03| Let's Talk Pregnancy
Yang mau baca follow akun wattpadku. Jangan jadi pembaca gaib. Jangan lupa vote, komen, dan masukkan ke reading list supaya notif update muncul.
-Mature Content-
— — —
Sesampainya di kawasan taman Bundang-gu segera kuparkirakan mobil bergabung dengan kendaraan milik artis dan beberapa staf produksi.
"Akhirnya datang juga," Sutradara Bong merentangkan tangan lebar-lebar begitu melihatku.
Berbeda dengan sutradara kebanyakan yang galak dan sulit bergaul, sosoknya yang hangat dan terbuka pada semua orang membuat siapa pun mudah nyaman. Andai boleh jujur, beliau memang berlebihan sekaligus menyenangkan.
"Lho, syutingnya belum dimulai?" tanyaku memperhatikan sekeliling yang masih sibuk bersiap-siap.
"Tentu saja belum," sahut Sutradara Bong merengut, lalu membetulkan letak kacamatanya yang merosot. "Artis utama kita justru terlambat."
"Siapa?"
"Se Jin Ah—peri sejuta umat," canda sutradara.
Aku terkikik. "Di mana dia?"
"Masih dirias."
Aku mengangguk singkat mendengar penjelasannya. Syukurlah kalau bukan menungguku. Jika ternyata benar, aku akan merasa berdosa pada semua orang di sini.
Lalu entah dari mana, seorang kru pria melintas membawa tongkat panjang membungkuk ramah padaku, dan aku membalasnya dengan gerakan serupa sembari menebar senyum.
"Eonni!"
Refleks aku berpaling ke sumber suara. Seorang gadis berdiri di depan tenda rias dan berlari mendekat. Dialah Se Jin Ah.
Se Jin Ah langsung bergelayut manja di lenganku dan menyandarkan kepalanya di bahu kiriku.
"Eonni sudah sampai sejak tadi, ya?" tanyanya dengan suara polos.
Se Jin Ah adalah gadis yang akan memerankan masa kecil pemain utama. Parasnya yang cantik membuat siapa pun mudah luluh. Maka dari itu Jin Ah dijuluki peri sejuta umat. Belum lagi tubuhnya yang memang ditakdirkan kecil dan langsing membuat banyak orang terkesima dan iri.
Sepertinya Tuhan sedang good mood saat membuat Jin Ah dalam kandungan. Sayangnya anak ini lebih memilih berakting daripada melanjutkan kuliah.
Bola mataku berputar ke atas, pura-pura kesal. "Kau datang terlambat."
"Maafkan aku, Eonni. Kesalahan ini tidak akan kuulangi." Jin Ah membujukku.
"Saat pembacaan naskah pun bilang takkan terlambat. Sulit dipercaya."
Wajahnya berubah sendu. Tiba-tiba dia menggenggam erat kedua tanganku di depan dadanya. Lalu dengan mata berbinar bak anak kucing ia mentapku, "Eonni, aku janji, benar-benar berjanji akan berjuang mati-matian memerankan karakter naskahmu yang mengagumkan. Aku tidak akan pernah membuatmu kecewa."
Aku mengangguk seraya mempertahankan diri agar tidak tersenyum luluh. "Sebaiknya kau sampaikan permintaan maafmu juga pada sutradara." Daguku bergerak menunjuk sutradara Bong yang masih berada di antara kami.
Bukannya meminta maaf sesuai arahanku, Jin Ah malah mengeluarkan jurus maut berupa aegyo beserta tanda hati di kedua jari. "Aku mencintamu, Gamdog-nim."
Sontak Sutradara Bong menunjuk Jin Ah lurus-lurus menggunakan gulungan naskah. "Anak ini! Sudah sana cepat ambil posisi. Kalau sampai terjadi NG, gajimu kupotong."
(NG : no good.
Melakukan kesalahan
dalam syuting)
Jin Ah merengut, bibirnya membulat. "Mana bisa memotong gajiku sembarangan."
Kemudian anak ini kembali menghadapku. "Eonni, tolong pantau aku dengan baik," ujarnya seraya mengambil langkah mundur.
Aku mengangguk dan tersenyum, lalu kukepalkan kedua tangan di depan wajah. "Hwating."
Di depan sana Jin Ah tersipu menggoyang-goyangkan bahunya seperti balita.
Aku yang melihatnya hanya bisa tertawa lepas. Sementara Sutradara Bong menggerutu saat kembali ke kursi kebanggaannya di belakang televisi mini untuk memantau jalannya syuting. Staf yang memegang clapperboard sudah berteriak nyaring, di mana artinya syuting dimulai.
Adegan pertama dilakukan tanpa hambatan. Kemampuan berakting para artis sangat mengagumkan.
Tentu, bagiku mereka sangat hebat karena aku yang cuma penulis naskah ini akan selalu mati gaya bila berekspresi di depan kamera.
Selain itu aku masih tetap terharu melihat naskahku diperankan. Naskah yang awalnya cuma muncul sebagai bentuk imajinasi akhirnya bisa kusaksikan secara langsung.
Hatiku membuncah gembira. Rasanya seperti pertama kali saat naskahku ditawari sutradara. Euforianya masih tetap sama.
Jadi tak sabar ingin berbagi kisah ini pada Jeon.
*****
"Bagaimana progresnya?"
Seorang penata rias wanita menyikut lenganku. Dagunya bergerak-gerak menuntut. "Sudah ada kemajuan?"
Restoran daging tradisional hari ini menjadi pilihan kami untuk santap malam. Tempatnya juga bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki dari lokasi syuting.
Berhubung Sutradara Bong sudah berjanji akan mentraktir semua kru dan para pemain, aku tidak enak menolak maupun pulang cepat.
"Bagaimana apanya, Eonni?" tanyaku berpura-pura tidak mengerti. Padahal perbincangan ini sudah sering aku hindari. Kemudian aku membalik daging di grill pan yang baru setengah matang.
"Sudah ada rencana punya anak?" tanya Oh Yeon Sun—salah satu artis kenaamaan Korea Selatan—ikut menyambar.
"Coba ceritakan kepada kami rencana itu." Staf wanita itu menjadi lebih bersemangat dua kali lipat.
Aku menghembuskan napas tidak ingin ambil pusing. "Ini kan baru awal pernikahan, Eonni."
Usia mereka memang lebih tua dariku. Keduanya pun sudah menikah dan memiliki anak, tetapi aku belum ingin membahas masalah ini sekarang. Karena Jeon tidak mengungkitnya. Kendati demikian, orang-orang selalu saja penasaran.
"Punya anak itu justru harus dipikirkan sebelum menikah."
Aku hanya tersenyum simpul, bingung memberi jawaban. Bersyukurlah Sutradara Bong yang baru kembali dari toilet membuatku memiliki alasan berkilah.
Aku buru-buru berdiri dari kursi dan menuang soju ke gelas Sutradara Bong.
Begitu duduk, Sutradara Bong langsung meneguk minumannya.
Asisten sutradara Bong, yakni Kwon Pil Seok tiba-tiba bergeser dari meja sebelah, ikut menimpali jalannya percakapan. "Seru sekali. Apa yang kalian bicarakan?"
"Aku sedang mengintrogasi pengantin baru." Dalam dunia entertainment, Yeon Sun memang dikenal dengan sikap blakblakan cerdas namun easy going, sehingga selama puluhan tahun menggeluti dunia hiburan jarang sekali ditimpa rumor jahat.
"Jangan terlalu keras." Sutradara Bong memperingati.
"Aku cuma memberinya sedikit ilmu." Yeon Sun berkilah. "Setidaknya Penulis Shin harus dapat pengalaman dari senior. Lebih dari itu, karena aku juga terlanjur menyayangi Penulis Shin seperti putriku sendiri. Sedikitnya aku ingin dia dapat pelajaran berharga tentang pernikahan."
Aku hanya diam menyimak. Dari cara mereka berbicara menunjukkan bahwa aku adalah anak Sekolah Dasar yang baru mengenal cinta.
"Suamimu anak konglomerat, kan?" Pil Seok bertanya gamblang.
Aku tersipu. "Keluarganya dari kalangan biasa, Sunbae." Aku tertawa mencairkan suasana dan bersikap merendah mengingat Jeon yang sering tampil sederhana. "Dia merintis perusahaannya sendiri dari nol."
"Alah sama saja." Dia mengibaskan tangannya tidak peduli. "Toh nama perusahaannya, Jves & Koch itu sering muncul di TV. Ayahnya juga pemegang saham real estate terbesar di Gangnam dan Gwacheon, kan? Anehnya, sekarang kau masih repot menulis naskah dan bukannya duduk santai."
Sempat aku sakit hati mendengar tutur kalimatnya yang tidak pakai otak. Apa kolerasi menulis dengan harta benda. Bagiku menulis adalah hobi, bayaran adalah bonus.
Terkadang banyak orang yang menggolongkan hobi dan angan hanya berupa materi. Menyebalkan sekali.
Yeon Sun segera mengangkat sebelah tangannya ke depan wajah Pil Seok untuk menghadang pertanyaan. "Tunggu dulu, jangan diintrupsi. Aku belum selesai bicara. Jadi, ceritakan malam pengantin kalian."
Malam pengantin apanya? Apakah tidur di ranjang terpisah bisa disebut malam pertama?
"Seberapa besar?" Tahu-tahu staf wanita itu menjulurkan lehernya ke arahku lebih dekat.
Kepalaku melengkung ke kiri dengan terkejut. "Maksudnya?"
"Pasti barang suamimu sangat besar, kan?" Ekspresinya membuat siapa saja ambigu.
Yeon Sun langsung mengetuk tepi mangkuk staf wanita itu dengan ujung sumpit. "Hei, kau bercanda? Dilihat dengan mata telanjang pun, kita sudah bisa membayangkan ukurannya." Wanita itu mengunyah sesaat daging di mulutnya dan menelannya secepat mungkin. "Shin Runa, kau sangat beruntung bisa menikahi pria sekelas suamimu."
Aku terkekeh geli. "Sebaiknya, kita hentikan pembicaraan ini. Kuping suamiku bisa terbakar."
Di saat bersamaan, Sutradara Bong izin keluar karena harus menerima panggilan telepon.
Percakapan kembali berlanjut.
"Diskusi ini sangat penting. Kau harus punya banyak pengalaman, jangan hanya sibuk menulis naskah. Dulu, punya suamiku juga bertambah besar setelah dua minggu pernikahan kami," beber Yeon Sun bersikeras.
Staf wanita itu memekik. "Sungguh? Apa mungkin dia menggunakan semacam produk pembesar?"
"Kurasa begitu. Sialnya, dia tahu aku memang lebih suka ukuran besar ketimbang panjang," tukas Yeon Sun frontal dan kemudian tertawa heboh.
Staf wanita itu mencibir, "Hah, percuma saja besar dan panjang kalau tidak pakai tenaga."
Di kursinya, Kwon Pil Suk meringis dan bergidik geli. "Kalian bicara hal pria di depanku. Tidak sopan."
"Alah kau juga sudah menikah, kan?" Yeon Sun menyambar. "Tanya sana, istrimu puas atau tidak."
Staf wanita itu terkikik dan sedikit tersedak. "Bagaimana mau cepat klimaks kalau sering ditinggal syuting."
Mula-mula dengan pikiran terbuka aku membiasakan diri menyimak. Hitung-hitung edukasi tambahan dari senior. Meskipun begitu pembicaraan yang semakin mendalam ini membuatku malu, mengingat pendidikan seksku belum mumpuni. Dan untukku yang kurang pengalaman serta pemahaman seks, pembicaraan ini masih tabu.
Ekspresiku mungkin terlihat aneh. Dengan begini aku mulai membayangkan yang tidak-tidak.
Apa milik Jeon memang sebesar seperti yang terlihat dari luar.
Memalukkan. Kalau sedang sendirian aku pasti sudah memukul kepalaku kencang-kencang karena membayangkan ukuran kelamin Jeon. Kini aku sampai tak sanggup membayangkan lebih jauh.
Besok kusuruh Jeon tinggalkan celana ketat.
Yeon Sun kembali pada pembahasan awal. "Biasanya kalau rajin berolahraga tentu mujur." Kemudian kembali menoleh padaku. "Kualitas sperma dan vitalitas suamimu pasti bagus. Badannya saja terlihat segar bugar seperti sering keluar-masuk tempat fitness."
Aku tertawa gagap.
Yeon Sun melanjutkan, "Kualitas benihnya kan sudah bagus, itu tinggal bagaimana kau merawat ladangnya supaya hasilnya tumbuh subur."
Bibirku merenggang kaku.
"Sudah ada rencana mau buat berapa anak?" tanya staf wanita itu.
"B-belum."
"Wah, harus dipikirkan sejak dini," sahut staf wanita itu.
Pil Seok meletakkan gelas soju dan menyundut rokok. Karena sekarang tempat ini disewa, jadi sah-sah saja merokok. "Buat saja penerus sesuai jumlah Produce 101 untuk generasi berikutnya. Aku punya kenalan orang dalam."
Yeon Sun langsung menoleh pada Pil Seok dan membagi tatapan mematikan. "Kau ini, kalau bicara sama seperti Sutradara. Ngaco."
Kami semua tertawa lepas.
Lantas Yeon Sun menepuk pahaku dari bawah kolong meja. "Yang penting sering-sering dilakukan supaya hasilnya kelihatan. Minimal dua sampai empat kali dalam seminggu. Tapi berhubung ini masih awal dan mengingat mood kalian yang masih membara, lakukan saja sesering mungkin."
Aku mengatupkan mulut, menahan tawa sekaligus tertohok dengan pembicaraan asing kami.
Sekarang aku tahu, beginilah obralan yang dibahas oleh teman-temanku saat reuni satu tahun lalu. Sepertinya konten ini sudah sangat lumrah dikalangan mereka yang telah menikah.
Hmmm, asik juga.
*****
Ibuku datang berkunjung tanpa pemberitahuan. Beliau datang ketika aku sedang menyiapkan makan malam.
"Mana menantuku yang tampan?"
Aku yang masih berkutat pada segala kegiatan di depan kompor menoleh dan mencibir, "Aku ini anak ibu. Datang-datang malah menanyakan suamiku."
Tidak mau kalah ibuku balas mencemooh dengan ketus. "Hah. Ibu sudah bosan melihat wajahmu yang judes itu."
"Mana ada ibu yang bosan melihat wajah anaknya." Aku tahu ibuku hanya bercanda. Kami memang begini. Aku hanya bisa bicara sembarang pada ibu.
"Kalau bukan judes kau sebut apa? Wajahmu itu seperti macan dicelup semen. Kaku. Beruntung dapat pasangan seperti menantuku yang lembut."
"Sekarang apa? Ibu menghinaku?"
"Bagus kan kalian bisa saling melengkapi. Yang satu galak, satunya lagi tenang."
Secepat itu pula aku berbalik, namun aku tidak bisa marah maupun kecewa dengan jawabannya. "Jeon masih bekerja, dia akan tiba satu jam lagi."
Otomatis air wajahnya berubah keruh.
Sudah jelas ibuku lebih menyukai Jeon ketimbang aku, yang notabenenya anaknya sendiri. Sejak pertama kali Jeon datang berkunjung ke rumah, aku sempat curiga posisiku di hati ibu akan tergantikan oleh Jeon.
Pokoknya saat Jeon datang ke rumah, ibu selalu masak banyak. Ibu akan tertawa baik-baik dan mengibaskan tangannya di depan wajah sambil berkata, "Ah, tidak apa-apa. Kebetulan tadi aku baru masak banyak. Ayo makan bersama." Padahal ibu baru berbelanja cukup banyak dan memesan sebagian menu dari restoran terbaik jika aku bilang Jeon mau datang.
Ayah dan adikku juga sama terpesonanya dengan Jeon ketika lelaki itu menyanggupi segala yang mereka inginkan. Jeon mengajari adikku melukis dan membantu menyelesaikan tugas kuliah. Sedangkan ayahku jatuh hati ketika Jeon bisa menjawab setiap pertanyaan darinya, mulai dari pertanyaan mendasar seputar umur, hingga masalah keuangan. Mereka mudah nyambung karena sama-sama pembisnis.
Jika pada saat itu aku tidak segera menarik Jeon pergi, bisa-bisa mereka terus menyekap dan mengintrogasi Jeon hingga hari pernikahan kami tiba.
"Telepon dan suruh suamimu pulang," katanya lantang.
Aku cuma bisa menghela napas.
Ibuku melotot. "Tunggu apa? Cepat sana telepon. Jam kerja normal sudah berakhir satu jam lalu. Aneh sekali dia belum sampai."
"Ibu," kataku dengan suara memperingati, "Ibu sendiri tahu pekerjaannya sangat banyak. Belum lagi dia punya proyek besar."
Ibu mendesah dan berjalan ke kulkas setelah mengeluarkan beberapa kotak makan plastik dari tas jinjingnya. Terdapat dua kotak kimchi dan aneka masakan rumahan lainnya yang bisa dihangatkan. Semuanya buatan ibuku.
Selagi menyusun semua makanan itu, ibu bergumam rendah. "Padahal ibu merindukannya. Lalu sekarang bagaimana? Sudah ada rencana punya anak belum?" Bicaranya santai namun terdengar mengorek.
Aku yang sedang mencicipi kuah masakan langsung terbatuk hebat. Ibu tampak tidak peduli dengan kondisiku.
"Itu...." jawabku mengambang.
Sejak dua hari yang lalu ibuku selalu membahas topik ini ketika kami berbicara via telepon.
Pusing.
Bagaimana jika orang tuaku tahu kalau faktanya aku dan Jeon tidur di kamar terpisah padahal mereka sudah mewanti-wanti kehadiran cucu pertama. Pastilah sangat sedih. Dan tidak bisa dipungkiri, situasi seperti ini menjadi beban tambahan bagiku mengingat Jeon adalah anak tunggal, sementara aku adalah anak pertama.
Kalau saja membuat anak semudah melahap tepung, gula, dan kuning telur yang dicampur, positif akan kusanggupi tindakan idiot itu.
Aku menarik napas panjang dan berjalan ke rak mencari mangkuk sup. "Usahanya sedang berkembang pesat. Aku belum mau mempeributkan soal anak."
"Apa?" Ibu berbalik secara impulsif. "Bagaimana bisa? Kau yang mengandung, suamimu yang bekerja. Sudah ibu peringatkan cuti dulu menulis naskah. Masalah biaya hidup, suami atau ayahmu bisa mencukupinya. Memang apa lagi yang ditunggu? Tabunganmu sudah banyak. Jangan seperti perempuan yang mengutamakan karir."
Ibu menatapku geram. Sementara aku mencoba mengalihkan diri dengan menyiapkan makan malam. Diam adalah cara terbaik.
Aku bukan lagi anak SMA yang harus melontarkan suara keras saat ibu memarahiku.
"Besok-besok jangan kirimi ibu uang lagi kalau itu masalahnya. Ibu tidak membutuhkan itu. Sebaiknya simpan uangmu untuk investasi anak kalian nanti," kata ibu agak tegas. "Lagi pula sejak pertama kau mengirim uang ke rekening ibu, tidak se-sen pun yang ibu pakai. Ibu membiarkannya karena menghargaimu, dan ibu berpikir akan mengembalikannya kalau kau sudah berumah tangga. Sekarang ibu harus mengembalikannya."
Aku terhenyak. Setiap kata yang dilontarkan ibu membuat tenggorokanku tercekat.
Uang yang kuhasilkan sejak lulus kuliah dan selalu kusisihkan untuk ibu rupanya tidak pernah digunakan.
"Ibu," kataku pelan, takut kebablasan membentak, "ini juga kemauan Jeon. Mungkin dia tidak ingin saat aku hamil dia tidak selalu berada di sampingku."
Ibuku langsung berhenti mengomel seakan sedang berbicara pada pikiran dan batinnya. "Ah, sayang sekali."
Tuh, sudah kubilang. Ibuku selalu mempan jika menyeret nama suamiku.
"Apa pun itu, kalian cepatlah memiliki momongan demi menghidupkan suasana. Lagi pula kalau terlalu lama ditunda tidak akan baik," pungkas ibuku tanpa beban.
"Pokoknya aku dan besan sepakat menginginkan cucu dari kalian secepat mungkin."
*****
"Tadi ibuku datang."
Saat makan malam kuberanikan diri membuka percakapan di sela dentingan sendok. Kulihat kernyitan di dahi Jeon.
"Kenapa tidak menghubungiku?"
Kemudian dia meletakkan sumpit yang tadi sedang dipakainya di samping mangkuk. Dia memberikan atensi sepenuhnya padaku. Tindakannya membuatku kagum, dan seolah membuktikan Jeon memang pendengar yang baik.
Setiap sikap kecil Jeon yang manis selalu bisa mencuri kepingan cinta dalam hatiku.
Aku pun ikut meletakkan sumpit dan menyeka sudut bibirku dengan jempol.
"Ibuku hanya singgah sebentar. Mengantarkan beberapa makanan."
Jeon berdecak pelan. Raut wajahnya seperti sedang menyalahkan dirinya sendiri. "Ada yang ibumu sampaikan?"
Tatapanku tidak bertahan lebih dari dua detik, setelah itu aku kembali mengamati nasi yang baru kuhabiskan lima sendok. Demi menenangkan diri sebentar, kuteguk air di gelas.
Aku sempat menggigit bibirku agak ragu sebelum memberitahunya, "Ibuku ingin kita cepat-cepat...."
Aku benci akan mengatakan ini. Aku benci jika harus mengatakannya sementara kejadian kemarin masih membekas.
Namun pada akhirnya, aku melepas suaraku dengan berat dan rumpang. "Ibuku ingin kita segera memiliki momongan."
Pada detik yang sama Jeon langsung terbatuk. Aku buru-buru menyerahkan minuman dan menurunkan pandangan karena belum sanggup menerima reaksinya.
Tujuh menit berselang, tidak ada tanda-tanda Jeon akan berbicara. Dia terus terpekur. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.
Dia jarang tersenyum, jarang tertawa. Dia tidak pernah bersikap menggoda. Dia tidak pernah memberitahukan perasaanya dengan jelas.
Ekspresinya seolah senantiasa memisahkan eksistensinya dari semua orang dan dari dunia.
Termasuk kepadaku, istri sahnya.
"Tapi sudah kuberi penjelasan kalau kau sedang sibuk dan punya proyek besar," sambungku sebelum dia bicara. "Jangan khawatir. Kau bisa tetap fokus pada segala aktivitasmu. Lagi pula aku juga masih harus berkontribusi terkait skenario film."
Jeon mengangguk samar. Kami kembali makan dengan kondisi hening.
*****
Aku selesai pertama kali dan segera membawa piringku ke wastafel bergabung dengan cucian piring yang lain.
Di sela suara air yang mengucur aku berkata padanya untuk tinggalkan piringnya kalau sudah selesai.
Selagi fokus menyelesaikan tugasku mencuci, pikiranku berkecamuk. Ada beragam masalah yang memenuhi otakku.
"Runa?"
Aku terkejut dan berputar karena nyatanya Jeon masih bertahan di kursi konter tanpa melakukan apa-apa. Kupikir dia sudah kembali ke kamar sejak beberapa menit lalu.
"Kau masih di sana?" tanyaku retorik. Bodoh sekali. "Ada apa?"
Bersama dengan itu, cucian piringku selesai. Aku mendatangi meja dan merapikan piringnya.
"Kau mau?" tanyanya dengan suara rendah dan sedikit dalam.
Mataku menyipit karena merasa bingung. "Mau terhadap apa?"
"Perkataanmu tadi."
Sekali lagi aku berpikir dan baru sadar. "Ah, terkait ucapan ibuku, ya?" Tawaku menguar. "Kau masih memikirkannya? Sudah kubilang untuk sekarang biarkan semuanya mengalir. Jangan paksakan dirimu. Istirahatlah agar besok—"
"Aku ingin."
Neuron-neuron dikepalaku mendadak berhenti bekerja. Aku dibuat bingung.
"Aku ingin," ulangnya.
Apakah Jeon sedang bercanda, karena di wajahnya tidak terlihat senyum ataupun sekedar kedipan mata.
"Maksudmu, kita akan melakukannya sekarang?" tanyaku berhati-hati.
"Bagaimana?"
Aku menarik napas agar tenang. "Jeon, aku mengerti maksudmu, tapi ini terdengar seperti terpaksa."
"Kau keberatan?"
"Bukan begitu." Buru-buru aku menggeleng. "Besok kau harus kembali bekerja dan lembur. Hal-hal seperti ini pasti akan membuatmu lelah dan mengganggu konsentrasi."
"Oleh sebab itu, mari kita buktikan. Aku ingin melakukannya denganmu." Terdapat keseriusan di matanya. "Biarkan aku melakukannya."
Kemudian sebelum sepenuhnya sadar, dia sudah beranjak dari kursi dan berjalan ke hadapanku.
Kami bersitatap. Ekspresi berbahaya menggantikan sikap lembut di wajahnya. Sementara tubuh Jeon malah kelihatan tegang.
Aku tidak cukup sadar ketika Jeon memutar posisi kami bahkan tanpa menyentuhku. Kini aku terkurung di antara besar badannya dan meja.
Lepas dari pakaian kantor dan baju formal, entah bagaimana Jeon tampak lebih besar. Lengan kaus panjangnya ditarik hingga siku. Otot-ototnya yang tercetak di kaus pas badan tidak tersamarkan.
"Kita cari tahu," katanya merdu. "Apa kita sama-sama menikmatinya atau justru sebaliknya."
Aku semakin lemah dengan tatapannya dan tersihir untuk menutup mata ketika Jeon bergerak mendekat. Aku bisa merasakan sentuhannya yang menimbulkan sensasi geli. Dimulai dari tangannya meraba lenganku, lalu naik ke permukaan leherku, dan tepat saat itu juga bibirnya menyetuh bibirku.
Kedua kalinya, kami berciuman.
Kini tanganku mengalung di lehernya.
Perlu kuakui.
Aku. Jatuh cinta. Dengan bibirnya.
Aku memiringkan kepala supaya bisa menerima bibirnya lebih banyak. Bibirnya menghisap bibir atas dan bawahku bergantian. Dalam gerakannya terkandung kesungguhan dan gairah seorang pria.
Makin lama kedua tangannya merambah memegangi pinggulku, lalu mengangkat tubuhku ke atas meja konter dengan gampang sampai-sampai aku merasa beban terberatku terkesan lenyap. Sementara kedua lututku terbuka lebar membiarkan tubuhnya terkunci olehku.
Bisa ujung lidahnya menyingkap bibirku dengan halus. Mendadak aku kehilangan tenaga saat lidah kami saling membelit.
Sungguh, dia bahkan bisa membuatku lemas hanya karena ciuman.
Perlahan-lahan jemarinya turut andil menyusup ke dalam untaian rambutku. Tangannya yang lain mendekapku lebih erat. Membuat kaki-kakiku semakin menjepitnya, merasakan pusat gairah kami saling tekan.
Celah bibirku terbuka perlahan-lahan memberikan Jeon akses masuk. Lidahnya mengacak-acak isi mulutku. Naluriku membiarkan ciuman kami menjadi lebih agresif dan intens.
Dari peraduan bibir ini kami saling berbagi napas. Entahlah, aku merasa Jeon bernapas semakin cepat atau memang aku sudah terengah-engah.
Aku mencengkeram rambutnya, "Jeon...." Tanpa sengaja mendesah.
Aku tidak tahu dorongan darimana menyebut namanya dengan desahan memalukan seperti tadi.
Suara-suara memalukan itu muncul begitu saja tanpa bisa kucegah. Sementara Jeon masih memegang kendali atas diriku.
Dengan kurang ajarnya, tanganku mengacak-acak rambutnya. Meremasnya sekedar menyalurkan hasrat dan merengkuh Jeon lebih ketat.
Dengan rambut kacau balau, presentase angka visualnya meningkat. Dia tampak seksi dan memikat dalam kondisi berantakan.
Oh, Tuhan. Aku merasa seperti wanita murahan.
Bagaimana mungkin... bagaimana mungkin hanya dengan penampilannya sekarang, bagian bawah tubuhku bisa memanas. Rasanya aneh seperti ada arus listrik yang membakar habis seluruh syarafku.
Ketika wajahnya mulai tenggelam di sekitar leherku, kucengkeram kedua otot lengannya yang padat dan berbentuk. Jeon tidak keberatan dengan itu.
Jeon masih melakukan apa pun yang dia mau pada tubuhku sambil tetap memelukku dengan sikap protektif. Sementara ciumannya naik lagi ke bibirku, kembali ke rahang, lalu turun ke leher.
Di sana!
Bibirnya singgah di permukaan arteri karotis hingga merangsang darahku naik ke otak semakin tinggi.
Aku merasakan dia berbeda dari Jeon yang kudekap sepuluh detik lalu. Satu menit dia akan menciumku dengan tergesa, menit berikutnya ia begitu lembut dan berhati-hati.
Namun, aku selalu menerima dan menyukai sifat Jeon yang tidak mudah ditebak.
"Akh!" Tiba-tiba aku memekik saat merasakan gigi dan lidahnya menyengat di kulit leher.
Jeon langsung mengurai pelukan kami. "Maaf."
Aku tidak menyahut.
Mata kelabunya semakin sayu menatap ke dalam mataku, dan tangannya mengusap pipiku penuh perhatian. "Sakit?"
Aku menelan ludah dan menggeleng lemah.
Bohong besar kalau aku tak ingin mengajukan protes. Ya, ya, ya, protes lebih keras maksudnya.
"Boleh kulanjut?"
Aku memandangi Jeon dengan pandangan tidak mengerti. Kenapa bisa-bisanya dia menanyakan itu di situasi seperti ini?
Sebagai jawaban, aku mengusap rahangnya dan menyapukan ciuman hangat ke bibirnya dengan berani.
Setelah yakin dengan responku, Jeon kembali menyerang bibirku tanpa ampun kemudian turun menuju leherku dengan ciuman tak kalah panas dari sebelumnya.
Kepalaku mendongak guna mempermudahnya. Aku mengerang tanpa daya dan dia melanjutkan aksinya memberikan beberapa kali kecupan di leherku yang mulai panas dan basah.
"Aku ingin bercinta denganmu, Runa." Jeon berbisik tepat di bawah telinga kiriku. Suara Jeon terdengar semakin rapuh. Entah hanya perasaanku atau memang begitu faktanya.
Jeon mencium kuat-kuat di satu titik leherku. "Aku menginginkanmu, sungguh." Ia tersengal.
Wajahnya kembali menghadapku, tatapan gugupnya menelisik mataku. "Katakan tidak apa-apa jika aku ingin bercinta denganmu sekarang."
Aku langsung menjangkau bagian belakang rambut Jeon, menciumnya kuat-kuat sehingga kata-kata tidak lagi dibutuhkan. Karena sebenarnya aku terlanjur tidak sanggup mengatakan itu secara jelas. Akhirnya kami hanya kembali berciuman dengan rakus.
Basah. Panas. Menyengat. Hanya itulah yang kurasakan dibalik keinginan agar Jeon menyentuhku lebih banyak.
Aku terangsang. Luar biasa teransang ketika bagian tubuhnya yang lain menekanku. Mencari kenikmatan di antara gesekan tubuh kami. Untuk lebih merasakan itu aku maju beberapa senti lagi. Dan benar saja. Aku merasakannya. Menikmati bagian terliarnya telah bangun. Agak keras dan padat di balik celana Jeon. Sesuatu yang terasa mengganjal di antara pahanya. Semua yang ada pada tubuhnya membuatku hilang akal.
Namun ketika tanganku semakin intensif membelai dadanya, memberikan Jeon usapan-usapan sensual, secara tidak terduga Jeon menarik tubuhnya ke belakang dan memisahkan tubuh kami seakan baru tersentak dari sesuatu yang mengerikan. Seketika itu juga kehampaan turut serta merenggut perasaan surgawi tadi.
Napasnya tersengal bagaikan baru terbangun dari mimpi buruk.
Aku sama kagetnya. Raut wajahnya yang kutemukan detik ini sama seperti hari di mana aku menyentuh pergelangan tangannya.
"Maafkan aku." Jeon berbisik kalut dan tidak berani melihat ke wajahku.
Jeon menunduk menahan keningnya dengan sebelah tangan dan mengusap wajahnya frustrasi.
Berdasarkan alam bawah sadar, tanganku menyingkirkan tangannya dari wajahnya. "Kenapa?"
Aku menahannya bukan karena merasa ingin, bukan karena nafsu atau semacamnya. Tetapi aku butuh penjelasan untuk menambal sedikit rasa kecewa. Sayangnya aku selalu menahan keinginan bertanya.
Mengapa ia sungkan menyentuhku tanpa alasan pasti?
Mengapa Jeon selalu menghindari sentuhan fisik kami?
Lantas apa maksud dari keinginannya mengajakku menikah bila kami sendiri tidak bisa tidur bersama, saling menyentuh, bahkan jarang berbicara?
Lambat-laun semua ini mulai terasa janggal untukku sebagai seorang istri.
Sebenarnya ada apa dengannya?
"Apa maksudmu, Jeon? Tolong bicaralah."
Dalam lingkup jemariku, bisa kurasakan lengannya gemetaran dan mulai ditumbuhi butiran keringat. Napasnya dua kali lebih intens dan memburu.
Tatapannya adalah sebuah perasaan. Setidaknya itulah yang bisa kutangkap sebelum dia menghindari mataku.
"Maaf," bisiknya terdengar begitu kalut.
Tidak. Aku tidak butuh kata maaf. Dan aku belum mampu menerjemahkan secara logis mengenai tatapan serta arti di balik kata maafnya.
Maaf? Maaf untuk apa?
Maaf karena aku tak pantas untuknya?
Maaf karena dia tidak bisa menyentuhku?
Atau maaf karena aku bukan kriterinya untuk disentuh?
"Apa maksudmu dengan maaf?" Aku berkedip dan sedikit menundukkan kepala agar bisa melihat raut wajahnya lebih jelas.
Dia bergeming. Sarat akan kekosongan emosi.
"Jeon?"
"Maaf." Hanya kata tadi yang kutangkap sebelum dia menarik tangannya, lalu mengambil langkah mundur dan berpaling.
Jeon berjalan meninggalkanku yang masih mematung menatap punggungnya.
Di depan sana kulihat Jeon mengulurukan tangannya ke dinding, mencari penyangga agar tidak merosot.
Dari posisi ini terlihat jelas gambaran punggungnya yang begitu rapuh. Bahunya melesak turun bersama kepalanya yang menunduk.
Berselang dua kali tarikan napasku, dia mulai mengambil langkah menuju kamar secara terseok-seok. Setiap langkahnya terlihat berat.
Begitu pun bagiku: terasa menyesakkan dada.
[]
Seterusnya aku akan update 2 kali seminggu. Kalau mood naik aku up 3 kali. Biasanya mood aku di wattpad dari kalian juga. Pembaca aware sama aku, aku bisa lebih peduli sama pembaca. Simple.
Eh, aku ada pertanyaan. Karakter Jeon masuk di kalian ga?
Sejauh ini konfliknya masih aman lah ya.
Semoga sih semua yang ada di sini bisa tersampaikan ke hati kalian.
Thanks yaa yang masih setia di chapter ini 🤗🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top