PART 24
November, 2016
"Ga ... kamu kenapa, sih? Kok, bisa sampai begini?" Titin mengusap dahiku dengan handuk basah.
"Aku khawatir banget waktu pulang kerja ngelihat kamu ambruk di dapur. Astaga, Ga ... badanmu udah kaya mayat hidup gini, kurus banget. Kita ke dokter sekarang, yuk. Aku panggilin taksi dulu."
Kupegang tangan Titin, saat dia beranjak dari kasur. "Nggak usah, Tin. Aku nggak pa-pa kok. Lagian ini juga udah malem."
Titin menggeleng berulang kali. "Aku heran sama kamu, keras kepala banget jadi orang. Ini masih jam tujuh kurang, belum malem banget. Rumah sakit buka 24 jam, Ga. Apa kamu nggak ngerasa udah nyiksa diri kamu sendiri, Ga? Berapa hari kamu nggak makan, hah? Untuk apa coba? Aku sama sekali nggak habis pikir. Pokoknya kita ke Rumah Sakit sekarang. Titik."
"Tin, besok aja. Aku nggak apa beneran. Tadi waktu mau ambil air, aku cuma agak pusing."
Aku tidak mau periksa, buang-buang uang saja. Lha wong, aku tidak merasa sakit, cuma sedikit masuk angin. Wajar menurutku, karena sudah tiga minggu tubuhku hampir tidak mendapat asupan nutrisi sama sekali. Kupikir tanpa ke dokter, cukup dengan istirahat pun kondisiku bisa pulih.
"Maneh teh emangna oge hese dibere nyaho!*" (*Kamu benar-benar susah dikasih tahu!)
"Plis, Tin, aku butuh tidur. Aku jamin, besok pagi sudah lebih enakan."
Titin mengembuskan napas panjang dan keras. "Ya sudah, sekarang kamu makan dulu dikit trus tidur, ya."
Aku menggeleng lemas. "Langsung tidur aja, Tin."
Titin mengambil mangkuk bubur, menyeret kursi ke sebelah ranjang, lalu mulai menyuapiku. "Sedikit aja, Ga."
Aku menutup mulut, memalingkan muka ke tembok. Semisal aku paksakan diri untuk makan, pasti akan kumuntahkan lagi, dan aku sudah tidak kuat kalau harus ke kamar mandi. Tubuhku sudah lemas.
"Ga, dikiiit aja." Titin menyorongkan sendok tepat di depan mulutku.
Kudorong tangan Titin menjauh. "Taruh di meja aja, Tin. Ntar aku makan sendiri. Sekarang aku bener-bener pengin tidur."
Kudengar dia mengembuskan napas panjang. "Bener, ya, Ga, nanti dimakan. Aku taruh di sini." Titin meletakkan mangkuk bubur di atas meja, lalu berjalan keluar kamar.
"Tin, tolong tutup pintunya, ya. Makasih."
Kumiringkan tubuh, menarik selimut hingga ke dagu, lalu kupejamkan mata. Aku butuh dan harus tidur. Aku sudah terlalu lama izin sakit, kalau tak juga sehat bisa-bisa aku dapat surat peringatan.
Kucoba menghitung dari satu sampai seratus, tapi tak juga membuatku terlelap. Setiap sampai di angka duapuluh delapan, pikiranku melayang ke Rania. Hingga sejam kemudian pun aku masih belum bisa tidur.
Kuambil sebotol kecil obat tidur di laci nakas samping tempat tidur, kuminum dua butir. Kalau hanya sebutir sudah tak mempan lagi bagiku. Pil inilah penolongku di saat pikiranku sedang ruwet, aku bisa tenang, tertidur, dan melupakan segala permasalahan untuk sementara.
***
"Gaya ... Gaya ...."
Samar-samar terdengar seseorang mamanggil namaku. Suaranya terasa jauh dan bergema, tapi mampu membawaku pada kesadaran. Perlahan kubuka mata, saat kurasakan belaian lembut di punggung tangan.
Aroma ini, perpaduan citrus dan kawan-kawannya yang sudah sangat akrab dengan indra penciumanku, langsung menyadarkanku akan kehadirannya di sini. Memangnya ini hari apa dan jam berapa? Kenapa dia bisa ada di kamarku?
Perlahan kubuka kelopak mata, walau sedikit silau. Cahaya matahari menyapaku dari celah ventilasi. Rupanya sudah siang.
"Hai," sapa Aa' begitu mataku terbuka.
Aku sudah membuka mulut untuk membalas sapaannya, tapi kuurungkan lagi. Sedari kemarin aku belum mandi dan sikat gigi, astaga! Pasti rupaku semrawut dan bauku seperti TPU.
"Ga?" Aa' mengerutkan keningnya sembari menatapku.
Aku harus bisa ke kamar mandi, bgaimana pun caranya. Kulirik pintu kamar mandi yang setengah tertutup. Kuingat-ingat di mana terakhir kali kuletakkan handuk. Kupejamkan mata sesaat untuk memulihkan ingatan.
"Gaya, kamu pusing?"
Duh, ini cowok bikin keki. Malah semakin mendekatkan wajahnya ke aku. Kubuka mata, lalu menggeleng. Pokoknya aku harus bisa lari ke kamar mandi, minimal sikat gigi.
"Maaf, aku baru bisa pulang hari ini." Aa' menatapku sendu, "Tiga minggu, dan kamu sudah seperti ini. Sekarang juga kita ke dokter. Kita sembuhkan dirimu."
Aku nggak sakit, A'. Aku ini cuma capek. Kenapa pada ngotot kalau aku ini sakit? Duh, aku harus ke kamar mandi, tapi gimana caraku turun? Aa' duduk di samping ranjang. Dan ... alamaaak! Kuraba dadaku yang masih tertutup selimut. Aku tidak pakai BH---kebiasaan sedari dulu.
"Gaya, ada apa? Kamu marah sama Aa'?"
Aku menggeleng. Bukan marah, A', tapi aku nggak mau ngomong. Bisa-bisa Aa' pingsan mencium jigongku. Aku ada ide!
Aku memasang tampang kesakitan, tangan kiri meremas perut, dan tangan kanan membekap mulut.
"HOEK!"
Kudorong tubuh Aa' ke samping dengan bahuku agar tak menghalangi jalan. Mumpung dia masih terkejut, aku langsung meluncur ke kamar mandi. Tak kuhiraukan kepala yang rasanya berputar seperti gasingan atau perut yang tiba-tiba terasa diaduk-aduk.
Sial! Akibat kekonyolanku, baru saja aku menginjakkan kaki di kamar mandi, rasa mual kembali menyerang. Awalnya aku cuma akting, tapi aku kualat, aku malah benar-benar muntah.
"Gayatri!"
"Jangan masuk, A'. Di sini kotor, bau," cegahku sembari menutup pintu kamar mandi.
Aku membersihkan dan mengguyur lantai kamar mandi sampai tak ada kotoran dan bau yang tertinggal. Tak lupa aku mandi dan menyikat gigi. Sebenarnya kepalaku pusing, tapi aku nekat melakukannya. Apa iya aku bakal tampil semrawut di depan Aa' Pilar yang merupakan bintang jatuh buatku? Apa iya aku bakal melewatkan kesempatan mendapat perhatian dari jejaka tampan pemilik perusahaan percetakan? Aku tidak dan bukan lagi orang goblok. Aku harus tampil menawan agar Aa' tidak kabur dariku.
Mungkin terdengar kurang ajar dan tak tahu diri, tapi Aa' Pilar satu-satunya tiketku untuk mengalahkan Rania. Seorang pengusaha mapan tentu dapat mengalahkan pesona dokter umum.
"A'." Aku mencoba mengecek keberadaan Aa' di kamarku.
Aku lupa kalau tidak bawa baju ganti, padahal bajuku ini sudah kotor. Di dalam kamar mandi pun cuma ada selembar handuk.
"Ada apa, Ga? Kamu tidak kuat jalan?"
Duh, dia masih di kamar, sekarang malah mengetuk pintu kamar mandi.
"A', maaf. Bisa keluar dulu nggak? Aku ... itu ... ini ... nggak bawa baju ganti," ucapku lirih.
"Apa? Oh .... Aku keluar dulu. Kalau butuh sesuatu, teriak saja. Aku ada di luar kamar."
Kudengar suara pintu ditutup, kucoba mengintip suasana kamar. Aman. Aku keluar hanya berbalut handuk, kuambil celana batik selutut dan kaus oblong krem dari dalam lemari. Tak lupa sepasang CD dan BH dengan warna putih susu.
"Idih, memangnya harus, ya, pake daleman matching kek gini?" gumamku saat mematut diri di depan cermin. Namun, tetap saja tak kuganti.
Aku menunduk untuk memakai celana, tapi serangan pusing dan mual kembali menerpaku. Kepalaku serasa dikocok dengan mixer berkecepatan maksimal. Persis seperti saat aku SMA dulu, tapi lebih dahsyat. Tubuhku limbung menimpa meja. Aku tak melihat ada semangkuk bubur semalam di atas meja, lenganku menubruknya hingga terjatuh.
Suara pecahan kaca bergema di kepalaku, pandanganku memburam, kesadaranku mulai hilang. Tangan dan kakiku tak lagi kuat menopang beban tubuh. Aku merosot tepat saat sepasang lengan memelukku, hingga jasadku tak sampai membentur lantai. Hanya aroma citrus yang kuingat, selebihnya adalah kegelapan.
***
"A-apa maksudnya, Dok?" tanyaku dengan tergagap.
Kutatap tajam dokter wanita yang tengah menulis sesuatu di map. Aku tidak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan. Aku mandul?
Dia pasti bercanda. Mandul itu tidak bisa punya anak maksudnya? Aku tidak bisa hamil begitu?
Kuraba perut bagian bawah. Tidak! Dia pasti salah bicara. Tidak ada keturunan dari Bapak atau Ibu yang mandul. Jadi, dokter ini pasti salah.
"Saya tidak bilang Anda mandul, tapi kondisi Anda berpeluang ke arah sana. Seperti yang Anda katakan kemarin, siklus bulanan Anda tidak tentu, bahkan terkadang berbulan-bulan Anda tidak datang bulan. Dan, ini sudah berlangsung sejak Anda SMA.
"Kondisi fisik Anda yang terlalu kurus kering ini juga kemungkinan berpengaruh pada hormon estrogen dan progesteron. Saran saya, perbaiki gaya hidup Anda. Dan, periksakan diri ke Dokter Kandungan, supaya lebih jelas."
Dasar Dokter sialan! Kalau belum jelas, mending tidak usah berkoar-koar dulu. Begini ini yang kubenci dari rumah sakit. Selalu saja cari-cari penyakit. Padahal aku ke sini gara-gara pingsan, sudah tentu disebabkan oleh faktor kelelahan. Namun, si Betina ini malah mendakwaku terkena anoreksia dan kemungkinan mandul.
"Jadi, belum tentu, kan, Dok?" tegasku.
Si Betina menatapku. "Belum bukan berarti tidak mungkin, Mbak. Kalau Anda tetap keukeuh dengan pola diet yang Anda lakukan, tidak menutup kemungkinan hal itu akan terjadi. Oleh karenanya, ubah pola pikir Anda. Ini, saya beri surat pengantar ke Dokter Kandungan dan Psikolog."
Susternya menyerahkan dua lembar kertas yang dimasukkan amplop padaku. Kuterima sembari menilik tulisan di masing-masing badan amplop.
"Psikolog?" ucapku terkejut, "tapi saya tidak gila, Dok."
Si Betina ini malah tersenyum judes. "Tidak. Tentu saja Anda tidak gila. Anda hanya membutuhkan bantuan psikolog untuk menyembuhkan diri Anda dari gangguan makan yang kini Anda alami. Kita harus menghentikan gangguan ini secepatnya, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Setelah kami observasi selama tiga hari ini, Anda menunjukkan sedikit sekali kemajuan. Berat badan Anda masih jauh di bawah normal, tekanan darah Anda belum stabil, dan hasil rekam jantung Anda kurang memuaskan. Sebaiknya, Anda pulihkan dulu kondisi Anda.
"Saya belum bisa memberi izin kepada Anda untuk pulang hari ini."
Aku mendengkus kesal. Sudah tiga hari aku seperti kerbau dicucuk hidungnya, menuruti semua perkataan dan perintahnya, kini aku cuma minta pulang pun tak diizinkan. Dasar Iblis Betina!
"Saya sudah tidak betah, Dok," bujukku memelas, "mungkin kalau di rumah, progres saya semakin baik."
Si Dokter cuma geleng-geleng sambil mengatakan sesuatu pada susternya, lalu keluar dari ruang rawat inapku.
"Mbak, nanti kalau suaminya datang, dipanggil Bu Dokter ke ruangnya," ucap Si Suster.
"Suami? Saya belum nikah, Sus."
"Yang biasa di sini itu, yang nungguin Mbak Gaya tiap malam bukan suaminya?"
Oh, Si Aa' maksudnya. "Bukan, Sus. Jadi, jangan bilang apa-apa sama dia, ya, Sus. Kalau ada informasi tentang kesehatan saya, langsung ke saya saja."
Setelah suster mengikuti Si Iblis Betina keluar ruangan, kulihat lagi kedua amplop di tanganku. Spesialis Obgyn dan Psikolog. Mandul dan gila? Setelah perjuanganku sampai titik ini, aku harus menerima resiko akan kemandulan? Tuhan pasti bercanda dengan nasibku.
Sebentar lagi tubuhku akan terlihat sempurna, hanya perlu mengurangi sedikit timbunan lemak di pinggul, dan aku bisa mengalahkan Rania. Minggu lalu seragam kebaya pernikahan Rania sudah sampai di kontrakan, aku tinggal menjahitkan dengan model yang sedang hits. Dan, aku akan merebut perhatian seluruh tamu undangan.
Kusobek kedua amplop, kuremas lalu kumasukkan ke bawah bantal. Aa' jangan sampai tahu akan hal ini. Aku harus bisa bertahan. Cuma tinggal dua bulan lagi. Dan, aku yakin semua akan baik-baik saja.
***
Duh, maafkan yaaaa....
Luama banget baru bisa update....
Simbok baru rada puyeng ini.
😢😢😢
Mohon bantuan teman-teman utk mengoreksi kalau ada typo, plot hole atau kekurabglogisan, yaaaa....
Itung-itung jadi editor gituuu...
Hihihi....
Pokoke kutunggu koment, kritik dan sarannya.
Makasiiiih...
❤❤❤❤❤
Solo, 15 Juni 2017
Bryna Mahestri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top