PART 28
"Mbak Gaya."
Kudengar ketukan pelan di pintu kamarku. Kutarik napas panjang sebelum berdiri dari posisi rebahan untuk membuka kunci pintu kamar. Sudah hampir dua bulan aku keluar dari rumah sakit, tapi aku tetap tidak bisa kembali ke Bandung. Aku masih harus kontrol dan rutin mengikuti program konseling dengan Bu Rosita.
Sebenarnya waktu itu aku sudah ingin sekali kembali ke Bandung, aku merindukan rutinitas kerja di sana. Namun Ibu menahanku dengan alasan pengobatan yang kujalani belum berhasil. Beratku masih jauh di bawah normal, dan terkadang tubuhku menolak makanan yang masuk.
Awalnya aku menolak keras, aku tidak mau terlalu lama meninggalkan pekerjaanku. Cuti tahunanku saja sudah habis untuk pernikahan Rania, belum lagi waktu aku dirawat, dan sekarang harus mengajukan cuti lagi. Memangnya aku yang punya perusahaan apa? Aku tidak mau kalau harus kehilangan pekerjaanku. Tidak.
Namun lagi-lagi sang Dewa Penolong berpihak pada Ibu—siapa lagi kalau bukan Aa' Pilar—dia mengizinkanku mengambil cuti dengan waktu tak terbatas. Lengkap sudah penderitaanku. Tak ada satu orang pun yang berpihak padaku, bahkan May dan Titin juga memaksaku untuk menjalani pengobatan di Solo.
Kata Bu Rosita, dukungan keluarga dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap kesembuhan pasien anoreksia sepertiku ini. Beliau juga setuju jika aku harus tinggal dengan Ibu di Solo.
Kuakui, selama dua bulan—hampir tiga bulan jika dihitung sejak kedatanganku ke Solo—hubunganku dengan Ibu berangsur membaik, tentunya setelah proses penuh emosi yang mesti kami jalani bersama dengan Bu Rosita.
Satu hal yang masih melekat kuat di dalam ingatanku, Ibu meminta maaf atas ketidakpekaannya terhadap kondisiku. Ibu menyesal setelah tanpa sadar berlaku tidak adil padaku. Ibu juga berjanji akan memperbaiki semuanya.
Aku berusaha percaya, tentu dengan bantuan Bu Rosita yang tak pernah lalai untuk menyemangati dan menyugesti alam bawah sadarku agar tak lagi tersesat dalam khayalan dan kekecewaan. Bu Rosita terus-menerus membangkitkan kepercayaan diriku, beliau juga membimbing pikiran negatifku ke arah yang benar.
Aku sendiri pun merasakan perbedaan dalam diriku. Pikiranku yang semula selalu diliputi ketidakpercayaan pada Ibu dan Rania, sekarang mulai berubah. Aku bisa membuka diri pada Ibu. Aku mulai bisa merasakan kehangatan yang telah lama hilang.
Namun hidupku kembali jungkir balik setelah pertemuanku dengan dokter kandungan dua minggu lalu. Rajutan mimpi indah yang perlahan kubangun pun harus kukubur dalam-dalam. Kepercayaan diri yang mulai timbul pun kembali anjlok.
"Ya, Bu?"
"Mbak, itu ada Aa' di depan. Ditemui, ya."
Kupicingkan mata mendengar nama Aa' kembali disebut Ibu. "Nggak, Bu. Bilang aja Gaya baru tidur," ucapku tegas.
"Tapi, Mbak, sudah berkali-kali Aa' ke sini ndak pernah kamu temui. Ayo tho, Nduk, keluar sebentar. Aa' jauh-jauh dari Bandung ke Solo cuma mau ketemu sama kamu," bujuk Ibu.
Aku teringat sesuatu, kubalikkan badan menuju nakas samping tempat tidur, lalu kuambil sebuah amplop cokelat. "Bu, tolong kasihin ke Aa'. Ini surat pengunduran diri Gaya. Mulai sekarang Gaya sama dia udah nggak ada urusan lagi, jadi dia nggak perlu repot-repot ke Solo."
Ibu menghela napas panjang. "Mbak yakin ini yang terbaik?"
Aku mengangguk mantap lalu kututup lagi pintu kamar, setelah Ibu kembali ke ruang tamu. Kusandarkan punggung pada daun pintu. Kumemejam sejenak saat kurasa panas menyengat di kedua mataku. Jangan sampai aku menangis lagi. Karena sebanyak apa pun kubuang air mata tak akan mengubah vonis dokter tentang kondisi rahimku.
Semua salahku. Diet gila-gilaan, olahraga seperti orang kesetanan, sampai mengonsumsi obat-obatan dalam jangka panjang, semuanya berimbas pada kesehatan indung telurku.
"Mbak Gaya, mohon maaf, berdasar hasil observasi dan beberapa tes yang telah kita lakukan selama ini, saya terpaksa harus mengatakan bahwa kondisi indung telur Mbak Gaya sudah tidak berfungsi secara normal."
"Mak-maksud, Dokter?" Bagaikan ditimpa palu godam, siang itu rasa-rasanya aku ingin mati saja.
"Diet yang Mbak lakukan selama ini mengganggu kerja hormon dalam tubuh Mbak Gaya, sehingga berpengaruh pada siklus menstruasi. Seperti yang Mbak Gaya ceritakan, siklus menstruasi Mbak Gaya sangat tidak teratur. Selain itu, stimulan kafein yang Mbak Gaya konsumsi dalam jangka panjang dan dosis besar bisa mengganggu pelepasan sel telur dari indung telur menuju rahim, akibatnya pembuahan tidak dapat terjadi."
"Jadi, maksudnya ... saya ... saya mandul, Dok?"
"Mbak Gaya masih bisa hamil. Hanya saja, maaf, kecil peluangnya. Kita bisa melakukan berbagai macam terapi untuk memulihkan kondisi indung telur Mbak Gaya."
Aku wanita cacat. Aku yakin dokter hanya berusaha menenangkanku saat berkata bahwa aku masih bisa hamil. Dengan kondisi seperti ini, mana mungkin aku membiarkan ada lelaki yang masuk dalam hidupku. Aku tidak segoblok dan sebiadab itu hingga tega menyeret Aa' ke dunia kelamku.
Lamunanku terinterupsi oleh ketukan di pintu. Pasti Ibu belum berhasil menyuruh Aa' pulang. Kubalikkan badan lalu membuka pintu dengan sedikit kesal.
"Ada apa, Bu?" Tubuhku mematung seketika, saat menyadari Aa'-lah yang tengah berdiri di depan pintu kamarku.
Kutelan ludah dengan susah payah demi membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba mengering.
"Kita harus bicara, Gaya." Suaranya tenang, tapi penuh ketegasan. Begitu mengintimidasiku, hingga membuatku merasa tak bisa melarikan diri darinya.
"Saya pikir ... sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Pak." Sial! Suaraku terdengar menyedihkan.
Aa' mengangsurkan secarik amplop yang tadi kutitipkan pada Ibu. "Ini apa?"
"Surat pengunduran diri saya, Pak."
Aa' maju selangkah, dan aku mundur selangkah.
"Kenapa?"
"Karena ... karena saya memutuskan untuk menetap di Solo."
Aa' maju lagi selangkah, membuatku melangkah mundur.
"Kenapa kamu menghindariku?"
"Saya tidak menghindar. Saya ... saya hanya merasa sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Pak."
Aa' maju dua langkah, sekarang dia sudah masuk ke teritori pribadiku. Berada dalam satu ruang dengannya membuat nyaliku ciut.
"Kamu sudah memakai alasan itu. Cari alasan lain yang masuk akal."
Apa sih maunya ini orang? Kuambil napas panjang. "Pak Pilar, seminggu lalu kita sudah membahas semuanya. Dan saya rasa seluruh alasan saya masuk akal."
"Gaya."
"Mohon maaf, Pak, silakan keluar dari kamar saya."
Bukannya segera angkat kaki, pria di depanku ini seolah tak mendengar ucapanku. Dia bahkan melangkah lebih dalam lagi ke kamarku, membuatku terpaksa menyingkir dari hadapannya. Mau bagaimana lagi, dari pada aku ditabraknya.
Pandangan Aa' jatuh pada sebuah pigura foto yang menempel di dinding kamarku. "Ini kamu waktu SMA, Ga?" tanyanya sembari menunjuk foto yang dia maksud.
Aku mengerjap saat mendengar pertanyaannya. Apa aku tidak salah dengar? Dia tanya tentang foto? Kenapa pembicaraan kami bisa melenceng sejauh ini? Walau merasa aneh, aku mengangguk juga. Foto itu diambil saat kami sekeluarga piknik ke telaga Sarangan.
"Kamu cantik. Aku selalu suka senyummu, tapi senyum di foto ini yang paling kusuka."
Aku melongo mendengar perkataannya. Cantik? Wah, ada yang salah sama syarafnya ini orang. Jelas-jelas di foto itu aku gendut sekali.
"Tawamu begitu tulus dan lepas. Tak ada beban sama sekali di wajahmu, Ga." Aa' masih menatap fotoku.
Aku memilih diam. Mau tak mau aku kembali mengingat masa-masa SMA, di saat aku masih begitu naif, semua hal yang kualami kupandang positif. Segala masalah tak pernah kumasukkan ke pikiran. Bahkan aku tak memedulikan bagaimana wujudku yang mengerikan.
"Izinkan aku ...."
Perhatianku kembali terpusat pada pria Sunda yang kini tengah menatapku tanpa kedip.
"Izinkan aku untuk bisa melihat senyum seindah dulu, Ga."
Ya Tuhan, kenapa laki-laki ini tak pernah bosan untuk membujukku? Sampai kapan dan bagaimana lagi caraku untuk menolaknya?
"Pak Pilar, saya mohon ...." Aku beringsut duduk di pinggir ranjang, aku tak yakin kakiku mampu menopang tubuh saat aku harus menolak lamaran pria ini lagi.
"Bapak sudah tahu bagaimana kondisi saya. Kita sudah pernah membahasnya, jadi untuk apa sekarang Bapak mengungkit hal yang jelas-jelas tidak berguna?"
"Jadi ini masih tentang kesehatanmu?" Kudengar ia menghela napas panjang. "Aku tidak pernah mempermasalahkannya, Ga. Bahkan sedari awal kamu memberi tahuku, aku sudah menerima apa pun kondisimu."
"Tapi saya yang nggak bisa, Pak. Saya tidak bisa membiarkan Anda ... kehilangan kesempatan menimang anak. Saya ... saya ini mandul." Aku menunduk dalam, menyembunyikan tetesan air dari kelopak mataku.
"Ga," Aa' berjongkok di depanku, dibawanya kedua tanganku ke dalam genggamannya. "Kamu masih bisa hamil. Kita bisa berusaha bersama-sama. Kalau pun nanti pada akhirnya kita tidak diberi kesempatan untuk memiliki anak, aku tetap menerimamu apa adanya."
Aku menggeleng keras. "Nggak, A'. Aku nggak bisa. Aku nggak sanggup melihat Aa' menderita. Aku nggak mau Aa' ikut merasakan hukuman Tuhan karena ulahku. Biar aku sendiri. Aa' pulanglah ke Bandung, cari perempuan lain yang lebih segalanya dibanding aku." Sakit ternyata saat aku mengucapkan kalimat tersebut, tapi aku tidak boleh egois. Aku ingin Aa' Pilar bahagia.
"Ga, bertahun-tahun aku hidup dan mengenal orang tuaku. Tak pernah sekali pun aku melihat Bunda menderita atau pun tersiksa karena Ayah yang tidak bisa memberikannya keturunan. Bunda tetap menghormati, menyayangi, mengasihi dan mencintai Ayah dengan tulus. Bunda tidak pernah menuntut Ayah, Bunda menerima Ayah apa adanya. Mereka membuktikan padaku, tanpa kehadiran seorang anak, mereka tetap bahagia.
"Apakah kesaksianku kurang cukup membuatmu yakin untuk berumah tangga denganku, Ga? Aku tidak akan menuntut apa pun. Kita jalani kehidupan sesuai yang digariskan Allah. Jika Allah memberi kepercayaan pada kita, itu merupakan hadiah yang Allah beri. Namun, kalau pun tidak, kita bisa membagi cinta kasih kita pada anak-anak yang lebih membutuhkan. Kita bisa mengadopsi anak, Ga.
"Percayalah padaku, Ga, bagilah kesedihan dan bahagiamu padaku. Kita jalan berdampingan. Aku tahu ucapanku terdengar klise, tapi aku sungguh-sungguh menyayangimu, Ga, aku janji akan selalu ada untukmu."
"Tapi, A'," Tangisku yang tak kunjung reda membuat ucapanku tersendat-sendat. "Bukan cuma rahimku, tubuhku pun tidak normal, A'. Jantung, ginjal, paru-paru dan lambungku semuanya bermasalah. Aku ini sumber masalah!" Kutatap mata Aa' dengan penuh kepasrahan.
"Sssttt ...." Aa' menempelkan telunjuknya ke bibirku. "Allah tidak pernah berbuat dzolim terhadap hamba-Nya, Ga, karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Yakinlah, bahwa ada hikmah yang selalu bisa kita petik dari semua permasalahan hidup.
"Kita jalani semua bersama-sama, Ga. Izinkan aku untuk membantu menyembuhkan luka hatimu."
***
Nah, bagaimana jawaban Gaya, ya? Apakah dia mau menerima lamaran Pilar? Atau dia bakal balik ke kebiasaan lamanya?
Mohon maaf kalau update-nya lama dan sedikiiit... Ini sudah berusaha meras otak dan waktu...
Aku nggak bisa janji kapan bakal update lagi, tapi kuusahakan secepatnya....
Makasih untuk vote, koment dan dukungannya...
Selamat membaca.
Solo, 7 Agustus 2017
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top