Aku mencoba membuka mata dengan susah payah-berat dan lengket-seakan ada lem super yang merekatkannya. Sosok yang pertama kulihat adalah Ibu. Beliau tengah duduk tertidur di sofa, terlihat lelah sekali. Kepalanya terkulai di sandaran sofa. Rasanya aku ingin membaringkan Ibu di ranjang, supaya tidurnya terasa nyaman.
Seandainya aku bisa memutar waktu, aku ingin mengubah segala kejadian masa lalu, dan mengganti seluruh adegan demi adegan selama duapuluh tujuh tahun kehidupanku.
Kurasakan genggaman di tangan kananku. Kupalingkan wajah, dan kulihat priaku tengah tertidur dengan posisi menelungkup di pinggir brankar. Lagi-lagi aku membuatnya bersedih. Padahal baru-tunggu dulu, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri? Sudah berapa lama kubuat Ibu dan Aa' khawatir? Seharusnya sekarang kami-aku dan Aa'-sedang menikmati masa awal pernikahan, tapi aku malah memberinya penderitaan lagi. Sampai kapan tubuhku lemah?
Air mata yang sedari tadi kutahan, tak dapat terbendung lagi. Semakin menahan tangis, membuat dadaku bertambah nyeri. Bodoh! Aku memang bodoh! Aku menyia-nyiakan hidup hanya demi mengejar obsesi gila, yang membuatku nyaris kehilangan segalanya.
"Gaya ... kamu sudah sadar?"
Aa' melompat dari tidurnya, saat tanpa sengaja kugerakkan jari-jariku yang digenggamnya. Seolah tak yakin dengan apa yang dilihatnya, Aa' mendekatkan wajahnya padaku, menatapku tanpa kedip.
"Alhamdulillah, Ya Allah ... syukurlah akhirnya kamu sadar." Aa' membelai puncak kepalaku, lalu menciumi seluruh wajahku sebelum akhirnya ia menegakkan tubuh guna menekan bel di samping brankar. Namun, karena tak ada seorang pun ahli medis yang datang, Aa' memutuskan untuk memanggil mereka. "Aa' panggil dokter dulu, ya."
Kuremas genggamannya, aku ingin meminta Aa' untuk tetap tinggal, tapi tanganku terasa berat untuk membuka masker oksigenku. Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku takut. Aku takut jika ini hanya mimpi. Aku tidak mau Aa' hilang dari pandanganku. Atau yang terburuk, aku tak kan bisa melihatnya lagi.
"Aa' keluar sebentar, ya," ucapnya sembari mengecup lembut dahiku, kemudian bergegas keluar kamar.
Ya, Tuhan, benarkah Engkau memberiku kesempatan lagi untuk hidup? Benarkah aku masih Kau izinkan untuk berbakti dan mengabdi pada suamiku? Bisakah aku berharap bahwa ini semua bukan mimpi? Saat Ibu yang baru saja terbangun langsung memelukku erat, saat Ibu menciumiku dan mengucap kata sayang berulang kali, saat Aa' kembali ke ruanganku dan kembali menggenggam tanganku erat, apakah ini nyata? Atau hanya sedikit penghiburan dari-Mu sebelum Kau mengambil diriku?
***
"Secara umum, kondisimu sudah mulai stabil, tapi masih kita pantau terus sampai jantung, lambung dan ginjalmu kembali normal," ucap Dokter Hilman-dokter yang menanganiku.
Sudah tiga hari-empat jika dihiting sejak aku pingsan-dan aku masih berbaring tak berdaya dengan berbagai alat menempel di tubuh. Namun, aku dapat merasakan adanya kemajuan dibanding tiga hari lalu. Masker oksigenku sudah diganti dengan selang oksigen, sehingga aku lebih leluasa untuk bergerak. Walau untuk bicara masih terasa sesak, tapi sudah jauh lebih nyaman.
"Nanti bisa kita lepas alat monitor jantungnya, tapi oksigen jangan dilepas dulu."
Aku mengangguk sembari tersenyum pada Aa' yang berdiri di samping brankarku. Dari cerita Ibu, sejak aku ambruk tak sadarkan diri, Aa' tak pernah meninggalkanku. Bahkan demi bisa terus berada di sampingku, Aa' mengusahakan berbagai cara agar ruang VVIP disulap menjadi seperti ICU. Entah berapa biaya yang dikeluarkannya, pastilah tidak murah.
"Bagaimana makannya hari ini?" Entah kepada siapa Dokter Hilman bertanya, karena yang kulihat dia masih asyik menekuri map-aku juga tidak tahu apa isinya-yang dibawanya.
"Tadi pagi istri saya sudah mulai makan nasi lemas, Dok, walau tidak dihabiskan." Aa' yang berinisiatif menjawab.
"Hm ... lambungnya masih terasa sakit?"
Aku menggeleng. "Tidak begitu sakit, Dok, cuma masih sesek napas."
Dokter Hilman menatapku dari balik kacamata minus-nya sambil tetap menundukkan wajah. "Kamu sudah ketemu sama Bu Rosita?"
Aku menggeleng. Sebenarnya sejak dua hari lalu, Dokter Hilman sudah menyuruhku untuk berkonsultasi dengan Bu Rosita. Namun, aku merasa belum bisa berbicara banyak, masih terlalu ngos-ngosan.
"Hubungi beliau secepatnya, karena sakitmu ini berhubungan dengan psikis. Bukan cuma sekedar sakit tukak lambung biasa yang bisa sembuh dengan obat." Dokter Hilman menutup map yang dibawanya lalu menepuk punggung tanganku. "Saya tinggal dulu. Makan teratur, longgarkan pikiran. Jangan terlalu stres, biar kamu cepat sembuh."
Kugerakkan tubuh, mengubah ke posisi miring karena punggungku sudah terasa panas. Namun, nyeri di dada dan ulu hati serta merta menghentikan gerakanku.
Aa' memegangi lengan kiriku, lalu menyangga punggungku dengan guling. "Jangan dipaksakan untuk bergerak, Gaya. Istirahat saja dulu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama Aa'."
Aku memandangi suamiku tanpa kedip.
"Ada apa, Ga?" Aa' berdiri di samping brankar sambil melihatku dengan dahi berkerut.
Aku menggeleng sambil memaksakan seulas senyum. "Nggak apa-apa, A'," ujarku pelan.
Aa' membelai puncak kepalaku. "Ya, sudah, untuk istirahat saja."
"A'," panggilku lirih, "maafin aku, ya."
Kulihat kedua alis Aa' kembali bertaut. "Maaf untuk apa, Ga?"
Kuhela napas panjang, sedikit nyeri, tapi kuabaikan. Aku tidak boleh menyerah dan kalah pada penyakit yang menggerogoti fisikku. Aku harus kuat.
"Aku sudah banyak merepotkan Aa', bahkan," suaraku tercekat di tenggorokan, terhalang oleh isak tangis yang tak bisa kutahan. "Bahkan mungkin nanti aku bakal lebih merepotkan. Tubuhku ... tubuhku ternyata sangat tidak berguna. Seharusnya aku yang melayani Aa', tapi ... tapi malah Aa' yang kedapetan sial seperti ini."
Aa' menarik kursi lalu duduk di samping brankar. Digenggamnya telapak tangan kananku, lalu dikecupinya tiap ruas jariku.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" Aa' menghapus air mataku yang telah merembes hingga pipi.
"Karena aku tidak yakin bisa membahagiakan Aa'. Karena aku bukan tandingan Aa'. Aku cuma jadi beban buat Aa'. Aku-"
"Ga, mau sampai kapan kamu berpikir seperti itu? Sejak awal, Aa' tidak pernah merasa terbebani. Aa' mohon, hilangkan beban pikiran yang tidak berdasar, Ga. Di dalam sebuah pernikahan tidak ada yang namanya direpotkan, tidak ada yang membebani dan dibebani. Pernikahan bukanlah pertandingan menang kalah antara suami istri. Bagi Aa', pernikahan harus memiliki konsep kesetimbangan. Saat istri sedang jatuh, maka suami akan memberi sebagian dari dirinya untuk tetap membuat keadaan menjadi seimbang. Begitu juga sebaliknya.
"Jika suatu saat kita bertukar posisi, apa kamu juga merasa terbebani?"
Aku menggeleng cepat. "Tentu saja enggak, A'."
"Nah, sama. Aa' juga tidak pernah merasa seperti itu. Roda kehidupan selalu berputar, Ga. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, minggu depan atau setahun mendatang. Kita tidak bisa menolak takdir yang telah ditetapkan Sang Pemilik Segalanya. Tidak ada yang mengetahui masa depan kita seperti apa. Yang terpenting, jalani kehidupan sesuai dengan perintah-Nya. Selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah beri."
Syukur. Rasa itulah yang sampai saat ini belum kumiliki. Diriku masih saja merasa kurang. Padahal berbagai kenikmatan telah Tuhan berikan, tapi kenapa aku masih merasa tidak puas?
Astaghfirullah. Ampuni hamba, ya, Allah. Hamba ini makhluk yang tidak tahu berterima kasih. Hamba telah kufur akan nikmat-Mu. Namun, rasa-rasanya sulit untuk menerima kondisiku yang seperti ini. Di saat wanita lain bergembira menyambut hari pernikahannya, aku malah pingsan di atas pelaminan. Di saat para pengantin baru bersuka cita menanti anugerah dari Tuhan berupa keturunan, aku harus berbesar hati menerima kenyataan pahit bahwa ada masalah dalam indung telurku.
Mengingat akan betapa sulitnya bagiku untuk hamil, membuat air mataku kembali berderai tanpa henti. "Maafin Gaya, A'. Maafin ... Gaya yang tidak sempurna ini."
"Ga, tidak ada yang perlu Aa' maafkan dari dirimu. Aa' sendiri juga masih banyak kekurangan, masih banyak hal yang harus Aa' benahi. Kita sebagai suami istri harus saling melengkapi. Jika nanti Aa' berbuat salah, kamu-lah yang harus menegur Aa'. "
Kutatap kedua netra sekelam malam yang tak menampakkan kebohongan. Hanya ketulusan yang kulihat di sana.
"Bimbing Gaya, ya, A'. Tuntun dan ajari biar hidup Gaya lebih baik lagi. Gaya janji, mulai sekarang akan berpikir positif. Gaya akan menjadi istri yang sempurna bagi Aa'."
Aa' mengecup punggung tanganku sembari tersenyum. "Kesempurnaan hanya milik Allah, Ga. Kita hanya bisa berusaha untuk menjadi sempurna. Lagipula buat Aa', kamu yang seperti ini sudah lebih dari cukup. Aa' sudah sangat bersyukur bisa menjadi imam di keluarga kecil kita. Kamu tidak perlu menjadi sempurna, cukup jadi Gayatri Lituhayu yang selalu berada di samping Aa'. Itu saja."
Tidak. Aku tidak mau kalau hanya sekedar cukup. Aku ingin menjadi yang terbaik untuk Aa'. Aku harus jadi sesempurna mungkin agar layak bersanding dengan Aa'. Aku harus membahagiakan Aa'. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk memberikan semua yang dia inginkan. Aku akan menyempurnakan biduk rumah tangga kami.
Tidak akan ada lagi Gayatri, seorang pesakitan pengidap anoreksia. Tidak akan ada lagi Gayatri yang lemah. Gayatri Lituhayu harus kuat dan setegar karang demi membahagiakan Aa'.
Sudah dua kali aku hampir tewas, tapi Tuhan masih membiarkanku hidup. Mungkin ini kesempatan yang Tuhan beri agar aku memperbaiki hidup. Mungkin ini jalan yang Tuhan beri untuk membalas seluruh kebaikan dan cinta kasih-Nya.
Aku telah mendapatkan kebahagiaan. Aku mendapatkan kembali kasih sayang Ibu. Aku pun memperoleh hadiah tak ternilai berupa suami yang sangat sempurna. Lalu apa lagi yang kubutuhkan selain melihat mereka bahagia? Ya. Aku akan melakukan apa pun demi menjadi seorang wanita dan istri yang sempurna bagi seorang Pilar Mahardika. Dan aku akan menjadi ibu bagi anak-anak kami kelak, bagaimana pun caranya.
***************TAMAT*************
Alhamdulillaaaah....
Akhirnya berhasil kuselesaikan kisah Gayatri Lituhayu, gadis korban bullying yang menjadikan kesempurnaan sebagai tujuan hidupnya.
Semoga ada hikmah yang bisa kita petik dari kisah Gayatri. Banyak wanita, remaja bahkan anak-anak di luar sana menjadi korban dari tindak kekerasan baik fisik maupun verbal. Mungkin di antara mereka adalah adik kita, saudara kita, teman kita, anak kita atau bahkan diri kita sendiri. Lalu apakah kita akan diam saja?
Apakah kita akan membiarkan Gayatri-Gayatri lain bermunculan di luar sana?
Oleh karena itu, mulailah dari diri kita sendiri. Jangan sampai kita menjadi pelaku maupun penikmat segala bentuk kekerasan maupun perlakuan tak adil. Lalu bantulah korban dengan memberi dukungan dan motivasi. Karena itulah yang mereka butuhkan.
Terima kasih kepada seluruh pembaca "OBSESSION". Terima kasih atas segala dukungan yang teman-teman berikan. Maaf jika dalam penyampaian ada kata-kata maupun adegan yang kurang berkenan di hati pembaca.
Saya sangat membuka diri atas segala macam kritik dan saran yang membangun.
Akhir kata,
Nantikan EPILOG dari OBSESSION, as soon as possible.
Solo, 26 Agustus 2017
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top