PART 14
November, 2011
Sejak pagi buta—begitu pintu gerbang kampus dibuka—aku langsung mencari keberadaan si Cakil. Namun, sampai pukul 10.00 belum juga kulihat janggut lancipnya. Seluruh ruang kelas kuintip, masih saja tak terendus penampakan David. Akhirnya dengan ditemani Retno, aku mencari ke ruang mapala. Berdasar info yang kudapat, David sering nongkrong di sana.
"Primus!" panggilku begitu melihat Primus di depan ruang mapala. "Kamu lihat David nggak?"
"Kenapa, Ga?"
"Lihat apa nggak?" bentakku.
"Sabar, Mbak," Retno mengelus lenganku, "Mas David mbawa tugas proposalnya Mbak Gaya, Mas."
"Yang bener, Ga? Waduh, barusan aku sempat lihat di aula depan, kayae mau ke ruang dosen sambil bawa map."
Sialan! Firasatku tambah tidak enak. Secepat mungkin aku berlari ke ruang dosen di lantai dasar. Aku tidak peduli sudah berapa orang yang kutabrak, yang penting aku harus mengambil kembali proposalku.
Aku mendengar Retno dan Primus memanggilku, sembari meminta maaf ke orang yang baru saja kutabrak. Masa bodo, aku tetap saja berlari.
Kusipitkan mata, saat melihat sosok yang baru saja keluar dari ruang Pak Amril. Janggut itu, jelas milik si Cakil. Untung saja aku rutin joging, jadi tubuhku sudah terbiasa untuk berlari. Kuperbesar langkahku demi mempersempit jarak antara kami.
"DAVID!" teriakku dengan volume suara maksimal.
Aku yakin melihatnya menoleh, tapi bukannya menungguku, dia malah berbalik arah dan dengan setengah berlari menjauhiku. Berarti benar, ada yang tidak beres.
"Siapa pun, tolong tangkap laki-laki bermuka buto cakil itu!" teriakku lagi.
Cakil menambah kecepatan lari, tapi aku juga tak mau kalah. Kalau sampai dia lolos hari ini, aku bakal susah untuk melaporkannya ke Pak Amril.
Tepat saat David akan masuk ke lift, kulihat Hendro–teman sekelasku yang bertubuh gempal–baru keluar dari lift.
"HEN ... HENDRO! TANGKAP DAVID!"
Untung saja Hendro cepat tanggap. Tanpa tahu duduk permasalahannya, dia mencekal lengan David, lalu memelintirnya hingga Cakil tak lagi berkutik.
"Mana proposalku?" tanyaku begitu sampai di depan wajahnya.
"Proposal apa lagi? Lepas! Apa-apaan ini?" Cakil berusaha memberontak.
Primus yang baru sampai, membantu Hendro memegangi Cakil supaya tidak lepas.
"Brengsek! Cepet balikin proposalku!"
Cakil mengerang kesakitan saat Primus memelintir lagi lengannya.
"Ada apa ini?" Pak Yoyok—Dekan Sastra Indonesia—rupanya mendengar keributan yang kuperbuat, hingga beliau keluar dari ruangan.
"Maaf, Pak. David mengambil tugas proposal saya, seharusnya hari ini saya kumpulkan ke Pak Amril," ucapku.
"Bohong, Pak! Aduuuh!" Dasar cowok tak tahu diri, masih saja berkelit. Rasakan kekuatan Hendro.
"Kalau gitu, mana proposalku? Katanya, kamu mau bantuin ngeprint sama njilid, kenapa sampai sekarang belum kamu kasih ke aku? Kamu malah lari begitu melihat aku?" Aku tidak boleh lemah. Aku harus memperjuangkan hakku.
"Proposal apa? Dasar cewek gila! Main tuduh seenaknya."
"Wah, nggak beres ini orang. Sidang saja, Pak," usul Hendro.
"Kalian semua, masuk ke ruang Pak Amril!"
"Lepas! Aku nggak salah!" Kulihat David meronta tak karuan, berusaha meloloskan diri dari betotan Hendro dan Primus.
Aku mengekor Pak Yoyok menuju ruang Pak Amril, diikuti si Cakil yang masih diapit oleh Primus dan Hendro. Sedangkan Retno menggamit lenganku, sambil membisikkan kalimat penyemangat.
"Jadi, bagaimana kejadiaannya? Bisa kamu ceritakan, Gayatri?" Pak Yoyok membuka sidang.
Kami sudah duduk berhadapan. Pak Yoyok diapit Pak Amril dan Bu Wiwik, selaku Wakil Dekan III. Sedangkan kami berlima—Retno, aku, Primus, Cakil dan Hendro—duduk berjejer di depan para petinggi kampus.
"Jadi begini, Pak. Hari Selasa kemarin, David datang ke indekos saya, dia bilang akan membantu saya untuk mencetak dan menjilid tugas seminar proposal dari Pak Amril. Katanya sehari dua hari akan diantar ke indekos saya lagi, karena hari ini batas waktu pengumpulannya.
"Namun, sampai tadi pagi, David belum juga muncul. Saya telepon, ponselnya tidak aktif. Akhirnya, saya putuskan untuk mencarinya di kampus. Nah, tadi saya melihat David baru keluar dari ruangan Pak Amril. Saya panggil, dia malah lari. Jadi, wajar saja kalau saya curiga bahwa David sudah menyabotase proposal saya." Aku berusaha menjelaskan sesuai kenyataan.
"Bohong, Pak! Saya tidak pernah menawarkan diri untuk membantu Gaya, malah dia yang meminjam tugas proposal saya."
"Apa? Aku pinjam tugasmu?" Aku sangat terkejut, bagaimana mungkin dia memfitnahku seperti ini.
"Begini, Pak, Gaya memanfaatkan kebaikan saya. Dia meminjam proposal saya, tapi karena tidak saya izinkan, dia marah. Lalu memfitnah saya seperti ini."
Aku terperangah. Sama sekali tak mengira David bisa memutar-balikkan fakta dengan tenang, tanpa ada rasa takut sedikit pun.
"Jadi, yang kalian ributkan adalah proposal ini?" Pak Amril menunjukkan bundelan kertas dengan kover berwarna cokelat.
Aku terdiam, terus terang aku menjadi kurang yakin, apakah itu milikku atau bukan. Aku belum melihat judul proposal yang dikumpulkan David.
"Citra dan Peranan Wanita dalam Novel N.H. Dini 'Pertemuan Dua Hati' Ditinjau dari Psikologi Sastra," ucapku lirih.
"Hei! Itu judulku!" bentak David.
Jadi benar, proposal itu milikku. Kupejamkan mata sejenak demi mengatur emosi, jangan sampai aku berbuat gegabah. Kalau aku mengamuk, malah bakal runyam.
"Saya mengambil novel N.H.Dini sebagai judul proposal sekaligus skripsi saya, Pak." Aku menatap manik mata Pak Amril. Kata orang, mata adalah jendela jiwa, semoga beliau melihat kejujuran di mataku.
Pak Amril menatap kover proposal di tangannya. Keningnya berkerut, lalu beliau berbisik pada Pak Yoyok dan Bu Wiwik secara bergantian.
"Sepertinya kalian berdua mempunyai judul proposal yang sama persis," Pak Yoyok mengambil napas sejenak, "Bisa kalian tunjukkan file dalam soft copy-nya?"
Soft copy? Mana mungkin aku punya. Aku bergerak gelisah di kursi. Kalau yang dijadikan bukti adalah soft copy, maka aku akan kalah. Nasibku akan sama seperti Mbak Vera.
Kulihat David sedang mengeluarkan sebuah CD—yang kukenali seperti milikku—dari dalam tas. Dengan angkuhnya dia berjalan menyerahkan kepingan CD kepada Pak Yoyok.
Emosiku memuncak, saat David mengumbar senyum culasnya. Rasanya ingin kurobek mulut si Cakil itu.
"Punyamu mana, Gayatri?" Pak Amril meminta salinan file milikku.
Tenang, Gayatri. Kamu memang nggak punya data, tapi kamu yang ngerjain proposal itu. Kamu harus percaya diri!
Kutarik napas panjang, lalu kuembuskan perlahan. "Mohon maaf, Pak. Seperti yang tadi saya bilang, soft copy milik saya ada dalam bentuk CD yang sekarang Pak Amril pegang. Karena tiga hari lalu, sudah saya serahkan ke David."
"Dasar pembohong," David tertawa, "kalau cari alasan yang masuk akal. Jelas-jelas ada namaku di CD dan dalam file-nya."
"Heh, itu CD-RW! Setahuku bisa diedit. Jadi, pasti kamu sudah mengganti namaku di file-nya!" Aku mulai kehilangan kendali diri, suaraku mulai meninggi.
"Cukup!" bentak Pak Yoyok. "Jadi, kamu tidak ada bukti, Gayatri?"
Tenang, Gaya. Jangan emosi! Kutarik napas sedalam mungkin, untuk meredakan debar jantung dan mendinginkan otak.
"Sebelumnya maaf, Pak Yoyok, Pak Amril dan Bu Wiwik. Saya memang tidak punya bukti dalam bentuk data, tapi saya bisa membuktikan bahwa sayalah yang mengerjakan proposal itu." Entah mendapat kekuatan dari mana, aku bisa mengatakan kalimat itu dengan tenang dan percaya diri.
Aku mengambil sebuah buku dari dalam tas, berjalan ke depan, lalu meletakkannya di meja depan Pak Yoyok.
"Ini buku yang saya jadikan referensi dalam pembuatan proposal. Saya membeli buku tersebut di Shoping Center. Ada nama dan tanda tangan saya di halaman depan. Juga ada catatan-catatan kecil di beberapa halamannya, yang sengaja saya tulis agar saya tidak lupa.
"Selain buku itu sebagai bukti, dengan ini saya menyatakan siap, untuk mempresentasikan proposal saya saat ini juga, Pak, tanpa harus membawa catatan apa pun. Dan, saya harap Mas David juga melakukan hal yang sama. Dengan begitu akan diketahui, siapa yang benar-benar memahami isi proposal." Aku memberi penekanan pada kata 'tanpa membawa catatan apa pun'. Karena bagiku, tidak ada satu pun alat penyimpan data secanggih otak.
"Hm, ide bagus," gumam Pak Yoyok.
Setelah berterima kasih pada Pak Yoyok, aku berbalik ke tempat duduk. Aku meremas telapak tangan Retno, kami sama-sama tersenyum. Ada sedikit harapan muncul dalam diriku. Kalau aku bisa mempresentasikan dengan mulus, semua akan berjalan seperti semula.
"Tunggu dulu, Pak. Kenapa saya juga harus presentasi? Sudah jelas ini proposal saya."
Seperti dugaanku, David ketakutan. Tentu saja, karena mana mungkin dia paham isi proposal itu, aku yakin dia belum membacanya.
"Lhoh, kenapa tidak, Mas? Seharusnya Mas David juga berusaha membuktikan, atau jangan-jangan ... Mas David takut?" Aku memajukan tubuh agar bisa melihat langsung bagaimana ekspresi si Cakil.
"Si-siapa bilang aku takut?!" David terlihat gugup, dia bergerak-gerak tak tenang, seperti ada bara api di bawah pantatnya.
Kamu kalah mental, David! Wajahmu sudah memperlihatkannya.
"Baiklah, jadi kita putuskan siapa pemilik proposal ini, setelah kalian berdua presentasi." Perkataan Pak Yoyok membuatku tersenyum lega.
Lihat saja, aku tidak akan berhenti sampai David dipermalukan, bahkan kalau perlu dia harus di DO.
***
Belum kuediiiit....
😭😭😭
Pokoke lanjut dulu, ntar revisi total....
Solo, 13 Mei 2017
Bryna Mahestri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top