08| Story of Another You
Kali ini aku takkan bangun kesiangan.
Aku bangun sepuluh menit sebelum Jeon terbangun.
Aku yakin betul Jeon sudah menyetel dan mengatur alarm setiap hari. Oleh sebab itu dia selalu bangun dan pergi tidur pada jam-jam yang sama. Jeon selalu tahu kapan waktunya istirahat.
Mungkin saat Jeon tertidur di sofa kemarin, dia melakukan tepat waktu di sela pekerjaan.
Kurasa begitulah pola kehidupan orang-orang sukses di seluruh dunia; disiplin.
Pagi ini aku membuat roti selai kacang sebanyak tiga lembar dan bulgogi. Akhir-akhir ini bila diperhatikan Jeon makan cukup banyak. Toh, kalorinya akan dibakar lagi dengan work out. Jadi, tidak khawatir makanan bisa mencuri otot lengan, kaki, maupun perutnya (walaupun aku belum pernah lihat detail otot tubuhnya sih).
Telepon di dekat dapur berbunyi. Buru-buru kuletakkan ketel listrik di tempatnya, lalu menekan tombol on. Lampu kecil berwarna oranye menyala, setelah itu aku menyambar gagang telepon.
"Halo, Pa." Aku menerima panggilan ketika tahu bahwa di seberang sana adalah ayah mertuaku.
"Semalam aku tidak bertemu kalian."
"Aku dan Jeon mengutuskan kembali. Mama bilang Papa tidak pulang."
"Memang tidak. Harusnya aku menemui kalian dulu. Nah, di mana Koch?"
Begitulah ayahku menyebut Jeon dengan nama Koch.
Koch adalah nama tengah Jeon yang tidak banyak diketahui. Jeon Koch Kalinsky.
Saat resepsi pernikahan, ayah mertuaku membocorkan rahasia kalau sejak Jeon lahir, beliau tidak pernah suka orang lain memanggil jagoannya dengan panggilan yang sama.
Ayah yang posesif.
"Dia masih di kamar," sahutku.
"Sudah bangun?"
Aku mendorong badan mundur, memastikan pintu kamarnya belum terbuka. Suasananya sangat hening. "Belum, Pa. Mungkin lima menit lagi."
"Yasudah. Kalau begitu sampaikan saja padanya, minggu depan aku harus ke Costa Rica. Aku harap sebelum keberangkatanku ke New York, dia bisa bertemu singkat denganku di Apgujeong sore ini. Kalau hari ini tidak bertemu, dapat dipastikan kami tidak bakal bertemu selama empat bulan." Suara papa terdengar seperti diburu waktu.
"Sekarang Papa di mana?"
"Masih di Gangnam. Sore nanti pesawatku lepas landas. Maka dari itu sampaikan segera setelah Koch bangun. Ada proyek pabrik kertas dan sponsor yang harus kami bicarakan."
Setelah aku mengiyakan mandatnya, panggilan telepon selesai. Bertepatan dengan itu Jeon memasuki dapur.
Ah, sayang sekali. Terlambat dua detik.
Namun, setelah meneliti keadaan Jeon, aku tahu jika ini bukan waktu yang pantas untuknya menjawab panggilan telepon. Rambut tebal nan halusnya masih berantakan. Pakaiannya menjadi sedikit lecek. Ujung celana selututnya terlipat.
Aku melempar senyum menyambutnya. Aku tidak tahu kapan dia masuk kamar setelah aku membiarkannya tetap tidur di sofa.
Jeon membalas dengan senyum khas orang baru bangun tidur. "Aku kesiangan?" Kemudian dia menguap, dan meregangkan tangan tinggi-tinggi.
"Aku harap begitu. Tapi kali ini kau selamat."
Beranjak dari hadapanku, dia mengisi segelas air dari keran. Kelopak matanya belum terbuka sepenuhnya dan bahunya tidak setegap ketika ia berjalan di kantor. Inilah yang membuatku jatuh hati. Aku paling suka penampilan Jeon di pagi hari. Karena semua orang di luar sana hanya bisa melihat betapa perlente dan tampannya Jeon dengan pakaian formal. Bukan melihat seberapa berantakannya Jeon Koch Kalinsky.
Koch-ku.
Hanya aku yang bisa melihat kacaunya di pagi hari. Tetapi sayang sekali, aku tidak bisa melihat kondisi berantakannya sebelum tidur.
Sial betul. Pasti lumayan seksi. Sepertinya bukan hanya lumayan, tapi sampai sulit terbayang.
*****
"Ada koran lagi yang baru diantar." Aku masuk kembali ke dalam, meletakkan koran itu di meja kerja yang tidak jauh dari ruang tengah.
Rupanya Jeon sudah tidak di sana karena sebelumnya dia mengecek beberapa pekerjaan pagi seperti rutinitas. Namun akhirnya kubiarkan koran itu menatap di meja tulis Jeon sampai dia mengambilnya sendiri.
Sebelum beranjak, aku menoleh lagi pada korannya. Seperti kata mama, Jeon suka sekali membaca. Kucatat info itu dalam bagian memoriku.
Sang multijutawan, pendiri perusahaan ekuitas Jves & Koch sungguh tak tanggung-tanggung dalam membaca. Dia bahkan membangun perpustakaan khusus di bagian barat rumah.
Setidaknya Jeon menamatkan lima buah buku dalam seminggu dan dua surat kabar dalam sehari. Tidak heran mengapa dia bisa menyelesaikan studi dalam waktu singkat dan mendapat proporsi kenikmatan hidup sedemikian elok.
Lain kali akan kutanya buku apa saja yang menarik minatnya. Aku berharap kami bisa bertukar pendapat dan menemukan gagasan dari otak cemerlangnya.
Kini kami sama-sama duduk berhadapan di meja makan begitu menuntaskan aktivitas pagi. Tata cara berpakaian Jeon tidak jauh berbeda dari kemarin, hanya saja hari ini dia mengkombinasikan turtle neck putih dengan coat. Indah sekali sekali dan selalu tampak modis. Satu poin utama, dia meninggalkan celana ketat dan mengganti dengan celana bahan biasa.
"Runa?"
Aku mendongak, menatap lurus mata kelabu Jeon yang bersinar bagai pualam. "Kenapa?"
"Hari ini aku bisa pulang telat?"
Aku menatapnya horor. Bukan karena pertanyaannya melainkan kandungan dari topiknya. "Serius, Jeon?" Aku meringis dan tertawa geli lantaran dia selalu begitu sungkan. "Bisa kumaklumi betapa sibuknya kau," kataku. "Justru kau membuatku heran karena masih bisa pulang. Biasanya pengusaha berbadan hukum saja masih harus menginap di kantor."
Jeon cuma tertawa. Tawa yang manis di pagi hari.
"Kau juga harus bertemu ayahmu, ingat?"
Dia melepas garpu lalu menyesap kopinya sebentar. "Yah, itu karena rumahnya terasa sepi kan kalau sendiri?"
"Kurasa tidak. Aku akan tinggal di kamar, menulis naskahku sepanjang malam. Tidak ada yang perlu dicemaskan."
Jeon termenung. Dia diam tak bergerak bagaikan batu, memikirkan sesuatu. Tidak ada yang bisa setenang Jeon. Paling tidak dari seluruh kenalanku.
"Mungkin, aku bisa pulang cepat," ucapnya mendadak berubah pikiran.
"Eii, kau tidak boleh begitu," tegurku.
"Atau sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih kecil?"
"Kenapa? Aku suka di sini. Lagi pula ini rumah pertama yang kau beli," kataku tanpa tekanan dan tak ingin bersikap membangkang. "Sulit mendapat rumah di Korea."
"Kita bisa membeli apartemen atau—"
"Tidak ada," cegahku dengan tegas. "Tidak ada tempat tinggal baru, apartemen baru, dan asal kau tahu, memindahkan barang adalah hal paling melelahkan. Aku menolak. Dan ya, aku keberatan."
Senyum Jeon malah mengembang. "Jadi, kau mulai suka kopi luak?"
Aku sadar Jeon mengalah, membelokkan alur percakapan, dan tidak ingin kami terlibat pertengkaran.
Betapa dewasa sikapnya.
"Aku ketularan olehmu. Hari itu Jeongmin sudah membocorkan rahasia ini padaku." Kumasukkan sepotong daging dan menguyahnya stabil. "Kopinya juga nikmat."
"Nanti kita ke Sumatera bersama. Kopi di sana lebih enak."
Saat ini aku tidak yakin, apakah hatiku sedang merasa gembira karena mengetahui fakta Jeon sedikit demi sedikit atau ini hanya bentuk kepuasan pribadi. Satu yang pasti, aku ingin Jeon lebih terbuka dan sering membagi pikiran jujurnya denganku.
"Kau suka sekali membaca, ya?" Mengingat di kamar masa kecilnya banyak sekali menyimpan buku ensiklopedia, dinosaurus, literasi anak, antropologi, mitos-mitos Yunani, kumpulan puisi sampai dongeng-dongeng lama.
Jeon mengangkat kepala dan mengangguk. "Suka sekali. Seperti punya teman."
Sebetulnya Mama sudah cerita banyak saat aku berkunjung kemarin. Sejak kecil, Jeon menghabiskan banyak waktu membaca daripada anak seusianya. Papa dan mama telah mencoba mendorong Jeon untuk berteman dengan anak tetangga, mengingat masa sekolahnya hanya dihabiskan di rumah bukan sekolah formal pada umumnya. Akan tetapi Jeon selalu membatasi diri dalam bergaul, dan sebaliknya anak-anak tetangga menjaga jarak dengan Jeon karena dianggap menyedihkan lantaran tidak bisa berteman dengan manusia. Maka hanya buku-buku itulah yang bisa menjadi teman Jeon sampai dia masuk kuliah.
Aku tidak yakin apakah aku lebih terpana pada sikap dan penampilannya atau seluruh kisahnya.
"Bagaimana bisa kau menyempatkan diri membaca disela agendamu yang padat?" Aku melihat ke dalam matanya yang bahagia.
"Aku terbiasa dengan aturan yang dipopulerkan Benjamin Franklin."
"Aturan tentang?"
"Menyisihkan setidaknya waktu satu jam dalam sehari atau lima jam perminggu membaca."
"Ah, aturan itu." Kepalaku mengangguk pelan. "Aku pernah membaca artikelnya."
Aku kembali mencatat di kepala. Jeon juga termasuk salah satu dari sejumlah tokoh dunia yang menerapkan "Aturan Lima Jam" oleh Benjamin Franklin.
Aku terus menatapnya dan merespon. "Dan kau menghabiskan waktu lebih banyak dari aturan itu, benar?"
Jeon menarik kedua alisnya ke atas dan menatap ke samping sebelum kembali memandangiku. "Mungkin," jawabnya pendek. Dia jelas selalu mempertimbangkan saat akan mengatakan sesuatu.
Aku tergerak bertanya lagi. "Lalu apa buku-buku favoritmu sekarang?"
"Beragam."
"Sebutkan beberapa kategorinya?"
Jeon meletakkan garpunya, lalu membuat jembatan dengan kesepuluh jemarinya dan meletakkan dagu di atasnya. "Fiksi ilmiah. Selain itu novel-novel tentang sci-fi."
"Kau membaca non-fiksi atau fiksi saja?" tanyaku.
"Keduanya."
"Misalnya?"
"Non-fiksi tentang kesehatan masyarakat, teknik, bisnis, sains, biografi."
"Buku yang kau pilih sepertinya memberikannya lebih banyak ketertarikan mengenai dunia yang kau tempati, benar?" simpulku.
"Ya, benar."
"Bagaimana dengan adult fiction? Fiksi remaja? Romance? Atau... misteri, thiller, suspense?"
Dia membuka mulutnya kelihatan ragu.
Aku kembali memberondong pertanyaan lain sebagai penegasan. "John Green? Looking for Alaska? Lang Leav? Stephenie Meyer? Divergent? James Dashner? Harry Potter? Jane Austen? Nicholas Sparks?" Aku sungguh seperti anak penyu lupa bermain pasir jika sudah membahas literasi.
Belum cukup puas kutimpali dengan nama penulis dan judul dari Korea dengan antusias. "Pernah baca novel The Vegetarian karya Han Kang? Please Look After Mom juga bagus. Tapi coba baca Panchiko."
Jeon membuka kecil mulutnya.
"Oh, oh! Penulis dari Jepang juga bagus-bagus." Aku maju sedikit dari kursiku. Mendadak aku tidak tahu dari mana kemampuanku mempromosikan buku. "Aku suka sekali dengan Kitchen karya Banana Yoshimoto. Karya Haruki Murakami dan Natsume Sōseki juga banyak digandrungi anak zaman sekarang. Coba baca satu atau dua buku."
Jeon hanya terdiam. Memandangiku dengan tatapan yang tidak biasa. Bukan tatapan risih melainkan tatapan menahan diri agar dia tidak tertawa. Dan, diamnya Jeon membuatku sadar jika aku sudah kelewatan bicara.
"Aku terlalu cerewet, ya." Aku tersipu malu.
Jeon mengelap bibirnya dari sisa lemak dan bumbu makanan dengan serbet. Ia meminum segelas air yang sebelumnya sudah kusediakan. "Buku apa lagi yang kau suka?"
Itulah Jeon. Dia selalu begini. Dia mencoba tidak membuatku tenggelam dalam rasa malu.
Tiba-tiba aku merasa gugup dan tidak tahu mengapa harus bersikap demikian. "Kau suka buku yang kusebutkan?"
"Kau suka?" tanyanya balik.
"Ya, tentu saja. Aku lebih suka novel. Aku tidak begitu banyak membaca buku-buku non fiksi," dan aku buru-buru menggigit bibir karena takut kelepasan lagi.
"Itu membuatmu mendapat inspirasi menulis?"
Aku mengangguk-angguk, kelihatan tidak percaya diri. Sudah kubilang, hanya Jeon satu-satunya pria yang bisa menghapus sisi keberanianku. "Begitulah."
"Kalau begitu kucoba membacanya satu persatu."
"Apa?" Mataku tersentak.
"Buku-buku yang tadi disebutkan terdengar menarik."
"Kau berniat membacanya karenaku?"
"Akan kucoba."
Aku mengulum bibir, masih tersipu dan kembali memandang mata Jeon yang cerah. "Lupakan saja. Habiskan kopinya. Aku tidak ingin mendapati kemungkinan kau terlambat."
*****
"Kapan filmnya rilis?" Gil Danna menggeser cangkir kopi dan memberikan perhatian sepenuhnya kepadaku.
Beberapa saat lalu kami tidak sengaja bertemu di kafe. Akhirnya kami berbincang singkat di sela kepadatan kerja.
"Awal tahun," jawabku.
Danna dan aku tak terpisahkan sejak ia pindah menjadi tentanggaku saat Sekolah Dasar. Kami banyak melakukan tindakan yang tergolong naif.
Ketika berumur sebelas, kami menyelundup ke perusahaan lampu milik ayahnya. Kami meledakkan dua bohlam dan membuat bagian gudang terbakar. Kerugian harus ditanggung keluarga. Sepanjang malam aku mendengar Danna dimarahi. Tak pelak aku menjadi sumber kemarahan ayah. Salutnya, tak sekalipun Danna menyeret namaku. Keesokan harinya dia bilang bukan masalah yang penting dia tidak dipukul.
Pernah juga di tahun terakhir SMA dia memintaku menggantikan acara kencan buta. Tentu saja, semua berakhir kacau. Aku terlalu kaku.
Seiring berjalan waktu kami semakin dekat. Danna menyenangkan dan kami terasa cocok. Apalagi kami suka menulis. Aku menulis naskahku, dan Danna menulis novelnya. Tetapi kami harus berpisah di usia sembilan belas. Perusahaan keluarganya kolaps. Danna mengundurkan diri dari kampus di trisemester pertama dan memilih melanjutkan sekolah keluar negeri.
Tetapi sekarang aku sudah tidak perlu khawatir lagi padanya. Dia sudah menikah, menjadi ketua divisi di perusahaan asuransi terbesar negara, dan tetap aktif menulis.
"Aku masih tidak percaya kau mendapatkan Oh Yeon Sun sebagai pemeran utama. Itu kan mimpimu sejak kecil."
Aku setuju dan tertawa. "Kau benar. Tidak menyangka dia menerima secepat ini."
"Lalu sudah ada recana menggarap naskah baru?" tanyanya.
"Masih pelan-pelan dirampungkan untuk drama musim dingin mendatang. Kau?" Aku menyeruput teh hijauku kemudian menyilangkan kaki, duduk lebih santai. "Kira-kira mau meluncurkan berapa judul novel tahun depan?"
"Sepertinya..." Danna terlihat ragu lalu menunduk pada perutnya yang buncit sambil mengusapnya. "... satu juga cukup. Suamiku cerewet. Kalau aku begadang dia jadi sangat berisik 'Jangan! Nanti calon anakku bisa lemah kalau selalu ikut kemauan ibunya' begitu katanya. Aku juga sampai dilarang bekerja."
Aku terkekeh. Danna baru akan meloloskan protes lainnya ketika ponsel di samping cangkirnya menjerit-jerit. Aku sempat melihat nama si pemanggil.
Sayangku Kim.
Danna berdecak. "Lihat. Dia sangat cerewet."
Kemudian ia mendekatkan ponselnya ke telinga. "Aku masih di kafe... Memangnya sudah jam makan siang?... Bertemu teman lama. Kau sudah sampai?"
Aku menoleh ke pintu masuk. Dari pintu dan jendela kaca yang besar aku melihat laki-laki mengenakan jas coklat berdiri tegap menghadap kami. Tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinga. Tangan kirinya terangkat menilik arloji sekilas, lantas kembali turun dan masuk ke kantong celana. Kami bertukar sapa dengan menganggukan kepala dan senyum.
"Aduh, bawel..." Danna berbalik dari kursinya melihat sosok yang sama. "Iya aku tahu. Tunggu di sana."
Danna menutup sambungan sepihak. Dia menatapku tak enak hati. "Aku harus pergi sekarang."
Aku mengangguk cekatan dan mengulurkan tangan menepuk dua kali lengannya. "Pergilah. Jangan buat suamimu menunggu."
"Pokoknya kau harus memberiku undangan premier," ucapnya sebelum pergi.
Aku mengangguk. Kulihat Danna berlari disambut suaminya. Mereka berbicara sebentar, Danna meninju perut suaminya main-main kemudian saling mengecup bibir. Posisi ini membuatku seperti menonton adegan drama.
Jangan pikir aku iri. Melihat mereka justru memancing ide baru dan imajinasi.
Saat pasangan suami istri itu sudah pergi dengan mobilnya, telepon dari Jeongmin membuat perhatianku teralih. Kami bertukar kontak saat pertemuan yang pertama.
"Maaf menganggu waktu Anda, Nyonya. Tapi, apakah saat ini direktur bersama Anda?" tanya Jeongmin. Tipe suaranya tak normal.
Tanganku secara lambat menutup buku catatan dengan kening berkerut. "Tidak. Pagi ini dia hanya mengatakan akan pulang terlambat."
"Seharian ini direktur belum datang ke kantor."
"Oh, ya?" Aku mengecek arloji. "Yang aku tahu dia akan ke kantor dan bertemu ayahnya di Apujeong."
"Ah, bagaimana ini?" Aku mendengar Jeongmin berbisik frustrasi. "Pagi ini juga presdir tidak muncul di kantor. Belum lagi ada prosedur kerja yang harus segera presdir setujui."
Aneh sekali. "Ponselnya tidak aktif?"
"Sejak beberapa jam lalu saya dan rekan lain kesulitan menghubunginya. Nomornya belum aktif."
Sekilas aku menatap keluar kaca kafe. Potret-potret orang yang hilir mudik membuatku sadar jika ini masuk jam makan siang. "Aku akan mengabarimu jika sudah bertemu dengannya."
"Ya, saya mengerti. Terima kasih atas bantuan Anda."
Aku menghela napas, memikirkan sesuatu. Firasatku sering lebih kuat ketimbang apa yang muncul di pikiran. Rasanya tidak mungkin Jeon menemui wanita itu.
Aku langsung bergegas merapikan barang. Saat berjalan cepat menuju pintu keluar seseorang menubruk badanku. Tidak terlalu jelas menilai orang bertopi itu karena tasku terjatuh dan memuntahkan beberapa barang. Pria itu menarik turun cuping topinya seraya mengucap maaf sambil membantuku memunguti buku catatan. Aku tak ambil pusing, lantas pergi dari sana secepat yang kubisa.
Dalam perjalanan aku menghubungi ayah mertuaku dengan bantuan bluetooth handsfree menanyakan keberadaan Jeon.
Tiba di lampu merah aku mendengar suara lain dari seberang telepon disusul gelak tawa. Aku sadar suaraku barusan terdengar tidak biasa. Sepertinya itulah yang menarik minat papa tertawa.
"Apa? Kenapa Papa tertawa?" tanyaku berhati-hati dan menjaga suaraku terdengar mantap.
"Kau masih mencarinya?" tanya papa.
"Tentu saja. Orang kantornya baru menghubungiku."
"Bicara saja sendiri padanya."
Setelah itu suara kebapakan tadi digantikan suara jernih yang sudah sering kudengar. "Runa?"
"Jeon!" Suaraku melengking dan melempar punggungku ke jok. "Kaukah itu?"
"Ini aku."
"Oh, astaga, Jeon. Semua orang berusaha menghubungimu."
Aku melihat sekumpulan orang berjalan di atas markah penyebrangan hitam-putih. Lampu lalu lintas masih menunjukkan simbol pejalan kaki
"Ponselku mati."
"Kenapa bisa?"
"Jatuh ke kolam ikan."
Pengakuannya membuatku mendesah tak habis pikir. "Bagaimana bisa?"
"Kuceritakan nanti."
"Semua orang kantor mencarimu. Mereka membutuhkanmu segera. Dan setidaknya jelaskan padaku ke mana-kau-sepagian-ini?"
Terjadi jeda. Dia tidak langsung menjawab. "Toko buku."
Aku menarik napas penasaran. "Untuk apa?"
"Menambah literasi."
*****
Aku kembali ke rumah pukul enam sore. Kondisi beberapa bagian rumah gelap. Tidak semua bagian dipasang alat pendeteksi langkah kaki. Ada beberapa lampu yang harus dinyalakan manual.
Tetapi biasanya aku menghemat dengan membiarkan bagian seperti tempat penyimpanan mobil, teras, dan spot belakang rumah gelap gulita.
Di belakang sana, yang letaknya paling ujung ada sebuah kolam pemandian kecil. Jeon bilang jarang dipakai, namun satu bulan sekali agen pembersih datang merapikan agar tidak ada lumut dan serangga.
Selanjutnya aku mengecek ruang kerja Jeon. Aku tidak pernah bisa melewatkan satu bagian ini. Ruang kerja Jeon yang harus selalu dibiarkan menyala. Debu bisa saja masuk saat pendingin tidak diaktifkan.
Sesaat setelah meletakkan tasku di sofa, bel berbunyi. Aku bergegas keluar. Penjaga kompleks kepayahan membawa tas karton besar di kedua tangannya.
"Aigoo, aigoo." Penjaga tua itu ngos-ngosan dan meletakkan satu kantong ke lantai. "Aku jalan dari ujung komplek untuk mengantarkan ini. Kebetulan satu mobil antar sedang rusak, lainnya sedang dipakai." Orang tua itu mencurahkan segala keluh kesah bersama gerakan tangan dan membesut keringat di dahinya padahal sekarang bukan musim panas.
Area perumahan memang dijaga ketat. Pengunjung yang masuk minimal harus mendapat izin atau sudah memiliki janji temu dengan salah satu orang di komplek ini. Begitupun dengan pengantar barang. Barang yang diterima harus dititipkan ke penjaga gerbang sebelum sampai ke pintu-pintu rumah.
"Aigoooo," kataku sangat bersimpati dan memelas. "Ini paket untukku, Ahjussi?"
Dia meletakkan kantong lainnya di lantai dan mengibas. "Tentu saja bukan," jawabnya polos.
Aku meregangkan bibir menahan malu.
"Ini semua untuk suamimu," lanjutnya. "Ayo, aku bantu membawanya ke dalam."
"Oh, baiklah, baiklah." Aku menahan pintu terbuka lebar-lebar mempersilakannya masuk.
"Mau diletakkan di mana?" tanyanya celingak-celinguk.
"Di sana saja, Ahjussi." Kutunjuk permadani di dekat sofa dan meja tamu.
Dengan tergopoh-gopong dia menyetujui permintaanku.
"Ahjussi, mau minum dulu atau—"
Orang tua itu langsung mengibaskan-ibaskan tangannya secara berlebihan seolah tidak peduli pada apa pun yang akan aku katakan. "Tidak usah. Pekerjaanku masih banyak."
Aku membungkuk sopan ketika dia berbalik. Bahkan aku tidak yakin orang tua itu melihat dan mendengarku mengucapkan terima kasih.
Dasar orang tua. Aku mencibir tidak serius. Setelah pintu depan tertutup rapat aku mendekati tas begitu penasaran. Bagian atas tas menampilkan buku berjudul Panchiko. Aku semakin penasaran dan mengeceknya.
Mataku membelalak. Ternyata isi kedua tas itu tidak lain karya penulis dan judul-judul buku yang pagi ini kusebutkan.
Jeon sudah pasti pelakunya. Dia serius akan membacanya?
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top