12| Fear of Intimacy

Kami berjalan menuju kamarnya dan membiarkan Jeon memimpin jalanku.

Mungkin saat tiba di sana aku harus mempertajam segala memori serta bertindak menjadi cewek nakal dan usil supaya bisa mengingat dengan baik segala sesuatu yang terdapat di kamar suamiku, dan bagaimana Jeon menata semua perabotannya.

Namun, saat ini aku sedang menegaskan dalam hati bahwa keinginan Jeon membawaku menginap di kamarnya bukan sesuatu hal yang penting.

Akan tetapi aku tidak bisa menepis keinginan dia yang memintaku tinggal hingga esok pagi di kamarnya, di ranjangnya, berbagi selimut yang sama. Aku menginginkan semua itu seolah aku adalah Perempuan Liar gila sentuhan. Dan semua ini membuatku sedih.

Tetapi kesedihanku tidak berlangsung lama ketika dia menarik tuas pintunya. Rasa sedihku berubah menjadi kegelisahan lalu berujung pada debaran jantung yang membuat pipiku panas membara.

Aroma khas Jeon di kamar ini jauh lebih pekat daripada parfum yang biasa dia disemprotkan pada pakaian.

Wangi sea salt dan dedaunan. Komposisi laut dan hutan. Identik dengan sosoknya.

Seketika timbullah pertanyaan apakah mantan istri Jeon pernah datang ke kamar ini juga?

Jika benar, hatiku akan sangat terluka.

Jeon membuka pintu kamarnya lebih lebar dan memperbolehkanku masuk pertama kali seperti seorang gentleman.

Inilah Jeon yang kukenal, dia akan memperlakukan wanita secara lembut dan selalu menganut istilah 'Ladies First' kepadaku.

Saat pintu terbuka dan aku masuk, napasku tertahan. Semua aroma Jeon yang pernah susah payah kuhirup samar-samar dari tubuhnya kini berlomba saling dorong menuju respirasiku.

Luas tempat ini sama seperti kamarku. Ranjang tanpa banyak bantal, selimut biru pucat terbentang rapi dan belum kusut (maka dia belum memakai kasurnya, kusimpulkan) beserta meja kerja bersih.

Komputer menyala menjadi perhatianku berikutnya. Statistik penjualan terperangkap dalam layar dengan kode warna-warni. Membuat kepalaku pusing tak paham.

Di karpetnya ada dua tumpuk berkas dan laptop terbuka. Tak jauh dari meja kerja dia memaku papan task besar yang penuh dengan note dan sketsa.

Yang membuat hatiku menghangat adalah foto berbingkai prewedding kami di samping komputernya. Adapula pigura besar foto pernikahan kami di dinding yang dipasang led.

Sekali lagi aku menghirup napas dalam ketenangan. Ini sungguh kamarnya.

Semakin lama berada di sini aku semakin yakin bila ini Jeon—sungguhan.

Gambaran tentang Jeon Koch Kalinsky.

Jeon yang gila kerja. Jeon yang selalu sibuk. Jeon, Jeon, Jeon yang hidup dalam pekerjaan untuk pelarian.

Aku melanjutkan langkah. Hampir tidak berbeda dengan ruangan rahasia yang sebelumnya. Kamar ini juga mengesankan dengan kumpulan Bearbirck yang tak kalah mewah namun dengan formasi yang sepertinya sengaja dibuat lebih sederhana.

Tetapi yang membuatku kagum adalah bagaimana Jeon meletakkan Bearbrick-Bearbrick seukuran ibu jari menyebar di lantai.

Mini Bearbrick di lantai itu bagaikan prajurit di medan tempur. Jumlahnya ada sekitar puluhan, mungkin ratusan.

"Ada berapa jenis Bearbrick di sini?"

Jeon tampak berpikir sebentar. "Kurasa, seratus dua puluh empat."

Alisku mengerut. "Tunggu dulu, kau yakin tidak salah hitung? Kau bilang 198. Jika ditotal dengan yang berukuran besar tadi, maka jumlahnya akan jauh berbeda."

Jeon tersenyum lebar. "Dihitung terpisah."

Aku pun tidak bisa menahan tawa rendahku. "Dihitung terpisah juga dengan yang ada di kamar masa kecilmu?"

Jeon mengangguk. Baiklah, jalan pikiran Jeon sungguh sulit ditebak.

Aku terus melihat-lihat segala yang ada. Jam menunjukkan lewat delapan. Aku harap waktu tidak mendistraksi kami. Aku tak tahu kapan Malam Kami harus berakhir. Menebak-nebak berapa lama lagi aku bisa berada di sini membuatku putus asa.

"Apa ini tidak mempersulitmu berjalan?" Berjinjit ke satu sisi untuk menghindari Bearbrick mungil, aku selalu waspada pada setiap gerakan.

"Pada awalnya."

Mungkin seharusnya aku pamit keluar sebelum bagian tubuhku menimbulkan masalah di tempat sakral ini. Tetapi rasa penasaranku justru semakin buruk.

"Boleh kulihat yang ada di sana?" Daguku bergerak ke arah patung-patung hitam (entah apa namanya) di seberang kamar dekat dengan ranjang yang langsung menghadap balkon.

Jeon mengangguk memberi izin.

Kakiku tak jarang berjingkat-jingkat karena takut menyenggol satu dari puluhan Bearbrick Jeon yang mungil.

"Tapi kenapa semua mainan ini hanya terletak di ruangan tadi dan di kamarmu saja? Dan oh! Kamar masa kecilmu. Alangkah bagusnya jika kau tempatkan mereka di beberapa sudut rumah."

Situasinya berubah canggung karena Jeon tidak kunjung menjawab dan justru memandangiku dengan tatapan ragu.

"Sepertinya aku terlalu banyak bertanya," kataku sungkan sambil tertawa kecil. "Tentu saja karena ini rumahmu. Selain itu kau bisa melakukan—"

"Karenamu." Jeon menampik begitu cepat.

Mataku membulat, mulutku terbuka, namun perlahan-lahan bibirku mengukir senyum bimbang. "Ka... renaku?" tanyaku canggung sambil menujuk diriku sendiri. "Kenapa bisa karenaku?"

"Sebelum membawamu ke rumah ini, aku memikirkan kemungkinan apa saja yang mungkin tidak kau sukai. Jadi, kupindahkan karena tidak ingin membuat kenyamananmu terusik kalau sedang mondar-mandir." Kegugupan tercetak jelas di wajahnya.

Lain halnya denganku. Mendengar pengakuannya yang spontan, mulutku terbuka lebar.

Ada banyak kejujuran dalam suaranya. Terlukis ketulusan dalam wajahnya. Namun perutku justru tergelitik mendengar cara Jeon bicara. Selanjutnya aku membebaskan tawa karena tak sanggup menahannya.

Bukan. Bukan karena kata-katanya yang membuatku tergelak, tapi sungguh dia terlalu menggemaskan dan jalan pikirannya sulit diterka.

"Terima kasih," ujarku setengah bercanda sambil menyorongkan wajah ke arahnya meskipun hatiku sudah tak karuan. "Terima kasih karena telah memikirkanku sejauh ini."

Dia tersenyum malu-malu dan cuping telinganya berubah kemerahan.

Akibat terlalu hanyut pada kondisi dan siatuasi, aku melangkah mundur dan sampai lupa masih ada sekumpulan Bearbrick kecil di lantai yang mesti kuhindari. Dengan spontan kuambil aksi melompat tanpa berbalik karena takut menggilas mainan kecil itu dengan kakiku.

Namun gerakan cerobohku malah menimbulkan masalah baru. Tubuhku hilang keseimbangan dan melayang ke belakang. Mataku membelalak bersiap akan mengalami kejadian buruk.

Detik berikutnya, bisa kurasakan tangan kekar Jeon menyelinap ke tulang panggulku secara spontan. Tanganku refleks menarik baju rajut Jeon sebagai pegangan. Sayangnya gerakan Jeon kalah cepat. Aku terbanting keras pada permukaan empuk.

Tubuh Jeon ikut tertarik bagai magnet dan nyaris jatuh menimpaku jika dia tidak buru-buru mengulurkan tangan lainnya di samping kepalaku.

Napasku terengah di antara detak jantung yang memburu. Belum lagi rasa kejut menghantarkan sengatan menggelitik. Kini bisa kurasakan panas seolah membakar wajah.

Dalam waktu lumayan panjang, kami terkekang dalam keheningan total. Mata bulatku beradu dengan mata teduhnya. Mendadak pikiranku kosong pada momen dramatik yang tak tahu harus kudefinisikan sebagai apa.

Iris kelabunya bagai menyihirku untuk tidak melakukan sesuatu. Seketika itu pula dalam tubuhku muncul rasa panas. Rasa panas itu menjadi semakin parah ketika Jeon memindai tatapannya menuju bibirku dan menatapnya sangat lama.

Aku meneguk ludah tidak sadar. "Jeon...," bisikku karena malu bibirku ditatap terus.

Sialnya, suaraku tadi malah terdengar seperti sedang memohon agar dia menyentuhku.

Pandangan sejuk Jeon yang lagi-lagi sulit kutafsirkan mulai menyusuri sisi-sisi wajahku dan berhenti tepat di kedua bola mataku. Tatapan kami kembali bersirobok. Tak bisa terbaca apa arti tatapan Jeon.

Sesaat kuteguk ludahku. Dari dasar diriku, muncul sebuah kehangatan yang meledak. Lagi-lagi jantungku berdetak di luar kendali.

Kali ini aku malu ketika sadar tubuhnya semakin turun menindihku untuk tenggelam bersama-sama di kasurnya yang lembut. Aku semakin merasakan deru napasnya menempa wajahku.

Panas. Panas sekali.

Secara lambat, wajah Jeon terdorong ke wajahku. Akalku melompong.

Tatapan matanya semakin intens dan diselubungi gairah mendamba. "Runa."

Bibirku berkedut gugup. "Y-ya?" Panggilan itu membuat darahku berdesir.

"Ingatkan aku..." Napasnya mulai memburu, kemudian ia berkedip sayu sesaat dan menggeleng lemah. "Jangan ingatkan aku, jika bertindak jauh."

Bibir itu mulai mendekat dan terjatuh di atas bibirku. Ciuman kami terasa seperti segalanya. Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi, tetapi aku tidak keberatan. Aku tidak keberatan merasakan ini.

Berusaha tidak membuat kesalahan, kupangut bibirnya. Bergerak memegang sisi belakang kepalanya. Ciuman damai yang Jeon berikan menghangatkan dada. Sensasi ini persis seperti yang pernah kubayangkan, bahkan hal ini jauh lebih mengesankan setelah ciuman kedua kami di dapur beberapa waktu lalu.

Terbuai dengan gerakan bibirnya, tanpa pikir panjang mataku menutup dan segera merespon bibir Jeon dengan membuka mulut, memberi izin lidahnya memasuki rongga mulutku.

Dengan mesra bibir kami saling melumat, berpangutan tanpa tuntuntan. Tubuh kami berusaha lebih rapat ketika tangan kekarnya mengangkat badanku dengan mudah, lalu menempatkan kepalaku di bantal, dan membetulkan posisi kami di ranjang.

Ciuman terus berlanjut ke tahap yang lebih sensual dari sebelumnya. Sampai sesuatu membuatku tersadar.

Pipiku menghangat. Ada cairan mengalir. Aku bisa merasakan wajahku basah.

Salah satu dari kami menangis ditengah ciuman. Jelas, aku bisa merasakan air asin itu masuk ke mulut kami. Lalu ciuman kami tiba-tiba berhenti.

Jeon melepaskan bibir kami dengan cara lemah tak berdaya. Aku terkejut, tentu saja. Dada kami naik-turun seirama, seiring kesunyian dan ketegangan.

Perlahan kedua tanganku merambat ke sisi wajahnya, menangkup pipinya, dan bertatapan dengan sorot matanya yang putus asa.

"Hei," bisikku lembut.

Air mata Jeon yang tidak berhenti jatuh berdesakan membuatku tahu jika dia sedang menyayat hatiku.

"Ada apa?"

Dia menarik napas letih. "Runa..." Jeon masih memejamkan matanya di atas wajahku, "Bolehkah aku mengatakan ini?"

Aku terdiam. Mengusap air mata di pipinya. "Tentang apa?"

Jeon tersenyum dan mengernyit pada saat bersamaan. "Bahwa kau membuatku jatuh cinta," bisiknya sedih. "Aku mencintaimu dan aku...," napas Jeon tersendat dan ia mencoba menarik udara dengan gemetar. "... sungguh-sungguh menyesal."

Air matanya terus jatuh membasahi pipiku. Aku kehilangan kata-kata.

"Aku menyesal seseorang telah..." bibirnya bergetar semakin hebat dan dia kembali menangis lagi, "orang lain telah menyentuhku pertama kali."

Detik ini ada kesakitan yang menyelinap ke dadaku. Aku menggeleng namun tidak ada suara yang bisa kukeluarkan untuk membujuk Jeon berhenti menangis.

Setiap ucapannnya terdengar sangat menyakitkan. Aku terenyak. Hatiku seperti dipotong dan jantungku seperti diris tipis. Bukan karena aku tidak menjadi 'yang pertama' baginya. Alasan Jeon telah dilecehkan orang lain... bukan sama sekali yang kupikirkan.

Aku sadar kali ini bukan hanya Jeon yang menangis. Dia berhasil membuatku ikut menitikan air mata yang langsung mengalir dari sudut mataku lalu menetes ke bantal.

Perlahan jemariku membelai wajahnya, menyeka air mata kepedihan dari pipinya yang hangat. Jeon masih belum ingin membuka mata. Aku tahu betapa kalutnya dia saat akan melakukan hubungan intim.

Lubang mengerikan itu pasti akan selalu membekas meski dia sudah berada di titik tertinggi. Bayangan menyeramkan itu pastilah menjadi sesuatu yang selalu berdiri di belakangnya. Menjeratnya seolah tidak akan pernah membebaskan Jeon dari rantai penderitaan.

Jeon terisak, terdengar rentan, pilu, sakit. "Maafkan aku. Sungguh maafkan aku." Sekali lagi suarannya bergetar dan belum mampu membuka mata. "Maafkan aku, Shin Runa."

"Jeon, kumohon jangan meminta maaf atas kesalahan orang lain," bisikku merasa kalut. "Kau bukan pelaku dalam kasus itu. Semakin banyak kau meminta maaf, semakin hatiku rapuh mendengarnya." Aku menggeleng untuk membuat Jeon berhenti. "Kumohon untuk jangan katakan lagi. Berhentilah katakan maaf. Kau benar-benar tidak bersalah. Kumohon."

Setetes air mata kembali melintas halus menuruni pipinya. Mendapati betapa takutnya ia membuka mata, kembali kuusap rahangnya berusaha membagi sedikit ketenangan batin.

"Hei, Koch," bisikku.

Tangisnya bisa kulihat mulai berhenti. Tidak ada lagi air mata yang saling dorong berjatuhan. Jeon sudah sepenuhnya berhenti menitikan air mata.

Perlahan matanya terbuka. Mungkin dia berani membuka mata sebab terkejut karena aku menyebut nama 'Koch' yang hanya dipakai oleh ayahnya.

Dan aku benci melihat mata kelabunya yang keruh, sekaligus sakit mendapati berbagai kepedihan tampak sangat jelas. Ujung hidung, mata, dan wajahnya memerah.

Kemudian aku menambahkan dengan suara tenang. "Boleh aku memanggilmu begitu? Memanggilmu Koch?"

Sedikitnya, jempolku telah membuat pipinya mengering yang semula lembab karena jejak air.

Jeon memandangi kedua mataku. Kali ini bayangan gelap di matanya mulai luntur tergantikan pancaran ketenangan.

Dia mengangguk, tak kentara nyaris seperti takjub akan sesuatu yang hebat.

"Kau kuat," ucapku meyakinkan dan bukan merupakan pujian sambil lalu. "Kau lebih daripada yang kubayangkan. Kau bisa melalui sejauh ini. Lihatlah dirimu sekarang. Kau bisa mengarungi lebih baik dari siapa pun. Kau punya sesuatu yang hebat yang bisa kau dapatkan. Kau benar-benar sempurna di mataku."

Lambat laun bibirnya merenggang tipis. Bukan senyum bahagia, bukan senyum yang setiap hari dia tampakkan untukku, melainkan senyum sendu. "Maafkan—"

"Ssstt." Aku buru-buru menghentikan ucapannya, membelai pipinya dengan seluruh rasa cintaku. "Tidak ada yang perlu kumaafkan."

Senyumnya barusan menghilang. Jeon mengamatiku beberapa saat, lalu ia mengangkat salah satu tangannya dan memegangi tanganku yang masih berada di wajahnya. "Aku pikir aku akan terus hidup bersama akhir yang pahit."

Ketika jemarinya meremat punggung tanganku, saat itu juga matanya kembali tertutup seperti menikmati momen kami yang begitu asing.

Ketakutannya seolah menyentuh sesuatu di balik tulang rusukku. Ngilu. Entah itu hanya rasa simpati atau memang aku telah mencintai Jeon sepenuhnya, bahkan melebihi apa yang kupunya saat ini.

"Aku terlalu tidak berdaya, Runa."

Aku tersenyum hangat dan tidak bisa menutupi suaraku yang mulai serak, namun aku hanya ingin Jeon tahu aku ada bersamanya.

"Hei, Koch. Kau harus mengerti bahwa kerentanan adalah salah satu kata kunci untuk tumbuh."

Hanya dengan menatap mata Jeon, aku bisa menyelami dunia masa kecil Jeon yang penuh sesak dengan segala kesedihan melebihi yang dapat ditanggung seorang anak.

"Kuharap kau sadar betapa luar biasanya dirimu, siapa kau hari ini, dan orang-orang yang tetap bersamamu," kataku lirih. "Kau sangat cerdas, kau punya bisnismu sendiri, kau tidak merengek pada setiap orang."

"Jeon yang kukenal, sanggup menutupi luka agar orang lain merasa lebih baik. Kau tidak pernah sengaja menunjukkan apa yang kau miliki, kau menjadikan orang lain merasa spesial pada setiap bidang dan kemampuan yang mereka miliki."

"Kau memberikan mereka kesempatan dan panggung untuk berdiri. Kau bukan hanya seorang pemimpin yang loyal, tapi kau adalah seseorang yang memegang kesetaraan di atas nilai. Terlepas dari semua lukamu, kau adalah sosok yang begitu hebat. Bagaimana kau yang tetap tersenyum meski setiap hari luka membayangimu. Bagaimana Jeon yang tetap memiliki tujuan dan tetap melangkah walaupun hatimu teramat hancur. Aku memperlajari banyak hal darimu. Orang-orang di sekitarmu mempelajari itu darimu. Tidakkah kau sadar itu?"

Jeon terdiam. Matanya kembali basah.

"Dan pada kenyataannya kau telah melewati lebih dari setengah perjalanan. Itulah yang membuatmu terlihat sangat sangat luar biasa, Koch."

Di luar dari semua itu aku tidak bermaksud membahas apa yang telah Jeon miliki. Aku ingin dia merasa sempurna dan hebat. Aku ingin Jeon lebih berani. Aku tidak ingin Jeon sendirian lagi.

"Kau..." Jeon membuka suara. Keputusasaan menjadikan suaranya lebih serak. Air mata bergulir halus menuruni pipinya, "tidak menyesal?"

"Menyesal untuk apa?"

"Membuat keputusan hidup denganku."

Aku terdiam sebentar untuk menyelami tatapannya. Kuberikan Jeon senyum paling tulus yang kupunya. "Aku tahu berat bagimu mencerna semua ini. Tetapi jika ada kemungkinan aku akan menyesal, mustahil membuat keputusan hidup bersamamu sejak awal. Paling tidak, selalu ada alasan mengapa aku tidak seharusnya menyesal. Itu karenamu. Kau selalu punya cara membuatku lengkap. Bahwa tidak seharusnya aku menyesal mengapa detik ini aku ada di hadapanmu."

Ucapanku membuat Jeon menutup mata dan menempelkan dahi serta hidung kami. "Aku cinta padamu, Shin Runa."

Napasnya berhembus pelan, lalu Jeon berbisik lagi. "Aku cukup yakin,"— dia mengambil tanganku dan mengecup tepat di nadiku dengan cara lemah—"perasaanku menjadi begitu dalam, lebih dari sekedar ucapanku."

Sebelah tanganku yang bebas mengusap pipinya. Aku berharap Jeon bisa menyerap segala macam ketenangan.

Kemudian ia menaikkan tatapan padaku dan mencium sudut bibirku pelan.

"Aku..." napasnya mulai teratur, "... aku ingin bercinta denganmu, Runa." Jeon meremat tanganku terkesan penuh perhatian.

Mendengarnya, hatiku mencelus digantikan kebahagiaan yang terus mendesak. "Kau boleh. Lakukan apa yang kau mau. Yang membuatmu bahagia."

Dia tersenyum lembut dan tampak hati-hati. "Tapi pertama, aku ingin kau memahami satu hal." Kelopak matanya mengerjap. "Jika aku melakukannya, bukan berarti karena aku ingin melampiaskan trauma masa kecilku. Aku tidak ingin membuatmu membayangkan kesakitan seperti apa yang kurasakan pada saat itu. Aku sama sekali tidak ingin membuatmu terluka dan tertekan dengan masa laluku. Sama sekali tidak."

Jeon hampir bersiap-siap menangis kembali dan aku buru-buru menarik pipinya untuk memberikan sebuah ciuman, menekan bibir kami, dan aku merasakan detik ini dia menerima bibirku, seolah sedang menerima stimulus tubuh kami juga cintaku.

Sudah cukup apa yang Jeon katakan membuatku menderita dan terluka semakin parah. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana kisah itu terjadi, bagaimana Jeon kecil mendapat perlakuan mengerikan dari paman dan bibinya.

Satu bagian kecil di hatiku memberontak marah. Orang-orang macam apa yang tega menghancurkan pria seindah ini.

Aku sangat marah sampai tidak tahu langkah seperti apa yang seharusnya kutempuh.

Sudah cukup bagiku mendengar Jeon menyimpan memori mengerikan. Malam ini aku hanya ingin membuat Jeon merasa aman.

Setelah cukup yakin, kulepaskan bibir kami. "Aku mulai mengerti semua tentangmu, Jeon. Hampir semuanya," ucapku lalu membuka mulut untuk menarik napas, "Jika kau mau lebih terbuka padaku tanpa rasa bersalah, aku akan sangat berterima kasih untuk itu. Kau mengerti apa yang kukatakan?"

Dia hanya mengangguk-angguk dan membatalkan air matanya yang hendak tumpah.

Bukan tidak ingin mendengar pengakuannya. Malam ini aku hanya tidak ingin melihat air matanya lebih banyak lagi.

Aku benci melihatnya menangisi masa lalu yang mengerikan. Aku benci Jeon mengorek luka.

Untuk malam ini cukup baginya menangisi masa lalu yang kejam dan aku hanya ingin menebusnya.

Seberapa banyak dia menghabiskan hari dengan penderitaan, maka sebanyak itu pula aku harus membayar untuk kebahagiaan yang setimpal, paling tidak untuk menutupi lubang trauma masa kecilnya.

Walaupun hanya sebagian yang bisa kulakukan, tapi aku ingin dia selalu bahagia menghadapi segala sesuatu hingga titik terakhir hidupnya. Aku tidak ingin dia sendirian lagi.

Karena aku sudah menyayanginya lebih daripada melihat masa depanku sendiri.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top