PART 18

Agustus, 2013

"Ga, naskahnya Febri udah loe selesaiin belom? Udah ditungguin Bu Indri dari kemaren. Kalau loe kaya begini terus, gue yang susah, tiap hari kena omel. Gue nggak mau tahu, siang ini, itu naskah harus udah selesai!"

Sial! Pagi-pagi si Alis Sinchan ini sudah berkacak pinggang di depan mejaku. Padahal belum ada semenit pantatku mencium aroma kursi yang apak, tapi si Alis Sinchan sudah berhasil membuatku ingin pulang secepatnya.

"Gue perhatiin akhir-akhir ini konsentrasi loe buyar, Ga. Kinerja loe nggak kaya awal-awal dulu. Kalau loe kaya gini terus, gue nggak bisa jamin posisi loe bakal aman."

Yaelah, masih juga belum berhenti. "Iya, Mbak. Aku akui, aku memang banyak pikiran, tapi aku janji untuk ke depannya kejadian kaya begini nggak bakal terulang. Dan, apa pun masalahku, nggak bakal mempengaruhi kinerjaku lagi."

Si Karin ini memang wanita super perfectionist nomor satu di Lentera Hati-perusahaan penerbitan tempatku bekerja. Sebagai copy reader senior, dia selalu menuntut kesempurnaan dari seluruh juniornya, termasuk aku.

Tidak ada hal yang tidak dikritik oleh Karin. Semua orang di matanya tidak ada yang becus. Semua harus berjalan sesuai keinginannya, tapi dia terkadang juga tidak mengikuti aturan.

"Gue pegang omongan loe, Ga. Kalo loe kaya gini terus, karier loe nggak bakal meningkat."

Dalam waktu kurang dari lima menit, sudah tiga kali dia mengatakan 'kalo loe kaya gini terus'. Coba ada Rifki, pasti kami sudah taruhan untuk menebak berapa kali kata-kata andalan si Karin itu terucap.

Akhirnya aku bisa bernapas lega, setelah Karin mengangkat kaki dari hadapanku. Aku bisa menyandarkan punggung barang sejenak. Kuembuskan napas panjang, mataku menerawang ke langit-langit kantor.

Sudah hampir enam bulan aku bekerja di Lentera Hati sebagai copy reader. Sejak wisuda Desember tahun lalu, aku memutuskan untuk merantau ke Ibukota demi membuktikan pada orang-orang bahwa aku mampu, aku hebat, aku bisa mandiri. Aku telah bersumpah di depan makam Bapak, bahwa aku pasti bisa menjadi putri kebanggaannya. Aku tidak akan sudi diinjak-injak dan dipandang sebelah mata lagi. Aku-Gayatri Lituhayu-pasti bisa melampaui Rania.

Namun, kenyataan tak seindah impian. Kupikir setelah lulus dengan ipk 3,64, aku bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, semudah sepertiku membalikkan telapak tangan. Aku lupa, kalau di luar sana ribuan orang berlomba-lomba mencari sumber penghasilan.

Dua bulan aku terkatung-katung di Jakarta, sibuk wira-wiri memasukkan berpuluh-puluh lamaran kerja. Menunggu penuh harap akan datangnya panggilan sembari terus menyebar jala. Hingga pada suatu sore, sebuah telepon masuk ke ponselku, panggilan wawancara dari Lentera Hati. Rasa-rasanya sore itu aku menemukan segelas air es di tengah gurun pasir. Ada sedikit kesegaran merasuki jiwaku.

Setelah tiga kali tes, akhirnya aku diterima di perusahaan penerbitan, walau statusku kala itu masih sebagai pegawai kontrak. Namun, bagiku itu suatu keberhasilan. Saat namaku diumumkan lolos, aku langsung menghubungi Ibu. Bukan cuma Ibu, tapi May dan Retno juga kuberi tahu.

Mereka menyambut gemberi kabar dariku. Bagiku, respon mereka sangat melecut semangatku untuk terus berjuang. Namun, entah mengapa sebulan belakangan semangatku pudar. Aku kembali merasa gagal, karena tak juga diangkat sebagai pegawai tetap.

Dengan status sebagai pegawai kontrak, nasibku belum benar-benar aman. Aku masih bisa disepak kapan pun perusahaan ini tak lagi membutuhkanku. Oke, aku tahu, seharusnya aku semakin bersemangat, bukannya malah nglokro seperti ini.

Dddrrrtttt dddrrrrttt

Kulirik ponsel di atas meja. Kukerutkan kening, tumben si May telepon. Terakhir kali dia menghubungiku kira-kira seminggu lalu, itu pun hanya sekadar tanya kabar.

Kuambil ponselku dan buru-buru kutekan tombol hijau. "Tumben telepon pagi-pagi gini, May?"

"Woi! Ucap salam dulu, tho, Ga! Assalamualaikum."

Masih aneh saja anak satu ini. "Waalaikumusalam. Kenapa, May?"

"Gayaaaaa! Aku diterima!"

Kujauhkan ponsel dari kuping, gila, suaranya bisa bikin gendang telingaku pecah. "Memangnya kamu ngelamar siapa?" tanyaku setelah teriakan May mereda.

Terdengar dengkusan dari ujung sana. "Piye, tho, Ga. Mosok kamu ndak inget? Aku ngelamar kerja di Jakarta. Barusan aku dapet telpon, minggu depan aku disuruh langsung masuk. Nah, aku mau tanya, di indekosmu masih ada kamar kosong ndak? Aku mau, Ga, satu tok. Katane, kosmu sama Sudirman ndak jauh, tho? Lumayan aku bisa ngirit transport."

Oh, iya ... aku lupa! Kutepuk keningku pelan. "Penuh semua, May. Tapi, kamu bisa sekamar sama aku, sambil nyari indekos yang pas. Ntar aku bilang sama ibu kosnya, pasti boleh. Palingan nambah ongkos per bulan."

"Ndak po-po, Ga! Aku mau. Bayar full juga aku mau. Indekosmu penak banget soale, kalau mau ke mana-mana deket."

"Ya sudah, kamu ke sini aja. Aku tunggu. Eh, May, udah dulu, ya. Ini si Alis Sinchan ke sini."

Kututup sambungan telepon lalu kumasukkan ponsel ke laci meja, tepat saat Karin tiba di depan mejaku. Kalau dia sampai melihatku pegang ponsel di jam kerja, bisa ceramah tujuh hari tujuh malam.

"Ga, ini naskahnya si Metha yang udah lolos editing. Baru aja di ACC Bu Indri. Nih, loe kirim ke Bang Ray biar bisa mulai produksi. Jangan lupa minta tanda terima, trus loe cek dulu kelengkapan administrasinya."

"Kok tumben pake Flashdisk, Mbak? Biasanya by email." Kuterima FD Mbak Karin lalu kucolokkan ke laptopku.

"Nggak usah banyak nanya, deh. Gue juga kagak tau. Tadi kata Bu Indri, laptopnya rusak apa gimana. Biasanya juga Dimas yang ngurusin naskah siap cetak, ini 'napa jadi dilimpahin ke gue."

Bagus! Dan sekarang aku yang kamu jadikan tumbal? Dasar semprul! Di mana-mana junior pasti dijadikan pesuruh.

"Sekarang juga loe kirim, Ga. Kalau sampe molor, gue yang bakal kena semprot."

Kalau tidak ingat tentang hukuman penjara, sudah kugorok leher si Sinchan ini dari kemarin-kemarin. Setelah membebaniku dengan tambahan tugas-yang bukan tanggung jawabku-sekarang dia melenggang bebas.

Kucari judul file punya si Metha sambil menggerutu, lalu kukompres biar lebih kecil. Kubuka emailku untuk mengirimkannya ke Bang Ray. Baru kuketik beberapa kata pengantar, kurasakan getaran dari laci meja.

Ddrrrt ddrrrt

Kulirik ponsel di laci. Kuambil dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananku tetap berkutat dengan mouse. Sebuah pesan masuk dari Retno. Kubuka lalu kubaca cepat.

Retno Syar'i

Assalamualaikum. Mbak Gaya, gimana kabarnya? Kemarin Mbak Sisil telepon Retno, katanya habis ketemuan sama Mbak Gaya, ya?
10.21

Kupindah ponsel ke tangan kanan, sedangkan mouse di tangan kiri. Kuklik dua kali layar laptop, sembari membalas pesan dari Retno. Lalu kututup alamat emailku setelah emailku terkirim ke Bang Ray.

Waalaikumusalam.
Hai, Ret, alhamdulillah sehat. Iya, kemaren nggak sengaja ketemu Mbak Sisil di Plaza Semanggi, trus kita nonton deh.

Iiih, asyiknya. Jadi pengen kumpul bareng kaya waktu di Jogja dulu. Nggg, Mbak Gaya masih diet, ya?

Kenapa, Ret?

Kata Mbak Sisil, sekarang Mbak Gaya kurus banget. Dia sampai pangling. Katanya, Mbak Gaya juga lepas jilbab, ya?

Kurus??? Aku masih gemuk, Ret. Iya, nih, aku masih belum siap pake jilbab. Lagian di Jakarta gerah, Ret.

Aku sudah menduga, Mbak Sisil pasti cerita ke Retno tentang pertemuan kami. Dan sesuai prediksiku, Retno pasti mencari kebenarannya dariku.

Kurus apanya? Kulihat lipatan lemak di perutku yang sudah seperti bolu gulung. Lalu lenganku yang masih seperti Popeye. Beratku saja masih 46 kilo, bisa-bisanya bilang aku kurus.

Kuakui akhir-akhir ini susah sekali menurunkan berat badan, padahal porsi makanku jauh berkurang. Aku juga mulai mengkonsumsi obat pelangsing. Olah raga rutin kujalani seminggu tiga kali, dan tiap minggu pagi aku selalu joging mengelilingi daerah indekos. Namun, bodiku masih saja belum terbentuk.

Beneran, Mbak Gaya, baik-baik aja? Nggak sakit, kan? Masih suka muntah-muntah? Maaf, Mbak, aku cuma khawatir kalau ada apa-apa. Aku-

Kulempar ponsel ke dalam laci, tanpa membaca pesan Retno sampai selesai. Lama-lama itu orang bikin risih, sering menceramahiku karena hal sepele. Apa salahnya muntahin apa yang sudah aku makan? Toh, aku yang beli semua makanan itu. Aku b-e-l-i bukan mencuri. Jadi, sudah jadi hakku mau kuapakan makanannya.

Alasan karena khawatir kesehatanku bermasalah lah, sampai pernah mengataiku salah pola pikir. Apa dia pikir aku ini sakit jiwa? Gila begitu? Dasar sedeng!

Suara nyaring telepon di meja, membuatku berjingkat kaget. Hari ini perasaan sibuk banget, bikin capek.

"Ya, dengan Gayatri bagian copy reader di sini. Ada yang bisa saya bantu?" ucapku begitu kuangkat gagang telepon.

"Gaya, kamu yang tadi ngirim berkasnya Metha? Bisa kamu kirim ulang? Itu kosong. Biar saya bisa segera proses."

Siapa, sih, ini orang? Bukan ngucap salam kek atau apa, malah langsung nyerocos nggak jelas. "Maaf, ini siapa, ya?"

"Ray."

"Oh, Bang Ray. Iya, Bang, tadi Gaya disuruh Mbak Karin ngirim. Gimana, Bang?"

"Bisa kamu kirim ulang? Lampiran kamu kosong."

Kosong bagaimana? Jelas-jelas tadi sudah kukirim file-nya. "Sebentar, Bang. Ini langsung aku kirim ulang."

Kujepit gagang telepon di antar pipi dan bahuku. Lalu dengan cepat kubuka lagi email, untung saja FD si Karin belum kulepas dari colokannya, jadi tak butuh waktu lama untukku mengirim ulang file yang diminta Bang Ray.

"Udah aku kirim ulang, Bang," laporku. Sengaja tak kuputus sambungan, supaya aku bisa langsung mengeceknya ke Bang Ray.

"Kamu kirim apa? Masih kosong ini."

Masih kosong? "Sebentar, Bang. Aku cek lagi."

Kuletakkan gagang telepon di tempatnya, kuklik dua kali judul file milik Metha. Mataku terbelalak menatap layar laptopku yang menampilkan warna putih. Lho, mana tulisannya? Kenapa kosong?

Kubuka file asli yang belum ku-compress, tapi juga kosong. Mungkin Karin atau Bu Indri salah memberiku FD. Kutekan tombol telepon yang menghubungkan dengan ruangan Karin.

"Halo, Mbak, ini Gayatri. Ini tadi Mbak Karin sepertinya salah ngasih FD ke aku. File-nya Metha kosong, Mbak," ujarku setelah Karin menjawab salamku.

"Kosong gimana? Tadi gue buka bisa. Loe jangan bikin ulah lagi, deh, Ga! Nggak usah bercandain hal macem ini."

Siapa juga yang ngajak bercanda? Jelas-jelas dia yang ngasih FD kosong ke aku. "Ini aku cek, kosong, Mbak."

Semprul! Si Alis Sinchan membanting teleponnya, membuat kupingku berdenging. Aku menghitung dalam hati, paling dua puluh hitungan si Karin sudah malang kerik di depanku.

Kan, apa kubilang. Dari jauh bisa kulihat asap di ujung kepalanya, mukanya juga memerah persis Hellboy. Aku yakin, sebentar lagi kupingku yang berubah menjadi merah.

"Loe bisa kerja nggak sih? Cuman gue minta kirim file juga nggak becus. Kalo loe kaya gini terus, karir loe bakal tamat, Ga!"

Kutarik napas panjang, masih kucoba untuk bersabar menghadapi Singa Betina ini. "Coba, Mbak Karin, lihat sendiri. Dari pertama kukirim ke Bang Ray, itu sudah kosong. Dari pada Mbak marah-marah, mending minta tolong Dimas untuk kirim ke Bang Ray. Toh, itu juga tugasnya dia."

"Loe bego ato gimana, Ga? Gue, kan, tadi udah bilang, laptopnya Bu Indri rusak. Semua data ada di sana." Karin mulai menunjuk-nunjuk mukaku sambil mencak-mencak.

"Lho, kok, Mbak Karin jadi mbego-mbegoin aku? Dari awal, datanya memang nggak ada di FD. Jadi bukan salahku!" Aku tak mau disalahkan, aku berdiri menyamai tinggi dengan Karin.

"Loe udah salah, bukannya ngaku salah malah kurang ajar. Nggak profesional banget jadi orang. Loe gimanain itu file sampe bisa kehapus?" Karin mendorongku untuk minggi dari depan laptop.

"Eh, Mbak, aku nggak nyentuh apa pun, ya. Jangan main tuduh, dong! Habis aku terima tadi, langsung kucolokin ke laptop, langsung aku kirim ke Bang Ray." Aku berusaha membela diri.

Karin menatapku tajam. "Jadi, tadi sebelum loe kirim ke Ray, loe nggak ngecek dulu? Jangan-jangan loe tadi nggak konsen? Ini bukan pertama kalinya loe nggak konsentrasi, Ga. Minggu lalu, loe juga ngilangin kontrak kerja. Atau loe tadi ketiduran kaya kemaren-kemaren? Kinerja loe turun drastis, Ga! Kalo loe kaya gini terus, gue udah nggak bisa mempertahanin loe lagi. Mending loe cabut aja dari Lentera Hati, timbang bikin susah!"

Aku terdiam. Terperangah dengan ucapan Karin yang pelan, tapi tajam. Benarkah aku yang salah? Kenapa aku jadi tidak percaya diri? Kenapa aku juga merasa bersalah? Benarkah tadi aku yang tanpa sengaja menghapusnya? Tapi kapan? Kenapa aku tidak ingat?

***

Wuuuaaaa ....
Maafkan saya yang terlalu lama nggak update....
Mpe hampir seminggu....😭😭😭

Ini pun belum sempat edit....
😢😢😢

Mohon kritik dan sarannya, ya, teman-teman...
😘😘😘

Solo, 26 Mei 2017

Bryna Mahestri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top