05| Never Grow Up

Pernah suatu ketika aku bermimpi dililit ular di bagian pergelangan kaki, lalu aku hilang keseimbangan dan jatuh ke jurang terjal. Kepalaku menghantam bebatuan hutan dengan bengis. Benturan itu seakan mengosongkan paru-paruku dari udara. Ketika terbangun, dadaku merasa nyeri tak terbantahkan seolah aku benar-benar mengalami.

Maka setiap kali kesulitan bernapas karena sesuatu, aku akan selalu ingat bagaimana rasanya mimpi itu.

Dan itulah yang kurasakan seminggu belakangan setelah aku dibohongi suamiku.

Selama itu pula aku berusaha mengingat bagaimana cara layak bernapas. Berupaya menepis segala macam prasangka yang mengganjal.

Beragam spekulasi negatif masih terperangkap di sulur-sulur amigdala bagai parasit. Akarnya menjerat otak seperti memutus syaraf.

(*amigdala: bagian otak
terhadap reaksi emosi)

Saat itu aku ingin pergi ke pelukan ibuku. Aku ingin memberontak. Tetapi aku sadar. Inilah pernikahan.

Pernikahan sama seperti kau berdiri di sebuah menara yang menghadap bukit hijau pegunungan. Kau hanya bisa melihat tempatmu bermain dulu dari cerobong atap menara. Rasanya begitu jauh, kecil, tak tergapai. Kembali pun rasanya mustahil. Probabilitasnya hampir tidak mungkin. Karena saat ini kau bukan lagi seorang anak yang bebas bermain di ladang hijau. Ada tembok dan pilar besar yang mengapit. Paling tidak itulah yang kupelajari dari pernikahan.

Namun, sikap suamiku kemarin mulai membuatku takut pada pernikahan.

Sementara Jeon masih belum memberikan keterangan apa pun. Aku dibuat curiga pada setiap kesempatan terkait apa saja yang dia lakukan, tentang siapa saja teman-temannya, dan apa yang dia bicarakan pada mereka. Terutama teman wanitanya.

Lebih parah dari itu, aku mulai merasa begitu buruk saat ingin tahu isi ponselnya. Aku setengah mati penasaran dengan siapa saja Jeon bertukar pesan dan berkomunikasi. Tetapi aku sudah menegaskan kepada diriku sendiri agar tidak bertindak lancang.

Hari ini aku sudah menghabiskan setengah hari merenung saat ibu mertuaku tiba-tiba menghubungi agar aku datang ke rumahnya yang terletak di kawasan Pyeongchang-dong.

Meski sejak kecil hidup di Korea, aku hanya pernah datang ke kawasan elite itu dua kali. Itupun karena Jeon yang membawaku bertemu orang tuanya. Semenjak kami menikah, Jeon langsung memboyongku tinggal di rumah pribadinya sehingga tidak ada waktu mengajakku pergi ke sana-kemari.

"Aku menunggumu sejak tadi." Ibu mertuaku, Jeon Eun Suh membuka pintu setelah kubunyikan bel ke-empat.

"Maaf buat menunggu." Aku membungkuk kasual. Tidak formal, namun terlihat sopan. Cara yang sering kulakukan pada ibu.

Senyum beliau langsung mengingatkanku pada Jeon. Di badannya masih tersemat apron yang pernah beliau ceritakan memiliki kisah panjang. Biar kutebak, beliau sedang kerepotan memasak.

"Mama sedang masak?" Begitulah panggilan yang kuberikan kepada ibu mertuaku daripada memanggilnya dengan sebutan eommoni.

Mama adalah panggilan dari Jeon sehubung latar belakangnya, jadi aku lebih senang memanggilnya dengan panggilan yang sama.

Mama mengangguk ceria. Kulitnya masih segar dan hanya ada titik-titik kerut di bagian mata dan garis senyum. Benar-benar mirip dengan sosok Jeon saat sedang bersemangat.

Selayang, matanya tertuju pada bungkusan di tanganku. "Oh, My Princess, apa yang kau bawa?"

Omong-omong cara beliau bicara kadang terdengar berlebihan. Bukan berlebihan yang menyebalkan, melainkan sangat lucu.

"Toko soba terlezat yang Mama ceritakan sudah buka, jadi aku mampir membelinya." Mi soba adalah makanan kesukaan beliau sejak sekolah menengah. Mertuaku telah banyak membuka kisah masa lalu padaku.

Inilah yang membuat Jeon berbeda dengan orang tuanya. Mereka bisa sangat terbuka padaku. Tetapi Jeon... entahlah. Lagi-lagi harus kubilang apa? Dia sulit ditebak.

Lantas Mama mencubit pipiku dengan genit. "Kenapa repot-repot sekali? Aku hanya memintamu datang, bukannya bawa makanan."

"Bukan masalah. Aku senang melakukannya."

Beliau tersenyum lebih lebar. "Baiklah. Ayo, kalau begitu kau harus masuk. Soba sangat cocok dimakan bersama sup miso."

"Mama buat sup miso?"

Dia mengangguk dan mengambil plastik di tanganku, lalu menyerahkannya kepada salah seorang pelayan rumah. "Hangatkan sobanya dan letakkan di mangkuk kiriman amaku kemarin."

*ama : ibu dalam bahasa kanton.

Pelayan wanita berseragam itu mengangguk dan membungkuk pada kami seraya tersenyum sebelum menjalankan tugasnya.

Aku suka sekali nuansa hangat dan keramahan di rumah ini, mirip seperti Jeon.

Sungguh, aku tidak bisa berhenti menghubungkan segala sesuatu yang berasal lingkungan asalnya dengan kepribadian yang Jeon tunjukkan di kehidupan sehari-hari.

Jeon bagaikan buah yang jatuh didekat pohonnya. Bukan buah yang terjun bebas di hulu sungai dan terbawa arus.

Aku meletakkan tas di sofa sebelum berjalan ke dapur. Rumah ini tak banyak berubah. Masih banyak perabotan berbahan dasar marble. Warna catnya diperbaharui dari beberapa bulan lalu menjadi seperti rumah-rumah mewah ala film Crazy Rich Asians; beige perpaduan limestone. Aku ingat bahwa ayah mertuaku sangat mendambakan suasana baru, sehingga cat rumah ini bisa berganti-ganti setiap tiga bulan sekali. Namun tidak sekali pun menghilangkan unsur Tiongkok di beberapa sudut.

"Akhir-akhir ini aku rindu sekali dengan kalian, terutama putraku." Mama membuka pintu kulkas dan mengeluarkan seledri yang sudah diiris kecil-kecil dalam mangkuk keramik model Cina. "Jadi aku membuatkan sup miso dan masakan Jepang kesukaannya. Aku selalu ingin mengundangnya makan siang bersama, tetapi sepertinya suamimu sibuk sekali ya?" ucapnya murung.

Aku yang baru selesai minum segera meletakkan gelas dan menatap mama dengan bibir tertekuk ke bawah. "Mama," kataku berempati dan bermaksud mama terhibur.

Lalu aku berjalan ke belakangnya. Memberikan pelukan agar membuat perasaannya membaik dan menyandarkan daguku di bahu mama sambil mengusap-usap lengannya.

Mama mengusap pipiku penuh sayang. "Tapi aku senang kau bisa datang."

Aku mengurai pelukan.

"Terakhir kali Jeon cerita padaku, dia bersyukur bahwa dia bisa memilikimu." Mama mengambil pisau dan memotong batang seledri yang baru.

Aku menyingsingkan lengan kemeja satinku dan mengambil pisau baru di laci, ikut membantu memotong bahan masakan lain.

"Aku juga bersyukur bisa memilikinya. Aku berharap aku dan Jeon selalu bahagia."

Mama menoleh padaku dengan senyum keibuan. "Aku menyadarinya."

Sekilas kepalaku berpaling padanya sebelum berpaling kembali pada daun seledri yang kupotong. "Tentang?"

"Jeon yang lebih hidup bersamamu," ucap Mama lemah. "Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya bila melihatnya terus menderita. Dia memang tidak pernah mengeluh. Tetapi kadang ada saja yang membuatku khawatir sebagai seorang ibu."

Gerakan tanganku melambat. Aku menoleh padanya.

"Membayangkannya bergelung dengan rasa sakit setiap hari membuatku ikut menderita dan hampir mati. Aku tidak tahu, apa jadinya aku kalau dia pergi. Aku tidak akan menjadi seorang ibu bila pada akhirnya kehilangan Jeon di masa lalu."

Menilai ekspresi serius bercampur sedih di wajah mama, semua jelas tidak baik-baik saja.

Walaupun aku belum tahu tentang apa yang terkandung dalam padanan kata 'kehilangan Jeon di masa lalu' menimbulkan prasangka, aku tetap diam.

Kalimat itu secara harfiah mengingatkanku pada kilas balik pertemuan kami yang pertama. Saat Jeon ditepi kematian.

Apakah ada kaitannya?

Kulepaskan pisau di tanganku dan bergeser memeluk mama. "Aku yakin Jeon sangat beruntung memiliki wanita seperti Mama." Kemudian aku mengendik ringan. "Dia memang tidak pernah mengatakannya, tetapi setiap kali aku melihat kedalaman matanya ketika memandangi Mama, ada lubang cinta yang tidak akan pernah tertutup di sana."

Mama terdiam, sebelum aku sadar dia sudah meletakkan pisaunya sambil memandangiku dengan tatapan penuh penghargaan. Lantas balas memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku. "Putriku, Shin Runa. Terima kasih telah hadir dan menambah kebahagiaanku."

Kueratkan pelukanku dan tersenyum di atas bahu kiri mama. "Sudah bagian dari tugasku memastikan Mama dan Jeon bahagia."


*****


"Ayo, biar aku tunjukkan hal menarik lainnya tentang suamimu."

Mama menggenggam tanganku dengan sikap antusias lalu menarikku menuju salah satu kamar di rumah besarnya setelah kami selesai makan.

Setengah perjalanan menuju tempat tersebut, sebuah pintu besar ruangan terbuka. Tampak ayah mertuaku—Abraham Kalinsky—keluar sambil membolak-balikkan buku proposal sponsoship. Gerak-gerik dan tampilannya sudah menunjukkan bahwa beliau adalah tokoh penting. Tinggi badannya melebihi tinggi suamiku. Postur tegap dan besar. Genetiknya menurun pada sosok Jeon. Secara keseluruhan aku bisa melihat sosok tegas Jeon pada ayahnya dan kelembutan yang berasal dari ibunya. Jeon adalah perpaduan 50 banding 50 milik orang tuanya.

"Hey, Sweety. Kau datang?" Papa yang baru mengangkat kepala agak terkejut melihat kehadiranku.

Beliau langsung mendatangiku. Berlanjut sebelah tangannya memeluk bahuku secara akrab, dan tanpa sungkan kupeluk lehernya seperti putri kandung. Mama membiarkan kami bertukar rindu.

"Bagaimana pekerjaanmu?" tanyanya saat pelukan kami membaur. "Kudengar syuting filmnya sudah dimulai."

Aku mengangguk ceria. "Semuanya terkendali." Beliau bisa membuatku layaknya anak-anak, sama halnya seperti yang dilakukan ayahku. "Aku melihat proses syuting perdana. Rasanya melegakan."

Papa menodongkan jari telunjuknya ke arahku dengan gaya santai. "Jeon harus sering-sering menolongmu. Ajari dia agar selalu memberi semangat. Suruh jangan terlalu fokus pada kerjaan."

Aku tergelak, ketika itu papa juga tertawa.

"Dia sudah melakukan tugasnya dengan benar," tukasku.

Sesaat kemudian mataku menelisik ke dalam judul proposal yang di dalamnya terdapat nama kegiatan dan perusahaan yang dituju.

"Jves & Koch?" tanyaku heran. "Papa mengajukan sponsor pada perusahaan Jeon?"

Mula-mula papa mendesah sengaja mendramatisir situasi. "Begitulah." Dia mengangkat proposal itu dan menurunkannya kembali dengan lesu. "Ini proposal kelima perusahaanku yang ditolak perusahaannya. Tidak tahu apa masalah pastinya. Tetapi perusahaan putraku agak kejam meskipun aku mengatasnamakan hubungan darah."

Mendengar pernyataan papa, mataku menyipit. "Jeon tidak membantu memberi keringanan?"

"Kau harus percaya betapa kejamnya dia saat bekerja."

Aku tidak bisa menangkap arah perkataan papa barusan guyonan atau bukan.

"Dalam dunia bisnis, itu sulit." Papa melanjutkan. "Kau harus tanya ayahmu kapan-kapan. Sebagai pembisnis dia pasti punya jawaban yang cukup pantas."

Dan aku tahu ucapan papa terkait Jeon yang kejam hanyalah candaan sambil lalu. Jeon menolak proposal sponsor papa karena memang masih terdapat celah.

Akhirnya aku menjawab usil, "Well, kurasa penjelasannya tidak akan cukup masuk akal, karena aku sulit memahami relasi bisnis."

Papa kembali tertawa dengan suara beratnya yang khas dan menyenangkan, lalu menyetuh bahuku. "Aku harus pergi. Kalau bisa menginaplah semalam, dan semoga berhasil untuk pergelaran film atas naskahmu."

Aku mengangguk yakin dan membimbing kepergiannya dengan tatapanku.

*****

"Ini foto Jeon saat merayakan ulang tahun ketiga."

Mama dan aku sedang duduk di ranjang, melihat dari banyaknya foto di album. Foto yang sedang aku lihat adalah foto seorang anak di depan kue tart. Di atas kue tart ada lilin kecil berjumlah tiga.

Foto dan kamar ini adalah kombinasi sempurna. Seakan-akan aku bisa menyelami lebih jauh sosok Jeon K. Kalinsky.

Mama bilang tempat ini menyimpan berjuta-juta kenangan. Jeon telah tinggal di dalamnya, dan meskipun beranjak dewasa atau sampai saat ini jika rindu, Jeon bisa tidur di kasur yang kurang dari panjang badannya. Aku sungguh tidak bisa menahan tawa saat membayangkan kaki Jeon Dewasa menggantung di ujung tempat tidur karena sudah sempit.

Kami mungkin tidak bisa tidur bersama di kasur ini.

Atau... di kasur kami sendiri.

Belum. Hanya belum.


Aku menggeser dudukku lebih dekat, mengitip ke dalam album foto di pangkuan mama, lalu berkomentar, "Wajahnya tidak berubah."

"Itulah yang selalu kupikirkan setiap kali melihatnya. Bagiku, bagi seorang ibu sejati tidak akan pernah ada anak yang beranjak dewasa."

Aku setuju dan mengangguk karena ibuku pernah berkata demikian saat kami pernah bertengkar untuk sesuatu yang sudah kulupakan.

Faktanya, bagi orang tua ialah; anak tak pernah beranjak dewasa. Mereka selalu merasa cemas dan memandang kami masih butuh perlindungan. Mereka takkan percaya kami sudah bekerja, bepergian sendiri, dan mereka masih belum percaya anak-anaknya sudah menikah karena rasanya baru kemarin kami meminum asi atau di antar sekolah.

Mama membalik halaman lainnya. "Yang ini saat pertama kali suamimu masuk sekolah."

Kali ini ada sekumpulan anak di tingkat Taman Bermain yang duduk berjajar memakai seragam hijau putih.

"Oh! Aku bisa langsung mengenalinya. Matanya kelihatan paling bulat. Dia juga kelihatan mungil."

Mama tertawa pelan. "Dia satu-satunya anak termungil di kelas. Entah bagaimana bisa sekarang tingginya malah menjulang."

Ketika mama membalik lembar lainnya, aku sontak mengeluarkan suara 'Aaa' terkesima dan berkomentar. "Lucu sekali!"

Jari terlunjukku mengusap pipi gembil anak laki-laki di foto yang tengah tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi-gigi susu yang berjarak.

Aku langsung membayangkan wajah anak kami kelak. Ada tanda tanya besar menggantung di kepala. Kalau anak kami perempuan mungkin akan berparas lembut, persis seperti ayahnya. Setidaknya itu yang kuharapkan.

"Wajahnya sekarang bahkan masih mirip seperti bayi. Awet muda," cetusku.

"Dia akan terus menjadi bayi bagiku." Mama merenung jauh ke dalam foto. "Anakku. Putraku satu-satunya."

Mata cokelat mama yang terang menjadi redup, lalu secara tiba-tiba ia mengenggam satu tanganku. Kehangatan jemarinya membawa kenyamanan. Selama itu pula dia menatap tanganku dan pandangannya naik ke mataku. Tatapannya begitu lekat, seolah kami sedang berkontak batin.

"Runa, apa pun yang terjadi, maukah kau berjanji tetap bersamanya?"

Dalam genggaman ini aku merasakan ketidakberdayaannya. Mulutku menjadi kering. Sekilas kutelan ludahku. Meskipun secara harfiah tidak tahu apa artinya ucapan tadi, aku tetap mengangguk patuh.

Lagi pula, bagaimana bisa aku meninggalkan Jeon jika sudah janji di hadapan Tuhan?



*****



Aroma jeruk yang sedang dikupas pelayan rumah membuat perutku mual dan bergejolak. Semua orang di rumahku termasuk Jeon tahu bahwa aku tidak menyukai jeruk. Sejak dulu bau citrus akan membuatku pusing. Akan tetapi sekarang aku berada di rumah mertuaku. Mereka tidak pernah tahu tentang aku sedang berperang dengan aroma ini. Apa pun jenis jeruknya, aroma itu akan selalu mengingatkanku pada pemakaman kakek.

Aku pura-pura berdiri mengambil air di kulkas dan mencuci tanganku, sementara ibu mertuaku menyiapkan buah-buahan untuk dijadikan salad sebagai salah satu hidangan makan malam nanti.

Selanjutnya kudengar suara kedap dan agak samar dari dalam tasku. Tanda telepon masuk.

Aku segera mengambil benda itu dan kembali menjauh sedikit dari pelayan yang masih terus mengupas jeruk.

Perutku menegang dan terasa seperti diremas-remas saat tanpa sengaja melihat lihainya pelayan itu menyobek bagian demi bagian badan jeruk agar saling terpisah.

Mama melihatku dan ke arah ponselku bergantian dengan tatapan bertanya 'siapa yang menelepon'.

"Jeon," kataku.

Beliau mengangguk-angguk, ujung bibirnya terangkat begitu tinggi.

"Kau di mana?" Kudengar suara Jeon yang bertanya lebih dulu.

Ini terasa unik dan menggelitik. Biasanya aku yang mengawali. Aku berjalan lebih jauh lagi dari si pelayan yang kini mengupas jeruk bali.

"Kau sendiri ada di mana?"

"Rencananya aku ingin mengajakmu makan malam dan pulang lebih awal," katanya.

Aku menganggukan kepala meskipun Jeon tidak melihat gerakan ini. "Ahhh, begitu rupanya. Kau mencariku dan tidak menemukannya di rumah?"

Sempat kudengar suara hembusan napas Jeon yang keras, tidak tahu dia tertawa atau bukan. Tetapi suaranya masih seringan kapas. "Aku mencarimu."

"Hm, kalau begitu coba tebak di mana aku sekarang?"

Sambil menunggu Jeon menjawab, aku menoleh pada mama yang tersenyum usil. Sebisa mungkin beliau diam tidak mengeluarkan suara.

"Tempat kerja?" Jeon terdengar ragu.

"Salah," ujarku tanpa embel-embel. "Sebagai penulis, harusnya kau paham tempat kerjaku nomaden. Tidak terbatas di satu tempat untuk mendapatkan ilham dan inspirasi. Ayo tebak lagi."

"Lokasi syuting?"

"Salah. Hari ini aku memang mengunjungi lokasi syuting, tapi memutuskan pergi sebelum syutingnya selesai. Coba pikirkan baik-baik."

Di ujung telepon Jeon tertawa. "Kau menggodaku?"

"Pikirmu begitu? Sekarang coba tebak lagi. Kuberitahu beberapa clue. Aku baru melihat anak kecil berbaju putih-celana hijau muda. Dia berfoto bersama keempat temannya, yang kutahu katanya baru masuk Taman Kanak-Kanak."

Aku bisa membayangkan Jeon berpikir keras. "Taman bermain?"

"Salah. Baiklah, kuberitahu hal lainnya. Lalu aku melihat seorang anak bertopi menangkap ikan."

"Laut?" Kembimbangan suaranya terasa jelas. "Ah, aku tahu. Danau?"

"Untuk apa aku ke danau?" Aku terkikik. Menggodanya entah mengapa membuat jiwaku lega.

"Ada banyak buku dongeng dan miniatur lego."

"Perpustakaan Anak?"

Aku tersenyum lebar. Jeon terdengar mulai frustrasi.

"Begini, aku sedang berada di suatu tempat...," Saat kulihat mama, ternyata beliau juga melihat ke arahku sambil tersenyum dan menggeleng-geleng. Aku tahu ini terdengar bertele-tele dan tidak cukup pantas dilakukan wanita seusiaku. Tetapi kesenangan menggoda Jeon muncul sebagai pengalihan rasa mualku pada aroma jeruk tadi. "tempat ini sudah seperti museum Cina sungguhan karena banyak guci. Lalu aku ke sebuah ruangan, banyak sekali robot dan miniatur yang entah apa namanya. Lalu adapula ranjang yang menyatu dengan rak buku. Mayoritas tema bukunya sama. Kebanyakan bukunya... apa, ya...?"

"Dinosaurus?" Hanya satu kata petunjuk yang keluar dari mulutnya membuatku yakin jika Jeon sudah tahu. Lalu aku bisa mendengar senyum dari suaranya. "Kau di rumahku?"

Tawaku tidak bisa kusimpan lebih lama. Aku terpingkal dan Jeon mendesah.

"Baiklah, kau berhasil menebak. Aku memang datang ke rumahmu. Mampir sebentar. Aku sudah melihat-lihat kamar masa kecilmu."

Ini terasa lucu. Kami pernah datang rumah orang tuanya. Akan tetapi Jeon tidak pernah sekali pun membawaku memasuki kamar itu.

"Berapa banyak yang kau lihat?"

"Entahlah. Sekitar... tunggu, sepertinya aku sudah membuka album keempat yang ada di kamarmu. Rupanya kau jago mencorat-coret semua buku dinosaurusmu, kan? Wah baru kali ini aku melihat gambar brontosaurus berpunuk, atau triceratops berkaki enam."

Jeon tidak menjawab, entah bagaimana ekspresinya sekarang. Yang bisa kubayangkan hanya wajah terkejutnya.

Aku tetap bersikap menggoda. "Memperbesar sirip monster laut sepertinya terdengar seribu kali lipat lebih mengerikan. Belum lagi menambahkan tiga kepala T-Rex di badan mereka juga bukan ide bagus dikhawatirkan akan menghabiskan seluruh penghuni zaman purba."

"Kau benar," jawab Jeon polos. "Harusnya aku gabungkan badan Mamooth dengan sayap Microraptor, dan mengganti kepalanya dengan Helicoprion, lalu dikombinasikan dengan leher Brachio."

Aku tergelak. Imajinasinya sungguh luar biasa. "Tinggalkan jabatanmu dan jadilah penulis fiksi."

Dia ikut tertawa. Kurasa hanya tinggal beberapa minggu denganku, Jeon sudah ketularan konyol, dan sense of humor-nya meningkat.

Faktanya aku senang Jeon bisa bercanda.

"Setelah menyiapkan makan malam, rencananya aku akan melihat-lihat yang lain."

"Melihat apa?"

Aku bisa menangkap suaranya yang kaget namun tetap terdengar tenang sebisanya.

"Nanti aku akan masuk lagi ke kamarmu."

"Tunggu di sana, ya."

"Kenapa? Sayang sekali. Aku baru akan masuk ke kamarmu."

"Jangan masuk lagi," pintanya.

"Kenapa?"

"Masuknya kalau aku sudah datang."

"Kau aneh sekali. Aku jadi penasaran apa yang kau sembunyikan di kamar itu."

"Aku segera ke sana. Tolong tunggu."

[]

Kalian liat karakter Jeon tuh gimana sih?

Sumpah ya, mau bgt balesin pesan kalian satu persatu. Maaf aku belum bisa luangin banyak waktu di wattpad. Tapi selalu baca komen. Aku baca semua. Seneng, ketawa, senyum lega, ada pelajaran juga dari kalian at the same time. Atau sekedar kasih tau typo.

Terima kasih. Terima kasih banyak karena kalian masih care🥰❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top