PART 19
Maret 2015
"Ga, ntar kayae aku pulang agak malem. Kamu bawa kunci kamar tho?"
Kuacungkan jempol sembari melongokkan kepala dari dalam kamar mandi, mulutku penuh busa pasta gigi. Kulihat May tengah memasukkan barang-barangnya ke tas kerja.
"Hari ini rencanamu apa? Jadi balik lagi ke Koran Jakarta untuk ngambil duit?"
Aku berkumur cepat-cepat. "Jadilah, duitku udah tipis banget, cuma tinggal lima puluh ribu. Padahal ini baru pertengahan bulan. Masih dua minggu lagi bayaranku nulis di kolom Horison baru keluar. Kalau nggak nodong ke Koran Jakarta, gimana aku bisa hidup. Bulan ini aku baru sepi, biasanya ada klien satu atau dua dari penerbit, tapi ini kosong melompong."
"Ish, kamu ini aneh, Ga. Duitmu itu untuk opo tho? Sebenere pendapatanmu itu banyak, hampir tiga jutaan tho, tapi kok habis terus. Mbok pake buat apa? Wong tak perhatiin, kamu itu hampir ndak pernah makan. Kalau ndak aku paksa, apa kamu mau makan? Kamu butuh duit bukan untuk hidup, Ga, tapi untuk menyiksa diri. Jangan mbok pikir aku ndak tahu tentang obat-obat pelangsing sama pencahar yang mbok sembunyiin di lemari. Kita temenan sudah dari jaman ndak enak sampe jaman masih belum enak, Ga. Aku sudah sering ngomong, tho, diet boleh, tapi kalau yang kamu lakukan ini sudah kelewatan. Wes ndak wajar."
"Nggak wajar gimana?" aku keluar kamar mandi sembari mengelap muka, "Masih buanyak orang yang lebih langsing dariku. Lagian pendapatan tiga juta, kan, nggak tentu, May. Kaya bulan ini, aku baru dapet sejuta, mana cukup untuk sebulan. Padahal aku udah pasang iklan promo di media sosial, tapi masih belum ada yang nyantol. Aku pengin kerja tetap, penghasilan pasti, May. Bukan cuma pekerja lepas begini."
May melirikku sesaat sambil berdecak. "Duitmu itu habis untuk hal ndak berguna! Harga pil-pilmu itu muahal, Ga. Memang banyak yang lebih langsing dari kamu, tapi mereka ndak punya pola makan salah koyo kamu. Bobotmu itu sudah berkurang banyak banget. Dari yang delapan sembilan, sekarang udah empat dua. Kamu berhasil ngurangin separuh berat badanmu, Ga. Itu emejing banget. Tapi, kamu masih aja ngerasa kurang."
"Coba lihat lenganku, May. Masih menggelambir gini, apalagi yang deket ketek, perutku juga gimbyur-gimbyur." Aku memamerkan lipatan kulit di lengan dan perut.
"Itu karena kamu dari gemuk trus kurus, dan kamu kurang minum air putih, Ga. Jadi, kulitmu ndak singset. Wong minum air putih ndak bikin gemuk kok yo ndak mau. Dah, ah, aku berangkat dulu, udah mau telat, padahal aku ada presentasi sama klien. Mau nawarin asuransi ke perusahaan gedhe ni."
Kuikuti punggung May yang menghilang di balik pintu kamar dengan ekor mataku. Hampir dua tahun kami tinggal sekamar. Awalnya aku berniat membantu May, karena dia belum juga dapat kamar indekos. Namun, setelah aku dipecat gara-gara kasus file hilang itu, aku dan May jadi bertukar posisi.
Aku menumpang di kamarku sendiri. May yang membayar seluruh sewa kamar ini, sedangkan aku cuma 50% tambahannya. Bagaimana tidak, setelah kehilangan pekerjaan di Lentera Hati, sampai sekarang-sudah hampir dua tahun-aku belum juga mendapat pekerjaan tetap. Aku hanya bekerja paruh waktu sebagai pengisi kolom cerita bersambung di Koran Jakarta dan kolom review di majalah Horison. Kadang kalau beruntung, aku bisa dapat tambahan pekerjaan dari penerbitan yang butuh jasaku untuk mengedit naskah mereka.
Dengan menjadi pekerja lepas, aku mulai belajar mengatur waktu. Aku harus belajar mendisiplinkan diri, karena aku butuh portfolio dari para klien yang bisa membantuku untuk memperoleh lebih banyak lagi pekerjaan. Aku tidak bisa lagi membiarkan pikiranku terbang ke mana-mana, hingga membuat pekerjaanku carut-marut.
Kutatap wajah yang ada di cermin, tampak kerutan di ujung mata dan bibir. Kulit wajah kusam, seperti ada setumpuk debu menempel dan berkerak, kalau kubilang seperti pantat wajan. Belum lagi komedo di hidung pesek yang seolah melambai-lambai mengejekku. Bibir menghitam, katanya karena aku sering mengelupas bibir, jadi berubah warna begini. Rambut lepek yang kubiarkan memanjang hingga sepunggung, dengan poni hujan deras masih setia melindungi jidat lapangan sepak bolaku.
Sama sekali tak ada daya tariknya. Jelek. Kusam. Kumuh. Kucel. Bernapas pula. Tampang begini, kok, berharap dapat kerja yang bonafide. Mana mungkin.
Oleh karena itu sudah dua tahun, aku tidak berani pulang kampung. Aku tidak pernah kembali lagi ke Solo. Aku tak punya muka untuk berhadapan dengan Ibu dan keluarga yang lain. Aku tidak sampai hati untuk bilang terus terang kalau aku tidak punya pekerjaan tetap di Jakarta. Aku tidak mau dikasihani.
Jangan sampai mereka tahu kondisiku di sini. Bisa hancur harga diriku, terlebih di depan Tante Ningsih-yang selalu membangga-banggakan Evelyn.
Ibu sering memaksaku pulang, terlebih saat lebaran tiba. Namun, aku selalu mencari alasan yang masuk akal. Berkali-kali Ibu ingin mengunjungiku ke Jakarta, tapi kularang dengan alasan tidak ada tempat untuk Ibu tidur. Ya, kan, memang benar. Di kamarku hanya ada satu tempat tidur sorong, atas untukku dan yang sorong milik May.
May sudah kuwanti-wanti untuk tidak mengungkapkan keadaanku pada Ibu. Aku lebih memilih jadi gelandangan,timbang harus mengakui kekalahanku.
Aku bersyukur Tuhan masih memberiku rezeki sebagai penulis lepas, tapi itu tidak cukup. Aku belum bisa menjadi kebanggaan keluarga. Padahal aku sudah memasukkan entah berapa ratus lamaran ke berbagai perusahaan, tapi belum ada satu pun yang mau menggaetku. Kebanyakan dari mereka mencari yang sudah berpengalaman. Sedangkan aku-yang dipecat dari Lentera Hati-tidak memiliki satu pun surat pengalaman kerja. Jadi, aku dihitung masih amatir.
Kututup hidung dengan penjepit baju, lalu kusemprotkan pewangi ruangan beraroma jeruk segar milik May ke tubuhku. Lumayanlah, bisa mengurangi bau apak dari baju yang kucuci ala kadarnya. Datang ke kantor besar mau tak mau menuntutku tampil bersih, rapi dan wangi.
Kusambar tas rajut milik Ibu yang sudah mulai usang, memasukkan dompet dan ponsel-dua barang yang harus kubawa kemana-mana-lalu beranjak menuju halte busway terdekat. Mumpung belum begitu siang, aku bisa jalan kaki dengan santai.
Memang beda rasanya punya badan agak kurus timbang jaman sebesar drum dulu. Dengan berat empatpuluh dua, berjalan kaki rasanya lebih ringan. Membuatku tambah semangat untuk menurunkan berat lagi. Kalau saja jarak indekos ke Koran Jakarta dekat, aku memilih berjalan kaki. Selain untuk olahraga, aku juga bisa berhemat.
Sudah dua tahun aku tidak ikut kelas senam atau yoga atau gym, makanya kulitku pada gembyur. Pil diet dan pencahar yang kuminum cuma bisa mengurangi lemak atau minimal tidak membuat beratku bertambah, tapi tak bisa menyingsetkan badan. Mungkin aku harus mengurangi jatah makan, biar bisa membayar kelas senam atau body language.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit-dari indekosku di Tanah Abang sampai di kantor redaksi Koran Jakarta di The Bellezza Permata Hijau Office Tower Lt.26, Jakarta Selatan-aku langsung menemui Mbak Nurul-entah staf bagian apa, tapi yang jelas dia yang mengurusi pembayaran para pekerja lepas sepertiku.
Tak butuh waktu lama-karena sebelumnya aku sudah menghubungi Mbak Nurul-untuk memindahkan segepok-uang-delapan-ratus-ribu dalam amplop cokelat ke tanganku. Lumayan, bisa untuk membeli kebutuhan hidup dan mungkin ikut senam. Setelah selesai urusanku dengan Mbak Nurul, aku langsung undur diri, aku masih harus ke Thamrin City, tepatnya ke Sentra Buku Jakarta. Ada sebuah buku lawas yang kubutuhkan untuk mengisi kolom review buku di Horison.
Baru saja kakiku melangkah keluar dari ruangan Mbak Nurul, kurasakan getaran di tas cangklong. Aku memang kurang suka menyalakan nada dering di ponsel, lebih nyaman hanya dengan menggetarkannya. Kuambil ponselku dengan tangan kiri, sambil memasukkan amplop cokelatku ke tas cangklong.
Ibu telepon? Kulihat jam di layar ponsel, pukul 11.00, tumben. Ibu, kan, tahunya aku masih kerja di Lentera Hati, dan jam segini masih jam kerjaku.
"Assalamualaikum, Bu," ucapku sembari menuju pojok dekat lift yang sepi. "Bagaimana kabar Ibu di Solo?"
"Waalaikumsalam. Alhamdulillah, Ibu sehat, Nduk. Kamu bagaimana? Sehat juga, tho?"
"Njih, Bu. Gaya sehat. Ada apa, Bu? Kok, tumben Ibu telepon di jam kerja?"
"Ini lho, Ibu cuma mau ngabari, adekmu keterima kerja di BNI Pusat. Mulai bulan depan dia bakal nyusul kamu ke Jakarta. Ibu mau minta tolong, mbok carikno Rania indekos yang deket sama kantornya. Nek ndak salah, kantore Rania juga deket sama May. Daerah Sudirman."
Kusandarkan punggung pada tembok, kuembuskan napas dengan berat, seolah ada batu sebesar truk menimpa dadaku. Rania diterima di bank, gajinya pasti tinggi. Sedangkan aku? Kuremas amplop cokelat yang masih kugenggam hingga kumal. Delapan-ratus-ribu.
Aku hanya sanggup mengiyakan perintah Ibu, walau dalam hatiku jelas menolak. Satu kota dengan Rania merupakan mimpi terburukku. Tak perlu waktu lama, Ibu dan para penggosip di keluargaku pasti mengetahui akan diriku yang pengangguran.
Namun, bagaimana caraku menghindari Rania? Di sinilah tempatku mencari sesuap nasi-eh, maksudku sebutir pil pelangsing. Kalau aku harus pergi, ke mana? Kalau aku tetap tinggal, apa artinya dua tahun lebih aku melarikan diri ke Jakarta, kalau pada akhirnya aku tetap menjadi bayang-bayang Rania?
***
"Bu, Atheis-nya Achdiat K. Mihardja ada nggak? Kata ibu-ibu yang punya kios di depan, Ibu masih punya. Saya butuh banget, Bu," tanyaku pada ibu pemilik salah satu kios buku di Sentra Buku Jakarta. Urusan Rania kupikir belakangan saja, yang penting sekarang menyelesaikan PR review untuk Horison.
"Wah, Neng, mah telat. Baruuu aja bukunya teh dibeli sama cowok ganteng, tuh itu yang pake baju kotak-kotak, yang pake kacamata."
Mataku mengikuti telunjuk si Ibu. "Yang itu, Bu?" Aku menunjuk seorang pria dengan ciri-ciri berbaju kotak-kotak dan berkacamata.
"Nah, iya, Neng. Si Kasep itu mah baik orangnya, sudah langganan di kios Ibu dari dulu. Coba atuh Neng pinjam atau nukar duit, kalau-kalau dikasih."
Wah, si Ibu ... tidak bisa membedakan mana cowok mana pria. Itu, sih, bukan cowok ganteng, tapi pria tampan. Astaghfirullah! Jaga mata dan hati, Gaya! Ingat janjimu, tidak ada yang namanya naksir-naksiran sebelum impianmu terwujud.
"Saya coba, ya, Bu. Terima kasih, Bu," ucapku sembari membungkukkan badan sedikit.
Aku setengah berlari mengejar pria berkacamata yang kini tengah berjalan menuju pintu keluar. Jangan sampai lolos, bagaimana pun caranya aku harus dapatkan buku itu. Aku sudah janji ke Horison bakal mengulas tentang Atheis, dan mereka menyambut hangat ideku. Jangan sampai mereka merasa kubohongi, aku masih sangat membutuhkan pekerjaan dari mereka.
"Mas! Mas yang pake baju kotak-kotak!" teriakku saat kulihat sosoknya mulai tertelan kerumunan orang di lorong kios.
Kuulangi lagi meneriakinya dengan suara lebih lantang. Namun, belum juga berhasil membuat pria itu menghentikan langkah. Duh, itu cowok telinganya memang bermasalah atau sombong, sih?
Kupercepat langkah saat laki-laki itu berjalan menuju parkir mobil. Kalau dia sampai lolos, itu artinya aku harus muter-muter Jakarta demi mencari buku Atheis.
"Mas! Masnya yang baru beli buku Atheis! Tolong berhenti!"
Akhirnya pria itu menoleh tepat ketika tangannya memegang pegangan pintu mobil. Aw aw aw .... Matanya tajam banget. Alisnya tebal dan hitam. Tatapannya bikin lututku lemas.
"Maaf, Mas," ucapku seraya mengatur napas saat aku tiba di depannya, "anu, itu ... saya mau minta tolong."
Oke, omonganku tidak terstruktur sama sekali. Perpaduan antara napas ngos-ngosan dengan tatapan setajam elang, membuat otak dan syaraf bicaraku konslet.
Dia melihatku seolah bertanya, "Ada apa?" Wih, mendadak aku jadi sok bisa membaca pikiran orang begini. Aku tersenyum dalam hati.
"Sebelumnya maaf, karena sudah mengganggu Anda. Jadi, begini, Mas ...." Kuceritakan seluruh duduk permasalahan mengapa aku sampai mengejarnya seperti orang kesetanan.
Dan, tanggapannya cuma 'oh' atau kadang 'ya', kalau panjangan dikit 'lalu'. Bagus sekali. Ibu pemilik kios itu benar-benar menyesatkan! Mana yang katanya 'Cowok Ganteng nan Baik Hati'? Kalau ini, sih, 'Pria Sedingin Es Batu'. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Flat. Kuberi nilai enam puluh!
"Jadi, bagaimana, Mas. Boleh saya membelinya, atau saya pinjam barang sebentar?" ucapku mengakhiri sesi presentasi proposal pemindahtanganan novel.
Pria itu terdiam, dia menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuatku malu. Tatapannya bukan yang mesum begitu, tapi seperti menilai. Ah, entahlah, aku tidak mau memikirkannya. Yang penting dia harus setuju dengan salah satu pilihan yang kuberikan.
"Ambil saja."
Aku mengerjap beberapa kali, saat pria itu mengangsurkan plastik berisi buku kepadaku. "Wah, makasih, Mas. Jadi, saya bayar berapa ke masnya?"
Aku belum berani menerima plastik hitam itu, aku merogoh tas demi mengambil dompet.
"Saya bilang ambil saja."
"Eh, ini ... untuk saya? Gratis begitu?" tanyaku kurang yakin.
"Ya, untuk Anda. Saya sudah ada satu di rumah."
Wiiih, kunaikkan nilaiku jadi delapan puluh. "Wah, makasih banget, ya, Mas. Lemah teles, lemah garing. Gusti Allah sing mbales, Gusti sing paring." Sekarang baru berani kuambil plastik berisi buku itu.
Oke, saatnya berpamitan. Ucapkan terima kasih dan maaf, lalu pulang. "Sekali lagi, maaf dan terima kasih ya, Mas. Saya benar-benar tidak enak dan merasa merepotkan. Malah masnya nggak mau saya tuker."
"Tidak apa."
Ngirit banget ngomongnya. Kaya kalau buka mulut harus bayar saja. "Baiklah, kalau begitu saya undur diri, Mas. Terima kasih, ya."
Kuberbalik dan bersiap melangkah, saat laki-laki itu memanggilku.
"Mbak."
Aku kembali menghadapkan tubuh ke arah si kotak-kotak. Apa perutnya juga kotak-kotak, ya? Astaga, ini cowok bikin otakku benar-benar rusak.
"Ya, Mas, bagaimana?"
"Tadi Anda bilang, kalau Anda ini penulis lepas, kan? Ada pengalaman kerja di penerbitan?"
Kukerutkan keningku. "Iya, Mas. Dua tahun lalu pernah kerja di Lentera Hati. Ada apa, ya?" Si Cowok kembali manggut-manggut.
"Oh, bukan ... hanya saja saat ini, penerbitan saya sedang membutuhkan seorang firstreader. Memang, letaknya bukan di Jakarta, melainkan Bandung. Mungkin kalau Anda tertarik, kita bisa bekerja sama."
What? Dia menawariku kerja? Beneran? Aku tidak sedang berhalusinasi, kan? Dan, tempatnya di Bandung? Paris Van Java? Astaga!
"Masnya-eh, maksud saya, Anda menawari saya pekerjaan?"
Pria itu mengangguk.
Nilainya dua ratus! Baiklah, kuberi bonus lima puluh!
***
Update malem-malem...
Hehehe....
Ups, sebelumnya saya mau mengucapkan "Selamat menjalankan ibadah puasa bagi umat muslim. Semoga segala amal perbuatan baik kita menjadi tabungan di hari esok."
Hai haiiii ....
Maafkan karena baru update....
Mohon kritik dan sarannya, ya, manteman....
Terima kasiiiih
Solo, 29 Mei 2017
Bryna Mahestri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top