PART 22
Oktober 2016
Kupandangi kalender di depanku, tanganku membolak-balik dari bulan Januari sampai September. Kuamati lingkaran merah di tiap bulannya dengan kening berkerut. Ada yang salah dengan tubuhku. Januari aku 'dapat' tanggal tujuh, Februari-April aku kosong, Mei-Juni mundur di tanggal dua puluh, Juli tambah mundur lagi sampai akhir bulan, dari Agustus sampai sekarang aku belum juga 'dapat'. Ada apa sebenarnya? Normal apa tidak? Bagaimana kalau benar ada yang salah?
Mataku tertumbuk pada satu tanggal yang kuberi tanda tengkorak. Besok pagi, Rania dilamar Tian. Dan, keputusanku sudah bulat, aku tidak akan pulang ke Solo. Ibu menelepon hampir setiap hari, membujukku untuk pulang menghadiri acara lamaran Rania. Terkadang aku tak kuasa untuk menolak permintaan Ibu, tapi egoku terlalu tinggi. Aku belum siap untuk menghadapi keluarga besar. Aku belum siap dijadikan bahan pembicaraan.
Aku bukannya menduga-duga dan berpikiran buruk, tapi memang begitu kenyataan yang akan kualami di Solo. Desember tanggal lima belas besok, umurku genap duapuluh enam tahun, dan aku masih jomblo. Sedangkan Rania yang baru jalan duapuluh satu, sudah dilamar seorang dokter. Dia benar-benar dapat kartu bebas hambatan dari Tuhan, segala hal pasti menjadi mudah bagi Rania.
Aku memalingkan muka dari kalender laknat itu, semakin lama melihat gambar tengkorak, semakin membuatku sedih dan marah. Mataku menangkap pantulan seorang wanita gemuk, dengan perut buncit, lengan sebesar gebug maling, paha dan betis seperti pepaya Thailand, dan pipi tembam. Astaga!
Aku beringsut mendekati cermin yang menempel di dinding kamar. Apa-apaan ini? Kenapa aku gendut sekali? Kuraba perutku, terasa gumpalan lemak hingga bisa kucubit. Kuangkat lengan sebanyak 90°, terlihat kulit yang menggelambir.
Tidak mungkin! Apa saja yang kumakan selama ini? Kenapa tubuhku bisa melar?
Aku berjalan cepat ke arah kasur, berjongkok lalu menunduk untuk mengambil timbangan di kolong tempat tidur. Setelah kuteliti ketepatan letak awal jarum timbang, aku bergegas berdiri. Kuletakkan telapak kaki kananku di lempengan besi berjarum keparat. Sial! Baru satu kaki sudah gerak sebegini cepat. Kunaikkan sebelah kakiku, kemudian kuletakkan di samping pasangannya. Dah, sana jalan terus! Aku pasrah.
Mataku mendelik, saat jarum sialan itu berhenti di angka tigapuluh sembilan. Apa-apaan ini? Kenapa masih seberat ini? Kapan aku bisa jadi langsing? Kalau seperti ini terus, mana mungkin aku bisa tampil cantik?
Aku turun dari timbangan dengan hati dongkol. Kutendang si kotak besi ke dalam kolong, lalu kuhempaskan tubuhku ke atas kasur busa. Kuhentak-hentakkan kaki di atas kasur. Sebel!
Dadaku begitu sumpek. Rasanya pengin marah-marah. Aku menutup wajah dengan bantal untuk meredam teriakanku. Berteriak masuk ke dalam salah satu bentuk katarsis bukan, sih? Saat ini aku benar-benar butuh pelepasan akan ketegangan dan emosiku. Kalau tidak, dadaku tidak akan lega.
Aku berguling hingga tidur tengkurap. Kutekan wajahku ke kasur kuat-kuat lalu berteriak lagi. Aku menyumpah, menghujat dan ... menangis histeris.
Aku membayangkan besok siang, Rania tampil cantik dan memukau seluruh tamu undangan demi menyambut kedatangan Tian dan keluarganya. Aku bisa mereka rentetan peristiwa esok hari. Mulai dari sambutan dan berujung penyematan cincin di jari manis tangan kiri Rania. Aku pun bisa menggambarkan bagaimana suasana di rumah, pasti diliputi gelak tawa dan kebahagiaan.
Kenapa Ibu mengizinkan Tian melamar Rania? Apa Ibu tidak memikirkan perasaanku sebagai seorang kakak? Seharusnya aku dulu yang dilamar, tapi kenapa malah Rania?
Hanya karena alasan sudah pacaran terlalu lama dan takut zina, Rania berani melangkahiku. Dia yang goblok, memangnya seperti apa, sih, gaya pacaran mereka, sampai takut zina?
Pasti Rania sengaja melakukannya. Ya, pasti begitu. Dia ingin menunjukkan pada semua orang, kalau dia muda, cantik, sukses dalam karir dan laku. Sedangkan aku, begitu mengenaskan. Tua, jelek, gendut, miskin dan jomblo.
"Aaaarrgggh!!!" Sekali lagi keberteriak kencang.
"Ga! Gaya!"
Kutendang guling hingga jatuh. Apa-apaan si Titin ini? Mengganggu saja.
"Gaya! Cepet buka pintu! Itu, lho, di depan, Ga!"
Ada apa, sih? Kuusapkan mata dan hidung yang masih basah ke seprai. Awas saja kalau bukan hal penting, kugorok itu anak.
"Apaan, Tin?" tanyaku sewot setelah kubuka pintu kamar.
Titin seperti orang kebingungan, menunjuk-nunjuk depan rumah. "Di depan, Ga! Ada Pak Pilar di depan! Tadi aku baru baca naskah di teras pas mobilnya Pak Pilar berhenti di depan gerbang, trus aku lari manggil kamu ini."
Aa' ke sini? Ada apa, ya? Apa ada kerjaan penting?
"Ya, udah. Kamu temuin sana. Ngapain manggil aku?"
Titin menarik tanganku agar mengikutinya ke luar. "Aku nggak berani, Ga. Jangan-jangan Pak Pilar mau marah sama kita. Ayo, ke luar bareng."
"Eh, nggak mau! Lepasin, Tin. Aku masih pake baju tidur gini." Kucoba melepas cekalannya di tanganku.
Tampilanku compang-camping begini, bisa hilang muka di depan Aa'. "Ya, ampun, Tin. Aku belum mandi, masih pake daster lengan buntung gini."
Aku berpegangan pada tembok pembatas antara kamarku dan ruang tamu. Sedangkan Titin masih terus menarik lenganku agar mengikutinya keluar.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam," sahut kami berdua masih dalam posisi bertarik-tarikan.
Diseretnya lengan kiriku, sedangkan aku mempertahankan posisi dengan mengapit tembok dengan kedua kaki dan berlegangan dengan tangan kananku.
"Ehem."
Mendengar dehaman dari depan, sontak membuat kami berdua membeku di tempat. Aa' sudah berada di ambang pintu yang terbuka. Kuulangi sekali lagi supaya jelas. Pintu depan---penghubung teras dan ruang tamu---tidak tertutup, jadi kemungkinan besar Aa' melihat kelakuan kami yang memalukan. Kusentakkan lengan dan kudorong Titin ke ruang tamu.
"Eh, Pak Pilar. Silakan masuk, Pak," ucap Titin sembari melotot padaku.
Kalau aku langsung masuk tanpa memberi salam, kira-kira sopan atau tidak, ya? Duh, tapi penampilanku hancur sekali. Nilaiku di matanya langsung amblas. Bisa-bisa dia menarik lagi predikat spesial dan indah yang kemarin dulu dikatakannya.
Kuberanikan diri untuk melihat Aa', penasaran juga bagaimana ekspresinya melihatku tampil ala kadarnya.
Sedetik aku merasakan jantungku berhenti, dan darah di kepalaku luruh ke kaki. Namun, detik berikutnya, detak yang ditimbulkan oleh organ vitalku itu malah tiga kali lebih cepat. Darahku seolah dipompa untuk naik ke ubun-ubun, hingga kurasakan wajahku memanas.
Bagaimana tidak? Netra kami bersirobok, seperti di film-film cinta itu. Tahu-tahu gerakannya jadi lambat, terus ada aransemen musik yang mengiringi, serta bunga-bunga berguguran. Persis seperti itu.
Ekspresinya masih datar, bibirnya tak tersenyum, tapi matanya yang berbicara. Aku tidak berani menduga-duga, takut salah. Namun, tetap saja tubuhku memanas di bawah tatapannya.
"Silakan duduk, Pak." Ucapan Titin memutus kontak mata kami. Titin menoleh padaku sambil mendelik, "Ayo duduk, Ga!" desisnya.
Aku memilih duduk di kursi terjauh dari mereka. Gila apa?! Aku masih bau jigong, sedangkan Aa' sudah harus semerbak begitu.
"Ada apa, ya, Pak? Kok, tumben ke kontrakan kami." Kubiarkan Titin mendominasi percakapan, aku jadi pendengar sajalah.
"Saya ada perlu dengan Gayatri."
Titin memandangku dengan kening berkerut, aku hanya mengendikkan bahu dengan samar.
"Dengan saya? Apa ada kerjaan yang harus saya selesaikan, Pak?" tanyaku bingung, perasaan tugasku sudah selesai semua.
"Aa'," ralatnya seolah tidak peduli akan adanya Titin di antara kami. "Hari ini kamu ada acara? Aku mau mengajakmu ke suatu tempat."
"Hah? Tapi saya belum mandi, Pak."
Aa' menggeleng pelan sembari mengembuskan napas panjang. "Sudah kubilang berkali-kali, kalau di luar jam kerja, panggil Aa' dan jangan pakai saya. Aku tidak suka."
Wah, kalau ini namanya Aa' sedang menggali kubur sendiri. Apa dia tidak berpikir kalau besok aku bisa jadi tokoh utama dalam gosip minggu ini. Dia sih enak-enak saja, mana ada yang berani menggosipkan Bos Besar.
"Kamu mau pergi seperti itu?" Alis Aa' naik sebelah, "Aku tidak masalah, selama kamu nyaman."
Dih, bilang saja kalau menyuruhku mandi dan ganti baju, gitu saja kok repot. "Sebentar, ya, Aa'." Kupertegas panggilan Aa' padanya.
Sekilas kulihat senyum samar menghiasi bibir nyigar jambe-nya, saat aku bertolak ke dalam kamar.
***
"Kamu ada hubungan sama Pak Pilar, ya, Ga?"
Kuhentikan sapuan gincu demi melirik sekilas ke Titin. "Iya, hubungan kerja. Dia kan bos kita, Tin. Lupa?"
"Eh, jangan pura-pura bego, deh. Kamu tahu, kan, maksudku?"
Aku tertawa sejenak. "Pacaran? Naksir-naksiran? Nggak ada, Tin." Aku tidak bohong, kan, memang tidak ada hubungan apa pun di antara kami.
"Trus, ini kamu mau ke mana?"
"Ya, mana aku tahu. Kamu, kan, tadi denger sendiri gimana si irit ngomong itu ngajak aku." Kumasukkan dompet dan ponsel ke Baguette Bag. "Tin, aku nggak mau ada gosip macem-macem lho, ya. Pokoke kalau besok nyebar, berarti itu dari kamu," ancamku sembari membuka pintu kamar.
Setelah mandi super cepat---dua kali gebyur, sabun, gebyur lagi tiga kali---kupilih jin pinsil hitam dan kaus lengan panjang warna merah maroon. Kubiarkan rambut sebahuku tergerai, tak lupa kurapikan poni yang masih setia menutupi jidat nonongku.
Jujur, aku grogi juga pergi berdua dengan Aa' Pilar. Apalagi aku tak tahu kami akan ke mana. Setelah pamit dengan Titin, kami berjalan bersisian menuju Honda Jazz putih yang terparkir di pinggir jalan.
Tiba-tiba sebuah pemikiran gila merasuki otakku. Bagaimana kalau aku menggaet Aa' Pilar, lalu secepatnya kuajak dia ke pelaminan? Dengan begitu, aku tidak kalah dari Rania. Tapi ... tidak mungkin!
Aku berdiri di depan pintu mobil, menunggu Aa' membukakannya untukku. Aku melongo, bukannya berjalan ke pintu penumpang, Aa' malah langsung duduk di balik kemudi.
"Gaya, ada yang ketinggalan?" tanyanya melalui jendela kiri yang dibukanya, dengan tanpa bersalah.
Aku mendengkus sebal, di mana sisi romantisnya ini cowok? Kulempar tubuh ke atas jok mobil. Ke mana Aa' yang so sweet waktu itu? Jangan-jangan benar, waktu di Bosscha dia cuma kerasukan. Ish, yang begini kok bilangnya spesial.
"Ada apa, Ga, dari tadi diam saja?"
Aku menatap ke luar jendela, melihat sederetan pohon nan rindang di sepanjang jalan.
"Kita mau ke mana, Aa'?" Aku balas bertanya.
"Ke suatu tempat. Tapi sebelumnya kita makan dulu."
Aku menoleh mengagumi ciptaan Tuhan nan indah. Rambut ikalnya, hidungnya, bibirnya, tulang pipinya, semua pas. "Aa' belum sarapan?"
"Sudah. Kamu yang harus makan dulu. Kamu pengin makan apa?"
Aku menggeleng cepat. "Enggak usah, Aa'. Aku nggak pernah sarapan."
Aa' menoleh sesaat. "Kita ke Ciganea aja, ya, Ga."
"Tapi, Aa'—"
"Aku tidak suka dibantah, Ga. Kamu butuh makan. Tubuhmu itu terlalu kurus. Lihat, tangan dan bahumu kecil sekali. Kuperhatikan, beratmu turun banyak dibanding pertama kali ke Bandung."
"Aku nggak pa-pa, Aa'. Mungkin karena kemaren aku agak stres jadi nafsu makanku hilang," ujarku bohong.
"Kamu stres? Karena pekerjaan di kantor?"
"Hah? Oh, bukan, Aa'," jawabku cepat, aku tidak mau dia berpikir aku tidak suka dengan pekerjaanku.
Aa' terdiam sejenak, lalu berkata lirih sembari menatapku, "Berbagilah, Gaya. Ceritakan padaku. Bukankah waktu itu aku sudah pernah memintanya."
Ini cowok amnesia atau bego? Dengan dongkol kusemburkan seluruh isi pikiranku, "Berbagi dengan siapa? Aa' Pilar maksudnya?" aku tertawa lirih, "Orang super sibuk di Pinus, yang bahkan menyapaku di kantor saja tidak pernah. Boro-boro telepon, kirim satu pesan atau chat sekadar tanya kabar pun enggak. Ke orang itu aku harus berbagi? Memangnya aku sudah gila?"
"Maaf. Aku tidak pernah dekat dengan wanita sebelumnya, aku jadi tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku khawatir kalau kamu tidak suka atau kurang nyaman kalau aku memberi perhatian lebih."
Aw aw aw .... Jadi, maksudnya aku wanita pertama yang dekat dengannya? Gombal! Kupalingkan wajah melihat ke luar jendela. Menyembunyikan senyum malu-maluku dan wajah yang memerah. Mana ada cewek yang tidak suka diperhatikan.
"Mulai sekarang, aku akan selalu menghubungimu. Aku akan awasi pola makanmu. Aku tidak mau kamu sakit. Akhir-akhir ini, kulihat wajahmu pucat. Kamu juga gampang capek. Kalau pola makanmu tidak kamu ubah, aku khawatir kamu bakal drop."
Ish, kenapa milih kalimatnya yang begitu? Tidak romantis babar blas! Malah ngungkit tentang makan. Aku memutar bola mata, terserah deh. Aku memilih diam, mau SMS atau chat apa pun tak masalah. Yang penting, kan, komunikasinya.
***
"Astaga, Aa'! Apa-apaan ini? Siapa yang ngabisin semua makanan ini?" bisikku sembari memelototi pria yang duduk di depanku, saat pelayan meletakkan piring-piring berisi makanan di meja kami.
Ada ayam bakar, gurame bakar, karedok, pencok lenca, bakwan udang, otak-otak, tumis jamur. Belum lagi jus alpukat, es teler dan strawberi float. Oh, iya, dan seceting nasi.
"Terima kasih, Mas," ucapnya pada pelayan. "Tentu saja kamu, Ga." Aa' menyeruput teh hangatnya.
Aku melotot ngeri. "Aku nggak mungkin habis, Aa'. Kan, tadi aku udah bilang, aku pesen karedok aja. Lha, ini kok temennya dateng semua." Kutunjuk sederetan piring yang belum tersentuh.
Aa' tertawa geli. "Pelan-pelan pasti habis. Nih, diminum dulu." Aa' mendorong gelas jus alpukat ke arahku.
Aku bergidik. Sudah hampir sembilan tahun, aku tidak menyentuh alpukat. "Aku nggak bisa, Aa'. Nggak doyan." Aku berbohong, karena dulu jus alpukat adalah minuman kesukaanku.
"Alpukat bagus untuk tubuhmu, Ga. Kalau begitu, makan dulu nasinya." Sekarang Aa' mengambilkan secentong nasi porsi jumbo dan seekor gurame bakar.
"Sudah, Aa'. Aku bisa ambil sendiri." Kutarik piringku, saat Aa' akan meletakkan paha ayam. Kukembalikan seekor gurame ke piring saji. "Aku habisin ayamnya dulu," ujarku.
Gila apa?! Ini berapa puluh ribu kalori yang harus kumakan? Berapa puluh jam yang harus kulewati di kelas senam demi membuangnya? Berapa botol pil pelangsing dan pencahar yang harus kutenggak?
Kulihat Aa' juga mengambil menu yang sama untuk dirinya sendiri, tapi dalam porsi jauh lebih sedikit dibanding milikku. Lihat, cowok saja cuma segitu, sedangkan aku? Seperti kuli bangunan.
"Aku nggak sanggup lagi, Aa'." Kujauhkan piring, pada suapan kelima.
Aa' memandangku dengan dahi berkerut. "Itu belum berkurang, Ga."
"Tapi aku udah kenyang. Ini, kan, ikannya belum aku sentuh, kita bawa pulang aja, ya. Bisa untuk makan siang sama malem aku nanti." Maksudku untuk Titin.
Aa'mengembuskan napas panjang. "Habiskan dulu isi piringmu."
Aku memberengut. Dengan terpaksa kusuapkan seujung sendok dengan secuil ayam. Strategiku, makan sedikit-sedikit sampai Aa' selesai makan. Habis itu, kami bisa langsung cabut.
"Karena kita tidak diburu waktu, aku akan tunggu sampai kamu selesai makan." Aa' tersenyum melihat isi piringku yang masih menggunung.
Sial!!!
Bagaimana dia bisa tahu akal bulusku? "Aa', aku udah kenyang. Kita lanjut aja, yuk," pintaku dengan memelas.
Aa' mengambil piringku. Yes! Dia nurut juga. Aku mencelupkan tangan ke air kobokan yang disediakan, mengelap tangan, lalu meminum seteguk strawberi float.
"Buka mulutmu."
"Hah?" Aku menatapnya bingung.
"Ayo, aku suapi."
Aa' Pilar mengambil nasi dan lauk dengan ujung-ujung jarinya, lalu mengangsurkannya kepadaku.
"Buka mulut, Gaya."
"Aa' malu dilihatin orang," desisku sambil mendorong tangannya menjauh dariku.
"Buka mulut. Aku suapi sampai habis. Dan, tanganku tidak akan turun kalau kamu belum buka mulut."
"Aku bisa makan sendiri, Aa'." Aku mau mengambil kembali piringku, tapi dicegahnya.
"Tidak. Makanmu lama."
Aku melihat meja sebelah kananku terkikik geli. Duh, bikin malu saja. Terpaksa kubuka mulut, membiarkan Aa' menyuapiku.
Malu, tapi aku suka. Sudah berapa puluh tahun aku tidak pernah makan langsung dari tangan orang lain? Ternyata rasanya lebih enak. Hingga tak terasa nasi di pirinhku ludes. Aku pun heran, bagaimana bisa aku menelan semua itu, padahal biasanya aku langsung muntah. Namun, kali ini tidak.
"Anak pintar." Aa' membelai puncak kepalaku dengan tangan kirinya yang bersih, seraya tersenyum.
***
Aku mengerutkan kening hingga alisku bertaut, saat si putih memasuki pelataran sebuah pemakaman di daerah Cikadut, Mandalajati, Ujungberung.
"Tepat tiga tahun lalu, Bunda meninggal. Kamu tidak keberatan, kan, kalau kuajak ke makam Bunda dan Ayah?"
Aku kehilangan kata-kata. Aku mengangguk tanda setuju. Setelah mobil terparkir sempurna, kuikuti langkah Aa' menuju rumah peristirahatan orang tuanya. Aku jadi teringat Bapak. Sudah tiga tahun aku tidak menjenguknya, sejak pemakaman beliau.
Aa' menghentikan langkah, lalu mengulurkan tangan kirinya padaku, sembari tersenyum menatapku. Kusambut genggaman hangatnya dan kubalas senyumannya.
"Ayah meninggal sejak usiaku sebelas tahun, karena serangan jantung. Bundalah yang membesarkanku seorang diri. Beliau juga yang membesarkan nama Pinus."
Kami telah duduk bersisian di depan pusara bundanya Aa', setelah sebelumnya Aa' mengirim doa.
"Awalnya Pinus ini cuma sebuah tempat foto copy kecil yang dibuka Ayah di depan rumah. Ayah sengaja memberi nama Pilar, sesuai namaku. Anak angkatnya."
Aku menoleh cepat. Anak angkat?
Aa' tersenyum, tak ada sedikit pun tergambar perasaan malu atau rendah hati dalam wajahnya. Kubiarkan tanganku digenggam dan dibelainya.
"Ayah divonis dokter tidak bisa mendapat keturunan. Oleh karena itu, mereka mengadopsiku dari suatu panti asuhan. Waktu itu umurku baru setahun.
"Tak pernah sekali pun mereka berpikir dan memperlakukanku seperti anak angkat. Dan bagiku, mereka satu-satunya keluarga yang kumiliki."
Aa' mengecup ujung-ujung jemariku. Matanya menerawang ke arah makam Bunda, terlihat kerinduan di wajahnya.
"Sejak Ayah meninggal, Bunda banting tulang untuk mempertahankan Pinus. Berbagai ujian yang menerpa, selalu dihadapinya dengan tegar.
"Sesibuk apa pun Bunda, beliau selalu memperhatikanku. Melimpahiku dengan kasih sayang. Menuntunku ke jalan yang benar. Tak pernah sekalipun beliau melepaskan tanganku.
"Setelah kutamatkan pendidikan S1, beliau membimbingku menjadi pemimpin di Pinus. Hingga tiga tahun lalu, diabetes menggerogoti raganya." Aa' memandangku.
"Mungkin perjalanan hidup yang membuatku jadi orang kaku dan kurang bisa menunjukkan perasaan pada perempuan. Karena sampai saat ini, hanya Bunda wanita di hidupku."
Aa' menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku. Namun, tangannya tak segera meninggalkan wajahku. Dia menatap langsu g ke manik mataku, membelai pipiku dengan lembut.
"Izinkan aku untuk menjadikanmu wanita kedua dalam hidupku."
***
Gimana?
Gimana?
Mau diterusin nggak? Hohoho....
Jangan lupa, kritik dan sarannya, yaaa...
Solo, 6 Juni 2017
Bryna Mahestri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top