PART 23

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya....
Part ini sudah kupublish kemaren, tapi karena ada plot hole, jadi kurevisi saja....

Makasih banyak untuk readers yang sudah turut serta mengoreksi karya saya....

Akhir kata,
Terima kasih.

***********************************

November, 2016

Kulirik ponsel yang sedari tadi bergetar di atas kasur. Sudah lebih dari dua puluh kali Aa' menelepon hari ini, tapi tak juga kuangkat. Kumatikan ponsel dan meletakkannya di bawah bantal.

Kutekuk lutut hingga menempel di dagu, lalu memeluk erat kedua kakiku. Mataku menerawang ke pintu kamar, seolah itu adalah kapsul waktu yang membawaku kembali ke kejadian tiga minggu lalu, saat Ibu meneleponku.

"Assalamualaikum, Mbak."

"Wa'alaikumsalam. Ibu sehat?"

"Alhamdulillah, Nduk. Begini, Ibu sebenarnya mau bilang sesuatu ke kamu. Kamu baru sibuk, ndak?"

"Enggak, Bu. Ini Gaya sudah di kontrakan, tadi juga kerjaan di kantor nggak begitu banyak. Ada apa, ya, Bu?"

Waktu itu aku sudah menduga akan ada pembicaraan serius, tapi sama sekali tak menyangka kalau topik bahasannya bisa sangat mengejutkanku.

"Begini, Nduk. Adimu, Rania kemaren, kan, sudah dilamar Tian. Keluargane Tian yang dari Pekalongan dateng semua. Kamu rak yo tahu sendiri, Rania pacaran sama Tian sudah empat tahun lebih. Mangkanya, kemaren orang tuane Tian minta mereka segera disahkan."

"Disahkan?"

"Mereka kemaren ndak cuma ngelamar, tapi juga minta secepatnya Rania nikah sama Tian."

Lagi-lagi aku merasa seperti diguyur air es seember penuh, kala Ibu mengatakan hal itu. Menikah secepatnya?

"Tapi, Bu---"

"Ibu sebenere ndak mau cepet-cepet, umur Rania juga masih dua satu, lagian kamu ...." Ibu menghela napas. "Ibu ndak mau kamu dilangkahi, Mbak, tapi kalau pernikahan mereka ndak disegerakan, Ibu takut timbul fitnah. Kata tantemu juga ndak elok kalau nunda-nunda hal baik. Dalam Islam juga ndak boleh pacaran, biar ndak bikin zina, lagian mereka juga sudah siap. Mangkanya, Ibu mau minta izin sama Mbak Gaya untuk merestui adekmu. Nek misale, kamu dilangkahi adimu piye, Nduk?"

Ibu yang notabene ibu kandungku dan juga seorang wanita, menanyakan hal yang paling sensitif bagi kaumnya. Lalu aku harus menjawab apa? "Jangan, Bu. Gaya tidak ikhlas" atau "Gaya nggak akan mau dilangkahi". Begitu? Memangnya kalau aku menentang, mereka bakal menuruti keinginanku? Hah, aku sangsi.

Terlebih ada si Tante Brengsek---maaf, maksudku Tante Ningsih---yang sudah pasti mengembuskan rayuan dan bujukan ke Ibu. Aku memang belum jadi orang yang taat agama, tapi bukan berarti aku tidak tahu kalau zina itu haram. Aku tahu persis. Dan, aku bisa apa kalau mereka sudah menjadikan hukum Islam sebagai dasar pemikiran? Memangnya aku mau menentang Tuhan?

Apalagi yang bisa kulakukan selain diam, hah? Nangis guling-guling di depan Ibu atau marah teriak-teriak? Seharusnya Ibu tahu, diamku pertanda ketidaksetujuanku. Namun, bukannya memikirkan perasaanku, tiga hari kemudian Ibu kembali meneleponku untuk membuat duniaku terbalik.

Tepat di hari raya Imlek, 28 Januari 2017, Rania bakal mengukuhkan diri sebagai Nyonya Tian Sudibyo.

Tak kusangka Rania benar-benar ingin melangkahiku. Ibu pun tak lagi memikirkan perasaanku. Hanya karena permintaan dari pihak Tian dengan dalih zina---memangnya kalian pacaran ngapain aja?---dan pasti karena bujukan Tante Ningsih, Ibu memutuskan tanggal baik bagi Rania.

Padahal berbagai sikapku sudah menunjukkan ketidaksetujuanku. Berkali-kali Rania telepon tak pernah kuangkat. Pesan dan chat-nya pun tak pernah kubuka. Begitu masuk langsung kuhapus. Untuk apa telepon dan kirim pesan? Kalau cuma mau pamer, mending tidak usah.

Tak sampai di situ, Ibu sering meneleponku hanya sekadar bercerita tentang kerepotannya mengurusi pernikahan Rania dan Tian. Hingga kini hatiku masih nyeri jika mengingat bagaimana suara Ibu yang sarat akan kegembiraan. Bagaimana euforianya dalam mempersiapkan hari H. Apa saja yang telah dan akan Ibu lakukan. Padahal aku cuma menjawab dengan "oh" atau "hm" dan "ya", tapi Ibu masih saja bersemangat untuk cerita dan meminta pendapatku.

Kebahagiaan, kebanggaan, keceriaan Ibu, semua karena Rania. Bukan aku. Kenyataan itu membuatku kembali terhempas ke dasar jurang. Tangis berjam-jam dan air mata berpuluh liter tetap tak mampu menghalau pedih yang kurasakan.

Sudah kucoba menyibukkan diri di tengah tumpukan pekerjaan, tapi rasa sakit akibat kekalahan itu selalu muncul. Kucoba bermeditasi, yoga dan relaksasi, tapi bayang-bayang akan pernikahan Rania juga tak mau hilang.

Emosiku menjadi labil. Kalau kata Titin 'Senggol Bacok'. Mungkin bagi orang lain akan terasa seperti itu, tapi bagiku biasa saja. Aku tidak bermaksud emosi, hanya spontanitas. Mau bagaimana lagi, tak ada masalah saja aku bisa marah-marah, apalagi ada yang kurang cocok dengan hatiku, langsung kusemprot habis-habisan.

Aku menghela napas panjang, mengisi setiap mili darah dengan oksigen. Katanya, bisa mengurangi stres, bisa membuat perasaan dan pikiran lebih tenang.

"Ga! Gaya!"

Ketenanganku terganggu oleh gedoran pintu kamar. Kulirik jam dinding, masih pukul 14.00. Belum waktunya pulang kerja, kan? Kenapa Titin Serentin sudah balik?

Tanpa menunggu instruksiku, Titin sudah nyelonong masuk ke kamar.

"Ga, kamu nggak bilang ke Pak Pilar kalau kamu sakit?" tanyanya sembari berkacak pinggang.

Aku menggeleng. "Kenapa memangnya? Toh, dia baru di Bali, kan." Memang sudah dua minggu ini Aa' Pilar ke Bali. Sepulangnya dari makam waktu itu, Aa' berpamitan untuk menghadiri acara Ubud Writers and Readers Festival pada tanggal 26-30 Oktober, dan dilanjut dengan agenda bisnis. Jadi, aku sengaja untuk tidak mengganggunya dengan masalahku.

"Terus kenapa dari kemaren kamu nggak angkat telepon dari Pak Pilar?"

"Kenapa, sih, Tin? Apa ada masalah di kantor? Bisa ditunda besok nggak? Aku masih belum fit." Aku menyandarkan punggung pada kepala ranjang.

Titin memelototiku. "Dasar bloon. Pak pilar teh hariwang nyaho ka maneh! Dasar weh maneh mah sakarep sorangan wae, ari maneh teh sabenerna api-api bego kitu lamun pak pilar teh perhatian ka maneh?* Tadi dia telepon aku di kantor, nanyain tentang kamu. Dia bilang nggak bisa hubungi kamu dari kemaren." (*Dasar bodoh! Pak Pilar itu khawatir sama kamu. Dasar kamunya yang seenaknya sendiri, nggak tahu atau pura-pura bego kalau Pak Pilar perhatian sama kamu?)

Mulai keluar bahasa planetnya, deh. Kalau dia baru kesal, selalu diungkapkan dengan bahasa Sunda. Dipikirnya aku paham dengan apa yang dia katakan, padahal blas. "Trus kamu bilang apa?"

"Apa lagi? Aku cerita sejujurnya, kalau kamu sakit dan nggak mau makan. Dia kaget, Ga! Sudah seminggu kamu sakit, tapi baru tahu hari ini. Dari aku pula."

Titin membuka tas, mengambil ponselnya, lalu menyerahkan padaku.

"Untuk apa?" tanyaku bingung.

"Nih, ambil! Terus telepon Aa'mu itu. Tadi dia minta aku pulang buat ngelihat keadaanmu. Trus, kamu disuruh hubungi dia. Bisa potong gaji, kalau aku nggak nyampein pesannya. Kamu harus telepon dia, se-ka-rang!"

Aku berdecak. "Nanti aja, Tin. Aku baru males. Dah, sana balik kantor, aku mau tidur." Pasti Aa' bakal tanya macem-macem, dan pasti berujung pada ceramah wal kultumah. Ogah!

Kulihat Titin mendengkus lalu memainkan ponselnya. Keningku berkerut ketika Titin menempelkan ponsel ke telinganya.

"Assalamualaikum, Pak. Iya, ini saya sudah di rumah." Titin menunjuk ponselnya sembari berkata tanpa suara padaku, "Ini Pak Pilar."

"Oh, iya, Pak." Titin menyerahkan ponselnya padaku sembari berbisik, "Pak Pilar mau ngomong."

Aku berdeham dan menelan ludah, mengatur suaraku agar tak terdengar serak.

"Iya, A'?"

"Gaya, kamu sakit? Kenapa tidak bilang? Sudah minum obat?"

Kutegakkan tubuh dengan posisi bersila, kuambil bantal lalu kuletakkan di pangkuan. "Maaf, A'. Aku cuma nggak mau Aa' khawatir. Aku nggak apa-apa, kok. Cuma masuk angin."

Kulirik Titin yang melotot padaku. Bibirnya bergerak tanpa suara, yang kuartikan semacam ucapan 'bohong'. Kuusir dia dari kamarku seperti menghalau ayam.

"Masuk angin? Titin bilang sudah seminggu kamu izin dan mengurung diri di kamar. Dia bilang, kamu tidak mau makan. Beratmu turun drastis. Titin juga sering dengar kamu muntah-muntah. Aya naon saleresna, Ga?"

Kulihat Titin keluar dari kamarku. "Gaya nggak apa-apa, A'. Cuma ...." Aku bimbang, haruskah kukatan pada Aa' atau tidak.

"Ada kabar dari Solo?"

Mendengar kota kelahiranku disebut, menimbulkan nyeri di hatiku. Solo identik dengan rumah. Dan, rumah tak bisa kupegat dengan seseorang bernama Rania. Bagaimana mungkin tebakan Aa' benar. Jangan-jangan dia punya ilmu kebatinan.

"Bukan apa-apa, A'. Aku cuma butuh istirahat saja." Aku tidak mau Aa' tahu akan kedongkolanku terhadap Rania. "Acara di Ubud bagaimana, A'? Sukseskah? Trus gimana bisnisnya?" Kucoba mengalihkan pembicaraan.

"Gaya," Gaya Aa' memberi jeda, "cerita sama Aa'."

Kutatap kalender dengan perasaan gamang. "Dua bulan lagi Rania nikah."

"Aa' usahakan lusa sudah bisa balik ke Bandung."

"Hah? Tapi, kan, rencananya Aa' di sana sampai minggu depan. Bukannya masih ada janji sama investor dan penerbitan di Bali?"

"Nanti Aa' atur ulang jadwalnya. Kalau Aa' belum bisa balik ke Bandung, tolong, kamu istirahat dan makan, Ga. Paksa dirimu untuk makan. Minta tolong Titin untuk mengantar ke dokter."

Makan? Untuk apa? Biar tubuhku melar? Biar aku terlihat mengenaskan di pernikahan Rania? Biar orang-orang menggunjingkanku? Aku sang Kakak yang jelek-gembrot-dan tak laku.

Tidak akan! Aku harus bisa lebih cantik dari Rania. Dengan tubuh langsing dan wajah cantik, orang-orang tak akan berpikir bahwa aku tak laku.

***

Lapar. Aku ingin makan, tapi aku benci makan. Aku harus makan, tapi aku harus kurus. Tenggorokanku kering. Haus.

Tubuhku meringkuk di atas kasur, kuremas perut yang terasa nyeri. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Kepalaku berputar-putar, pandanganku buram, telingaku berdenging. Sangat tak nyaman. Dada kiriku pun nyeri hingga menembus punggung. Sakit. Namun, aku harus bertahan.

Aku tak akan menyerah dengan ketidaknyamanan ini. Baru lima hari tubuhku tak kemasukan apa pun. Baru lima hari. Beratku pun belum memuaskan. Masih jauh dari kata proporsional.

"Ga, ayo dong buka pintunya. Sudah tiga hari kamu nggak keluar kamar. Aku beneran khawatir. Aku bawain makan, ya. Pliiis, buka pintunya."

Kuabaikan permintaan Titin. Kututup telinga dengan bantal. Kuganjal perutku dengan guling, supaya nyerinya berkurang.

"Ga, tadi Pak Pilar telepon lagi. Dia belum bisa pulang hari ini, kalau nggak besok, ya, lusa. Dia minta kamu untuk makan."

Terserah mau balik kapan. Aku tak peduli. Kalau ada Aa' malah semua rencanaku bisa gagal. Aku pasti dipaksanya untuk makan, dan aku tidak percaya jika diriku mampu menolaknya.

"Gaya, jangan begini, dong. Buka kuncinya. Kalau kamu nggak mau makan, paling nggak minum susu, ya."

Minum? Benar juga. Aku bisa minum sebanyak mungkin sampai kenyang.

Kuseret tubuhku turun dari tempat tidur, kulihat persediaan air di kamar sudah habis. Dengan tertatih, aku berjalan ke kamar mandi. Aku terduduk di bawah keran shower. Kunyalakan keran, kutadahkan air di gayung, lalu meminumnya. Segar. Kutampung lagi untuk yang kedua kali. Kutenggak habis dua gayung penuh. Walau tidak kenyang, tapi tenggorokanku tak sekering tadi.

"Aaakh!" Kuremas perut dengan erat.

Sakit sekali seperti ditusuk-tusuk. Dadaku bertambah sesak, isi perutku bergejolak. Pusing, mual dan tiba-tiba kurasakan dorongan dari dalam perut untuk mengeluarkan air yang baru saja kuminum.

"HOEEEKKK!!!"

Tak henti-hentinya kukeluarkan seluruh isi perut, hingga terasa pahit di mulut. Setelah mereda, kuguyur tubuh di bawah pancuran untuk membersihkan sisa muntah yang menempel.

Kulepas seluruh pakaianku yang basah. Kuberjalan ke arah tempat tidur, merogoh timbangan di kolong, dan menaikinya. Tigapuluh lima. Seberapa berat tiga lima itu? Sudahkah aku terlihat cantik?

Aku menoleh ke cermin. Terlihat tubuh telanjangku yang besar. Lenganku masih seperti Ade Ray. Perutku membuncit. Pasti terlihat buruk jika aku memakai kebaya. Pantatku masih sebesar baskom.

Sial!

Tubuhku merosot ke lantai. Dinginnya jubin menyentuh pantat telanjangku. Aku begitu marah dan kecewa terhadap diriku sendiri. Bahkan satu hal saja aku tak mampu melampaui Rania.

Kuraih tisu di atas kasur. Perutku sakit. Lapar. Kutarik selembar tisu. Aku ingin makan. Kusobek kecil. Tapi aku harus kurus. Kumasukkan potongan tisu ke mulut. Kukunyah perlahan, lalu kutelan. Aku lapar, tapi benci makan.

***

Huaaaa....
Part ini susaaaah....
😭😭😭

Mohon beri kritik dan saran, ya....

Makasih....

Solo, 7 Juni 2017

Revisi
Solo, 9 Juni 2017

Bryna Mahestri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top