Ocean Love | Oneshoot Story
Sedalamnya lautan,
Yang mengalir tanpa henti mengikuti arus,
Yang tidak akan pernah lekang oleh waktu,
Luasnya samudera yang tidak terbatas,
Kupersembahkan perasaan ini kepadamu.
Kalaupun takdir saat ini tidak berpihak kepada kita,
Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu.
Akan terus kupertahankan,
Sampai takdir itu menyatuhkan kita kembali dimasa depan.
Disuatu pagi yang cerah, semua warga Korea tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Matahari terik menyinari penduduk di Hwansa High School.
Suara air yang mengalir deras terdengar dominan diruangan tersebut. Pemuda itu menenggelamkan wajahnya pada air yang memenuhi westafel. Ia mendongakkan kepalanya sembari menutup kran, kemudian memandang bayangan dirinya yang terlihat buram, dan menyeka cermin itu dengan ujung lengan bajunya.
Tatapan sendu, kelopak mata yang hitam dan lekuk pipi yang terlihat kurus terulas dengan jelas diwajah pemuda itu.
Tiba-tiba segerombolan pemuda memasuki area toilet pria.
"Eits, lihat siapa disana." Ucap salah seorang pemuda dari gerombolan itu.
Gerombolan itu datang mendekati pemuda itu.
"Yah, Han Bin-ah. I'm hungry, give me your money." Lanjut salah seorang dari gerombolan itu yang diketahui bernama Chan.
Iyap. Pemuda yang bernama Han Bin pun terperanjat dengan kehadiran gerombolan pembully itu. Han Bin sering menjadi korban bullyan mereka.
Chan berjalan mendekati Han Bin yang biasa dipanggil Han hanya menunduk dalam ketakutan.
"A..aku tidak punya uang." Jawab Han dengan nada lirih.
"Yah, berikan aku uangmu pabo-ya!" Bentak Chan menarik kuat kerah baju Han.
Salah seorang teman Chan menepuk-nepuk pipi Han dengan remeh.
Dan seorang yang lainnya pun ikut memukul-mukul dan menoyol kepala Han dengan sepele.
"Teman-teman, ambil uangnya." Perintah Chan.
Han hanya bisa pasrah dengan keadaan terjepit sementara teman-teman Chan menggeledah sakunya seperti instruksi Chan.
Gerombolan itu pergi setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, kemudian meninggalkan Han sendiri ditoilet itu.
Uang saku Han Bin kini telah habis direbut oleh para pembully. Ia pun merosot jatuh membayangkan betapa menyedihkan dirinya.
Memang Han Bin tidak bisa melawan karena hanya seorang anak dari penjual ikan dan Chan adalah anak dari pengusaha batubara terkenal di Korea. Tentu jika Han melawan, maka ia bisa saja terkena masalah, apalagi ketika uang telah berbicara.
Han Bin berjalan keluar dari toilet, menyusuri lorong-lorong kelas hingga ia tiba disuatu ruangan. Tiga satu yang artinya kelas dua belas diruangan satu ialah ruang kelas tempatnya menimba ilmu.
Hening tiba-tiba ketika Han memasuki ruang kelasnya, padahal sebelumnya cukup berisik. Pria itu mengambil langkah menuju tempatnya. Ia menemukan mejanya penuh dengan coretan-coretan yang menghinanya. Belum lagi karena ia dianggap anak orang miskin dari penjual ikan sedangkan teman sekelasnya itu dominan dari kalangan berada.
Han hanya bisa diam dan duduk kembali ketempatnya ditambah dengan desas-desus terdengar dari sekitarnya yang terus membicarakannya.
Sebuah gumpalan kertas mendarat ke mejanya, kemudian disambung dengan aksi gumpalan-gumpalan kertas kearah pemuda yang merupakan anak beasiswa disekolah itu. Para warga dikelas itu tertawa puas dengan aksi mereka itu.
Suasana kelas tiba-tiba kembali hening ketika seorang pria tua memasuki ruangan dengan sebuah rotan panjang pada tangannya. Para murid memberi salam hormat seperti biasanya.
"Murid-murid, hari ini kita kedatangan murid baru."
Desas-desus kembali terdengar.
Bbam.
Rotan dipukul pada permukaan meja sanggup menenangkan kebisingan dari kelas itu.
"Hei, tenang semuanya. Silahkan masuk."
Terlihat seorang gadis dengan rambut panjang dan tatapan tajam itu memasuki ruang kelas.
"Silahkan perkenalkan dirimu." Lanjut Pak guru Jang.
"Annyeonghaseyo, jeoneun Kim Hanna-imnida."
"Silahkan duduk dibangku yang kosong."
Gadis itu menunduk pada sang guru, matanya mulai mensortir seluruh ruangan kelas dan matanya tertuju pada bangku kosong dengan seorang pria dengan wajah yang lesuh pada sebelahnya.
Hanna menghampiri bangkunya, meletakkan tasnya dengan pada meja namun secara tak sengaja ia melihat banyaknya coretan pada meja tetangganya itu.
"Cih, dasar bodoh." Gumam gadis itu dengan nada sinis.
"Baik, kita lanjutnya materi minggu lalu." Ucap pria tua didepan sana.
Akhirnya jam istirahat yang dinanti-nantikan pun tiba, para murid-murid Hwansa itu mengantri untuk jatah makan siang mereka.
Han sudah biasa duduk sendirian dimeja tepat ditengah-tengah ruangan kantin itu. Entah apa alasannya tidak ada yang ingin duduk dimeja tengah itu, Han yang tidak memiliki teman memilih untuk duduk sendirian dimeja panjang besar itu.
Komplotan Chan kembali datang menghampiri Han.
"Yah Han Bin-ah, kenapa makan sendirian? Ayo, makan bersama." Chan mengambil tempat sisi kiri Han. Sedangkan teman-teman Chan yang lain mengambil tempat disisi lainnya mengelilingi Han.
"Han Bin-ah, kau harus makan yang banyak. Kenapa hanya makan ini? Sini, aku kasih tambahan. Chan menuangkan cairan berwarna biru itu ke nasi dan lauk Han.
Bagaimana Han bisa membeli makanan yang lain kalau tadi uang sakunya telah diambil oleh Chan. Ia hanya bisa makan makanan yang dijatah dari sekolah.
"Ayo makan."
Han masih terdiam.
"Cepat makan kubilang!"
Han mengambil sesuap dari sendoknya, dengan tangan gemetaran ia pun memasukkan nasi yang bercampur soda itu kedalam mulutnya.
Perasaan campur aduk. Antara sedih dan amarah yang tidak bisa diluapkan. Dengan mata yang berkaca-kaca, dengan berat Han menelan makanan pada mulutnya. Sementara para gerombolan Chan tertawa keras dengan perbuatan mereka.
Jelas tidak ada yang berani ikut campur atau mereka akan mendapat masalah dan diperlakukan seperti Han Bin juga.
"Aish, dasar bodoh. Harusnya kau lawan saja. Pindah sekolah or do something for youself." Batin gadis penyandang marga Kim itu yang sedari tadi melihat atraksi kawanan Chan kepada Han.
Gadis itu membawa nampannya yang sudah terisi makanan dan pergi.
Han Bin yang sudah tidak kuat dengan perlakuan mereka. Pemuda itu mulai beranjak dari kursinya dan kabur.
"Hei, mau kemana kau?! Kejar dia cepat!" Teriak Chan marah.
Han berlari kabur dan bersembunyi menjauh dari teman-teman Chan. Mereka berusaha mencari Han, namun sepertinya mereka kehilangan jejak. Han berhasil kabur dan ia berlari ke arah rooftop sekolah.
Han membuka knop pintu dengan buru-buru berlari keperbatasan. Dirinya melihat kebawah dari ketinggian gedung sekolah.
Han mencoba berdiri ditepian.
"Yah, mwohanya?"
Suara yang sepertinya berasal dari belakang. Han terjengit, apakah ia tertangkap oleh gengnya Chan. Tapi suara itu seperti tidak asing.
"Kau sungguh mengganggu makan siangku." Lanjut suara itu.
Han pun menoleh kearah suara itu berasal.
Yup, murid baru bernama Hanna itu sedang duduk dibangku panjang menikmati makan siangnya dengan sekotak susu disampingnya.
"Ba..bagaimana kau ada disini?" tanya Han dengan suara getar.
"Terserahku. Suasana kantin terlalu ribut. Terutama aku jijik dengan acara anak pecundang dan anak bodoh. Jadi aku kesini." Balas gadis itu dengan nada dingin sambil menyuapkan nasi untuk dirinya.
"A..anak bodoh? Anak pecundang?" Pemuda berumur delapan belas itu kebingungan.
"Yah, anak pecundang ya pria yang membullymu itu. Siapa namanya? Chan yah? Dan teman-temannya itu. Dan anak bodoh, ya dirimu sendiri." Jelas Hanna tanpa rasa bersalah sebelum menghisap susu kotaknya.
Han hanya terdiam mendengar ungkapan Hanna.
"Kenapa kau tidak melawan?" tanya Hanna kembali memecah keheningan.
"Aku tidak bisa." Jawab Han singkat.
"Tidak bisa? Kenapa?"
"Kau tahu sendiri. Sekolah ini dipenuhi oleh murid-murid dengan latar yang berada. Dan aku hanya murid dari seorang penjual ikan yang mendapat beasiswa disini."
"Bila aku melawan, maka aku hanya akan mendapat masalah yang lebih berat." Lanjut Han mengambil posisi duduk disebelah kanan murid baru itu.
"Hoam... Alasan klasik." Hanna sambil menguap.
"Jadi karena itu, kau tadi ingin menyerahkan dirimu? Tidak salah aku menamaimu si bodoh." Ketus Hanna.
Han kembali diam menunduk.
"Kau melakukan itu hanya untuk mengilangkan rasa sakitmu. Percayalah, kau tak perlu melakukan itu. Yang kau butuhkan saat ini ialah seorang teman."
"Kau bisa menjadi temanku kalau kau mau. Kupastikan komplotan pecundang itu tidak akan mengganggumu lagi."
"Lagipula hidupku sudah tidak lama lagi." Hanna menyelesaikan makannya dan meletakkan nampannya disisi kirinya.
Han terkesiap mendengar kalimat terakhir dari gadis itu.
"Tidak lama lagi?"
"Aku mengidap glioblastoma stadium akhir. Kanker otak. Aku akan menjalani beberapa perawatan." Hanna menghela nafas panjang.
"Sejenis kemoterapi dan operasi yang harus aku jalani. Meskipun itu hanya membuatku bertahan sedikit lebih lama, tapi pada akhirnya aku akan mati juga." Lanjut gadis itu.
"Ironis. Seberapa keras aku berusaha bertahan hidup, tapi aku sudah ditakdirkan untuk mati." Hanan tersenyum pasrah.
"Aku akan kehilangan rambut kesayanganku." Gadis itu menyisir surai rambutnya dengan lembut. Ia cukup menyayangi rambutnya.
Glioblastoma itu tumor ganas yang menyerang otak. Ia akan tumbuh dan menyebar dengan cepat.
Mendengar cerita Hanna, Han tiba-tiba berdiri.
"Perkenalkan aku Han Bin. Panggil saja aku Han. Mari berteman."
Hanna tersentak dengan reaksi pemuda itu.
"Alrite, aku Hanna. Sekarang kita berteman." Hanna memberi sebuah senyuman kepada pemuda bermarga Han itu.
Pemuda mengagumi dalam diam gadis ini memiliki sisi cantik ketika tersenyum.
"Omong-omong, I think you need this."
Hanna berdiri dan memberi sebuah pelukan hangat kepada temannya itu. Han hanya diam membeku karena terkejut dengan perbuatan Hanna yang mendadak.
"Kamu hebat bertahan sejauh ini. You're strong and precious. Jalhaeseyo."
Hanna melepas pelukannya, tapi ia melihat sesuatu.
"And.. kau janji tidak akan melakukan itu lagi?" lanjut Hanna menunjuk kepada tangan pemuda itu.
Terlihat goresan bekas luka pada tangan Han.
"Aku berjanji."
Ternyata dibalik dingin perkataan gadis ini, tapi masih menyimpan sisi lembut layaknya seorang wanita. Han merasa getaran aneh pada dadanya. Intinya yang ia tahu, sekarang ia telah memiliki seorang teman.
Entah apa yang terjadi padanya, tapi ia merasa nyaman setelah mendapat sebuah pelukan hangat dari Hanna. Sebuah bahagia yang tidak bisa diungkapkan, merasa dikuatkan dari dalam yang sulit dijelaskan.
Pagi yang sama kembali menyambut, kali ini berbeda karena Han Bin kini telah memiliki seorang sahabat.
Han Bin datang pagi-pagi, ia pun mengambil kain telah ia basahi. Pemuda itu mulai membersihkan coretan-coretan yang ada dimejanya. Perlakuan kecil yang ia lakukan seakan bermakna ingin mengulangi semuanya dari awal bersama teman barunya.
"Ckckck..." Decih Hanna dengan bahu menyandar pada kusen pintu belakang kelas.
Han Bin berkesiap menoleh melihat gadis itu.
"Kau sudah datang?"
"Semangat sekali hari ini. Baguslah, kau harus terlihat segar. Jangan seperti kemarin, kau terlihat seperti mayat hidup."
Hanna berjalan kebangkunya yang bersebelahan dengan Han.
"Kau membersihkannya? Lihat saja apa yang kulakukan bila mereka macam-macam."
"Oiya, dengar baik-baik. Kalau ada terjadi apa-apa nanti, kau harus merekamnya. Harus. Mengerti?" Perintah Hanna dengan telunjuk yang mengarah ke wajah pemuda itu.
Han hanya mengangguk dan menunduk.
Beberapa murid yang tampak baru memasuki kelas, seolah tersenyum remeh ketika melihat kearah Han Bin yang tak lupa dengan desas-desusnya.
Jelas Hanna melihat semua itu.
"Setiap hari kau hidup seperti ini?"
Han hanya terdiam mengiyakan pertanyaan gadis itu.
"Aish, kalau aku jadi kau sudah lenyapkan mereka." Ungkap Hanna kesal.
"Yah Han tolol! Kenapa kau kabur kemarin?! Kau mau mati?!" Bentak Chan menarik kasar rambut Han kebelakang.
"Hei, kau minggir." Seorang teman Chan mendorong Hanna menjauh.
Gadis itu berdiri, amarah mulai menguasai gadis itu.
"Jangan menyentuhku bedebah. Kau mau mati?" Gertak Hanna dengan nada dingin.
Gadis itu menendang meja hingga bergeser jauh dan tentu mengganggu sang ketua pembully itu.
"Apa? Kau pahlawannya?"
Chan melepaskan Han dan berjalan ke mendekati Hanna.
"Hei kau murid baru, jangan ikut campur atau kau akan berakhir seperti dia."
"Omong-omong kau cantik juga, mau jadi pacarku?" Chan menyentuh pipi gadis itu.
Hanna menepis tangan Chan dan memberinya tendangan Dwi Hurigi yang adalah jurus andalannya.
Chan terpental jauh dan jatuh kelantai dengan kuat.
Iyap, Hanna mempelajari bela diri Taekwondo. Tendangan barusan adalah tendangan belakang memutar.
"Chan, kau gawat. Gadis itu...gadis itu ternyata anak dari seorang mafia yang paling ditakuti." Ungkap salah seorang gadis dari kelas itu dengan nada getar setelah membaca sebuah artikel.
"Yah, Han Bin ternyata merekam." Kata salah seorang teman Chan.
"Barangsiapa yang coba menyentuhnya, kupastikan kalian akan mati. Dan kau Chan, aku akan menguploadnya kalau kau mengganggunya lagi atau mungkin karir orang tuanmu." Ancam Hanna sinis.
Chan segera berdiri dibantu oleh teman-temannya dan segera pergi.
"Gwenchannayo Han?"
Pemuda itu mengangguk mengiyakan.
"Kau sendiri?"
"Aku tidak apa-apa. Kau dapat rekamannya? Jalhaeseoyo." Bisik Hanna.
Tidak lama setelah itu, guru masukki ruangan dan mereka pun bubar seakan tidak ada yang terjadi.
Sejak kejadian itu, tidak ada lagi yang berani mengganggu Han lagi.
Seminggu berlalu semenjak Hanna bersekolah di Hwansa High School. Han duduk dibangkunya, menunggu sang pemilik bangku sebelahnya datang. Lima belas menit berlalu sejak Han sampai sekolah. Namun pemilik bangku sebelahnya ink belum terlihat juga batang hidungnya.
Sebuah notifikasi masuk dari ponsel Han, dan pemuda itu segera membukanya.
New massage
Han, aku tidak hadir untuk beberapa hari ini. Aku sedang menjalani kemoterapi. Aku baru saja mengabari pihak sekolah. Sampai bertemu nanti.
Satu bulan terlewati, Han menjalani hari seperti biasa. Sendirian dan menunggu. Namun kali ini dirinya sedikit damai karena tidak ada lagi yang mengganggunya.
Han kini duduk sendirian di rooftop sekolah, tepat dibangku dimana ia mendapatkan teman baru. Sebuah perasaan aneh kembali ia rasakan. Perasaan ingin segera bertemu dengan gadis itu.
Apakah aku sedang merindukannya? Ada apa denganku? Aku rasa tidak mungkin. Aish.
Pertanyaan ini terus terngiang dihati dan pikiran Han.
New massage
|Han, maaf membuatmu menunggu lama. Apa kabarmu baik? Mari bertemu.
|Aku sedang berada dirumah sekarang, tapi sepertinya akam sulit bagiku untuk keluar.
|Bisakah kau menungguku ditaman dekat rumahku? Aku akan menyusulmu disana.
|Hari ini, siang jam tiga sore. See you.
Han terperanjat membaca pesan dari Hanna. Ia melihat jam tangannya menunjuk pukul dua siang. Pemuda itu langsung bergegas mengambil jaket dan pergi ketempat yang dimaksud gadis itu.
Sementara Hanna berusaha menyelinap keluar dari rumah. Jelas ia pasti tidak diperbolehkan keluar karena baru saja menjalani kemoterapi dan diusulkan untuk banyak beristirahat.
Jam menunjuk angka tiga, Hanna telah sampai ditempat yang ia maksud. Ia pun duduk dibangku taman menunggu sang teman datang.
"Hanna-ya."
Hanna menoleh ke sumber suara.
"Kau sudah sampai?" Ucap gadis itu berdiri dengan senyum yang terulas pada wajah Hanna menyambut kehadiran Han.
Grep.
Sebuah pelukan diberikan pemuda itu yang terlalu semangat akan kehadiran Hanna dan sedikit membuah gadis itu terkejut dengan reaksi Han.
"Han.. Gwenchannayo..? Kau.. Menakutiku.."
"Ah. Mianhae." Han segera melepas pelukannya.
Suasana menjadi sedikit canggung.
Wajah pucat, bibir yang kering serta tatapan yang sayu. Han melihat bagaimana kondisi temannya ini.
"Kau.. Pasti kesakitan yaa.. Maaf aku tidak bisa berada disisimu." Pemuda itu mengelus-elus beanie yang dikenakan gadis itu.
"It's okay Han. Doamu saja sudah cukup menguatkanku." Gadis itu kembali memberikan senyuman.
"Rambutku.." Lanjut Hanna terlihat sedih melihat surai rambutnya yang mulai menipis.
Tiba-tiba datanglah sebuah mobil hitam dengan beberapa orang berbaju hitam yang tampak menyeramkan.
Seorang dari mereka mendekati gadis itu.
"Nona, anda harus kembali ke rumah. Tuan sangat marah besar." Ujar seorang yang merupakan anak buah dari ayah Hanna.
"Sampai jumpa lagi Han. Aku harus kembali. Ayahku sudah menunggu." Salam Hanna sambil melambaikan tangannya. Gadis itu pun pergi meninggalkan pemuda itu.
Setelah pertemuannya dengan Hanna kemarin, hari ini Han tampak lebih bersemangat. Ia pulang lebih awal untuk membantu orang tuanya berjualan.
Rumahnya terletak dipasar dekat sekolah yang saat ini Han jalani. Kumuh jelas, berbagai aroma yang melayang-layang diudara menjadi ciri khas pasar tradisional.
Namun ditengah perjalanan, Han melihat dari jauh. Terlihat beberapa pemuda berbaju hitam baru saja pergi setelah mengacaukan lapak orang tua Han.
Pemuda yang masih mengenakan seragam sekolah segera menghampiri orang tuanya.
"Eomma, gwenchannayo? Appa-neun?"
Banyak ikan segar yang berserakkan ditanah.
"Ini semua gara-gara kamu!" Bentak Eomma marah.
"Huh?" Han masih sangat kebingungan.
"Jangan pernah kau berhubungan dengan gadis mafia itu lagi, atau kau pergi dari sini!" Lanjut Eomma yang sudah membludak.
Kalimat terakhir dari eomma cukup membuat Han mengerti siapa yang dimaksud. Appa hanya diam memungut ikan-ikan yang jatuh kelantai sementara eomma masuk kerumah untuk menenangkan diri.
Tuututt..
Halo?|
|Halo.
|Ini Hanna?
Benar. Ini Hanna. Ada apa Han?|
|Kita...
Heum?|
|Kita.. tidak bisa bersama lagi.
Huh?|
Kau bicara apa Han?|
Apa yang terjadi? Kau bisa jelaskan padaku?|
Am I do something wrong?|
|Kita tidak cocok.
|Lebih baik kita tidak berhubungan lagi.
|Terima kasih untuk kenangan kita.
Tut...
Pemuda itu memutuskan panggilan sepihak.
Han?! Han?!|
Hanna berdecih dengan sikap Han yang tiba-tiba seperti itu.
Sesak dan sakit dari kedua pihak jelas terasa. Sepertinya takdir sedang tidak berpihak kepada mereka.
Satu bulan berlalu kembali berlalu. Han masih yang sama menjalani hari sendiri, namun kali ini ia mendengar desas desus sepanjang lorong ia berjalan kearah kelas.
"Kudengar si anak mafia itu sakit keras."
"Benar. Kalau tidak salah dia terkena kanker otak."
"Itu Han bukan? Mereka berteman kan?"
"Apa dia tidak tahu kalau temannya itu sebentar lagi akan menghadap ajal?"
"Kasihan sekali."
Han tidak menghiraukan kabar angin itu. Ia pun duduk dibangkunya seperti biasa. Namun pikiran dan hatinya tidak tenang.
Hingga ia memutuskan untuk menyusul Hanna dirumah sakit. Apapun yang terjadi, setidaknya ia dapat bertemu dengan gadis itu untuk terakhir kalinya.
Han yang baru saja duduk, melihat pemilik bangku yang disebelahnya ini sedang sakit. Dia nekat membolos, langsung beranjak pergi.
Pemuda itu telah sampai dirumah sakit. Han berjalan menuju receptionis.
"Selamat pagi ada yang bisa dibantu?"
"Kamar atas nama Kim Hanna disebelah mana yah?"
"Kim Hanna. Ada dilantai empat ruang empat puluh satu tepat disamping lift."
"Terima kasih."
Han hendak berlari, namun ia melihat seorang pria berpakaian hitam, topi dan masker hitam yang agak mencurigakan. Namun saat itu ia tidak menghiraukannya, yang sekarang ada dipikirannya adalah bertemu dengan Hanna.
Ting...
Bunyi lift berdenting, tandanya sudah sampai dilantai tujuan.
Han melihat dua pria berjas hitam berjaga-jaga didepan pintu kamar Hanna.
Namun dua pria itu tampak mengejar sesuatu dilorong sana. Ini kesempatan bagi Han untuk masuk keruangan sahabatnya itu.
Han memutar knop pintu, membuka pelan daun pintu.
Pemuda itu jelas melihat bagaimana Hanna terbaring lemah diatas kasur. Banyak alat medis yang dihubungkan ketubuh kecil gadis itu. Jelas Hanna sudah tak sadarkan diri.
"Ha.. hanna-ya." Suara getir terdengar jelas di ruangan hening itu.
"Ini Han. Aku datang. Mianhae Hanna-ya." Pemuda itu menggenggam tangan sahabatnya yang terbaring lemah.
Tiba-tiba seseorang masuk keruangan dengan sebuah pistol mengarah pada Hanna.
Pria itu yang Han lihat dilobby tadi.
Doorrr..
Peluru itu mengenai punggung Han yang mencoba melindungi sahabatnya.
"Hanna-ya.. Mungkin ini hal terakhir yang bisa kulakukan untukmu. Terima kasih untuk semuanya. Semoga kita bisa bertemu lagi dikehidupan mendatang. Saranghae."
Pemuda itu memejamkan mata untuk selamanya.
Bulir-bulir kristal membasahi wajah Hanna, sementara Han pergi dibawah dekapan sahabatnya.
Para anak buah mafia itu masuk dan menangkap pria misterius.
Denyut jantung Hanna melemah, dan ia pun menyusul sahabatnya itu.
Ayah Hanna yang adalah seorang mafia terkenal, tentu hidupnya tidak jauh dari ancaman para musuh yang ingin menghancurkannya. Hanna juga menjadi sasaran empuk bagi lawan-lawan ayahnya.
Dua pria yang berjaga didepan pintu kamar Hanna berhasil dilumpuhkan oleh anak buah dari musuh ayah yang adalah pembunuh bayaran.
10 Maret 2020
Toronto, Canada
Seorang pemuda dewasa berjas mewah berjalan menelusuri lorong demi lorong dengan wibawanya yang khas pemimpin.
Pria itu berjalan kearah ruangannya. Ia menghentikan langkahnya tepat di unit sekretaris yang hanya berada didepan ruangannya.
"Samantha, how about preparing for tomorrow's meeting?"
Gadis bernama Samantha itu pun seketika berdiri menyadari kehadiran pemimpinnya.
"Everything was well prepared. Tomorrow's meeting will be chaired by you at 9 AM sir."
"Well. How about the file?"
"I've put it on your table sir."
"Okay. Thanks."
Pria itu memasukki ruangannya. Christ Nelson as CEO begitulah mereka mengukir nama pria itu diatas papan namanya terbentang diatas mejanya. Pemilik perusahaan website terbesar di Kanada kala itu.
Jam sudah menunjuk angka tujuh. Siang telah berganti malam.
Para karyawan telah pulang dijam lima tadi, tapi tidak dengan Samantha yang masih dimeja kerjanya.
Christ keluar dari ruangannya melihat sang sekretaris masih didepan laptopnya.
"Samantha, kau tidak pulang?"
Samantha lantas berdiri karena keberadaan bosnya yang tiba-tiba berada didepannya.
"Eum, sebentar lagi pak. Saya tinggal merapikan dokumen ini."
"Mau kutunggu?"
"Huh?"
"Iyah, kutunggu. Biar kuantar pulang."
"Tidak apa-apa pak. Saya biasa pulang sendiri."
"Ini perintah."
"Uh, baiklah."
Sang sekretaris yang sudah mengabdi disana selama enam tahun hanya bisa diam mengiyakan titah bosnya.
Samantha memilki kebiasaan mengikat rambutnya bila ingin sudah terburu-buru.
Christ melihat bagaimana sekretarisnya menyisir rambutnya dan mengikatnya menjadi satu. Ada sisi pesona yang tersimpan didalamnya.
"Siap."
"Sudah?"
Samantha menyusun dokumen dan berkas-berkas bersiap untuk pulang.
"Ayo pulang." Christ menarik tangan Samantha dengan lembut.
Samantha melihat seperti ada bekas luka dipergelangan tangan Christ. Pria itu melihat reaksi Samantha.
"Ini hanya tanda lahirku. Aku juga memilikinya dipunggungku." Jawab Christ mengelus-elus pergelangan tangannya.
"Baiklah."
"Uh, Samantha. Panggil saja aku Christ." Pria itu tersenyum lembut pada sekretarisnya.
Christ menarik ikat rambut wanita itu. Hingga rambutnya tergerai mengikuti arah angin. Cantik jelas, itulah salah satu kelebihannya sebagai sekretaris Christ.
"Jangan menarik rambutku Christ. Aku sangat menyanyanginya." Ungkap Samantha kesal.
"Mau makan malam?" Christ menatap dalam gadisnya.
Akhirnya takdir kembali mempertemukan mereka sebagai bos dan sekretaris. Biarlah mereka yang mengambil kendali hidup mereka kali ini dan bahagia bersama.
Sekian cerita oneshoot ini selesai. See you on the next story. Paipai.❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top