PART 13

November, 2011

Cowok itu lagi? Sudah seminggu ini dia wira-wiri ke indekosku, cuma untuk mengantar seplastik es teler. Apa, sih, maunya ini cowok? Sudah aku bilang berkali-kali kalau aku tidak minum es, aku sedang diet. Masih saja si Cakil nekat.

Astaghfirullah! Cowok ini selalu membuat hatiku berdosa. Lagi-lagi aku menghina ciptaan Tuhan. Ampuni hamba, ya, Allah. Bukan maksud hamba seperti itu, tapi mau bagaimana lagi? Memang kenyataannya, Mas David memiliki rahang seperti cakil.

Setiap melihatnya, yang kubayangkan adalah sosok buto cakil dalam pewayangan. Rahang bawahnya lebih maju timbang yang atas, bentuknya pun runcing. Sifatnya pun menyerupai raksasa itu, suka bercanda dan pandai bersenang-senang. Buto Cakil juga seorang pengeyel sejati, pantang menuruti perkataan orang lain, dan kukuh dengan pendapat sendiri. Persis, lah, pokoknya.

"Hai, Gaya. Baru pulang?" Mas David beringsut dari duduknya setelah melihatku membuka gerbang kos.

Pertanyaannya basi banget. Padahal sudah lihat, kalau aku baru datang. Demi kesopanan, kuberi seulas senyum dengan penuh keterpaksaan pada kakak tingkatku ini.

"Sore, Mas. Iya, tadi pulang kuliah bablas senam. Ada apa, ya, Mas?" tanyaku tanpa bisa busuk, sembari duduk berhadapan dengan Mas David.

Kulihat meja di depanku ada seplastik es berwarna merah. Nah, kan, benar. Retno bakal kegirangan kalau begini terus, dia yang ketiban durian setiap Mas David ke sini. Pasalnya, es teler dari si Cakil selalu kuhibahkan padanya.

"Tadi kebetulan lewat daerah sini, jadi kepengin mampir. Oh iya, ini ada es teler perempatan situ, untuk seger-segeran."

Kuterima plastik berisi calon lemak. "Mas David, nggak perlu repot-repot gini. Aku, kan, jadi nggak enak." Aku mencoba berbasa-basi.

"Bawa masuk dulu, Ga, biar tetep adem."

Aku baru mau melangkah masuk, saat Retno menampakkan batang hidungnya di ambang pintu.

"Eh, ada Mas David," sapa gadis berhijab syar'i itu sembari melirik kantong plastik yang kubawa. "Wah, bawa es lagi, ya? Enak banget, lho, esnya ... seger."

Aku mengedipkan mata, mengode Retno agar menutup mulut. Bagaimanapun juga aku tidak enak hati, kalau Mas David sampai tahu kekurangajaranku.

Untungnya Retno segera sadar akan kekhilafannya. Sambil cengengesan dia berkata, "Aku sering minta ke Mbak Gaya, Mas. Makanya, kalau ke sini, bawanya jangan cuma 1, aku juga mau."

"Sip, besok kubawakan 2."

"Asyik! Sini, Mbak Gaya, aku masukin ke lemari es biar dingin." Retno mengambil bungkusan dari tanganku sembari menebar senyum.

Ish, masuk ke kulkas atau perut? Kuberi sedikit pelototan saat Retno pamit ke dalam kos. Dia merusak rencanaku, padahal kalau aku menaruh ke lemari es, aku bisa berlama-lama di dalam sana. Terus terang, aku tidak begitu nyaman berbincang dengan Mas David.

Aku merasa dia sok perhatian, berusaha cari muka. Bukan tanpa alasan, setiap kali dia ke sini, pasti yang dibicarakan tentang kesibukanku. Pakai sok-sokan mengingatkan tugas kuliah segala. Padahal, kami juga tidak begitu dekat. Yang aku tahu, Mas David ini dua angkatan di atasku, semester sebelas, kalau semester depan dia belum juga lulus, bakal di DO. Namun, dia masih banyak mengulang kelas semester bawah. Bahkan ada tiga kelas yang sama denganku.

"Gaya, kamu sudah bikin proposal skripsi untuk mata kuliahnya Pak Amril?" Nah, kan, mulai sok perhatian.

"Sudah, Mas. Cuma tinggal print sama jilid. Deadline-nya, kan, tinggal tiga hari lagi, bisa gawat kalau aku nggak ngumpulin tugas. Bisa-bisa nilaiku dapet E. Padahal kalau nggak lulus matkul Pak Amril, aku nggak bisa ambil skripsi di semester depan."

Kulihat dahi Mas David sedikit berkerut. "Sini aku yang print-kan di rumah, daripada kamu keluar duit untuk ngeprint. Nanti sekalian aku jilid bareng punyaku."

"Mas David, juga sudah selesai?" tanyaku heran. Kata Primus–teman sekelasku, yang kebetulan juga seorganisasi Mapala–Mas David jarang sekali menyelesaikan tugas tepat waktu.

"Sudah, cuma tinggal merevisi bab tiga. Dah, aku bantuin, besok atau lusa, aku anter ke sini. Yang penting hari Jumat kita kumpulin proposal bareng."

"Beneran nggak apa-apa, Mas? Ngerepotin nggak?"

"Enggaklah! Lagian juga sekalian njilid punyaku. Datanya kamu simpen di flash disk atau CD?"

"Di CD-RW, Mas. Kan, aku ngetik di rental komputer, kalau pakai FD takut kena virus. Sebentar, aku ambil ke kamar dulu, ya." Aku masuk ke kamar untuk mengambil tugasku.

Lumayanlah, uangnya bisa aku tabung untuk ikut kelas gym minggu depan. Mumpung baru diskon 25%, jadi kenanya cuma seratuslima puluh ribu untuk tiga kali pertemuan, sudah pakai trainer.

***

"Lho, Mas David mana, Mbak?" tanya Retno saat kami berpapasan di depan kamarku.

Kebetulan kamar Retno persis di sebelah kanan kamarku. Kubuka pintu, lalu kuletakkan tas kuliah di meja belajar. Kunyalakan kipas di dinding kamar, angin segar langsung menerpa tubuhku yang berkeringat.

"Baru aja pulang. 'Napa memangnya?" Aku balas bertanya sembari melepas jilbab, mempertontonkan jidat selebar lapangan sepak bola.

Rasanya tubuhku lengket semua, jadi pengin mandi keramas. Kuurai rambut hitamku yang sepanjang pinggang, sudah hampir tiga tahun aku sengaja tak memotongnya. Menurutku gadis berambut panjang, terlihat lebih seksi.

"Nggak pa-pa, Mbak, nanya tok. Eh, tapi Mas David itu baik, ya, jangan-jangan dia naksir sama Mbak Gaya."

Aku tertawa geli. "Nggak mungkinlah."

"Nggak mungkin gimana? Mbak Gayatri ini cantik, baik, walau sedikit judes," Retno terkikik, "jadi, wajar kalau banyak yang naksir."

"Ngawur kamu, Ret. Aku ini cantik dari mana? Gembrot begini dibilang cantik." Kuambil piyama–baju favoritku kalau di kos–dari dalam lemari.

"Gembrot dari mana? Mbak Gaya itu cantik, bodinya sedikit berisi, seksilah pokoknya."

Aku mendengkus kesal. Ini anak apa tidak tahu, sedikit berisi tidak beda dengan gembrot. Kupikir setelah tinggal di Jogja, lebih mudah bagiku untuk menurunkan berat badan. Namun, kenyataannya tak segampang yang tertulis di artikel.

Selama tiga setengah tahun, beratku yang semula 70 kilo sekarang pun masih 58 kilo. Berarti, aku hanya bisa menurunkan sebanyak 12 kilo. Padahal, aku sudah tidak mengonsumsi karbohidrat dalam bentuk apa pun. Aku juga tidak makan makanan berlemak. Aku menghindari segala jenis daging merah, ikan, makanan laut dan telur. Hanya sayur dan buah. Aku pun sangat menjaga asupan gula garamku.

Setiap pagi, aku pasti menyempatkan diri untuk sekadar joging, memutari komplek indekos minimal selama satu jam. Lalu berangkat ke kampus kubela-belain berjalan kaki, pun ketika pulang. Belum lagi senam aerobik seminggu tiga kali.

Sampai-sampai aku dianugerahi sebutan Gadis Kupu-Kupu oleh teman sekelas. Ya, Kupu-Kupu, kuliah-pulang-kuliah-pulang. Aku hampir tak pernah ikut acara sosial dengan mereka. Bukannya aku sombong, tapi buat apa aku ikut kalau ujung-ujungnya cuma jajan. Toh, mereka sudah tahu usahaku untuk berdiet.

Untungnya, anak-anak di sini berbeda jauh dengan teman SMA-ku. Tak pernah sekali pun mereka melecehkan atau mengejekku. Pemikiran mereka lebih terbuka dan dewasa. Membuatku lebih mudah beradaptasi. Mereka juga tak pernah mempersoalkan aku yang jarang ikut nongkrong bersama.

Semua kulakukan demi mendapatkan berat badan ideal. Berdasar perhitungan BMI, wanita dikatakan ideal jika berada di angka 18,5 - 25. Sedangkan dengan bobotku yang sekarang, hasilnya masih 22,66. Tidak, itu masih sangat berlebih. Aku harus mencapai angka minimal 18,75 yang artinya aku harus memiliki berat 48 kilo. Berarti masih ada 10 kilo lemak yang mesti kubuang.

Aku tidak boleh berpuas diri, aku pun tak boleh menyerah. Dan, satu lagi, tidak ada cinta dalam kamus hidupku.

***

Ke mana, sih, cowok itu? Kalau dibutuhin tidak kelihatan sehelai rambut pun. Sudah dua hari ini Mas David menghilang. Kemarin kutunggu sampai malam tidak datang ke indekos, hari ini pun tak ada penampakan si Cakil. Padahal besok, kan, tugas harus dikumpulkan.

"Kenapa, Ga? Loe keliatan bingung gitu?"

Aku menoleh dan mendapati Mbak Sisil–teman sekosku–tengah berdiri di depan pintu teras.

"Ini nih, nungguin Mas David. Udah jam sepuluh malem, tapi belum juga ke sini," jelasku sembari menjulurkan leher demi melihat ke luar gerbang kos.

"Cieee ... akhirnya, Mbak Gaya, naksir sama Mas Cakil. Ups, maksudku Mas David." Retno terkekeh geli.

Aku melotot pada Retno. "Eh, dateng-dateng nyamber aja kaya bledeg. Aku nunggu tugas seminar proposal, katanya mau dikirim ke sini, tapi sampe sekarang, kok, belum dateng? Padahal besok pagi harus dikumpulin ke Pak Amril."

"Loe ngasih tugas loe ke David?"

"Iya, Mbak Sil. Memangnya kenapa, Mbak?"

Kulihat cewek asli Jakarta itu memejamkan matanya. "Astaga, Ga! Loe bego bener! Napa juga loe kasih ke cowok brengsek satu itu?"

Melihat ekspresi Mbak Sisil, aku yakin ada sesuatu yang horor. "Ada apa, Mbak? Jangan bikin aku takut."

Mbak Sisil membuka mata, lalu beringsut duduk di kursi teras. "Sebenernya kemaren-kemaren gue mau cerita sama loe tentang David."

"Mbak kenal sama Mas David?" tanyaku sembari menyusul duduk di kursi, sedangkan Retno masih betah berdiri bersandar di tembok.

"Dia mantannya Vera. Loe masih inget?"

"Mbak Vera temennya, Mbak Sisil? Yabg sering main ke sini? Yang cuti kuliah setahun lalu, bukan? Yang anak Sastra juga, setahun di atasku kalau nggak salah?"

Mbak Sisil mengangguk. "Vera cuti gara-gara David. Setahun lalu, kan, sempet rame itu dua anak. Apa loe nggak denger gosipnya?"

"Yaelah, Mbak Sil, Mbak Gaya mana pernah merhatiin gosip macem itu," celetuk Retno.

"Jadi, si David ini ketahuan nyabotase semua tugas kuliah si Vera. Semua tugas si Vera diganti nama sama si David. Kan, mereka sampai naik ke Dekan, Ga. Cuma Vera yang kalah, karena nggak ada bukti. Nah, si Vera ini nge-down, dia malu trus sakit hati. Makanya, dia mutusin cuti mpe David lulus atau di DO."

"Astaga!" Aku terbengong seketika. "Mbak Sil, aku jadi takut. Jangan-jangan proposalku .... Gimana kalau kita ke rumah si Cakil? Mbak Sisil tahu rumahnya, kan? Yuk, Mbak, temeni aku ke rumahnya." Keringat dingin mulai membasahi punggung dan dahiku.

"Wah, sori, Ga. Gue nggak ngerti rumahnya. Coba loe hubungi temennya atau siapa gitu. Eh, loe udah nelepon David belum?"

"Udah dari tadi, Mbak. Nggak ada nada sambung. Coba kutelepon lagi." Kembali kucari nomor ponselnya di kontakku, lalu segera kutekan tombol hijau.

Masih saja tidak terhubung. Aku menggeleng lemah pada Mbak Sisil. "Gimana ini, Mbak? Aku nggak mungkin ngerjain proposal dalam waktu semalam. Aku juga nggak punya salinan file-nya."

Bagaimana kalau kejadian Mbak Vera terulang padaku? Bagaimana kalau cowok brengsek itu mencuri tugasku?

Kupicingkan mata demi menahan air mataku agar tak menetes. Awas saja, kalau dia berani mencuri tugasku. Aku tidak akan tinggal diam.

Butuh perjuangan berat agar aku bisa sampai di semester tujuh, tanpa nilai C satu pun. Aku memeras otak, demi mengejar wisuda tepat waktu, kalau bisa dengan predikat cum laude.

Aku ingin membuat Babu bangga. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berprestasi. Namun, jika Cakil keparat itu benar-benar berbuat curang, anganku tak mungkin lagi terwujud.

***

Solo, 12 Mei 2017

Bryna Mahestri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top