PART 29
"Mbak Gaya, Mbak Airin, jajanannya Rania taruh di atas meja, ya." Rania masuk ke ruang riasku sambil menenteng tumpukan kardus snack.
"He-eh," jawabku sambil membuka mata yang tadinya memejam, saat Mbak Airin—perias pengantin yang meriasku hari ini—memoleskan eye shadow.
"Ibu mana, Dek?" tanyaku sembari kembali memejam, aku tidak mau wajahku jadi coreng-moreng.
"Ibu baru di depan nemuin Mas Candra."
Sontak aku menoleh demi melihat Rania sambil berkerenyit bingung. "Ada masalah sama kateringnya?" tanyaku was-was, sampai lupa kalau aku tengah dirias.
"Enggak, Mbak. Ibu cuma mau mastiin semua udah beres apa belum. Mumpung masih ada waktu tiga jam lagi, jadi kan kalau ada yang kurang masih bisa dibenerin. Eh, Mbak, aku keluar dulu, ya, mau nyiapin beskap untuk Mas Tian."
"Hem," gumamku seraya membetulkan posisi duduk, lalu kembali menyerahkan wajahku untuk dipoles Mbak Airin.
Tak terasa satu tahun sudah berlalu. Bulan-bulan penuh peluh dan air mata akhirnya berhasil kulalui. Perjuangan untuk membenahi pola pikirku hampir 100% berhasil. Kerja keras untuk menaikkan bobotku pun berbuah manis. Walau hingga saat ini beratku masih di angka empatpuluh tiga kilo—masih kurang jika menuju berat ideal—tapi bagiku merupakan kemajuan yang luar biasa.
Sekarang aku sudah tidak lagi mengonsumsi obat-obatan, aku juga sudah bisa kembali memakan makanan seimbang, dan yang paling penting adalah tubuhku sudah tidak lagi menolak nutrisi yang masuk.
Setahun aku berjuang melawan diriku sendiri, membunuh pikiran-pikiran menyesatkan akan arti sebuah kesempurnaan. Aku belajar tentang keikhlasan. Aku mengkaji perihal penerimaan diri. Dari hari ke hari Bu Rosita membimbingku untuk selalu bersyukur atas segala hal yang kumiliki, baik hal positif maupun negatif. Pun tentang kemungkinan terburuk yang harus kuhadapi jika pengobatan indung telurku tak membuahkan hasil.
Benar kata Bu Rosita, dukungan keluarga sangat berperan dalam kemajuanku. Ibu tak pernah lelah memberikan pelukan dan selalu menggandeng tanganku di saat kubutuh seseorang. Hubunganku dengan Rania juga mulai membaik. Sedikit demi sedikit mata hatiku terbuka, ternyata Rania tak seperti yang kubayangkan selama ini. Aku terlalu mendramatisir setiap permasalahan antara diriku dan Rania. Dan tentunya karena aku jarang—tidak pernah—berkomunikasi dengannya.
"Mbak Gaya, kita paes sekarang, ya. Ntar make-up-nya kita lanjutin kalau sanggulnya sudah terpasang."
Aku mengangguk, menuruti semua instruksi yang Mbak Airin berikan. Disuruh mendongak, ya, hayuk. Disuruh pejam, okelah. Disuruh nunduk, juga boleh. Disuruh diem jangan gerak, juga nurut. Yang penting hari ini, di hari bahagiaku, aku terlihat mangklingi.
Ya, hari bahagiaku. Hari di mana aku akan menjadi Nyonya Mahardika. Hari di mana Aa' Pilar mengucap kabul. Hari di mana aku memiliki tanggung jawab dan kewajiban sebagai seorang istri, bukan lagi sebagai anak.
Menikah. Sepenggal kata yang setahun lalu jauh dari anganku, setelah dokter memvonis kondisi indung telurku. Segala kerendahdirianku yang berujung pada penolakan dan pengusiran tak membuat Aa' gentar untuk tetap meminangku. Tak henti-hentinya Aa' selalu meyakinkanku atas kesediaannya menerimaku apa adanya. Bahkan jika kemungkinan terburuknya kami tidak bisa memiliki momongan pun dia tidak mempermasalahkannya.
Hingga kini pun di sudut hatiku terselip rasa tak rela jika harus menyeret lelaki baik itu dalam kumparan hidupku. Rasa bersalah terus menderaku. Berbagai pertanyaan yang diawalai dengan 'bagaimana jika' tak henti-hentinya bercokol dalam benakku.
Bukannya aku tak percaya pada janji yang Aa' ucapkan. Bukan karena itu. Namun, aku tak percaya pada diriku sendiri. Aku tidak yakin bisa berdiri tegak, membusungkan dada jika suatu waktu vonis itu benar-benar jatuh padaku. Aku pernah sekali jatuh pada pusaran keputusasaan yang menyesatkan. Bukan tidak mungkin jika aku kembali terperosok pada lubang yang sama. Walau sejauh ini Ibu, Aa', Rania dan Bu Rosita dengan sabar selalu membimbingku.
"Mbak Airin, maafin Ibu, ya, dari tadi ditinggal wira-wiri." Kulihat Ibu masuk ke ruang rias dengan tergesa-gesa.
"Ndak apa-apa, Bu. Wajar, wong namanya saja yang punya kerja, pasti repot," jawab Mbak Airin sambil memasang tusuk konde yang beratnya membuat kepalaku pusing.
"Apa ada masalah, Bu?" tanyaku sambil sedikit menoleh pada Ibu.
"Ndak ono, semua wes beres. Ini Ibu dandan sisan apa nunggu nanti?"
"Sekarang saja, Bu, sudah jam segini, nanti malah kemrungsung. Ibu biar dibersihin sama asisten saya dulu, sekalian disasak, baru nanti saya yang merias."
"Aaaw!" pekikku saat sebuah tusuk konde mengenai kulit kepala.
"Eh, maaf, Mbak." Mbak Airin mencabut lagi tusuk konde yang baru saja dipasang, membenahi posisi lalu mencobloskannya pelan-pelan. "Masih sakit ndak, Mbak?"
"Sudah enggak, Mbak, tapi kok berat banget, ya? Ini hiasannya apa aja, Mbak? Kepalaku rasanya mau jatuh ke belakang."
"Kalau sanggul jawa memang berat, Mbak, apalagi yang buat nanti malam. Kalau basahan, sanggulnya bukan dari rambut, tapi isinya daun pandan. Terus tusuk kondenya juga lebih banyak. Belum lagi kembang tibo dodo-nya [1] juga berat."
Aku melotot mendengar penjelasan Mbak Airin. "Ya, ampun. Ibu sih minta aku pake adat segala. Coba kalau cuma ijab di rumah, nggak seribet ini pastinya," protesku.
"Lho, Aa' sendiri yang minta buat njalani prosesi adat Solo. Lagian Ibu juga pengin pake adat kumplit. Pas adekmu itu, kan, Ibu sudah njalani adat bubak kawah, jadi ini yo musti pakai tumplak punjen. Sebagai tanda kalau tanggung jawab Ibu sudah selesai. Ibu sudah berhasil mbesarkan kalian, sampai akhirnya kalian ketemu jodoh masing-masing. Kalau acara memang lebih enak di gedung, Mbak, Ibu ndak repot beres-beres rumah."
"Iya, sih, tapi tetep aja berat, Bu. Kepala Gaya jadi pusing." Kupijat pelipis dan tengkukku yang memang terasa berdenyut dan tegang.
Ibu bergegas berdiri demi melihat kondisiku, padahal rambutnya masih awut-awutan karena baru disasak. Dipegangnya dahi dan tanganku, sampai membuat Mbak Airin menghentikan pekerjaannya dan bergeser supaya Ibu punya akses lebih terhadapku.
"Sakitnya gimana, Mbak? Ibu panggilin Aa' ya? Atau kita ke dokter dulu? Atau kamu rebahan dulu saja." Ibu terlihat sangat khawatir. Diambilkannya aku segelas teh hangat dari atas meja.
Aku jadi merasa bersalah sudah membuat Ibu panik, padahal cuma pusing biasa. "Ibu, Gaya nggak apa-apa. Cuma, kan, Gaya nggak pernah pake konde. Jadi rasanya berat."
"Bener kamu ndak apa-apa? Ibu ndak mau kalau kamu sampai ambruk lagi."
"Kenapa, Bu? Mbak Gaya kenapa?" Rania yang baru saja masuk pun langsung mendatangiku.
"Nggak papa, Dek, cuma agak pusing karena pake konde," jawabku cepat.
"Beneran, Mbak? Apa aku panggilin Mas Tian untuk meriksa Mbak Gaya, Bu?"
"Iyo, bener. Coba panggil Nak Tian, Dek."
"Nggak usah, Bu, Dek. Paling sebentar lagi juga ilang pusingnya."
"Iya, Bu. Calon pengantin sudah biasa kalau mendadak pusing, apalagi mendekati jamnya, tambah stress." Mbak Airin menimpali, membuat kepanikan Ibu berkurang.
"Gaya nggak papa, Bu. Dah sana Ibu balik dirias, keburu telat." Aku mendorong pelan lengan Ibu supaya kembali duduk. "Kok kamu nggak dandan, Dek?"
"Ini baru mau dandan, Mbak. Aku kan pakai sanggul modern, jadi lebih simple." Rania berdiri di sampingku sambil membenahi hiasan sanggulku yang agak miring karena kehebohan Ibu tadi.
"Dek," panggilku lirih. Mungkin ini saatnya aku harus kembali membuka diri pada Rania. "Maafin sikap Mbak selama ini, ya. Maaf juga untuk kekacauan yang Mbak lakukan di hari pernikahanmu."
Sulit rasanya bibirku mengucap kata maaf, tapi aku harus melakukannya. Aku baru menyadari betapa repotnya mengurus sebuah acara besar seperti ini, dan kala itu dengan tak berperasaan aku pingsan di tengah pesta Rania.
"Halah, Mbak Gaya ini ngomong apa, tho? Nggak perlu minta maaf, lha wong waktu itu Mbak Gaya memang baru sakit. Lagian yang harusnya minta maaf, kan, Rania. Rania yang udah bikin Mbak Gaya marah, Rania memang nggak pangerten. Rania udah ngelangkahi, Mbak Gaya. Maaf, ya, Mbak."
Aku tersenyum sembari membelai punggung tangan Rania. Dia pun membalas senyumku sebelum menjauh untuk dirias oleh asisten Mbak Airin yang lainnya.
Kuhela napas panjang. Akhirnya aku bisa mengatakannya, rasanya—Aduuuh .... Dadaku tiba-tiba sakit. Kucoba menarik napas panjang lalu kuhembuskan perlahan berkali-kali. Kucoba menekan telapak tangan kiriku tepat di bawah ibu jari, seperti yang dicontohkan terapisku untuk menghilangkan nyeri dada. Aku juga memijit beberapa titik refleksi pada tanganku, agar nyeri yang kurasa segera hilang.
"Mbak, mau pipis dulu ndak? Nanti kalau sudah mulai jaritan, ndak bisa pipis lagi, lho." Ucapan Ibu mengagetkanku. Segera kuhentikan aktivitas pijit-memijit di tanganku. Jangan sampai Ibu tahu, bisa terjadi kehebohan.
Aku setengah memicing saat berjalan ke kamar mandi, rasanya aneh. Mungkin aku masuk angin, kuakui beberapa hari ini pola makanku agak kurang terkontrol, yang jelas tingkat stress bertambah. Semoga bukan penyakit yang serius.
Kurilekskan otot-otot tubuh semampuku, mengingat beratnya sanggul dan lokasi yang tidak memungkinkan, aku hanya bisa melakukan relaksasi pernapasan yang tidak terlalu ribet. Memang nyeri di dada dan ulu hatiku tidak sepenuhnya hilang, tapi sudah jauh berkurang dibanding tadi.
***
"Selamat, ya, Ga. Pokoke langgeng terus sampai kakek nenek, cepat dikasih momongan."
Momongan. Aku selalu meng'amin'i setiap doa yang mereka berikan. Semoga aku masih diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk mengandung, melahirkan, mendidik dan membesarkan seorang anak. Ya, satu saja cukup, kalau pun nantinya Tuhan memberiku jumlah lebih, tentunya sangat kusyukuri.
Kulirik lelaki yang duduk di samping kananku. Lelaki yang telah mengucap kabul terhadap diriku. Lelaki yang tujuh jam lalu, tepatnya pukul 14.00, resmi menyandang status sebagai suamiku. Lelaki yang mulai saat ini menjadi imamku. Lelaki yang akan menanggung dosa-dosaku dan anak-anak kami kelak.
Tanpa sengaja tatapan kami bertemu, Aa' menyunggingkan seulas senyum yang menentramkan hatiku. Tanganku digenggamnya erat. Seketika rasa lega dan syukur memenuhi rongga dadaku. Tak pernah kuberkhayal memperoleh suami sesempurna Aa' Pilar. Oleh karenanya, di saat Aa' mengucap kabul, aku pun mengucap sumpah dalam hati untuk selalu setia dalam mendampingi dan melayaninya. Aku pun berjanji akan melakukan segala hal yang membuatnya bahagia.
"Capek?" bisik Aa' saat antrean tamu yang menyalami kami di atas pelaminan mulai sepi.
Aku mengangguk. "Lumayan, A'. Rasanya sesek, kepalaku pusing keberaten sanggul. Aku kapok," sungutku.
Aa' malah tertawa. "Memangnya kalau tidak kapok, kamu mau menikah lagi?"
Aku memberengut. "Ish, ya, enggaklah, A'. Amit-amit jabang bayi. Tapi beneran sesek ini, A'. Mbak Airin kekencengen yang makein jarit. Mpe rasanya susah untuk napas."
"Kita masuk dulu saja, Ga. Aku tidak mau ada apa-apa sama kamu." Aa' bersiap menggandeng lenganku yang telanjang—aku memakai busana Jawa basahan sehingga kedua lenganku terekspos sempurna.
"Jangan, A'. Masak pengantinnya nggak ada di pelaminan. Kasihan tamu undangan yang dateng, A'. Terus nanti Ibu pasti khawatir banget," tolakku.
"Tapi—"
"Ssst, Aa', Mbak Gaya, hayo jangan ngobrol terus," bisik Ibu.
Kulihat beberapa tamu kembali menaiki pelaminan, aku bergegas berdiri dengan bantuan Aa'. Kalau tahu pakaian basahan dan uborampe-nya bakal seberat ini, aku pasti lebih memilih pakaian modern atau kebaya yang sederhana. Untung Mbak Airin tidak memberiku high heels, hanya selop tipis, sehingga kakiku tidak terlalu pegal.
Mendadak kurasakan tanah yang kupijak amblas, langit-langit berputar-putar layaknya naik komidi putar. Kucengkeram erat tangan tamu undangan yang tengah menyalamiku—entah siapa aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Mbak Gaya ... Mbak?" Suaranya kian menjauh, bergema di gendang telingaku.
Leherku seolah dicekik begitu kuat, membuat napasku terengah-engah, sulit sekali saat menarik dan mengembuskan napas. Setagen yang kupakai pun terasa puluhan kali lebih kencang membengkung perutku. Sakit. Sesak.
"Ga ... ya ... a ... da ... a ... paaaa ...."
Lengan Aa' melingkari bahuku, membantuku mempertahankan keseimbangan. Kulihat raut kecemasan yang sangat pekat di wajahnya, sesaat sebelum tubuhku lunglai tak bertenaga. Lalu semua memburam. Hanya gelap yang melingkupi diriku.
***
Keterangan:
[1] Kembang tibo dodo : bunga hiasan pengantin yang berada di dada.
[2] Bubak kawah: mantu pertama.
[3] Tumplak punjen: mantu terakhir.
***
Part 29 done...
Maafkan kalau terlalu banyak kalimat tidak efektif, kalimat yang berbelit-belit maupun adegan yang tidak berasa feelnya...
Mohon kritikannya, yaaaa....
Btw ... part besok—part 30—adalah ending dari cerita Obsession.
Kira-kira Gaya bakal sembuh atau menyerah dengan kondisi fisiknya?
Nantikan akhir kisah gadis pengidap anoreksia selanjutnya.
Terima kasih....
Solo, 14 Agustus 2017
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top