PART 25

Maaaaaf....
Updatenya lama banget, ya?
Duh, baru jadi emak-emak sok rempong inih....
Btw, lebaran tinggal sak plinthengan lagi, maafkan kalau saya ada salah dan khilaf, yaaa...

Maafkan Gaya dkk jugaaaa ....
🙏🙏🙏

***

Januari, 2017

"Tin, tolong naskahnya Mbak Julia yang Wanita Pilihan bawa ke sini, ya, mumpung aku udah nganggur, bisa kubaca sekarang. Makasih, Tin."

Bukannya melangkah ke ruang editor, Titin malah bersedekap di depan mejaku sambil menatap tajam.

"Ayeuna teh geus rek jam lima, Ga. Ari kamu moal pulang? Masih rek ngalembur deui wae? Tingali atuh eta awak teh butuh istirahat, mani pucat kitu." (*Ini udah hampir jam lima, Ga. Kamu nggak pulang? Masih mau ngelembur lagi? Lihat, Ga, badanmu itu butuh istirahat. Pucet sekali.)

Logat Sundanya mulai keluar, tanda-tanda dia mulai jengkel, nih. "Enggak lembur, Titin geulis, cuma baca tok. Lagian di kontrakan juga nggak ada kerjaan, mending aku baca-baca di sini."

Setahun lebih di Bandung, membuatku tahu sedikit-sedikit tentang bahasa Sunda. Yah, yang aku tangkap sebenarnya cuma kata 'jam lima', 'pulang', 'ngalembur' dan 'istirahat'. Selebihnya hasil tebak-tebakan saja.

"Udahlah, Ga, pulang aja. Kita mampir ke mie bakso di perempatan depan, dari kemarin aku pengin banget, temenin yuk. Ntar kutraktir, deh. Kamu itu sudah lemes, Ga, beberapa hari ini aku lihat kamu nggak pernah makan. Kaya begitu, kok, masih nekat kerja."

"Nggak bisa, Tin," kuembuskan napas panjang, "lusa aku udah ambil cuti. Kerjaanku mau aku rampungin hari ini, biar besok bisa siap-siap pulang ke Solo."

"Pekerjaan? Setahuku, semua sudah kamu selesaikan sejak minggu kemarin, Ga."

Ya, Salam. Pak Bos mendadak sudah berdiri di belakangku. Jangan-jangan dia ini keturunan makhluk astral, langkah kakinya tidak terdengar sama sekali. Atau dia bisa terbang? Aku menggeleng perlahan. Pikiranku kenapa bisa jadi delusional begini? Dari mana dia tahu kalau tugasku sudah selesai? Bukankah sudah seminggu ini dia ke Jakarta untuk menemui Mr. Robert?

Kuputar kursi supaya tidak lagi memunggunginya. Aa' Pilar melipat kedua tangan di depan dada sambil menatapku. Matanya seolah menelanjangiku dari ujung rambut hingga telapak kaki. Wajahnya tampak horor tanpa senyum. Membuatku panas dingin tak karuan.

"Kamu tambah kurus," ucapnya lirih.

Kurus? Kenapa semua orang masih saja mengataiku kurus? Padahal aku sudah memakai gaun panjang bermotif abstrak dengan warna cerah, dan memiliki banyak kerutan dari pinggang. Belum lagi tambahan blazer dari bahan wol yang seharusnya bisa membuatku terlihat berisi. Menurutku, tubuhku proporsional. Sudah sangat pas, tidak kekurusan pun tidak gemuk. Dua bulan lalu, setelah aku keluar rumah sakit, aku kembali melanjutkan program diet dengan ditambah olah raga teratur. Hasilnya memang tidak mengecewakan. Tiga puluh kilogram dengan tinggi 160 senti, membuatku tampak tinggi semampai. Aku yakin, minggu depan aku bakal tampil memesona di pernikahan Rania. Namun, rupanya pendangan orang terhadapku sangat bertolak belakang.

Memang kuakui, wajahku tampak sedikit pucat dengan lingkaran hitam di mata. Walau terkadang dada kiriku terasa nyeri dan agak sesak napas, perutku pun kadang terasa mual dan perih, tapi aku baik-baik saja. Semua omongan si Iblis Betina itu bohong. Mandul? Jantung? Hah, nyatanya aku sehat.

"Bapak, sudah balik ke Bandung? Bukankah rencananya di Jakarta sampai hari Minggu?" Kucoba mencari topik pembicaraan.

"Rapikan barang-barangmu. Kita pulang sekarang," ucapnya tegas.

Kulirik Titin manggut-manggut mengiyakan ucapan Aa', sedangkan beberapa karyawan yang lalu-lalang lebih memilih untuk tak menghiraukan kami. Mereka sudah tidak lagi terkejut dengan sikap Aa' padaku sejak aku dirawat dua bulan lalu. Aa' sendiri pun tak segan lagi ber-aku-kamu di depan mereka, sedangkan aku masih kurang nyaman untuk bersikap sok akrab dengannya.

Aku menghela napas panjang sebelum memasukkan ponsel dan beberapa barang ke tas. Lebih baik aku menurut, dari pada berakhir memalukan seperti bulan lalu. Aku dengan keras kepala menolak mengikuti perintah Aa' untuk makan malam dengan alasan lembur. Kupikir dia menyerah karena berlalu dalam diam. Namun, tanpa kuduga tak sampai setengah jam kemudian, Aa' sudah duduk di depanku sembari menyuapi dengan sebungkus nasi padang.

Aku tidak mau kejadian serupa terulang, bisa-bisa aku kembali jadi bulan-bulanan orang sekantor.

"Tin, kamu ikut dengan kami." ucap Pak Bos singkat sembari menggandeng---mungkin lebih tepat jika dikatakan memapahku ke parkir mobil.

Seolah aku tidak kuat untuk berjalan sendiri, hingga butuh ditopang. Bahkan tasku pun sudah berpindah tangan kepada Titin yang mengekor tepat di belakangku.

"Pak, saya bisa jalan sendiri." Aku berusaha membebaskan diri, malu juga menjadi tontonan publik seperti ini.

Aa' menatapku tajam, lalu melepaskan pegangannya di pinggang dan tanganku. Dalam sekejap tubuhku merosot hingga terduduk di lantai. Apa-apaan ini? Kenapa kakiku begitu lemas?

"Kamu masih belum sadar juga? Tubuhmu sudah tak mampu lagi menahan kekeraskepalaanmu, Gaya. Sekarang juga kita ke rumah sakit."

Aku masih kebingungan sendiri, saat Aa' membopongku sampai mobil. Padahal tadi aku masih bisa berjalan, masih kuat wira-wiri, tapi kenapa tiba-tiba .... Astaga, kafein! Aku lupa tidak meminumnya lagi. Bagaimana bisa aku tidak ingat? Duh, sekarang semua jadi kacau begini.

***

"Aku tidak mau rawat inap, A'. Aku ini sehat, cuma kecapekan saja." Aku menolak keras akan keputusan Aa' agar aku dirawat di rumah sakit---lagi.

Aku bukan pesakitan yang harus berbaring di ranjang rumah sakit dengan jarum infus menusuk kulit tanganku. Tidak. Aku masih tidak sudi saat suster hendak memasang infus. Aku bahkan bersikukuh tidak mau berbaring, karena aku ini tidak sakit. Aku masih bisa duduk di pinggir ranjang, walau sedikit terasa pusing.

"Gaya, tolong kali ini menurut! Kamu butuh pengobatan dan terapi untuk memulihkan kondisimu. Sampai kapan kamu mau seperti ini terus? Kemarin Titin menghubungiku, dia cerita kalau kamu menolak untuk makan. Lihat tubuhmu, sudah tinggal tulang berbalut kulit. Aku sudah tidak bisa tinggal diam lagi. Mulai sekarang, kamu harus menurut. Jangan lagi semaumu sendiri!"

Aku menatap tajam pada pria yang kini tengah berdiri tegak menjulang di depanku. Dia seolah ingin menunjukkan kekuasaannya atas diriku. "Memangnya Anda siapa? Bisa seenaknya mengatur hidup saya."

Pria itu mengatupkan rahang, menutup kelopak mata sekejap, menarik napas panjang dan berlalu dari bilikku di UGD. Ada rasa sesak di dadaku saat Aa' Pilar menjauh. Kata-kataku terlalu kasar sepertinya. Aku tidak bermaksud melukai atau membuat Aa' marah, tapi aku pun tidak sanggup untuk berhenti seperti keinginannya.

Aku sendiri pun dilema. Satu sisi dalam hatiku terus-menerus membujukku untuk menyerah, menerima semua nasib dan mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan. Sisi yang lain tak mau kalah, mendorongku untuk terus maju, membakar setiap sudut hatiku dengan kebencian dan dendam. Dan, dialah pemenangnya. Aku menuruti nafsu untuk mengalahkan Rania, bahkan dengan taruhan yang sangat besar. Kebahagiaan.

"Ga," Titin masuk ke bilik sambil memeluk tasku, "ada sesuatu yang mau aku tanyakan."

"Apaan?"

"Ini apa?" Titin mengeluarkan dua botol obat dari dalam tasku.

Aku cukup terkejut, bagaimana bisa Titin mendapatkan obatku. "Bawa sini, Tin! Kamu buka-buka tasku, ya?" bentakku sembari menyambar kedua botol itu. Namun, Titin lebih gesit dari yang kukira, dia berhasil menjauhkannya dariku.

"Ini apa, Ga? Kamu minum apa, hah?" Suara Titin seoktaf, aku yakin orang di luar bilik pasti bisa mendengarnya.

"Ada apa ini?"

Aku menelan ludah dengan susah payah, saat seorang dokter jaga memasuki bilikku, disusul Aa' Pilar tepat di belakang Pak Dokter. Tenang, aku harus tenang. Toh, aku tidak berbuat salah. Obat itu pun bukan narkoba, bahkan dijual bebas di pasaran.

Aku mengode Titin supaya menyembunyikan botolku, tapi rupanya terlambat. Aa' sudah melihatnya.

"Itu obat apa, Tin?" Kening Aa' berkerut melihat dua botol obat di tangan Titin.

"Oh, ini ... anu, Pak---"

"Itu vitamin, A'." Aku memotong ucapan Titin.

"Caffein? Coba saya lihat." Pak Dokter mungkin membaca tulisan yang tertera di luar botol.

Kembali kukode Titin agar memasukkan botol ke tas, tapi dia malah menyerahkan obatku ke Pak Dokter. Beberapa detik Pak Dokter membolak-balik dan membaca botolku.

"Sudah berapa lama Anda mengonsumsi kedua obat ini?" Dokter itu menatapku dari balik kaca matanya.

"Kenapa, Dok? Memangnya ada yang salah?" tanyaku balik.

"Anda tahu ini obat apa?"

"Obat diet dan kafein, Dok," jawabku singkat. Aku tidak takut, tapi aku tidak berani menatap Aa' Pilar. Tanpa melihat pun aku tahu dia sedang marah.

Si Dokter mengembuskan napas panjang, lalu bertanya padaku, "Anda tahu berapa berat Anda sekarang?"

"Tiga puluh, Dok. Ada apa sebenarnya, Dok? Saya ini hanya kecapekan, saya sengaja minum kafein supaya tidak gampang ngantuk, karena pekerjaan saya numpuk. Kalau obat diet, sudah lama saya minum, tapi hasilnya juga baru terlihat sekarang."

"Setelah tiga puluh kilo, Anda baru merasa berhasil?"

"Berhasil? Saya tidak bilang begitu, Dok," aku mengerutkan kening, "saya masih belum puas," lanjutku.

"Astaghfirullah, Gaya. Ponakanku yang di Bogor, baru kelas empat SD bobotnya udah lebih dari tiga puluh," tukas Titin sembari geleng-geleng.

"Berat badan Anda sudah jauh dari kata normal, dan Anda masih belum puas?" Dokter berbalik menghadap Aa' Pilar, mengajaknya keluar dari bilik. Apa-apaan ini? Kenapa dokternya harus bicara dengan Aa' dan bukan denganku?

Tak sampai lima menit Aa' sudah kembali lagi ke bilik. "Jadi, saya bisa pulang sekarang?"

"Tin, saya minta tolong, kamu balik ke kontrakan. Siapkan perlengkapan dan segala kebutuhan Gaya selama di rumah sakit—"

"Tunggu dulu! Kenapa saya harus dirawat lagi, Pak? Dan kenapa jadi Bapak yang memutuskan tentang hidup saya?"

Seolah tidak mengacuhkanku, Aa' masih saja memberi instruksi pada Titin. Aku benar-benar seperti tak dianggap, pendapat dan protesku hanya angin lalu baginya. Amarahku kembali melejit. Aku turun dari ranjang dengan perasaan kesal.

Lagi-lagi tubuhku limbung, aku langsung jatuh terduduk di lantai. Ada apa dengan tubuhku? Kupukul-pukul kedua kakiku bergantian, kuremas dadaku yang sesak menahan tangis. Hingga tanpa terasa tetes air bening telah jatuh membasahi gaunku.

Tangisku semakin menjadi saat Aa' merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya. Kuremas kemeja depan Aa', kusurukkan wajahku ke dadanya. Kutumpahkan segala kekesalanku padanya.

"Kenapa aku jadi seperti ini, A'? Di mana letak kesalahanku, A'? Padahal semuanya terasa wajar bagiku. Aku hanya ingin terlihat cantik dan menarik. Apa itu salah? Aku juga cuma nggak mau lagi dihina seperti jaman SMA. Aku cuma ingin satu kali saja menang dari Rania. Apa itu juga salah? Selama ini aku selalu diejek karena tubuhku yang gendut seperti gajah. Orang-orang memandangku sebelah mata. Makanya aku ingin berubah, aku ingin membuktikan bahwa aku mampu menjadi secantik mereka."

Aa' membelai lembut rambutku, sembari berbisik, "Aku suka dengan semangatmu yang tak kenal menyerah. Aku juga suka dengan caramu bekerja keras demi mewujudkan impianmu. Akan tetapi, usahamu terlalu keras. Sudah waktunya kamu berhenti, karena kamu sudah berhasil. Kamu sudah berubah, tapi perubahan ini terlalu melewati batas. Tubuhmu sudah berada di ambang batas kekuatannya. Oleh karena itu, izinkan aku membantumu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu. Aku mengagumimu bukan karena fisikmu, tapi karena pribadimu. Kali ini percayalah padaku, Ga. Mari kita sama-sama berusaha memulihkan kondisi fisikmu.

"Denganku, kamu tak perlu lagi membuktikan siapa dirimu, atau apa kelebihanmu. Denganku, kamu tak perlu lagi berlomba untuk memperebutkan kemenangan. Karena kamu sudah memenangkan hatiku. Aku mencintaimu."

***

Sudah dulu, ya....
Ntar dilanjut di part berikutnya.

Mohon kritik dan sarannya, ya, man-teman semua....
Makasih....

Solo, 20 Juni 2017

Bryna Mahestri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top