh, betapa lucunya suamiku. Dan betapa malangnya jantungku.

Aku membantunya memakai piama biru pastel motif kotak-kotak. Tetapi kurasa untuk ukuran perut atletisnya aku lebih suka Jeon membiarkan piamanya tidak dikancingi.

Aku mengehela. Lagi-lagi imajinasi porno. Seharusnya aku berhenti memusatkan pikiran kotor tentangnya.

"Tadi Lana datang mengantar gaunku," kataku seraya mengancingi bajunya. "Jeongmin juga mengambil beberapa surat kerja dan mengantar beberapa dokumen baru. Bahkan sampai repot-repot mengirimkan beberapa botol jus jeruk dan buah. Omong-omong kau masih hutang penjelasan padaku tentang ponselmu yang jatuh ke kolam ikan."

"Saat menuju toko buku," katanya singkat, padat dan kurang jelas.

Astaga, tidak bisakah dia bicara langsung dengan kalimat panjang. Bukan intinya. Taruhan, kami benar-benar pasangan bertolak belakang yang harus menyesuaikan satu sama lain.

"Saat menuju toko buku. Apalagi?" tanyaku.

"Seorang anak menabrakku di lobi."

"Jadi, apakah anak itu sedang berlarian atau tidak fokus atau apa?"

"Kejar-kejaran dengan temannya."

"Dan karena itu dia menabrakmu, saat kau sedang memegang ponsel, lalu ponselmu meluncur dari tangan, dan sialnya kejadian itu terjadi ketika kalian ada di dekat kolam ikan lobi gedung, lobi toko buku, atau apalah itu?" asumsiku baru saja mendobrak batas kesabaran. Aku tidak tahan dengan cerita setengah-setengah.

Kepala Jeon mengangguk.

"Bagaimana dengan orang tua mereka?

"Mereka cuma anak-anak, Sayang. Masih banyak bercanda."

Jangan kata sayang itu lagi! Batinku menjerit. Sudah cukup aku dibuat menderita semalaman dengan kata sayangnya.

Aku lekas menyembunyikan kegugupan dengan menyingkirkan semua barang yang menggaggu di kasur, lalu membenahi letak bantalnya dan mendorong bahunya agar berbaring. "Sekarang kau tidur saja lagi." Ya. Supaya dia berhenti berbuat ulah dengan jantungku, paru-paruku, atau seluruh organku lainnya.

"Aku ingin terbiasa di dekatmu."

Aku sepenuhnya bergeming. Aku bahkan tidak yakin jantungku masih berdetak. Aku tahu paru-paruku tidak bekerja karena aku belum menarik napas sejak satu detik lalu.

"Aku ingin kita sentuhan lagi."

Sekarang aku tidak bernapas tiga detik. Kemudian aku tersadar dan memaksakan diri berbaring di dada Jeon, kedua lengannya memelukku, dan aku tidak pernah mengira akan berada di posisi ini lagi. Posisi yang kutahu memang tempatku seharusnya berada—sebagai istrinya.

"Ceritakan padaku sejarah keluargamu sebelum aku bertemu mereka semua," kataku pura-pura bersikap normal. "Waktunya kurang dari seminggu sebelum aku bisa menghapal nama mereka semua."

Aku bisa merasakan tulang pipi Jeon bergerak di ubun-ubunku. "Kita lihat seberapa cepat kau bisa mengingatnya." Aku merasakan Jeon tersenyum walau tidak menatapnya.

Sepanjang jalan cerita terdengar nadanya begitu riang gembira. Di sisi lain, di antara debar dadaku, aku mencoba memasrahkan diri.

Lambat laun mataku mulai mengantuk menyelami kisah historis nenek Lucy. Tentang awal pernikahan nenek Lucy, siapa saja kakak dan adik kandung ayahnya, tentang dua keponakan kembarnya—Alexandra Shang dan Cecilia Shang yang baru berusia 17 tahun dan merintis bisnis properti di Baverly Hills, dan bebeberapa keponakan kecil Jeon lainnya selain Lim Junsu, putra kedua Lana Shein.

Kelopak mataku terpejam. Jika siang ini aku membuat Jeon terlelap, kini gilaran Jeon yang meninabobokanku dengan suara merdunya dalam pelukan.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top