PART 2

Oktober, 2007

"Mbak Gaya, mandinya cepetan! Rania kebelet pup, nih!"

Aktivitas mandi yang tengah kulakukan, terpaksa terhenti di tengah jalan. Kesenanganku terganggu oleh teriakan si bawel Rania.

"Iya, sebentar! Tanggung!" jawabku sambil menggosok lagi daki di lutut dengan batu kali. Aku sengaja cuek, membiarkan Rania kelimpungan menahan isi perutnya agar tidak menyembur keluar. Ini kulit kenapa keras kepala benar? Masa sudah kugosok sampai lecet, masih juga belum mau berubah putih. Atau jangan-jangan memang kulit badak. Aku, kan, pengin punya lutut putih mulus kinclong kaya artis-artis di televisi.
Belum ada dua menit, pintu kembali digedor dari luar. Kali ini lebih dahsyat, disertai lengkingan cempreng menulikan telinga. Apa-apaan, sih, sabun di tubuhku belum juga dibilas.

"Cepet, Mbak! Mau keluar ini!"

Terdengar teriakan Rania lagi. Hilang sudah kesabaranku. Kubuka kunci pintu, lalu melongok dari celah pintu yang terbuka sedikit. "Apa? Mbak belum selesai, Ran!" bentakku sambil menunjuk lenganku yang masih penuh sabun.

Kulihat Rania merapatkan kedua pahanya, kedua tangannya memegangi bokong. Keringat sebesar biji kelengkeng menghiasi jidatnya. Matanya melotot, aku yakin dia juga menahan napas. Pipinya menggembung, hidungnya mengernyit. Kasihan juga.

"Cepet, Mbaaak," desisnya sambil menggoyang-goyangkan pantat.

"Bentar!" Aku meraih handuk motif Disney Princess sembari bersungut kesal. Masih banyak busa sabun yang menempel di badanku, belum sempat kubilas. Tidak apalah, nanti juga kering sendiri.

Aku membuka pintu kamar mandi dengan tubuh hanya berbalut handuk. "Kenapa nggak di depan? Mbak Gaya belum selesai mandi!" protesku kesal sembari berkacak pinggang.

Tubuhku sengaja menutupi jalan masuk ke kamar mandi, membuat Rania harus mengecilkan diri, menyelinap di celah bawah tanganku.
"Dipakai Bapak. Mbak Gaya jangan ngalangin jalan! Udah keluar di celana, nih!" Rania menyeruak masuk ke kamar mandi, lalu membanting pintu dari dalam.

"Ih, jijik. Jangan lupa cuci celanamu sendiri, Ran!" teriakku sambil menggedor pintu kamar mandi.

"Ono opo tho, Nduk? Isuk-isuk wes rame. Isin dirungokne tonggo." Ibu menegurku dari dalam dapur tanpa menoleh padaku. (Ada apa, Nak? Pagi-pagi sudah ramai. Malu didengar tetangga.)

Dapurku berada tepat di depan kamar mandi belakang. Membuatku dapat mengendus aroma yang sangat harum dari arah dapur. Tanpa dikomando, kakiku berjingkat ke pintu dapur. Meninggalkan jejak air di lantai. Aku melongok ke dalam. Menghirup bau sedap yang membuat air liurku berkumpul di dalam mulut.

"Masak apa, Bu? Baunya enak banget." Aku berjinjit dengan sebelah kaki-kaki kiriku masih terasa nyeri-demi melihat isi wajan yang tertutupi tubuh Ibu. "Wih, balado ikan gembung! Pantesan baunya semerbak mewangi!" pekikku girang.

Ibu menoleh sambil tersenyum. Wajah semringahnya sekonyong-konyong berganti pelototan. "Astaghfirullah, Mbak Gaya! Ganti baju dulu! Kamu itu sudah besar, apa ndak malu kalau dilihat orang?!"

Aku meringis, memamerkan gigi gingsulku-yang kata Ibu bikin senyumku tambah manis-sambil memegangi ujung handuk yang membelit tubuhku. "Baju dalem Gaya di kamar mandi, Bu. Tadi Gaya baru mandi, eh, Rania kebelet," ujarku membela diri.

"Badan sudah sebesar itu, tapi kelakuan isih koyo bocah cilik. Apa kamu ndak punya baju dalam lainnya?" Ibu geleng-geleng sambil memindai tubuh Gaya dari atas ke bawah. "Lihat itu, airnya masih netes-netes. Sabunnya juga belum hilang. Nanti kalau adekmu kepleset bagaimana?" (Masih seperti anak kecil)

Ih, kenapa jadi aku yang salah? Aku kaya 'gini 'kan, karena Rania. Eh, Ibu malah khawatir sama dia. Sebel!

"Dibilangin orang tua malah mberengut. Ayo dipel, Mbak. Apa ndak kasihan kalau ada yang kepleset?" (Cemberut)

Ini yang bikin tambah sebel. Apa-apa harus dituruti. Kalau Ibu sampai dengar aku menggerundel, wah ... bisa dipastikan bakal ada acara 'Satu Jam Bersama Mamah Astuti'. No, thank's. Mending aku ngepel timbang kupingku jadi merah.

Kuambil kain pel yang biasa Ibu pakai. Kubesut lantai yang basah dengan menggunakan kaki kananku.

"Pakai tangan, Mbak. Kalau kaki, nanti ndak rata, hayo yang bener," tegur Ibu padaku.

Pakai tangan, berarti aku harus jongkok? Oh, My God! Terpaksa aku harus melantai. Membasuh lantai basah dengan pose Inem Pelayan Seksi. Geyal-geyol geyal-geyol pantat di goyang. Andai ada lagu dangdut, pasti lebih menghayati ini.

Ibu itu aneh, di jaman seperti ini masih saja mengepel secara manual. Padahal sudah banyak dijual alat pel sodok. Jadi tidak perlu susah-susah jongkok, cukup berdiri sambil berlenggang kangkung, lantai bersih. Namun, kata Ibu lebih bersih kalau mengepel dengan tangan. Bisa sekalian merogoh kotoran di kolong kursi. Ya, terserah Ibu saja, toh Ibu yang ngepel. Eh, bukan berarti aku tidak mau membantu, tapi aku 'kan masih sekolah. Kata Bapak, aku harus mengutamakan sekolah. Alasan yang bagus bukan?

"Mbak Gaya kaya ikan paus terdampar!" jerit Rania yang baru saja keluar dari kamar mandi, sembari lari ke dalam kamarnya.

Aku sudah bersiap mengejar bocah kelas 6 SD itu, tapi deheman Ibu membuatku mengurungkan niat. Aku menarik napas panjang, menyabarkan diri, lalu kembali melanjutkan kegiatan melantaiku.

"Mbak Gaya persis kuda nil!" Di saat emosiku sudah reda, terdengar lagi teriakan Rania dari dalam kamar.

"Rania!" teriakku sembari melempar kain pel ke arah kamar Rania. Sialan bener itu anak! Sekali-kali perlu dikasih pelajaran.

"Mbak Gaya, sudah sana ganti baju dulu. Sudah jam segini, nanti kamu terlambat." Ucapan Ibu lagi-lagi bisa menghentikan emosiku.

Aku diam, tapi bukan berarti aku mengalah. Awas saja, Rania! Untung ada Ibu, kalau tidak, pasti kamu sudah jadi bubur. Aku masih tidak rela kalau Rania lolos dari pembalasanku.

Aku bergegas masuk kamar mandi, membasuh tubuhku yang tadi sempat tertunda. Semua aktivitas mandi kulakukan hanya dalam hitungan menit. Tak lebih dari dua menit, aku sudah mengeringkan tubuh lalu memakai beha dan celana dalam. Seharusnya mandi adalah peristiwa sakral untuk memulai hari, tapi gara-gara Rania pagi ini hancur sudah.

Aku kembali membebat tubuh bohaiku dengan handuk, membuka pintu perlahan, menengok ke kanan kiri. Berjalan tertatih ke kamarku, lalu menutup pintu perlahan. Jangan sampai Bapak Ibu melihatku hanya berbalut handuk. Cukup sekali saja untuk pagi ini, aku kena semprit oleh Ibu.

Untung saja Bapak masih betah nongkrong di kamar mandi depan. Kalau tidak, pasti aku sudah kena amuk. Memang kebiasaan Bapak setiap pagi seperti itu—duduk berlama-lama di kloset—cuma untuk membaca koran. Astaga! Apa nikmatnya coba? Bukannya itu bau? Ketimbang di kamar mandi bukannya lebih enak di teras 'kan?

Bapak memang aneh, tapi beliau ayah terganteng sedunia. Duniaku, maksudnya. Ya, 'kan beliau satu-satunya ayah yang kumiliki. Kecuali kalau aku punya dua, apalagi yang setampan Brad Pitt, pasti beda kasus.

Aku mencari botol minyak telon di atas meja rias. Sehabis mandi, aku selalu membalurkan minyak telon ke seluruh tubuh. Membuatku merasa hangat. Banyak yang bilang aneh, tapi menurutku wanginya segar. Aku merasa seperti bayi. Bayi raksasa yang luar biasa menggemaskan.

Di dalam tas sekolahku pun selalu tersedia minyak telon. Hanya untuk jaga-jaga jika hawa terlalu dingin. Kalau semisal masuk angin, aku juga lebih memilih minyak kayu putih ketimbang balsem. Bau balsem mengingatkanku pada simbah-simbah bersusur.

Kutaburkan sedikit bedak bayi ke mukaku—biar tidak berminyak—tanpa alas bedak atau krim inilah itulah. Seandainya ada kosmetik yang bisa memancungkan hidung, aku mau membelinya. Berapa pun harganya. Yakin, deh, karena di wajah imutku ini, cuma bentuk hidung yang sangat mengganggu. Pesek banget. Kalau jinong—jidat nonong—bisa kusiasati dengan poni hujan deras. Wajah bulat pun bisa kuabaikan, karena itu sudah sepaket dengan bentuk tubuhku.

Aku tidak butuh waktu lama untuk dandan. Lain halnya dengan makhluk pesohor, aku sering melihat mereka pakai bedak tebal. Gincu merah menyala pun sering tertempel di bibir mereka. Belum lagi minyak sinyonyong yang menusuk hidung, membuat mereka mirip kuntilanak. Oke, aku lebai. Namun, benar adanya. Terkadang pas istirahat atau pulang sekolah, mereka kembali berias di dalam kelas. Mungkin mereka harus bangun dini hari demi menemploki wajah dengan tetek bengek tidak berguna. Ya, namanya juga jual tampang, wajarlah kalau sikap mereka begitu.

Setelah memercikkan sedikit parfum bayi di ketek dan belakang telinga, aku kembali mengecek kerapian seragam pramukaku. Sekarang hari Sabtu, di SMA Bakti 1 ada peraturan dalam penggunaan seragam. Tiap Senin-Selasa, kami wajib memakai seragam atasan putih dan bawahan abu-abu. Hari Rabu-Kamis, atasan putih bawahan putih. Hari Jumat, adalah hari batik. Lalu Sabtu, waktunya pramuka. Kulirik jam yang menggantung di dinding kamarku, sudah pukul 06.00, bisa telat kalau tidak cepat-cepat berangkat. Aku mengernyit saat memakai kaus kaki sebelah kiri, ternyata efek jatuh kemarin masih terasa. Padahal sudah diberi obat oleh Bu Icha. Kusambar tas selempangku, sebelum keluar kamar untuk sarapan.

"Bu, mungkin nanti Gaya pulang agak sore," izinku sembari melahap nasi balado gembung. Cara makan balado gembung sangat berpengaruh pada rasa. Paling lezat makan menggunakan tangan, sambil menjilati sambal yang menempel di sela jari-jari. Kalau pakai sendok tidak ada sensasinya.

Ibu yang sedang menaruh cangkir kopi di meja makan, melihatku sekilas sebelum menyendokkan nasi ke piring Bapak. "Pramuka lagi, Mbak? Katamu, Kakak pembimbingnya cuti menikah."

"Nggak, Bu, bukan pramuka. Nanti ada pembagian grup untuk kelas musik, mungkin Gaya bakal latihan sekalian." Aku menggelontor nasi yang tengah kukunyah dengan segelas teh manis.

"Mbak Gaya main musik? Wahing aja fals apa lagi main musik!" ledek Rania sambil tertawa puas. (Bersin)

Wah, kelakuannya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kulirik Rania yang duduk tepat di samping kiriku. Diam-diam kuambil sambal balado dengan ujung jari-jari. Lalu dengan kecepatan super, kurengkuh tubuhnya, kusumpal mulut besarnya itu dengan sambal. Aku tertawa jahat melihatnya megap-megap kepedasan. Aku tahu Rania tidak suka pedas, beda denganku yang maniak cabai. Rania berteriak tidak jelas sambil mencari asupan air, demi mengurangi rasa terbakar di mulutnya.

"Gayatri Lituhayu." Aku sebenarnya tidak peduli dengan tatapan tajam Bapak Ibu. Aku lebih ngeri sama panggilan pelan Bapak. Kalau Bapak sampai memanggil seperti itu, berarti alarm tanda bahaya berdenging. Alamat kena ceramah.

Aku meringis, mending cabut saja, deh. Pasti sebentar lagi si centil Rania minta pembelaan dari Bapak. Kuangkat pantatku dari kursi makan, kembali berjingkat ke arah wastafel. Setelah membasuh tangan dengan sabun, kucium ujung jariku—jangan sampai aroma balado menempel di sana—aku berpamitan pada Bapak Ibu. Kuraih tangan kanan Bapak, kucium punggung tangannya. Tak lupa aku pun menyalami Ibu dan mencium kedua pipinya.

Setiap hari, aku sudah harus berangkat sekolah maksimal pukul 06.15, lebih sedikit saja aku bisa terlambat. Bagaimana tidak, aku bukan anak manja seperti Rania yang berangkat sekolah mesti diantar. Sebenarnya aku pengin juga diantar jemput naik mobil, tapi Bapak Ibu tidak pernah kasih izin. Katanya biar aku sekalian olahraga. Apaan? Yang ada malah menyiksaku.

Aku mesti jalan kaki kira-kira sepuluh menit untuk sampai di halte bus dan hari ini aku butuh waktu lebih lama. Kaki kiriku benar-benar menghambat gerak. Aku kembali dibuat jengkel karena bus yang biasa kutumpangi tidak lewat-lewat. Terpaksa aku harus naik bus yang lain. Memang sama-sama berhenti tepat di depan sekolahku, tapi bus ini terlihat bobrok.

Belum lagi bus yang kutumpangi kali ini berjubel, bisa dipastikan aku bakal berdiri sepanjang jalan. Aku mesti berbagi oksigen dengan penumpang lain. Mandi pagiku pun akan menjadi kegiatan tak berarti. Keringat membanjiri tubuh, seragamku pun basah hingga menempel di kulit. Sial!

Ditambah bermacam aroma menyengat dari para penumpang. Mulai bau minyak gosok dari nenek-nenek yang duduk di depan pintu. Belum lagi bau terasi yang menusuk hidung. Aku heran, apa ibu-ibu ini juragan terasi? Tas belanja yang dibawanya penuh terasi.

Satu lagi, bau ketek dari kondektur—yang berdiri tepat di depanku—dengan sebelah tangan bergelantungan. Hoek! Entah sudah berapa hari dia tidak mandi dan dengan sombongnya dia memakai kaus lengan buntung. Kepalaku mendadak puyeng. Rambut keteknya berjuntai lebat, hitam kelam, seakan melambai padaku. Oh, tidak! Mimpi apa aku semalam?

Aku berusaha menggeser kakiku perlahan, menghadap pintu belakang. Namun sial, Pak supir mendadak menginjak rem. Padahal aku masih belum berdiri sempurna, kaki kananku belum sepenuhnya menopang tubuhku. Alhasil, aku terjengkang. Demi Dewa Zeus! Wajahku jatuh tepat di ketek si kondektur. Rambut yang mengelepai itu menusuk mata dan beberapa helai masuk ke mulutku.

"Hoeeekkk!!!" Perutku bergejolak, balado gembung yang baru kumakan, harus rela terbuang cuma-cuma di atas hutan lebat berbau bangkai. Orang-orang di sekitarku pun menatapku jijik. Kalian pikir aku tidak!

Bukannya minta maaf karena menyebabkanku memuntahkan isi perut, si bau bangkai itu malah mencak-mencak tak keruan.

"Semprul tenan! Wong wedok ora nduwe aturan!" (Menyebalkan sekali! Anak perempuan tidak tahu aturan!)

Sial!!! Dia pikir gara-gara siapa aku mabuk seperti ini. Mukaku bacin, bajuku penuh kotoran muntah. Keringatku sudah membanjir. Bagaimana caraku menghadapi teman-teman di sekolah?

Aku turun dari bus sambil mengumpat kesal, kuinjak kaki si bangkai dengan sengaja. Rasanya puas melihat tampang kesakitannya. Kuhafalkan plat nomor bus yang baru saja kunaiki, jangan sampai besok aku naik bus yang sama.

Benar saja dugaanku. Baru menginjak pintu gerbang, orang-orang sudah bergunjing. Tampilanku sangat mengenaskan. Seragam pramukaku penuh bercak muntah. Wajahku kusut, kumal, lecek. Pokoknya aku harus mandi. Kalau perlu berendam dengan kembang tujuh rupa. Aku harus mencuci wajah dan tubuhku dengan pasir tujuh kali. Benar-benar nahas aku hari ini.

"Gayatri, kamu habis kecemplung di got, ya?"

Kupicingkan mata mendengar suara nyaring Nisa. Mengembuskan napas kasar. Kenapa harus ketemu Nisa and the geng? Habislah aku.

"Parfum baru, Ga?" timpal Arimbi seraya tertawa terbahak-bahak.

Kulirik tajam duo serigala itu. Sialan! Kenapa Indra ada di sana juga? Dia juga ikut tertawa. Rasanya duniaku amblas. Harga diriku ambrol seperti tanah longsor. Rata dengan tanah.

***

Tag tag aaah, walau partnya sangat absurd....

veaaprilia MethaSaja Tyaswuri xxgyuu SerAyue JuliaRosyad9 Bae-nih NyayuSilviaArnaz CantikaYukavers YuiKoyuri holladollam Jagermaster EnggarMawarni Nurr_Salma Vannie_Andrie dan pasangan jiwaku sicuteaabis

Solo, 13 Maret 2017

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top