13| You Thawed Me
Aku punya rekomendasi lagu yang pas untuk part ini dan cocok untuk kalian yang lagi falling for someone.
🎵
Broods - Four Walls
Crush - Lay Your Head on Me
Ben Platt - Grow As We Go
Blake McGrath - Let You Love Me
Oh, ya mulai part ini NO trigger warnings. No mature warnings. No warning to call readers karena aku tahu beberapa pembaca underage akan tetap baca, and I'll say sorry I just want to make sure this scene marketed appropriately for adult readers. But if you are reading and it has something uncomfortable in it, you can skip over the scene. Okay?
Alright. Enjoy 🤟🏻
— — —
Untuk waktu yang cukup lama setelah menghabiskan air mata, keluhan luka, dan mengeringkan gelegak emosi, aku melihat senyumnya lagi. Senyum Jeon yang sama seperti hari-hari biasanya. Berbagai macam emosi memadati sanubariku saat melihat Jeon tersenyum lebih nyaman.
Oh, Ya Tuhan. Percayalah betapa gilanya aku dengan senyum dan bentuk mata Jeon yang menyerupai bulan sabit. Bagai bulan kelabu yang tenggelam dalam riak awan malam.
Aku membingkai kedua sisi rahangnya. Menatapnya yang lebih tinggi dariku kemudian setengah berbisik, "Aku bisa menunggu kalau kau masih butuh waktu."
Semua tak butuh waktu lama bagi Jeon menggeleng. "Aku ingin sekarang."
"Kau yakin?"
"Aku ingin bercinta dengan Shin Runa sekarang."
Aku tersenyum lega mendengar penuturannya. "Kau boleh." Aku tersenyum. Bukan karena dorongan karnal atau libidinal* semata. Bukan juga hawa nafsu sesaat. Tetapi aku sadar seberapa inginnya aku membantu Jeon keluar dari lubang gelapnya, pasti akan muncul keinginan agar kami membangun hubungan yang lebih intim dari sebelumnya.
Bukankah itu yang mereka sebut pernikahan?
(*karnal: hasrat tubuh bersifat material seperti lawan jenis atau harta benda.) (libidinal: hasrat imaterial seperti harga diri atau kekaguman)
Saat ini dia masih memegang pinggulku dengan cara yang sangat berhati-hati. Penuh pertimbangan namun aku merasa kasih sayang terbias dari ujung jemarinya. Kemudian wajahnya mendekat dan menempelkan pucuk hidung kami.
Tatapannya jatuh di atas pupil mataku. Memandangi bola mataku satu persatu dan aku tahu seberapa jelas tendensi bahwa dia menghargaiku. Pandangannya menegaskan seolah aku adalah wanita paling cantik. Bahwa aku adalah wanita yang lebih dari aforisme sempurna terlepas dari apa yang tidak kumiliki.
Dia tersenyum di atasku. "Istriku cantik sekali."
Aku membalas tatapannya malu-malu dan saat itu juga Jeon mengecup bibirku, naik ke sudut mata kananku, ciuman sempat menggelitik buku mataku, kemudian turun menuju hidung dan kembali mengecap basah bibir kami.
Aku tidak sanggup menjelaskan kenapa suhunya meningkat ribuan kali ketika bibirnya kembali menjamah bibirku. Sensasi ini penuh kenikmatan layaknya morfin.
Selagi bibir manis Jeon bekerja, aku bertindak lebih jauh. Jemariku berlari menuju bagian bawah baju rajut birunya. Kuberikan beberapa kali usapan di sekitar tulang panggulnya. Setelah merasa cukup kuangkat ujung kain itu meninggalkan tubuhnya.
Ingat yang pernah dia alami, kulakukan semuanya dua kali lebih lambat dan lembut. Selain itu karena ini juga pengalaman pertamaku, tidak banyak pengalaman yang kuterima selain dari buku dan film. Aku ingin semuanya menjadi begitu lama dan tidak terburu-buru. Aku ingin memberikan kesan yang menjanjikan bagi Jeon sekaligus terapi trauma.
Mataku masih terpejam menikmati ciuman kami. Intusiku bekerja lebih responsif pada setiap gerakan.
Ketika kain bajunya mencapai garis leher, ciuman kami tertunda. Dia membantuku meloloskan pakaiannya dan aku membuat kain itu teronggok di lantai.
Jari-jariku berlabuh membelai setiap inci bagian perutnya. Abdomennya membentuk semacam otot-otot berpetak bagai gelombang kasar dan tidak rata. Perut kekar yang terasa kaku di kulitku menghantarkan hawa panas dan sensasi menggelitik di sekujur tubuhku. Terutama bagian lambung dan tulang belakang. Aku merasa ada ngengat raksasa yang melayang-layang di sana.
Sejujurnya aku sadar masih ada ketakutan dalam diri Jeon. Tetapi Jeon tampak bertahan sekuat yang dia bisa.
"Suka apa yang kau lihat?"
Aku mengangguk dan tersenyum, menganggap pertanyaanya tadi sebagai pengalihan kecemasan traumatiknya.
"Kau merawatnya dengan sangat baik, Jeon."
"Milikmu," ucapnya ringkas.
Aku tersenyum ketika kami sama-sama mengambil napas penjeda.
Tidak berhenti sampai di sana, jari telunjukku mengukir garis samar yang menurun dan agak miring. Garis itu saling berhadapan di perut Jeon. Ujung garis itu jatuh dan tersembunyi di balik karet pinggang celananya hingga telunjukku berhenti kemudian kembali menatapnya.
"Kau indah," ucapku setengah berbisik. "Lebih mengagumkan dari yang terlihat di luar pakaianmu."
Pujian untuknya juga tidak henti-hentinya kuucapkan dalam hati.
Jemariku menjalar lagi mengelus-elus bisep lengannya, naik ke pundak Jeon yang lebar dan menonjol membentuk gelombang ombak, kemudian turun pada pertengah dadanya sebelum memulai sexual intercourse.
"Runa," Jeon mengecup sudut bibirku sesaat. "mau berjanji satu hal?"
Mataku menatap matanya lekat-lekat. "Tentang apa?"
"Berjanji memanggilku Koch selama penyatuan kita."
Aku mengusap tepian bibirnya. "Ada lagi?"
"Bantu aku sembuh. Bantu aku menjadi manusia yang baru."
Kedua tanganku meninggalkan dadanya dan merambat ke belakang lehernya, lalu mengajak tubuh Jeon turun padaku semakin dekat.
Saat itu juga kepalaku terangkat sedikit dari bantal mendekatkan bibirku ke telinganya. "Apa pun yang kau mau, Koch. Aku janji membuatmu senang."
Jeon mengucapkan terima kasih di atas bibirku. Aku membuat posisi setengah duduk dan melepas pakaian atasku lantas kembali berbaring menyisakan bra putih.
Aku ingin semakin terbuka padanya seperti Jeon yang mulai bisa membuka diri. Karena aku tahu apa pun yang dia lakukan malam ini adalah sebuah upaya. Butuh perjuangan keras bagi penyintas seksual untuk melakukan hubungan intim.
Jeon mengarahkan pandangan terkesima pada seluruh bagian atas tubuhku.
Kecupan manis darinya kembali kuterima diiringi pujian penuh kejujuran. "Kau mengagumkan, Shin Runa. Sangat indah."
"Kau pernah membayangkanku seperti ini sebelumnya?"
"Jika kukatakan jujur, kau akan marah?" Jeon menyingkirkan anak rambutku menggunakan satu jarinya.
"Tidak akan. Katakan. Tolong."
Jeon menggeleng. "Tak pernah. Aku takut merusakmu meski dengan imajinasi." Napas panasnya terkumpul dan menyapu wajahku. "Ketika mulai membayang seseorang, maka kejadian itu yang terngiang hingga rasanya hampir mati."
Tanganku kembali memegangi bahunya ketika satu tangannya berpegangan pada pinggangku.
"Sekarang aku semakin ingin melihat betapa indahnya dirimu." Jeon mengakui secara terbuka.
Aku kembali dibuat meleleh. Kemudian tanganku mulai merayap ke bagian pinggang celananya. Malam ini kami sama-sama memakai celana santai. Aku menarik tali yang membelit celannya. Sepintas kulayangkan tatapan meminta, dan dia mengangguk.
Dia membantuku menjauhkan pakaiannya sendiri dan mempersingkat waktu. Ada kekacauan hebat saat melihat paha atletisnya menempel ketat dengan celana pendek seperti pagi tadi. Bagian pinggul celananya mengikuti bentuk otot Jeon yang menonjol maskulin.
Kuangkat pandanganku ke wajahnya. "Kau sadar betapa indahnya dirimu?"
Dia menekan dahi kami sambil mengusap pipiku dan memberikan kecupan mesra. "Beritahu aku."
"Luar biasa. Kau sangat sempurna bagiku."
Dia tertawa. Sangat lembut dan membuatku tenang.
Kukecup sudut bibirnya. "Sekarang lakukan yang kau mau, Koch. Aku yakin kau sudah menununggu untuk waktu yang begitu lama."
Muncul ekstase saat pakaian kami tanggal. Geleser aneh menjangkauku hingga ujung syaraf sampai semuanya terjadi. Aku terkesiap saat eresksinya menyapu halus bagian diriku yang berkedut.
Dan semuanya terjadi. Bisa kurasakan tubuhku menerimanya, menelan sebagian dirinya sehingga sehatku berantakan.
Aku menutup mata untuk empat detik yang paling panjang bagi hidupku sembari mencoba bertahan tidak mencakar punggungnya dan memilih melampiaskan ke tepian bantal. Berikutnya barulah aku membuka mata.
Rengekanku terdengar tiap kali Jeon mencoba menumbuk titik kenikmatan dan terus tergelincir masuk ke tubuhku yang licin.
"Koch, Astaga—" Aku mengerang tertahan ketika dia mendorongnya sekali lagi.
Mataku merapat dan melemparkan kepala ke bantal dengan sangat keras, tidak mampu menjabarkan lebih rinci bagaimana penuhnya aku. Bagaimana leganya aku tentang kami.
"Kau oke, Sayang?" Napasnya memburu liar dan menggigil. Sangat berbeda dengan beberapa menit lalu.
Aku mengangguk aktif. "Ya, lanjutkan..." napasku tersengal meski kami baru saja memulai. "Lanjutkan saja, Koch." Mataku terbuka dan tertutup bergantian.
Dia menyelipkan tangannya ke bawah pahaku dan mengangkatnya sedikit. Setiap gerakannya penuh pertimbangan dan ketepatan. Aku merasakan adanya cinta yang terbias dari perlakuannya.
"Runa, katakan dengan segera jika kau kesulitan dengan ini."
Aku tidak membuka mata dan hanya bisa menggeleng. Penolakan yang sudah jelas dia tahu maknanya. Karena detik ini aku sudah begitu menginginkannya. Amat sangat menginginkannya.
Aku mendengar geraman rendah yang berasal dari tenggorokannya ketika dia membawa kami melaju semakin jauh. Peluh berebutan menempati dahinya. Sementara pandanganku mulai kabur oleh air mata. Aku membutuhkan Jeon mengisi diriku lebih banyak. Meskipun yang dia berikan malam ini terlalu banyak.
Sekilas memoir acak berkelebatan saat Jeon masih terus mengagahiku. Petang itu aku masih ingat Jeon yang menderita. Jeon yang penuh luka. Jeon yang hancur. Jeon yang bertanya mau kubelikan gaun untuk pertama kalinya.
Jeon yang ingin mengenalku. Jeon datang ke rumahku dengan maksud kelabu. Jeon yang membuatku bingung dengan segala tindakannya. Jeon yang selalu meluangkan sepuluh menit dalam sehari mengisi agendaku. Jeon yang selalu menyisihkan secuil perhatian supaya jam makan dan istirahatku tak lewat.
Jeon yang mengatakan mau kubelikan gaun kedua kalinya sebagai pria dewasa. Pesta pernikahan kami. Jeon yang menggenggam tanganku di depan banyak orang. Dan Jeon yang pada akhirnya berada di sini bersamaku.
Aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta pada suamiku sendiri. Aku bisa merasakan cinta itu semakin penuh.
"Koch. Katakan..." aku merintih, "... katakan padaku kalau mulai tidak nyaman," ucapku mempertimbangkan segala kemungkinan.
Aku menganalisis segala jenis ekspresinya. Masih ada ketakutan bersemayam. Jeon membuatku seolah bisa merasakan seberapa berjuangnya ia menahan kengerian melalui ekspresinya.
Jeon mengangguk patuh. Seperti anak yang diminta duduk di depan toko ketika ibunya sedang berbelanja kebutuhan rumah tangga.
Jeon memang hampir berusia empat puluh. Tetapi kepolosan di balik matanya entah bagaimana bisa ada di sana. Kepolosan yang tidak pernah dia bawa ke luar rumah. Kepolosan yang tidak pernah dia tampilkan pada seluruh pegawai perusahaannya termasuk Park Jeongmin—seseorang yang sudah seperti kakaknya.
"Jeon..." kugigit bibirku mendesah dan mengerang, "jangan paksa dirimu."
"Tidak, Sayang." Jeon mengecup perpotongan leherku inci demi inci, meninggalkan jejak basah yang khas. Menimbulkan semacam afeksi seksual yang semakin buruk.
"Aku suka ini, Runa."
Aku meringis ketika merasakan desiran tidak sabar dari dalam perutku.
Aku memejamkan mata lagi dan mendengar Jeon berbisik di samping telinga kananku. "Katakan jika tidak nyaman, Sayang."
Aku menggeleng, menolak pemikirannya. Aku telah bertekad mereguk 'yang pertama' dengan serakah sambil meneriaki nama 'Koch' dengan napas terengah-engah.
Air mataku merebak saat merasa pusat tubuhku menjadi panas, mendesak, dan menjadi luar biasa kacau ketika menerima semua sentuhan dahsyat dari seseorang yang baru pertama kali kuterima seumur hidup. Ini sentuhan yang lebih baik ketimbang sentuhan personal ketika aku sedang memuja diriku sendiri.
Pelan. Panas.
Kedua kata itu sudah cukup menjelaskan kondisiku sekarang. Aku tahu dari cara Jeon bergerak, di sana, tepat di dalam tubuhku... gairahnya belum kunjung datang.
Raga kami terasa pas saling mengisi. Namun gerakannya seolah menunjukkan dia tidak akan pernah menghancurkanku.
Raut wajahnya saat ini adalah satu hal yang kusuka. Suara Jeon yang tersekat dan napasnya yang berantakan terekam baik-baik dalam satu bagian hipokampus kepalaku.
Aku memejamkan mata lagi, menggenggam segala yang ada di dekat kepala. Meremat dengan kencang ke dua sisi bantal.
Namun, seolah tidak membiarkan tanganku tersiksa, Jeon melepaskan cengkeramanku dan menyelipkan kesepuluh jemari kami serta merta menekannya tenggelam pada kasur.
"Jangan biarkan... jarimu sakit," ucapnya disela napasnya yang belepotan.
Kemudian ia merapatkan kedua matanya sebentar. Alat vitalnya semakin turun menekanku, mengincar klimaks sembari menggeram dengan suara terpenggal.
Hujamannya melambat. Aku merasakan ereksinya mengubah tempo menjadi sangat pelan seolah takut menyakiti dengan semua ini meski aku mengerti seberapa besar keinginan Jeon untuk bergerak leluasa—bergerak lebih dari yang dia harapkan.
Seolah merasakan gairah mendesaknya, ia menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. "Peluk saja aku, tolong."
Aku menuruti keinginannya, melepaskan tautan jemari kami dan menyelipkan tanganku di antara ketiaknya, memeluk punggung basahnya yang lengket. Bisa kurasakan betapa kekarnya otot dan tulang bagian belakang miliknya ketika tubuhnya berguncang naik dan turun. Aku suka cara Jeon bercinta. Terkesan menghargaiku dan membuatku merasa diinginkan.
Dia memimpin lagi, semakin turun, menghimpit tubuhku dengan secuil energi yang aku tahu masih tersimpan banyak. Kehangatan itu menjalar lagi. Semakin panas bagaikan membakar suhu.
Mungkin jika saja dia mau mempercepat temponya, aku sudah pasti kewalahan dan menjadi gila dalam satu waktu.
"Koch!" Aku mengerang dan tercekat. Tergorokkanku gersang. Kerongang. Tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan dalam gelombang kami.
"Sebut namaku lagi, Sayang."
Aku menyebut namanya lagi lebih sering dari sebelumnya. Aku tahu seks bukan hanya kebutuhan, tapi pengakuan. Gairah semakin muncul saat pasanganmu menyebut nama satu sama lain ketika proses sanggama. Maka dari itu kata Ah dan Koch dan jeritan kecil kuucapkan repetitif.
"Koch!"
Dia menempelkan kening kami. "Terus lakukan itu."
Bibirnya turun ke pelipis kiriku. Dia juga mengecup bibirku. Desahannya tertampung dalam mulutku. "Jangan berhenti, Runa. Sebut lagi."
Pinggang Jeon terus bergerak, memutar dan menghentak. Dia seakan melayang di atas tubuhku, mengendalikanku, menambah kecepatan dinamika pinggulnya namun tetap bergerak teratur.
Dan aku tahu, kami sama-sama menginginkan pencapaian yang memakan waktu. Kami ingin membuat malam kami menjadi dua kali lipat lebih lama. Kurasa ini adalah bayaran yang pantas Jeon terima setelah menunggu bertahun-tahun lamanya.
Aku ingin dia memahami satu hal dari seks kami; bahwa aku tidak ingin malam kami berakhir.
Entah. Apakah kubangan awan telah menelan rembulan, atau matahari telah menggantung tinggi.
Aku tidak mau peduli untuk sekarang. Karena kami sama-sama tidak peduli untuk itu.
***
"Sekarang semua koleksiku terasa menyeramkan."
Aku terkikik geli mendengarnya berujar di balik telingaku. Kami memandangi semua koleksi Jeon di hadapanku.
"Kau benar. Mereka menonton adegan intim kita secara langsung."
Jeon tak banyak bicara. Dia bernapas di sekitar pundakku yang bersih dari kain.
"Sekarang mereka seperti karakter Andy dan kawan-kawan."
"Begitukah?"
Aku mengangguk-angguk ngeri. "Aku seolah melihat ada kamera pengintai di balik mata-mata gelap mereka dan saat kita tidur, mereka akan terkikik-kikik."
Jeon membalasku dengan tawa. "Akan kupindahkan mereka ke ruangan lain." Jeon setia merengkuhku dari belakang, Mengecup bagian kepalaku sambil menarikku ke dadanya lebih rapat. Manarik lebih tinggi selimut dan membebat tubuh kami dalam serat tebal yang kini menjadi penghangat favoritku selain dekapannya.
"Tapi mereka sudah menemanimu bertahun-tahun." Aku menyerukan suara sambil meratapi mainannya.
"Aku tidak mau kita mendapat risiko ditonton setiap malam."
Aku meringis tidak serius. "Jeon, itu hanya benda mati."
Dia mendekatkan wajahnya, bersembunyi di antara bahu dan rahangku. "Tetap saja terasa hidup."
Kemudian aku berbalik menghadapnya, memeluk tubuhnya di bawah bedcover yang sudah kering dari keringat. "Dan apa maksudmu dengan setiap malam?"
"Kau benar." Jeon membetulkan posisi kepalanya agar lebih dekat padaku. "Terkait seks yang melegakan. Awalnya aku selalu takut mencoba."
"Semuanya butuh waktu," ucapku.
"Dan kau membuatku lebih berani. Mungkin agar lebih terbiasa, kau harus melatihku setiap malam. Bagaimana?"
Aku mencebik dan mendongak padanya. "Kalau begitu aku harus beli tabung oksigen."
"Kenapa?"
Aku mencubit perutnya secara halus. "Aku sesak napas tahu."
Padahal bukan bermaksud menolak, kesibukannya menjadi prioritasku. Pekerjaannya menjadi pantangan untukku membuatnya lelah.
Dia tertawa kecil. Kami sama-sama tertawa.
Dalam keheningan yang membelenggu aku berbisik di dadanya. "Jeon?"
"Hm?" Sayup-sayup matanya terpejam.
"Aku ingin tahu sesuatu."
Tulang pipinya terasa bergerak di rambutku. "Tentang?"
"Aku tidak datang terlambat, kan? Pertemuan kita—saat aku pertama kali menemukanmu malam itu—apa menurutmu aku terlambat?"
"Tidak."
Jawaban paling singkat. Namun sudah mampu menelan tanda tanyaku dan membuat tubuhku seolah mencair.
Kami melanjutkan percakapan kecil, melepas sisa energi sebelum terlelap.
***
Pukul empat pagi aku terbangun. Beberapa bagian tubuhku agak pegal dan perih. Tetapi masih bisa kutangani
Sempat kuteliti kondisi suamiku yang tidak tergganggu dengan kasur yang melendut saat aku turun. Aku menarik selimut sampai lekukan lehernya.
Aku mengatur suhu AC agar tidak terlalu dingin, kemudian beranjak memasang pakaianku, lalu mengumpulkan ceceran baju Jeon dan menceburkannya ke mesin cuci.
Selama ini aku tak pernah mandi pagi buta. Tetapi hari ini aku merendam tubuhku lebih awal di bathtub, merileksan otot tubuh dalam kubangan air hangat komposit seasalt suamiku. Menikmati pagi yang kosong.
Aroma ini membuat tenang. Aku kian terbiasa dengan aromanya dan tidak ingin wangi ini jauh-jauh dari tubuhku.
Selesai mandi kuisi perut dengan roti gandum panggang dan segelas kopi luak. Hanya dalam beberapa menit saja roti, laptop, naskah menjadi temanku di meja bar dapur.
Tidak ketinggalan kusetel alarm pukul enam. Ini hari Senin Jeon harus berangkat kerja. Masalahnya jika sudah larut dengan naskah aku bisa lupa segalanya.
Kejadian malam tadi juga membuatku mendapat ilham dan menangkap ide baru, menjadikanku menyusun plot baru, tokoh baru, dan memulai segalanya dengan halaman bersih Microsoft Word.
Dan aku tahu naskah berikutnya yang harus kutulis. Aku bertaruh ini akan menjadi naskah terbaikku.
Pukul enam tiba. Jeon belum bangun. Aku membiarkan Jeon satu jam lebih lama, menanti Jeon membuka pintu. Tetapi sepertinya dia belum berniat bangun. Aneh sekali. Sejak pernikahan kami, ini pertama kalinya dia telat. Bahkan sampai satu jam?
Aku mendatangi kamarnya, menepuk pelan tubuhnya. "Jam delapan kau ke kantor, kan?"
"Sakit." Sebagian mulutnya tertutup selimut.
Aku merendahkan kepala dan menyentuh dahinya.
"Pusing," katanya lagi.
Saat itu aku tersadar Jeon demam tinggi.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top