PART 12

Juli, 2008

"Gayaaaa ... kalau aku kangen gimana?" May memelukku erat. Kulihat setitik air menyembul di ujung matanya.

"Yaelah, May, malu di depan rumah peluk-pelukan kaya gini. Lagian aku cuma ke Jogja, nggak jauh. Kalau kangen, kan, kita bisa teleponan. Sekarang aku punya ponsel baru, ada MXIT-nya juga. Jadi, kita bisa chatting lewat ponsel," ucapku.

Pelukan May mulai mengendur, walau belum terlepas sempurna. Terus terang, aku cukup terkejut dengan sikap May. Kupikir pertemanan kami tak seberarti ini baginya, tapi aku salah.

Sejak dia mengetahui keputusanku untuk kuliah di Jogja, hampir setiap hari May ke rumahku. Entah hanya sekadar main atau menginap.

"Pokoke kamu jangan lupa sama aku, Ga!" May melepaskanku, lalu mengusap matanya yang sudah basah.

"Lhah, apa nggak salah? Kamu yang bakal lupa sama aku, May. Begitu kamu dapet gebetan, aku jamin namaku langsung kamu hapus dari kontak ponselmu," candaku.

May menjotos lenganku. "Halah, ngawur! Eh, Ga, tas cangklongmu mana?"

Aku mencari di tumpukan barang dekat kakiku, tapi tak juga kutemukan. "Apa masih di kamar, ya? Bentar, aku ambil dulu."

"Dah, aku aja. Sekalian mau ngambil tasku." May langsung berlari kecil ke dalam rumah.

Kupandang sekali lagi rumah bernomor 68 dengan pagar putih. Rumah yang selama delapan belas tahun menaungiku. Rumah yang mengenalkanku pada dunia. Rumah yang mengajariku arti kasih sayang. Rumah yang memberiku arti kehidupan. Namun, rumah ini pula yang menorehkan kenangan pahit.

Dadaku seketika menjadi sesak, saat mengingat kembali kilasan peristiwa selama empat bulan lalu. Saat di mana aku merasa tak lagi punya tempat istimewa di hati Bapak. Saat di mana segala hal yang kulakukan, selalu salah di mata Bapak. Saat di mana seluruh perhatian tercurah pada Rania.

Ya, keputusan untuk masuk ke bimbel yang sama dengan Rania, adalah kesalahan terbesar yang kulakukan. Aku semakin terperosok dalam bayang-bayang adik kandungku sendiri. Aku merasa iri dengan Rania. Aku kalah dalam segala hal.

Setiap hari, kuperas otak dan keringat demi mendapat nilai terbaik. Namun, segala perjuanganku seolah tak berarti, saat dengan mudahnya Rania mengungguliku. Di setiap tes uji coba, nilai Rania selalu menjadi peringkat atas. Sedangkan aku, tak pernah sekalipun menembus angka lima belas.

Seolah alam semesta sedang berkomplot mengujiku, tekad untuk olahraga dengan berjalan kaki ke tempat bimbel pun, seringkali terkendala hujan. Babu juga masih melarangku untuk berdiet, alhasil bobotku hanya bisa bertahan di angka 79 kilo.

Saat itu aku stres berat, aku memforsir tubuh dan pikiranku untuk belajar. Pagi, aku bangun pukul 03.00 demi belajar. Pulang sekolah, aku ikut bimbel. Selepas bimbel, aku masih mengulang pelajaran hingga pukul 22.00. Seluruh waktuku hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Bahkan, koleksi komik dan novel terpaksa kukandangkan di bawah tempat tidur.

Kuakui, segala tuntutan Babu membuatku tertekan. Tak ada waktu bermain, tak ada waktu untuk bersantai. Semuanya kulakukan dalam ketegangan tingkat tinggi. Harapanku, kalaupun aku tidak bisa menjadi yang terunggul, minimal nilaiku di atas batas kelulusan.

Belum lagi keinginan untuk kurus yang tidak dapat kurealisasikan. Angan-angan memiliki tubuh langsing di malam kelulusan, hanya tinggal kenangan, tak mungkin dapat terwujud. Hal itu membuatku semakin kecewa. Dan, kekecewaan membuatku marah.

Sehingga apa pun yang kulakukan, tak ada yang maksimal. Hasil ujian akhirku pun hanya sekadar lulus. Tidak seperti Rania yang sangat memuaskan.

Berkali-kali Babu memuji Rania. Memang mereka tidak menyalahkanku, tapi mereka juga tak mengapresiasi hasil yang kudapat. Babu seolah berkata, "Oh, segitu." Sudah begitu saja. Kepercayaan diriku langsung terjun bebas, membuatku semakin kecil hati.

Tak cukup sampai di situ, masih ada Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang harus kuikuti. Lagi-lagi aku harus bersaing dengan Rania. Bagaimana tidak? Hasil ujian Rania nyaris sempurna, sudah dipastikan dia bisa masuk SMP manapun, termasuk SMP favorit.

Sedangkan aku, entah berhasil masuk Perguruan Tinggi Negeri atau tidak. Pilihan fakultasku pun terlalu tinggi, Ekonomi Manajemen UNS dan Hukum UNS. Sebenarnya bukan aku yang memilih, tapi Bapak yang ingin aku masuk kedua jurusan itu. Dengan kemampuan pas-pasan sepertiku, mana mungkin aku berhasil masuk.

Dan, terbukti! Aku tidak diterima di satu pun universitas negeri. Di saat adik kandungku, yang lahir dari rahim yang sama, bisa dengan mudahnya memilih sekolah favorit, aku masih harus memutar otak untuk mencari universitas.

Sempat terlontar dari bibirku untuk tidak melanjutkan ke jenjang universitas. Cukuplah bagiku tamat SMA, aku memilih untuk langsung bekerja. Namun, Babu tidak setuju. Menolak keras usulanku. Sama kerasnya seperti saat melarangku untuk berdiet.

Saat itu aku putus asa, entah apa yang harus kulakukan. Tak ada bayangan sedikit pun aku harus kuliah di mana dan memilih jurusan apa. Hanya satu hal yang kuinginkan, pergi menjauh dari rumah ini.

Dan, di sinilah aku sekarang. Berdiri di depan rumah terindahku. Mengucapkan selamat tinggal pada bangunan putih ini. Akhirnya, keinginanku tercapai. Aku bisa kuliah di luar Solo, walau aku harus menempuh tes masuk universitas swasta.

Fakultas Sastra Indonesia, di salah satu perguruan tinggi Yogyakarta. Di sanalah aku akan menuntut ilmu. Memang tak begitu jauh dari Solo, hanya sekitar dua jam perjalanan, tapi cukup membuatku lepas dari sosok Rania. Meskipun pada awalnya mendapat penolakan keras dari Bapak.

"Kalau cuma kuliah swasta, kenapa harus di luar kota? Di Solo juga banyak."

Kuulang sekali lagi, cu-ma-ku-li-ah-swas-ta. Bagi Bapak, aku ini 'CUMA', tidak ada artinya sama sekali.

"Tapi, Gaya kepengin belajar mandiri, Pak."

Ya, aku mempertahankan keinginanku untuk hidup mandiri, dalam artian tidak bergantung 100% pada Babu. Pada akhirnya, Babu paham akan keputusanku, mereka menyetujuinya dengan syarat khusus tentunya. Aku tidak boleh ikut pergaulan bebas di Jogja, seperti seks bebas, narkoba hingga dunia malam.

Tentu saja aku menyetujui persyaratan Babu. Toh, aku ke Jogja benar-benar untuk menuntut ilmu. Aku sama sekali tidak tertarik dengan kehidupan ala kaum borjuis. Hanya satu yang ingin kubuktikan pada Babu, bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku bisa melebihi Rania. Aku bukanlah seorang pecundang.

"Ga, kamu ngalamun? Aku panggil dari tadi ndak nyaut." May memanggilku dari teras depan.

"Kenapa, May?" seraya berjalan ke arahnya.

"Tante tanya, barangmu sudah semua apa belum?"

Kulihat Ibu menyusul kami ke depan. "Sudah semua, Mbak?"

"Sudah nggak ada yang ketinggalan, Bu. Ayo berangkat sekarang saja. Kamu ikut aja, May. Biar tahu indekosku."

"Iya, Mbak May. Nanti pulangnya Tante antar sampai rumah," ucap Ibu sambil menutup jendela.

"Maaf, Tant, May harus pulang. Tadi belum pamit sama Mama."

"Yaaah ... izin lewat telepon, May," bujukku.

"Ndak berani, Ga. Besok-besok kalau aku ke Jogja, pasti mampir ke tempatmu. Pokoke, kamu di sana jaga diri yo. Ora usah diet ketat, nanti ambruk lagi. Lagian, sekarang kamu sudah langsing, tho."

Langsing? Bohong. Memang beratku sedikit berkurang-karena aku memang tidak diet-selama empat bulan beratku cuma turun 5 kilo. Sekarang pun masih di angka 70 kilo, jauh dari kata langsing. Padahal target awal, saat malam kelulusan beratku bisa sampai 55 kilo.

Kebaya yang kuidam-idamkan pun batal kupakai. Aku harus puas dengan kebaya lama model kutu baru motif bunga-bunga, yang membuatku tampak seperti ibu-ibu jaman rambut simbah buyut masih hitam.

Saat kakiku memasuki ballroom hotel, Duo Serigala langsung menyambutku dengan tawanya. Kalau mengingat malam itu, rasanya ingin kujambak sanggul mereka, kuobok-obok muka berdempul putihnya, dan mulutnya yang seperti habis minum darah.

Terlebih, melihat kemesraan Indra dan Rani. Mereka begitu serasi, mengenakan kebaya dan kemeja sewarna. Benar-benar membuatku iri. Sedangkan aku, hanya bisa memandangi cinta pertamaku dari jauh-ups, maksudku mantan cinta pertamaku.

Setelah malam kelulusan, aku bertekad tidak ada lagi yang namanya cinta di hidupku. Aku harus memfokuskan diri meraih mimpi, menjadi lebih unggul dari Rania. Sebagai anak pertama, aku tak boleh kalah, agar perhatian dan kasih sayang Babu kembali padaku.

Semoga di Jogja nanti, semua berjalan sesuai rencana. Aamiin.

***

Alhamdulillah, bisa update lagi....
Terima kasih untuk seluruh pembaca Obsession. Saya sadar, masih buanyak kesalahan yang saya lakukan. Oleh karena itu, mohon kritik dan sarannya, yaaa....

Solo, 9 Mei 2017

Bryna Mahestri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top