PART 26
Selamat pagi siang sore maleeeem...
Maafkan aku baru bisa update Obsession part 26, lebaran kemarin bikin diriku keenakan mpe menelantarkan Gayatri...
Ini pun begitu selesai ketik langsung update, belum sempat ngedit...
😭😭😭
Semoga masih ada yang berkenan untuk membacanya...
Mohon kritik, saran dan komentarnya, yaaa, biar bisa jadi masukan buatku...
Kalau ada tambahan vote, wiiih tambah seneeeng...
Selamat membaca...
😘😘😘
***
H-3
"Kita naik sekarang, Ga?"
Aku mengangguk, dengan sigap Aa' memapahku untuk melakukan boarding pass.
Tiga setengah tahun lebih aku tak pernah pulang ke Solo. Entah sudah berubah seperti apa rupa kota kelahiranku kini. Ada rasa rindu, sedih, takut dan marah yang mengikuti tiap langkahku.
"Aa' yakin mau ikut ke Solo?" tanyaku saat ia memasangkan sabuk pengamanku.
"Prioritasku saat ini adalah kamu. Banyak yang bisa kupercaya untuk menangani urusan kantor, tapi tak ada satu pun yang bisa kupercaya untuk mengawasimu. Lagipula, kita sudah membicarakan hal ini ribuan kali. Aku setuju menunda pengobatanmu sampai selesai pernikahan Rania, asalkan aku ikut ke Solo dan selalu memantau kesehatanmu.
"Sudah seminggu ini tubuhmu kembali drop, Ga. Seharusnya kamu balik lagi ke rumah sakit, tapi kamu keras kepala. Aku tidak mau tahu, begitu acara Rania selesai, kita terbang lagi ke Bandung. Kita mulai program rehabilitasimu."
Kupalingkan wajah, kubuang kekesalanku terhadap Aa' dengan menatap langit biru dari balik jendela. Aku tahu, Aa' bersikap seperti ini demi aku, karena dia-katanya-sayang sama aku. Jujur, aku senang dengan perhatiannya, tapi terkadang sikap Aa' terlalu berlebihan. Dia memperlakukanku seperti boneka kaca yang gampang pecah dan tergores. Mungkin karena dia anak tunggal, apa pun yang diperintahkannya harus selalu dilakukan. Memangnya dia apaku? Pacar juga bukan.
Aku tahu ada yang salah dengan diriku. Mereka-para ahli medis yang sok pintar-berkata kalau aku mengidap anoreksia dan bulimia, gangguan makan katanya. Memang pola makanku tidak normal, tapi bukan berarti aku gila, kan? Pakai harus konsultasi ke Psikolog segala. Aku cuma ingin terlihat cantik, aku tidak mau terus-menerus dihina dina. Apa salah?
"Ga," aku menoleh saat Aa' menggenggam jemari kananku, "maaf kalau aku terlalu keras padamu."
Ini, nih, yang bikin aku tambah sebel. Aa' selalu tahu bagaimana melunakkan hatiku. Setiap kali aku dibuatnya kesal, entah dalam hitungan menit dia bisa kembali meluluhlantakkan perasaanku. Gimana aku tidak jengkel coba?
"Hm," gumamku seraya kembali memalingkan muka, pura-pura jual mahal boleh, kan.
Kulirik jam di pergelangan kiriku, sekitar lima belas menit lagi kami akan tiba di Bandara Adi Sumarmo, dan kurang dari sejam lagi aku akan bertemu dengan mereka. Orang-orang yang telah menorehkan luka di hatiku.
Aku tersenyum miring saat lintasan berbagai peristiwa masa lampau berkelebat dalam benakku. Aku si pecundang, akhirnya pulang demi menghadapi kekalahan.
Seandainya tak ada Aa' yang menuntunku, aku tak yakin mampu melangkah menuju taksi. Jika tak ada Aa' yang menggenggam erat tanganku, aku yakin saat ini masih terduduk entah di mana, bisa jadi masih di dalam pesawat atau di bangku bandara.
Kusebutkan sebuah alamat, jalan Kahuripan nomor enam delapan. Rumah berpagar putih, yang dulu kuanggap sebagai rumah terhangat dan ternyaman di muka bumi. Namun, kini tak lagi sama.
Walau pagar itu masih tetap putih, walau bangunan rumahku tak pernah berubah, tapi janur kuning yang melengkung di sana menyadarkanku akan ketidakpedulian seorang ibu dan saudara kandung.
"Kita turun sekarang, Ga? Atau kita bisa berputar-putar dulu, sampai kamu siap?"
Aku menggeleng, "Kita turun saja, A'."
Tenda berwarna putih tengah dipasang di jalan depan rumahku. Beberapa orang berseliweran, sibuk menata dekorasi atau pun merapikan sisa-sisa tuwuhan di gerbang rumah.
Aku masih berdiri mematung di samping taksi hingga Aa' menyentuh lenganku.
"Kita masuk, Ga?" Aa' telah menurunkan semua barang bawaan kami dan meletakkan di pinggir jalan.
Aku mengangguk pelan. Kakiku terasa berat saat melangkah mendekati pintu gerbang. Kuremas lengan kiri Aa'.
"Aku takut, A'," gumamku dengan suara bergetar.
Ya, kuakui, aku takut menghadapi kenyataan yang selama tiga tahun lebih selalu kuhindari. Aku takut akan pandangan sinis mereka. Aku takut kalau lagi-lagi aku mendapat ucapan miring. Dan yang paling kutakuti, penolakan Ibu padaku.
"Aku di sini, Ga, kita hadapi berdua. Ibu sudah tahu kalau hari ini kamu pulang bersamaku."
Kuhentikan langkah tiba-tiba, bagaimana bisa Ibu tahu? Seingatku tidak pernah mengabari beliau.
"Aku yang menelepon Ibu. Aku mendapat telepon rumahmu dari May."
"Seperti dugaanku, May pasti ikut andil dalam konspirasi terselubung ini. Dan tadi Aa' memanggil ibuku dengan sebutan apa? Ibu? Sok akrab sekali."
Bukannya marah, Aa' malah tersenyum, "Aku harus mulai memanggil beliau Ibu, kan? Bukankah tak lama lagi beliau juga akan jadi ibuku juga?"
Kuputar bola mataku, "Jangan mulai, deh, A'. Kenapa Aa' lancang? Bisa-bisanya menel—"
"Mbak Gaya? Beneran Mbak Gaya?"
Suara itu. Suara manja yang dulu sering menggodaku dengan panggilan 'ikan paus'. Suara yang selalu bisa merebut perhatian siapa pun.
Perlahan kumenatap sumber suara yang kini telah berdiri lima langkah di depanku.
Rania.
Hanya dalam hitungan detik, tubuhku sudah berada dalam pelukannya.
"Mbak, Rania kangen ... kangen banget, Mbak. Maafin Rania, Mbak. Maaf ...."
Kurasakan bahuku basah. Benarkah Rania menangis? Benarkah Rania merindukanku? Dia menanti kehadiranku? Kenapa? Bukankah seharusnya Rania tidak suka jika aku datang?
"Mbak Gaya, sakit?" tanyanya sembari mengurai pelukan kami—pelukannya maksudku, karena aku hanya diam mematung.
"Enggak," jawabku singkat.
"Tapi, kenapa jadi kurus sekali seperti ini?"
Kulihat tatapannya beralih pada Aa' yang berdiri di samping kananku.
"Mas Pilar, apa kabar? Tambah keren aja, nih. Ayo masuk, udah ditunggu Ibu dari tadi."
Rania kenal dengan Aa'? Jangan-jangan Aa' juga pernah meneleponnya. Kupasang wajah cemberut, aku harus mencari tahu apa saja yang sudah diperbuat Aa'. Tambah keren? Huh, kaya yang sudah pernah bertemu saja. Atau jangan-jangan ....
"Aku pernah ketemu sama Rania di Jakarta. Maaf, aku belum cerita," bisiknya.
Benar-benar menyebalkan! Untuk apa mereka bertemu? Dasar laki-laki, pantesan dia ngotot ingin ikut ke Solo, pasti karena pengin ketemu Rania lagi.
"Ibu! Mbak Gaya pulang, Bu!"
Setelah tadi Aa' mengaku sudah menelepon Ibu, lalu bertemu Rania, bisa jadi nanti ada berbagai fakta lain yang terungkap. Apa mungkin Aa' tertarik pada Rania? Makanya tadi dia bilang kalau tak lama lagi ibuku akan jadi ibunya. Jangan-jangan ada hubungan antara Aa' dan Rania?
"Mbak Gaya."
Jantungku seolah berhenti berdetak, saat kulihat sesosok wanita yang telah melahirkanku kini tengah berlinang air mata. Ibu berjalan cepat ke arahku.
"Gusti, Nduk cah ayu, ono opo tho karo kowe iki? Anakku ... anakku .... Ibu kangen. Bisa-bisane kamu seperti ini sama Ibu, ndak pernah pulang, jarang ngasih kabar. Ibu kangen, Mbak. Duh Gusti, kenopo awakmu dadi koyo ngene?"
Ibu memelukku erat, memukul punggungku berulang kali. Tidak sakit. Sama sekali tak terasa sakit. Bahkan jika Ibu memukulku lebih keras pun, aku yakin tak akan merasa sakit. Karena yang kurasakan hanya kenyamanan dan kehangatan.
Aku pulang.
***
"Ibu manut, Nak Tian. Kalau harus opname, ya, ayo berangkat sekarang." Ibu meremas tanganku.
Aku mendengkus kesal. Aku baru saja pulang, belum ada dua jam, bahkan sebagian hatiku masih merasa berat untuk mengakui rasa nyaman dan rindu ini. Namun, sekarang mereka sudah dengan seenaknya menghakimiku, memaksakan kehendak secara sepihak.
"Bu, Gaya ini sehat. Nggak ada masalah sama tubuh Gaya. Ibu nggak usah segitu khawatirnya."
"Sehat piye, tho, Mbak? Coba kamu lihat tubuhmu, kurus kering seperti ini. Nak Pilar juga bilang di telepon, kalau kondisimu ndak sehat. Terus baru saja Nak Tian yang memeriksamu juga bilang kalau fisikmu lemah. Sehat piye? Wes, pokokmen kamu mesti manut sama Ibu."
"Bu, Gaya ini pulang bukan untuk diceramahi. Gaya sehat. Titik. Tujuan Gaya ke Solo itu untuk datang ke nikahan Rania, bukannya opname di rumah sakit." Kutarik tanganku dari genggaman Ibu.
"Sebelumnya maaf, Mbak, tapi kondisi fisik Mbak Gaya saat ini sangat lemah. Saya tidak bermaksud lancang, tapi Mbak harus mendapat penanganan medis secepatnya."
Kutatap Tian—calon iparku—yang duduk tepat di depanku. Sejam lalu Ibu meneleponnya—menyingkirkan segala adat Jawa yang seharusnya memingit Rania dan tidak mempertemukannya dengan Tian sebelum hari H—hanya untuk memeriksa keadaanku.
"Tidak. Aku tetap tidak mau ke rumah sakit, apalagi harus rawat inap." Aku memandang Aa', mencari dukungan darinya.
Kulihat lelaki Sunda itu mengambil napas panjang, sebelum akhirnya dia buka suara.
"Sebelum kami kemari, dokter di Bandung sudah menyarankan Gaya untuk menjalani perawatan, tapi Gaya memaksa untuk tetap pulang ke Solo. Saya juga setuju jika secepatnya kita mengobati Gaya, semakin—"
"A'! Bukankah kita sudah sepakat untuk menunda pengobatan sampai pernikahan Rania selesai? Aku sudah bersusah payah mempersiapkan semuanya, lalu dengan gampangnya kalian bilang aku tidak bisa hadir. Kalau tahu bakal seperti ini, mending aku nggak pulang!"
"Tapi, Mbak ...."
"Enggak, Bu, Gaya tetap nggak mau ke rumah sakit sampai acaranya Rania selesai. Kalau kalian tetap memaksaku, maka sekarang juga aku akan balik ke Bandung."
Berbulan-bulan aku berusaha mempercantik diri, aku diet, aku membuat tubuhku nyaris sempurna demi pernikahan Rania. Aku ingin terlihat kuat, tegar, dan cantik. Aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa pernikahan Rania tak berpengaruh padaku. Kalau aku menyerah dan menuruti kemauan mereka untuk rawat inap, pasti orang-orang memandang rendah padaku. Mereka akan berpikir kalau aku jadi sakit-sakitan karena dilangkahi adik kandungku sendiri.
Tidak akan pernah seperti itu. Rania boleh mengalahkanku dengan menikah lebih dulu, tapi kupastikan aku bisa menarik perhatian mereka.
Sebuah kebaya indah berwarna salem telah kusiapkan. Aku yakin, tak ada satu pun orang yang memakai pakaian seindah milikku. Aku akan menjadi ratu di pernikahan adikku.
***
Kuremas dada kiriku yang kembali terasa nyeri. Sedari kemarin seperti ini terus, padahal aku sudah minum pereda nyeri, semalam pun aku minum obat tidur supaya bisa istirahat. Namun, kenapa pagi ini masih terasa sakit? Bahkan lebih menusuk dibanding sebelumnya.
Kuingat-ingat kembali apa yang terjadi padaku kemarin. Apa aku salah makan atau kecapekan? Sepertinya tidak.
Seluruh acara sudah ditangani oleh para panitia berdasar tugas masing-masing. Dan jika aku harus terlibat, selalu ada Aa' yang mengawal. Makanan pun kami pesan dari katering, dan kuamati tidak ada yang keracunan. Lagipula sedari kemarin lusa perutku tidak kemasukan makanan berat, hanya air putih. Memang Ibu dan Aa' selalu memaksaku untuk makan, tapi perutku menolak. Aku selalu memuntahkan kembali apa yang kutelan, semuanya. Mungkin karena aku tegang.
Terlebih di saat acara pengajian kemarin yang menguras air mataku, Rania bersimpuh di kakiku, memohon izin serta keikhlasanku untuk membiarkannya menikah terlebih dahulu. Sekuat apa pun kumenahan tangis, tanggulku tetap saja jebol.
Adik kecilku yang selalu manja, yang sedari dia lahir telah kugendong, kini bersiap untuk dipersunting lelaki pilihannya. Sebagian hatiku merasa bangga, Rania mendapatkan calon suami sebaik Tian. Namun, keirian dan rasa tak ingin kalah tetap bercokol di bagian yang lain.
Mungkin karena itulah tenagaku terkuras habis. Biasanya dengan minum kafein, tubuhku kembali terasa bugar, tapi kali ini lain. Aku merasa ada yang tidak beres, terlebih napasku pun terasa lebih berat. Walau sudah kulonggarkan longtorso yang kupakai, tapi masih saja terasa sesak.
Kulirik jam dinding, dua puluh menit lagi ijab kabul akan dimulai, aku harus segera keluar kalau tidak mau tertinggal. Kutarik napas panjang, nyeri langsung menusuk dadaku lagi. Aku harus kuat, aku harus bisa melawan rasa sakit ini. Kuseka keringat yang menetes dari dahi, mengoleskan lipstik tipis-tipis, lalu menyapukan bedak padat di dahi. Kupastikan sekali lagi penampilanku di cermin, cantik, anggun, dan langsing.
Ibu masuk ke kamarku tepat saat aku membuka pintu.
"Sudah siap, Mbak? Beneran kamu ndak mau didandani perias? Mumpung periasnya masih ndandani Rania." Ibu membelai kedua pipiku, "Apa kamu sakit, Mbak? Bawah matamu cekung sekali, kamu juga kelihatan pucet. Kalau ndak enak badan, mending untuk istirahat dulu. Tiduran di kamar saja."
Aku menggeleng, lalu kulirik tampilanku sekali lagi di cermin. Tidak ada yang salah. Mungkin Ibu yang terlalu khawatir.
"Gaya nggak apa-apa, Bu. Ayo kita ke depan. Keluarga Tian sudah datang, kan?"
Kugandeng lengan kiri Ibu, kami berjalan bersisian menuju ruang tamu yang telah didekor untuk acara ijab kabul.
"Kata Rania lima menit lagi sampai. Nak Pilar mana, Mbak?" Ibu mengangguk sambil tersenyum pada tamu undangan, lalu duduk di kursi yang telah disediakan panitia.
Aku celingukan mencari sosok Aa' Pilar. "Nggak tahu, Bu, mungkin di depan. Tadi katanya bantuin nata kursi di halaman. Oh iya, Bu, dari kemarin Gaya nggak lihat Tante Ningsih sama Om Joko? Evelyn juga nggak dateng. Tumben."
Ibu berdeham lirih lalu berbisik, "Mereka ndak bisa dateng, baru pada ke Samarinda."
"Apa mereka pindah ke sana? Kok tumben nggak datang, biasanya Tante Ningsih, kan, yang sok sibuk dan sok penting gitu." Aku duduk di samping kiri Ibu, sembari membenahi letak bros di kebayaku.
"Ndak bisa, Mbak, pertengahan bulan ini Evelyn lahiran, mereka ndak tegel ninggal Evelyn dhewean di Samarinda," sahut Ibu masih dengan berbisik.
"Lahiran? Evelyn hamil? Kok Ibu nggak cerita kalau Evelyn sudah nikah?"
Ibu meremas lenganku perlahan. "Dia belum nikah, Mbak."
Wow, rasanya aku ingin bersorak girang. Evelyn, anak gadis yang selalu dibangga-banggakan oleh Tante Ningsih, hamil di luar nikah. Syukurin! Makanya jadi orang jangan suka meremehkan orang lain. Tahu rasa, kan.
Aku benar-benar gembira dengan berita yang kudengar. Sejelek-jeleknya aku, seburuk-burukku, setidakberharganya diriku, paling tidak aku masih menjaga keperawananku hingga saat ini.
Walau bisa dibilang aku menang di atas penderitaan sesama kaumku, aku tetap merasa puas. Sangat puas. Mulai saat ini aku bisa mengangkat daguku di depan Tante Ningsih. Dan kalau mereka masih macam-macam denganku, aku bisa menembak dengan aib Evelyn.
"Keluarga besan dateng, Mbak." Ibu berdiri lalu bergegas menyambut Tian dan keluarganya.
Aku berniat mendampingi Ibu, tapi tiba-tiba dadaku kembali terasa nyeri. Tangan kananku meremas dada kiriku, tangan kiriku mencengkeram sarung kursi hingga kusut masai. Kurasakan kening dan punggungku sudah basah oleh keringat. Sakit sekali, menusuk sampai ke punggung.
Ada apa sebenarnya? Kenapa jadi seperti ini? Pandanganku memburam kala Ibu menggandeng Rania lalu mendudukkannya di kursi ijab kabul, berdampingan dengan Tian. Napasku tersengal, saat Ibu kembali duduk di sampingku. Aku harus kuat, jangan sampai ambruk di sini. Samar-samar kudengar Tian mengucapkan kabul, saat tubuhku mulai limbung. Tepat di saat terdengar deru kata sah dan Ibu mengusap air matanya, pandanganku menggelap dan tubuhku jatuh menimpa jubin. Seketika terdengar teriakan Ibu, tapi hanya sedetik. Karena setelahnya hanya ada kegelapan.
***
Solo, 17 Juli 2017
Bryna Mahestri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top