PART 8
Akhir Februari, 2008
"Mbak Gaya, ayo sarapan dulu! Ini Ibu masak udang asam manis sama ayam kremes," panggil Ibu dari ruang makan.
Kupelototi gadis plin-plan di depanku yang hampir saja tergoda oleh seekor udang dan secuil ayam. "Pasti udangnya digoreng tepung dulu, baru disiram kuah asam manis, terus kremes ayamnya yang gurih kriuk-kriuk dan tentunya Ibu juga menyiapkan lalap pete." Air liurku sudah hampir menetes. Aku menggeleng cepat.
"Awas kalau tergoda!" ancamku sembari menunjuk gadis di cermin.
Sejak insiden cokelat dua minggu lalu, aku membulatkan tekad–oke, terkadang tidak bulat sempurna–untuk berdiet. Aku tidak sudi lagi dijadikan bulan-bulanan anak sekelas. Aku pun tak rela jika terus-terusan menjadi bayang-bayang Rania.
Akhirnya dengan uang di celengan ayamku–setelah kudodos pantatnya, cuma dapat tiga puluh ribu–aku membeli buku panduan "1001 Cara Diet".
Saat membuka bab pertama, mataku langsung membeliak. Sebegitu menderitanya orang ingin membuang lemak. Tak ada satu pun tulisan, yang berkata, "Makanlah sepuasmu, kau akan kurus dengan sendirinya."
Pasti ada saja yang dilarang. Tidak boleh makan inilah, atau harus minum itulah, dan yang paling kubenci adalah kalimat "Imbangi dengan olahraga rutin".
Kuputuskan untuk mencobanya dari bab satu, Diet Berdasar Golongan Darah. Bukan apa-apa, tapi menurutku diet ini yang paling ringan.
Dari buku yang aku baca, golongan darah B masih boleh makan nasi, susu, telur ayam kampung dan daging sapi karena sifatnya netral bagiku. Nah, tapi aku harus menghindari daging ayam, telur puyuh dan udang.
Padahal Ibu hampir tidak pernah masak daging sapi. Sehari-hari cuma ayam, ikan, udang. Udah itu saja muter.
"Mbak, sudah jam segini. Ayo sarapan, terus berangkat sekolah." Ibu mengetuk pintu kamarku.
"Iya, Bu," jawabku seraya mengambil tas selempang, lalu bergegas keluar kamar.
Kulihat Bapak tengah duduk di kursi makan, bersisian dengan Ibu dan Rania. Melihat mereka bertiga, membuat semangatku di pagi hari merosot drastis.
Memang hubunganku dengan Bapak sudah membaik, tapi aku sekarang menjaga jarak dari Bapak. Kalau tidak ada hal penting, aku memilih menghindar. Kalau toh kebetulan kami bertemu di satu tempat, aku memilih diam. Dan semisal ditanya pun, aku hanya menjawab sekadarnya.
Aku tidak marah, sudah tidak lagi. Hanya saja, hatiku terlanjur sakit. Sebagai seorang anak, wajar 'kan kalau mengharap perlindungan dari orang tuanya. Terlebih anak perempuan sepertiku, tentunya menjadikan sosok Bapak sebagai Super Hero-nya. Namun, karena sikap Bapak waktu itu, sedikit banyak mempengaruhi pandanganku padanya.
Seperti pagi ini, berat rasanya untuk melangkahkan kaki dan duduk di kursi makan. Selain ada Bapak dan Rania di sana, juga karena kehadiran udang dan ayam yang dengan riang mengejekku.
"Ndak makan lagi, Mbak?"
Aku menggeleng sambil celingukan mencari susu rendah kaloriku. Susu yang kubeli dari sisa uang tabungan. "Bu, susu Gaya mana?"
"Ibu taruh di dapur biar ndak dirubung semut. Mau Ibu bikinkan?"
"Nggak, Bu. Gaya bikin sendiri," ujarku sambil beranjak ke dapur.
Aku mengambil kotak susu yang diletakkan Ibu di lemari gantung. Heran deh, susu cokelat segini kok harganya mahal banget. Semoga saja badanku bisa selangsing bintang iklan susu ini. Katanya 'Sure You Can Do', awas saja kalau gagal.
Dalam sekali tarikan napas, susu segelas langsung kugelontorkan ke perut. Tidak lupa sebelumnya kuucap doa 'Ya Tuhan, kuruskan hamba, pliiis'. Aamiin.
"Berangkat sama Adek sekalian, Mbak?" tanya Ibu saat aku kembali ke ruang makan.
"Nggak, Bu. Gaya naik bis saja. Lagian masih jam segini," jawabku seraya berpamitan pada Babu.
Mending aku naik bus, berdesak-desakkan pun tak mengapa, timbang semobil dengan Bapak. Dijamin suasana jadi canggung. Yang penting aku tidak naik bus ketek—sebutanku untuk bus dengan kondektur bau ketek—aku tidak mau insiden menjijikkan itu terulang lagi.
Melangkah ke sekolah juga merupakan perjuangan tersendiri. Seandainya aku punya Doraemon, aku ingin memajukan waktu sampai hari kelulusan. Jam sekolah adalah saat yang kubenci, sejak insiden berdarah itu tentu saja.
Aku harus selalu bersembunyi di kamar mandi sampai bel sekolah berbunyi. Setelah masuk kelas pun, kini aku selalu memilih duduk di ujung pojok belakang. Aku menenggelamkan diri dalam tumpukan tas dan buku, demi menghindari anak-anak, terutama Indra dan Rani.
Terlebih Duo Serigala yang semakin menjadi. Ya iyalah, mereka seperti mendapat angin segar setelah aku–dengan terpaksa–meminta maaf pada mereka. Seandainya waktu itu tidak ada Bapak, aku tidak sudi untuk salaman sama mereka. Najis tralala!
"Ga, udah ngerjain PR tata negara?" tanya May begitu aku mendaratkan pantat di kursi kelas.
Aku mengangguk sembari mengambilkan buku tugasku. Tanpa dia bilang pun aku sudah tahu, apalagi kalau bukan menyontek PR-ku.
"Iiih, Gaya baik, deh," ucapnya dengan wajah berbinar.
"Kebiasaan, deh, May. Sekali-kali ngerjain sendiri," tegurku dengan nada bercanda.
"Yaelah, Ga. Kamu, kan, tahu, aku paling ndak seneng sama tata negara. Hapalane buanyak. Besok nek ada PR matematika, gantian tak contoni." May mulai menyalin jawaban ke bukunya.
"May," panggilku pelan.
"Hem? Apaan?" jawabnya tanpa memalingkan muka, May masih asyik menyalin PR.
"Aku tanya boleh?" bisikku seraya mendekatkan diri lagi ke May, hingga tubuh kami berdempelan.
"Apa tho, Ga? Aku masih nulis iki lho."
Aku celingak-celinguk memastikan tak ada orang yang mendengarkan kami. "Aku kelihatan kurus nggak?"
"Kurus? Memange kamu diet, Ga?"
Apa?! Wah, dasar tidak berperikemanusiaan. Aku tanya, bukannya dijawab malah balik nanya. Dan, pertanyaannya sukses bikin aku melongo. Dua minggu, aku mati-matian mengencangkan ikat pinggang, menderita karena menahan lapar, tersiksa demi mengurangi porsi makan. Eh, ini anak–yang ngakunya teman–malah tidak sadar sama sekali. Sungguh terlalu!
***
Mataku melotot sempurna. Mulutku menganga lebar. Hidungku kembang kempis. Naluriku menolak kebenaran hakiki saat jarum sialan ini masih saja bergerak ke kanan.
Jarum ini pasti sedang mengejekku, dia berjalan tanpa henti, membuat jantungku berdetak tak karuan. Tidak mungkin! Untung saja bola mataku masih tahu diri, dia tidak meloncat keluar dari rongganya, saat kulihat kenyataan pahit yang terpampang di depanku.
Dua minggu sudah aku berdiet, tapi kenapa tak ada sedikit pun lemak yang luntur? Beratku masih 89 kilo. De-la-pan-pu-luh-sem-bi-lan!
Aku turun dari benda tak tahu diri ini. Kuangkat lalu kukocok-kocok, mungkin ada yang salah dengan onderdilnya. Timbangan pakai batu baterai tidak, sih?
"Kamu kocok seperti itu juga tidak membuat beratmu turun. Yang ada malah rusak. Taruh lagi timbangannya!" Suara Bu Icha–dokter UKS–mengejutkanku.
Kuletakkan lagi timbangan di lantai sambil menahan malu. Aku cuma bisa nyengir kuda.
"Kamu diet, Ga?" tanya Bu Icha sembari merapikan tumpukan buku di meja kerjanya.
Sejak kakiku terkilir, aku jadi dekat dengan Bu Icha, terlebih sekarang kalau istirahat aku lebih memilih nongkrong di UKS.
"Kok, Ibu, tahu? Saya kurusan, ya, Bu?" tanyaku antusias. Senangnya, aku tidak menyangka kalau Bu Icha menyadari perjuanganku. Aku berdiri di depan Bu Icha sambil memutar-mutar tubuh.
"Kurus?" Bu Icha melihatku beberapa detik. "Tidak," ucapnya singkat lalu kembali berkutat dengan mejanya yang berantakan.
"Yaaah, Bu Icha. Saya pikir sudah kurus." Aku duduk di ujung kasur dengan wajah kutekuk.
"Memangnya kamu diet apa? Badanmu cuma montok, buat apa diet? Nanti malah sakit. Lagipula sebentar lagi kamu ujian, butuh nutrisi untuk tubuh dan otakmu."
"Montok sama gemuk itu saudaraan, Bu. Saya bosan diejek terus sama temen-temen, Bu." Aku mencoba untuk curhat ke Bu Icha. Kan, beliau dokter, pasti tahu cara diet yang baik.
"Gaya-Gaya ... kenapa harus ndengerin omongan orang? Yang penting kamu percaya diri. Lagipula kecantikan wanita tidak hanya dilihat dari fisiknya."
"Iya sih, Bu, tapi ... Gaya pengin kurusan dikit. Biar tambah PD," ujarku, "Bu, diet yang bener itu kaya apa, sih?" tanyaku.
Bu Icha menghentikan aktivitasnya, lalu melihat ke arahku. "Dietmu gimana?"
"Nnng ... saya pake diet golongan darah, Bu. Masih makan nasi, daging sapi, telur sama susu. Cuma nggak makan ayam sama udang."
"Ya sudah, itu bagus. Jangan lupa banyak-banyak makan sayur dan buah. Yang paling penting, olahraga."
Yaelah, olahraga lagi. "Tapi turunnya lama, Bu," gerutuku.
"Ya, bagus. Diet itu, kan, intinya untuk memperbaiki pola makan, biar tubuhmu sehat. Turunnya pelan-pelan saja, kalau drastis nanti berpengaruh ke tubuhmu," ujarnya.
Percuma dong kalau lama. Aku penginnya pas kelulusan bisa pakai kebaya. Biar pada tahu, kalau aku bukan lagi gajah. Kemarin, aku adalah ulat yang sedang makan sebanyak-banyaknya demi mempersiapkan diri menjadi kepompong. Dan, setelah masa dietku, aku akan berubah dari kepompong menjadi kupu-kupu yang indah.
Oleh karena itu, aku harus berusaha lebih keras lagi. Aku harus melawan rasa lapar. Harus!
***
Yihuuuu.....
Part 8, walau masih banyak kekurangan ....
Mohon kritik, saran dan komentarnya yaaa...
Sepahit dan sepedas apa pun, akan kuterima ....
Makasiiih ....
💕💕💕
Ngetag aaah ...
Gen 3 veaaprilia MethaSaja sicuteaabis Tyaswuri JuliaRosyad9 SerAyue Bae-nih xxgyuu Sall_Sunshine NyayuSilviaArnaz holladollam CantikaYukavers YuiKoyuri EnggarMawarni Vannie_Andrie
Bersatu kita teguh, bercerai kita satukan lagiii!!!
Semangat!!!
Solo, 1 Mei 2017
Bryna Mahestri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top