01| About Him, Me, and Us
Halo ketemu lagi.
Anyway, HAPPY NEW YEAR! 2020! Sending my heartiest new year wish for you all! 🥳
Yep! Di tahun ini tepat tanggal 1 aku bawa cerita baru sesuai janjiku. Semoga suka dan jatuh hati dengan semua yang ada dalam cerita ini.
Jangan lupa bantu share, komen, dan post di instastory kalian yaaa. Aku mau liat antusiasnya. Tag aku di @idybooks
Happy reading!
.
.
Akhirnya aku menikah.
Aku dinikahi Jeon K. Kalinsky tepat di hari ulang tahunku yang ke-27. Sedangkan usia Jeon hampir menginjak 37 tahun. Age gap-nya lumayan jauh. Walaupun begitu, Jeon membebaskanku untuk memanggilnya dengan sebutan oppa atau namanya saja.
Omong-omong, namaku Shin Runa.
Percaya atau tidak, dia melamarku setelah pertemuan kami yang ketiga.
Terkejut? Aku juga. Jeon berani melamarku padahal kami belum kenal lebih dekat.
Bercanda? Jelas tidak.
Lalu kenapa aku menerimanya begitu saja? Hmm, kurasa tidak ada alasan esensial. Sesuai kata hati. Ibuku berpesan jangan abaikan intuisi.
Oh! Tunggu dulu! Aku baru ingat. Ada insiden besar yang mempertemukan kami. Ada kisah lain dibalik hubungan ini.
Um, sebetulnya Jeon itu—
Ah, sudahlah. Kurasa waktunya belum tepat. Mungkin lain waktu kita punya kesempatan yang lebih bagus.
Dan setelah nekat melamarku dengan cara yang tidak biasa, dia juga sering datang berkunjung ke rumah. Aku bisa menangkap arti kesungguhannya.
Alasan lain mengapa aku menerimanya karena sebagai penulis naskah film aku tidak punya banyak waktu menikmati kencan normal. Kurasa alasan ini juga sama terjadi pada Jeon.
Kami memiliki persamaan karakter; workaholic. Persamaan inilah yang membuat kami terasa cocok.
Sebelumnya, aku juga tak tahu kalau Jeon memiliki angka kekayaan yang tidak pernah kuperkirakan. Maksudku, mobil-mobil di garasinya seperti kumpulan babi (hanya sebagai pemanis).
Kolam pemandiannya bagaikan wisata bawah laut. Dia punya simpanan harta tak terduga. Kapasitas rumahnya juga tak tanggung-tanggung. Jeon mungkin bisa menernak puluhan sapi dalam mansionnya tanpa harus mengkhawatirkan lahan. Aku bahkan harus mengahapal denah rumah selama dua hari dan itu masih belum cukup. Terlalu banyak spot yang belum kukunjungi.
Kekayaan bagi Jeon layaknya pakaian; pelengkap badan. Semua mata yang menatap tidak bisa berbohong bahwa Jeon adalah kaum elit.
Wajar. Semua ini pantas Jeon dapatkan setelah aku tahu kisah di balik pengorbanannya.
Di titik ini Jeon dikatakan berhasil berkat menekuni perdangangan multinasional sejak berusia 18 tahun setelah lulus kuliah.
Normalnya, masa kuliah berada di rentang usia 17 atau 18, akan tetapi Jeon lompat satu tahun lebih unggul. Dua tahun berikutnya, dia menyelesaikan studi Matematika dan Ilmu Komputer lalu mulai membangun bisnisnya sendiri. Biarpun temannya berusaha menjodohkannya dengan berbagai wanita, Jeon berhasil menghabiskan sebagian besar usia awal dua puluh tahunnya untuk merampungkan pascasarjana dan disertasi* dengan gelar mendekati sempurna, lalu kembali berfokus pada bisnisnya.
(Tingkat kuliah S2 & S3)
Kini, kerja kerasnya diganjar beragam penghargaan. Hingga saat ini, wartawan mencari namanya bagai Vampir haus darah. Nama Jeon menjadi sesuatu yang menarik minat media massa. Portal berita Asia bukan lagi sandaran bagi namanya. Bisnis dunia adalah panggung tempatnya bermain. Berita mingguan TIME sudah meliris namanya belasan kali.
Pernah beberapa kali aku menemukan namanya menggantung di majalah Fortune atau Forbes dengan judul 'The World's 100's Most Powerful People', 'The World's Billionares List', dan 'The World's Largest Companies 2018' dan itulah tajuk terakhir yang kubaca di awal tahun 2019.
Mungkin tajuk-tajuk yang menyertakan namanya akan terus bertambah seiring tahun dengan merek dagangnya, Jves & Koch.
Jves & Koch.
Perusahaan dengan valuasi dan profit tinggi milik Jeon menghasilkan aneka barang dan kebutuhan hidup. Merangkap mode, fashion, kosmetik, hingga wine dan champagne. Dengan begitu, bisa dikatakan jaringan serta tandingan kompetitornya meluas hingga pasar multi brand Amerika.
Jika disandingkan, Jves & Koch melesat cukup jauh mendekati kompetitor unggulan seperti pesaing di negaranya sendiri, yakni Samsung. Atau lebih luas lagi Nordstrom (Departement store terbesar USA), maupun e-commerce sekelas Amazon. Nilai jual mereknya bahkan diprediksi mencapai US$ 5,8 miliar. Warga Korea menjuluki Jves & Koch sebagai LV versi lokal.
"Namun aku paham jika Direktur Jeon tidak ingin terlalu banyak diliput." Park Jeongmin, sekertaris piawai sekaligus penasihat pribadi Jeon yang telah mengabdi selama tujuh belas tahun mengungkapkan hal tersebut.
"Terkadang memang tidak bisa dipungkiri, jika direktur kesepian." Jeongmin menambahkan dengan nada yang terdengar ramah.
Menyenangkan mendengar suaranya, dan mungkin dia bersikap sangat santun sebab aku adalah istri dari pemimpinnya.
Kami masih berdiri membelakangi kaca besar yang berada di lantai 16 perusahaan Jeon.
Aku melipat kedua tangan di perut seraya memandangi jalanan Myeong-dong di bawah sana. Jalanan cukup ramai, mobil-mobil berseliweran, orang-orang yang berjalan di trotoar tampak seperti miniatur. Pemandangan inilah yang memanjakan mataku sehari-hari. Sudah sangat terbiasa.
Kemudian aku menoleh pada Jeongmin. "Apakah Jeon pernah melakukan one night stand?"
Jeongmin langsung menunduk, menyembunyikan wajah tersipunya di balik senyum, dan kembali menoleh padaku. "Itu adalah urusan pribadi, tapi dari yang saya ketahui selama ini, direktur tidak terlibat aktivitas seperti itu. Direktur berangkat lebih pagi dari para pegawai, dan pulang paling akhir. Di rumah pun masih harus memikirkan gagasan-gagasan untuk proyek berikutnya."
"Tunggu. Kau tidak mengatakan ini karena aku istrinya, bukan?"
"Mengapa Anda terlihat tidak yakin dengan jawaban saya?"
Merasa tak enak hati, aku menggeleng. "Hanya aneh."
"Ya, memang kedengaran aneh," timpal Jeongmin, mungkin juga setuju akan gagasanku.
Aneh rasanya, tanpa kekasih dalam usia matang seperti Jeon tidak melakukan hubungan intim untuk membunuh kepenatan. Banyak dari teman priaku melakukan hal demikian.
"Lagi pula bukankah memang begitu cara para petinggi melepas lelah?" tanyaku lagi, tidak berusaha menuntut.
Jeongmin tertawa renyah. "Sungguh tidak semua melakukannya, Nyonya."
Aku diam menyimak hal lainnya yang ingin Jeongmin sampaikan.
"Direktur memang memiliki harta, kedudukan, dan kekuasaan. Jika mau, direktur bisa menunjuk dan memesan siapa pun wanita komersil yang mungkin dibawanya naik ke ranjang. Tetapi aku belajar sebuah hal penting darinya; Menjadi pria yang tidak gila wanita dan tetap setia."
Hatiku mencelus mendengar jawaban Jeongmin. Karena aku sadar pertanyaanku tadi terdengar seperti tidak memercayai suamiku sendiri.
"Saya punya istri dan dua anak." Jeongmin menambahkan. "Kalau pun pergi bermalam dengan wanita lain, di lubuk hati saya akan timbul semacam perasaan mengganggu dan bersalah. Sementara direktur Jeon lebih nyaman tenggelam bersama ide dan pekerjaan." Jeongmin tertawa. Tawa yang manis dan membuatnya jauh lebih muda dari usia 40 tahun.
Sambil menyesapi cerita Jeongmin, aku mulai memikirkan hal apa saja yang Jeon lakukan selama ini. Dalam konteks tanpa wanita pujaan. Sesibuk apa Jeon, dan membayangkan sosok Jeon yang melakukan penerbangan antar negara hanya untuk melakukan wawancara singkat, bertemu kolega asing, dan Jeon yang bekerja tanpa kenal lelah dari pagi hingga tenggelamnya purnama.
Kini setelah semua perjalanan yang dilalui Jeon, rasanya sangat pantas bagi Jeon jika mendapat setetes kenikmatan hidup. Atau bersenang-senang dengan wanita pramunikmat.
"Dua puluh tahun." Dengan suara samar Jeongmin kembali memberi informasi tambahan.
Kedua tangannya tenggelam di saku celana formal hitam yang dikenakannya. "Dua puluh tahun jelas waktu yang panjang bagi direktur berada di titik ini."
Pandangan mata Jeongmin yang setengah melamun menatap lurus ke kaca yang berembun karena cuaca.
Melihat cara Jeongmin melamun, membuatku menebak jika hubungan Jeon dan Jeongmin seperti saudara kandung yang saling mengasihi, saling tahu kelemahan dan keunggulan masing-masing.
"Meskipun direktur banyak menghabiskan waktu sendirian, entah bagaimana bisa takdir mempertemukannya dengan manusia putus asa seperti saya di tepi jembatan."
Aku menyimak pengakuan Jeongmin tanpa menyela. Sinar mataku menatapnya simpatik.
"Bisa dibilang... Direktur Jeon telah memberikan saya hidup kedua. Direktur menyelamatkan hidup saya yang tidak berguna."
Kudengar suara napas berat dan tawa ringkih Jeongmin yang mengudara. Setelah itu Jeongmin terdiam panjang bagaikan tersedot lubang masa lalu. Suasana yang semula terasa informal mendadak hening.
Dapat kulihat tepi bibir Jeongmin merenggang sedikit ke samping. Tatapan matanya masih terpatri di kaca. "Perjalanan karirnya menjadi hal yang selalu saya pelajari. Itulah mengapa saya selalu mendukung keputusannya dan berharap Direktur Jeon bahagia dalam segala kesempatan."
Opsi paling baik saat ini adalah membiarkan Jeongmin tenggelam dalam kenangan.
Berselang empat detik, Jeongmin mengerjapkan-erjap mata dan menarik napas kaget lalu menoleh padaku. "Ah, maafkan saya terlalu banyak bicara, Nyonya."
Jeongmin menutupi rasa sungkan dengan menundukkan kepala penuh penghormatan.
Aku menarik senyum simpul ke arahnya. "Lega mendengar sekertaris pribadi suamiku mau curhat."
Jeongmin tersenyum malu sambil menggosok tengkuk. Persis seperti anak muda yang ketahuan orang tuanya main di warnet.
Lalu detik berikutnya Jeongmin tersentak seakan baru sadar akan ketelupaannya. "Oh, ya. Anda mau kopi?"
Aku mempertimbangkannya sebentar. "Hm, boleh. Jika kau tidak keberatan."
"Tidak sama sekali, Nyonya." Jeongmin mengulas senyum lebar hingga mata sipitnya sisa segaris.
Terkesan akrab.
Kurasa sikap loyal Jeongmin lah yang membuat Jeon tidak bisa melepaskan pria ini begitu saja.
"Tunggu sebentar di sofa. Atau Nyonya mau tunggu di sana?" Jeongmin mengarahkan kepalanya pada konter santai berisi furnitur dapur.
Aku mengangguk. Jeongmin memanduku berjalan ke salah satu kursi pantri yang tinggi.
"Mohon tunggu sebentar," pintanya menghadap jajaran mesin kopi.
Aku tersenyum membalas. Ketika dia berbalik membelakangi, mataku tertuju pada jam dinding.
Satu jam lebih kami mengobrol. Padahal ini merupakan pertemuan kedua kami, tetapi mengobrol dengan Jeongmin rupanya bisa mengubur waktu.
Mataku berkeliling melihat interior ruang santai petinggi perusahaan, di mana di dalamnya terdapat konter bar dan deretan mesin kopi.
Konsep kantornya ditata sedemikian mewah.
"Nyonya?"
Kepalaku langsung berpaling pada Jeongmin. "Ya?"
"Anda mau kopi jenis apa?"
Di tangannya mengangkat bungkusan besar kopi robusta. "Direktur gemar mencoba berbagai kopi dan selalu memulai hari dengan kafeina, jadi ada banyak persediaan di sini."
Kuletakkan telunjuk di bibir sambil berpikir.
Namun sebelum menjawab, Jeongmin memberi petunjuk lebih cepat. "Ada kopi yang paling suami Anda sukai."
"Oh, ya? Apa itu?"
"Anda."
Mulutku membuka. "Ya?"
Tahu-tahu Jeongmin tertawa redup yang terkesan malu karena gagal melucu.
Namun setelah mengerti, aku pun tertawa.
"Astaga, aku langsung membayangkan menjadi ampas," sahutku ringan.
"Maaf, Nyonya. Saya hanya bercanda. Kafeina favorit direktur namanya kopi luak."
"Luak?"
"Mungkin ini akan terdengar aneh untuk Anda. Tetapi direktur suka sekali kopi dari fermentasi kotoran hewan."
"Kotoran?" Mataku membelalak seketika. Otakku berputar keras.
"Di pulau Sumatera; Indonesia, ada banyak perkebunan kopi dan hewan yang disebut luak atau musang," sambil menjelaskan, Jeongmin menarik sedikit lengan jasnya ke atas dan mulai menyalakan mesin bean to cup. "Kopi ini menjadi kopi termahal dan autentik bagi para penikmatnya di seluruh dunia."
Aku mengangguk mendapat ilmu baru. "Sepertinya warga di sana memanfaatkan sumber daya dengan baik, ya. Bagaimana caranya?"
Leher Jeongmin sedikit menoleh dan tangannya tetap bekerja meracik kopi. "Saat luak makan biji kopi, mereka akan menghasilkan kopi yang utuh karena percernaan luak cuma memproses kulit, dan bijinya dikeluarkan bersama fases."
"Percakapan ini memperluas wawasanku. Terima kasih atas infonya," tandasku dengan jujur.
"Tapi apakah Nyonya pernah dengar tentang Indo?"
"Bagian dari India?"
"Masih memunggungi, Jeongmin berusaha menoleh. "Tidak, bukan. Kedua negara itu berbeda. Indonesia, Bali."
"Ahhh, Bali." Aku bertepuk spontan. "Ya, ya, ya. Aku sering dengar tempat itu."
"Kalau begitu ada banyak tempat di Indonesia selain Bali. Direktur pernah melakukan riset pekerjaan di Indonesia selama enam bulan dan dia mengaku sangat menyukai daratan bagian Selatan. Berhubung aku semakin banyak bicara dan airnya mulai panas, jadi, kopi apa yang ingin Anda minum?"
Aku kembali dibuat tertawa. "Um... oke, aku akan coba itu. Lu... apa?"
"Luak," jawab Jeongmin dengan senyum manis. "Mohon tunggu tiga menit."
Jeongmin sudah berkutat dengan kopiku. Kemudian tatapanku menyapu ke segala penjuru ruangan.
Bayangan Jeon di dalam kepalaku bermain-main. Bayangan tentang bagaimana Jeon yang melepas jas kerjanya, hanya dengan lengan kemeja yang digulung setinggi siku dan beristirahat di sofa; melemparkan kepala di sandaran kursi sembari memejamkan mata menikmati kesunyian.
Bagaimana Jeon berkeliling membaca buku yang tersusun rapi di rak. Bagaimana Jeon yang duduk di konter ini sambil menyesap kopi selagi melepas penat sebelum kembali bekerja.
Meskipun dalam imajinasi, semua begitu menyenangkan dan terasa benar.
Tempat ini terlalu luas jika hanya dalam bayangan, dan ini pertama kalinya aku menginjakan kaki di perusahaan megah milik Jeon. Karena hari ini--saat kami sedang berjalan-jalan menikmati masa liburan pernikahan--Jeon mendapat telepon yang mengharuskannya pergi ke kantor.
Dan di sinilah aku sekarang, ditemani Jeongmin selagi menunggu Jeon selesai dengan urusannya.
Mengobrol lagi ditemani kopi favorit suamiku.
*****
Memasuki hari ke-9 kami resmi menjadi pasangan suami-istri secara hukum, logika, maupun secara fisik.
Umumnya, pasangan yang baru menikah akan berbulan madu. Tapi tidak bagi kami. Honeymoon versi kami berubah menjadi acara yang begitu mewah yang sulit digapai.
Seolah-olah kami tidak ditakdirkan berbulan madu.
Akhirnya acara bulan madu kami persis seperti pasangan berkencan. Alih-alih menguras kocek pergi keluar negeri atau keluar kota, kami tetap melakukannya di Seoul; nonton film, makan, berbelanja, dan melakukan kegiatan yang bisa kami lakukan dengan catatan 'Tanpa Bersentuhan'.
Jeon belum menyentuhku secara posesif.
Fakta!
Bergandengan tangan pun tidak.
Saat berjalan dari tempat satu menuju tempat lainnya, kami melakukan dengan sedikit jarak.
Terlihat seperti teman daripada pasangan suami istri.
Aku tidak keberatan. Selebihnya aku menyukai Jeon karena dia tulus.
Oh, ya. Sejujurnya Jeon masih kelihatan seksi di umurnya sekarang. Ya, walaupun belum pernah melihat Jeon tanpa busana akan tetapi orang-orang bisa menganalisis seberapa kekar otot-otot yang bersembunyi di balik baju dan celananya melalui caranya berjalan dan rasio badan.
Sebagai CEO multiretail internasional, Jeon selalu memperhatikan kesehatan dan kebugaran fisik di tengah-tengah kesibukannya.
Dan seperti yang aku tahu, jiwa bisnis Jeon berasal dari darah Tiongkok ayahnya yang mengalir dalam hidupnya.
Jeon merupakan pria berdarah campuran dari hasil perkawinan wanita berkebangsaan Korea Selatan, Jeon Eun Suh, dan ayahnya yang berasal dari Cina-Rusia, Abraham Kalinsky.
Semakin hari aku justru semakin ingin tahu lebih banyak tentangnya.
Tentang Jeon K. Kalinsky.
Pagi ini aku terbangun ketika mendengar suara ketukan pintu kamar sebanyak dua kali.
"Sudah bangun, Runa?" tanya Jeon dari luar. Dia membuka suara dengan nada yang terdengar halus.
Walaupun begitu, kesadaranku langsung terkumpul mengingat waktu cuti kami tak banyak, dan harus kembali pada realita pekerjaan.
Aku menyibak selimut dan menggeliat, merentangkan tangan leluasa. Secepat itu pula kubukakan pintu untuknya. "Kau butuh sesuatu?"
"Pagi ini sarapan apa?"
Butuh lima detik bagiku berpikir karena belum seutuhnya menyerap nyawa. "Akan kulihat yang ada di kulkas. Kau mandilah dulu."
Dia mengangguk dan bergegas pergi menuruti perintahku. Tadi aku sempat terkejut karena dia menyebut namaku.
Pasalnya setelah resepsi pernikahan berakhir, Jeon tidak pernah lagi menyebut namaku. Jika ingin mendapat atensiku, Jeon akan berbicara seperti ini; "Hei, minggu depan aku akan kembali ke kantor." atau, "Itu... bisa tolong bantu?" atau juga "Anu... lihat barangku?" Dengan suara lembut, merdu, dan sedikit dalam tanpa tekanan.
Aku tidak tahu apa begitulah siasatnya menjadi lebih dekat atau memang Jeon masih sulit menerima keberadaanku.
Hingga kini pun aku masih bertanya-tanya alasan sesungguhnya dia melamarku.
Sebetulnya apa?! Kenapa? Kok, bisa?!
Bahkan awal minggu pernikahan kami terbilang sangat monoton.
Omong-omong, kami tidur di kamar terpisah. Jeon berdalih belum siap dan masih sangat menghormatiku. Sementara aku menghargainya.
Dan ya, kami belum bercinta.
Jeon tidak menuntut kebutuhan biologisnya dipenuhi atau sekedar membicarakan kegiatan seks.
Tidak pernah sekalipun.
Seks menjadi hal tabu dalam rumah tangga ini. Selalu ada batas dalam hubungan kami.
Karena itulah kerap kali aku mengganggap dia mendirikan benteng tak kasat mata.
Sebetulnya hubungan kami yang kurang mendalam tidak ada bedanya dengan istana pasir yang sewaktu-waktu bisa hancur terseret ombak.
Oke, Shin Runa, Jangan mengeluh.
Gelarku sekarang adalah istri.
Sesaat kutarik napas panjang ketika keluar dari kamar mandi sehabis mencuci wajah dan menyambangi dapur sambil menyanggul rambut di atas kepala.
Selagi mengeluarkan bahan masakan dari kulkas aku terus berpikir, andai hari itu tidak pernah terjadi... andai pada malam mengerikan itu aku memilih kabur saja dan tidak menyelamatkan Jeon, mungkin pertemuan kami hanya selesai sampai di sana. Mungkin kisah kami akan lain cerita. Tetapi nyawa Jeon menjadi taruhan.
Jeon diambang batas kematian.
Oke, tunggu dulu, hidup kami tidak semelankolis itu. Ini bukan kisah mengharu biru.
Kemudian aku menoleh pada Jeon yang baru keluar dari kamar mandi.
Hah. Dia selalu saja mandi dengan singkat seolah takut kehilangan waktu berharga.
Kulihat Jeon masih menggosok-gosok kepala bagian belakangnya yang setengah basah dengan handuk kecil.
Batinku bergejolak. Sialan. Seksi sekali.
"Mau dibuatkan makanan ringan atau sedikit berat?" tanyaku mengalihkan pikiran aneh barusan. "Kemarin aku baru belanja. Bahan masakannya masih lengkap."
"Roti saja."
Ringkas dan datar.
Itulah Jeon. Sedikit bicara. Asal dimengerti. Cukup.
Sesaat aku mengangguk lalu menoleh kembali kepadanya. Ternyata dia masih memandangiku. Mata kami bertemu sebelum akhirnya dia beranjak ke kamar.
Tatapannya selalu mengingatkanku pada kilas balik ketika pertama kali kami menempati rumahnya. Pada saat itu selagi aku merapikan rumah, ternyata diam-diam dia memperhatikanku dengan pandangan sulit ditafsirkan.
Mata kelabu warisan ayahnya membuatku terpikat. Keunikan matanya terletak pada bagian tepi berwarna biru sementara bagian tengah kelabu.
Agar lebih jelas, kalian bisa melihat keunikan itu secara langsung.
Oh, ya. Hati-hati, tatapannya berpotensi mengelabui hati wanita. Walaupun aku sangat tahu jika Jeon bukan perayu ulung dan penggoda.
Tetapi kalian tahu apa? Saat tatapannya berada di rumah, ada satu hal janggal. Aku tidak tahu pasti mengapa saat di rumah justru kekosonganlah yang kujumpai dibalik matanya, seperti mengamankan sejuta rahasia.
Hei, ayolah! Jangan mellow. Sebagai penulis naskah drama, aku jagonya merangkai kalimat hiperbola. Cerita kami malahan sangat cocok dicantumkan dalam genre drama-komedi.
Kisah kami tidak sepahit kedengarannya. Percaya deh. Jadi, tenang saja.
Dan biar kuberitahu hal lain yang mengejutkan tentangnya. Jeon ini adalah kolektor Bearbrick. Dia telah berkeliling dunia mencari figur Bearbrick sejak usianya dua puluh tiga tahun. Koleksinya mencapai ratusan, bahkan lelaki itu memiliki ruang privasi untuk mainannya.
Pernah sekali melalui cela pintu, tidak sengaja aku mengintip Jeon sedang mengajak Bearbricknya mengobrol.
Dia sanggup mengobrol dengan koleksinya sepanjang malam.
Lucu sekali, bukan?
Di mataku, Jeon sangat menggemaskan.
Ya ampun. Padahal usianya hampir setengah abad.
Menunggu sup matang, kuceburkan dua lembar roti ke mesin toaster. Begitu selesai, kuoleskan selai kacang di badan roti. Tidak lupa kuracik kopi luak favoritnya.
Lantas napasku mengalun lembut. Kepalaku berpaling cepat ketika mendengar pintu kamarnya terbuka.
Jeon muncul di hadapanku telah rapi menggunakan setelan kerja. Aroma maskulinnya menyeruak memenuhi hidungku. Wanginya begitu segar, perpaduan antara hutan dan sea salt.
Ragu-ragu Jeon mendekat ke arahku. "Itu... aku harus berangkat." Tangannya menggosok tengkuknya.
"Sekarang?" Aku melirik jam digital di samping kulkas.
Masih pukul tujuh pagi.
"Kenapa buru-buru sekali? Lalu makanannya?"
"Maaf." Jeon menjawab singkat. "Kerjaan mendadak."
Bahuku mengendik. "Baiklah. Apa boleh buat. Sepertinya memang sangat penting."
Dia mengangguk samar.
"Hati-hati," ujarku sembari tersenyum cerah. "Pastikan isi perutmu dengan sesuatu sebelum bekerja."
Kudengar dia berdeham dan menjawab 'ya' sebelum bergegas pergi.
Namun menyadari sesuatu yang salah, sontak aku berseru memanggilnya. "Jeon, berbaliklah."
Jeon menurut dan berputar menghadapku. Aku berjalan mendekatinya. "Hari ini adalah hari pertamamu bekerja di kantor setelah menikah."
Ketika aku menyentuh dasinya, aku sadar ada pergerakan kecil yang menunjukkan jika Jeon terkejut.
Jemariku melepaskan simpul tidak sempurna dasinya sebelum mendapat izin.
Jeon mematung, sementara aku berusaha tidak menebak apa yang dia pikirkan tentangku. Untuk sekarang aku cuma tak ingin orang kantornya menganggapku istri tidak becus mengurus suami.
"Berapa usiamu?" Aku tertawa pendek. "Kupikir eksekutif sepertimu tidak akan kesulitan menggunakan dasi."
Jeon berdeham pelan. "Selalu kupasang begini."
"Karena sekarang ada aku, kau tidak bisa lagi menggunakan penataan dasi yang kacau," cibirku. "Lagi pula aku pernah bekerja sebagai asisten desainer, dan kau adalah pendiri brand retail, hal sepele seperti ini takkan kubiarkan terulang. Kau harus membuat segitiga pada kepala dasinya sempurna. Mengerti?"
Jeon membuka mulut, lalu menutupnya lagi setelah bimbang sejenak.
Inilah yang membuatku kesal karena tidak bisa menerjemahkan reaksi Jeon. kebanyakan orang mudah kubaca berdasarkan kelakuan mereka.
Lain halnya dengan Jeon.
Dia rumit dan membingungkan.
"Apa perusahaanmu selalu mewajibkan pakaian formal?" Sepintas kulayangkan pandanganku melihat ke matanya.
"Bebas," jawabnya lirih.
"Maksudmu, mereka boleh bebas berkeliaran di kantor meski telanjang?" godaku.
Aku menangkap senyum kecil di bibir manis Jeon. "Busana nyaman, rapi, dan sopan."
"Ahhhh. Begitu," kataku dengan nada setengah jahil. Selanjutnya aku mengangguk dan kembali melihat ke arah dasinya.
Namun, aku sedang menyadari tatapan paling kuat dari matanya. Aku tidak membalas itu, tapi kurasa dia menjadikanku pusat semestanya.
Deru napas Jeon yang semula normal kusadari semakin memburu. Tubuhnya semakin menegang.
"Musim dingin nanti kau harus memakai kemeja yang lebih tebal." Aku berucap tenang, tanganku tetap bergerak menyimpul dasi. "Akan kubelikan sepulang kerja," kataku memperingati dan mengancingi blazernya.
Selanjutnya Jeon menatapku lurus. Nyaris tidak terbaca. Ia kelihatan gugup tapi masih menarik. Bisa kulihat suasana hatinya sedang bagus.
"Selesai!" seruku gembira dan merapikan bagian depan jasnya lalu menepuk-nepuk kedua pundaknya bersamaan.
Kuamati pundak kanan-kirinya bergantian, lalu mendongak ke wajahnya. "Kira-kira jam berapa kau pulang?"
"Delapan," ucapnya lembut.
Aku menggigit bibir bawahku sembari menganggukan kepala sedikit merenung. "Hm, jam delapan, ya?"
"Kenapa?" Jeon bertanya dengan raut penuh tanya. Kedua alis Jeon berjingit tinggi.
"Cukup malam rupanya."
"Mau aku pulang cepat?"
Otomatis aku terperanjat. "Tidak. Bukan begitu. Tadinya aku harus menghadiri acara sampai jam segitu, tapi sepertinya aku bisa izin." Tentu saja, untuk mengurus suamiku.
"Penting?"
Bola mataku berputar ke atas. "Hm, hanya meninjau ulang naskah. Lagi pula tim sudah sering membahasnya."
Jeon menatapku cemas. "Mau dijemput?"
"Tidak perlu." Sontak aku menjawab lalu menjentikkan jari. "Oke. Jam delapan. Aku akan tiba di rumah sebelum pukul delapan dan memasak makan malam untukmu."
Pada detik berikutnya, tiba-tiba saja tangannya terulur menuju bagian atas kepalaku.
Di atas sana, aku menanti apa yang akan dia lakukan. Sayangnya, setelah menunggu agak lama, aku tak kunjung merasakan apa pun.
Sekitar tujuh detik berlalu Jeon kembali menurunkan tangannya. Ia mengepal seraya menarik napas berat. Sebagai gantinya dia hanya mengangguk dan barbalik pergi.
Jujur, aku kecewa.
Tatapanku mengiringi kepergiannya hingga hilang dari pandangan. Sesaat kemudian terdengar bunyi klik di pintu. Enam menit berselang aku mendengar deru mesin mobil yang baru dinyalakan, dan lambat-laun hilang dari pendengaran.
Setelah kepergiannya kepalaku langsung menunduk seraya tertawa tipis.
Dasar, padahal kalau tadi mau mengusap kepalaku pasti diizinkan.
Walaupun kini usia kami memasuki rentang serius dan sadar bukan lagi masanya bermain-main, tetapi kami hanya butuh waktu agar lebih mengenali kepribadian masing-masing.
Dan sekiranya masih banyak wawasan yang harus kuperluas tentang Jeon sebelum kami beranjak ke tahap yang lebih serius.
Misalnya... umm... tentang anak, mungkin?
Tetapi itu akan lama terjadi, kurasa. Jadi biarkan saja hubungan kami mengalir.
Karena bagiku, Jeon ibarat air, bisa kujangkau namun tak bisa dibawa pulang dengan tangan kosong.
Dan dia... suamiku. Sosok laki-laki yang sulit disentuh.
Begitulah Jeon K. Kalinsky yang belum lama ini kukenal.
Dan untuk terakhir kalinya kuperingatkan.
Ini. Bukan. Cerita. Sedih. Paham?
To be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top