PART 11

Akhir Maret, 2008

"Cepat dimakan! Ibu tunggu sampai habis!" Ibu menarik kursi belajarku, lalu duduk di sana seperti biasa.

Aku mendengkus kesal, sembari membetulkan posisi duduk di kasur. Sudah tiga hari seperti ini terus. Pagi siang sore, Ibu selalu menungguiku makan. Ibu pula yang mengambilkan nasi beserta lauknya. Ibu pun tak tanggung-tanggung dalam mengisi piringku, nasi menggunung dengan sayur dan lauk pauknya yang lengkap.

Kalau ada sisa sedikit saja, dijamin nyanyian surga akan berkumandang. Jadi, dengan terpaksa tiga hari ini gagal sudah program dietku. Tak apalah, toh, banyak yang bilang kalau kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Untuk sementara, kuturuti dulu permintaan Babu, paling tidak sampai aku pulih.

Senin lalu–sepulang dari sekolah–Babu langsung membawaku ke Rumah Sakit untuk memeriksakan kondisiku. Mereka ingin memastikan kalau tidak ada masalah serius padaku. Aku senang, sih, itu berarti Babu perhatian padaku.

Dari hasil pemeriksaan, Dokter menyatakan bahwa aku kekurangan gizi. Aku kurang gizi? Aku yang kata orang seperti gajah bunting ini tidak terpenuhi nutrisi? Lalu, lemak yang menjuntai di sekujur tubuh sebanyak 75 kilo ini apa? Bisa-bisanya mengatakan aku kurang gizi.

Kutatap piring makan, perasaan dari tadi sudah kumakan, tapi kenapa masih saja tidak berkurang.

"Mbak Gaya, dimakan! Jangan cuma dilihat tok. Cepet habisin, terus minum obat," ucap Ibu lagi.

"Tapi, ini banyak banget, Bu," gerutuku, "Gaya nggak habis." Aku memasang wajah memelas, berharap Ibu memberi pengampunan.

Ibu melotot padaku. "Sudah, ndak usah kebanyakan alasan. Ndang dihabisin. Apa mau Ibu dulang lagi biar cepet?"

Aku cepat-cepat menggeleng, dan melanjutkan makan. Wih, cukup sekali aku disuapi Ibu saat beliau marah. Yang benar saja, Ibu mengambil nasi sesendok penuh, sampai mulutku mecucu. Dan, tidak ada jedanya. Makan kok seperti dikejar maling. Eh, maksudku maling yang dikejar warga.

"Awas kalau kamu diet-diet lagi, Mbak! Sekalian ndak Ibu kasih makan saja. Sudah tahu mau ujian, malah neko-neko. Lihat akibatnya, kamu sampai ambruk begini."

"Kan, Ibu juga udah tahu kalau Gaya diet," ujarku lirih.

"Ibu tahunya kamu tetep makan nasi di sekolah, tetep makan sayur. Kamu sudah bohong sama Ibu. Pokoke mulai sekarang, ndak ada program diet. Makan sehari 3 kali, minum susu, sayur, buah. Ibu malu, Mbak, mosok anake Ibu kurang gizi. Koyo Bapak sama Ibu ini ndak bisa ngasih kamu makan," cerocos Ibu tanpa ampun.

Alamat bakal ceramah lagi ini. Aku juga, sih, kenapa tadi harus menjawab? Mending, kan, diam saja. Tinggal bilang, "Iya, Bu." Apa susahnya? Kalau sudah begini, aku sendiri yang jadi korban.

"Ndak cuma kamu yang kena marah, Ibu juga diamuk sama bapakmu. Kamu tahu sendiri, kalau Bapak sudah bilang A ya A, B ya B. Pokoke bapakmu ndak ngasih izin buat diet. Titik." Ibu menghela napas sekejap.

"Nilaimu di sekolah juga turun, itu yo karena otakmu ndak dapet gizi. Jadi, kamu ndak bisa berpikir, ndak bisa nginget-nginget pelajaran. Nilai ulangan matematikamu kemarin dapet lima, tho. Ibu nemu hasilnya di dalem tas sekolahmu," lanjutnya lagi.

"Gaya, kan, memang nggak suka matematika, Bu. Dari SD juga nilai matematikanya mepet. Makanya, kemarin Gaya milih masuk IPS timbang IPA." Nah, kan, mulutku ini benar-benar tidak ada tombol on off-nya, nyerocos tanpa henti.

Ibu menggeleng-geleng, mungkin dongkol melihat sifat keras kepalaku. "Tadi Bapak bilang ke Ibu, mulai besok kamu ikut bimbel di tempat Rania. Tiga minggu lagi kamu ujian, biar nilaimu ndak jeblok lagi."

"Bimbel, Bu?" ulangku.

"Iya. Bimbelnya Rania itu bagus, ada program persiapan ujian cuma sebulan, kamu telat sebentar ndak apa-apa. Di sana juga suka ngadain tes uji coba, terus guru-gurunya juga bagus. Itu adekmu, nilainya jadi bagus. Pas uji coba kemarin, Rania dapet peringkat satu. Kamu juga les di sana, biar nilaimu itu naik. —"

Rania? Kenapa selalu Rania? Memangnya salah, kalau aku tidak bisa matematika? Apa salah, kalau nilai pelajaranku cuma sebatas rata-rata? Aku bukan pemalas, setiap hari aku belajar. Aku juga selalu berusaha untuk mendapatkan nilai sempurna, tapi apa daya tangan tak sampai. Aku selalu terpentok pada materi pelajaran.

Namun, bukannya mengerti kekuranganku, Babu malah selalu membandingkanku dengan Rania. Lihat saja, sekarang aku dipaksa untuk ikut bimbel di tempat Rania. Nanti kalau nilaiku tidak sesuai dengan harapan mereka, pasti kalimat perbandingan meluncur kepadaku.

Terkadang aku berpikir jahat. Seandainya Rania tidak ada .... Seandainya.

***

"Diet Paleo?" tanyaku pada Susi—teman baruku di bimbel. Baru saja dia cerita kalau kakaknya yang mau nikah, berhasil turun 6 kilo dalam sebulan.

"Iya," jawabnya seraya duduk di bangku teras.

Dengan rasa penasaran tingkat tinggi, aku duduk di sebelah Susi. "Diet apa itu? Caranya gimana?"

"Yang aku tahu, prinsip dari diet paleo itu back to nature. Jadi, kamu boleh makan apa saja yang disediakan oleh alam, tapi harus menghindari makanan olahan seperti fastfood dan junkfood," ucap Susi.

"Terus?" Aku pengin tahu lebih lanjut.

"Yang penting kamu nggak makan nasi, trus ngurangi gula garem sama lemak," lanjutnya lagi.

"Nggak makan nasi? Mana mungkin bisa, Sus. Kan, sekarang Ibu ngawasi aku banget. Terus gula garem juga pasti gagal. Ibu kalau masak, kalau nggak manis kaya kolak, ya asin kaya upil," gerutuku.

"Ih, kamu tahu rasanya upil? Wah, mesti tiap ngupil, terus mbok cicipi." Susi memandangku dengan ekspresi jijik.

"Enak aja! Enggak yo!"

"Ya, sabar aja, Ga. Ujian tinggal dua bulan lagi, nanti habis ujian baru kamu lanjutin dietnya. Kalau sekarang kamu nggak bisa diet, mending kamu olahraga, gerakin badanmu, biar beratmu nggak naik."

Yaelah, olahraga lagi. Wajar sih kalau Susi menganjurkanku untuk olahraga, secara keluarga besarnya pecinta bulu tangkis. Bahkan Susi sering ikut kejuaraan antar sekolah.

Lha, aku? Boro-boro wulu tamplek[1], joging saja sudah ngos-ngosan. Lagi pula, kapan aku bisa olahraga? Pagi, jelas tidak mungkin, paling aku bisa buang keringat pas jalan ke halte bus.

Kalau siang–sepulang sekolah–paling cuma bisa seminggu dua kali. Karena sudah dua minggu ini, aku ikut bimbel dari pukul 15.00 sampai 17.00.

Itu artinya aku cuma punya waktu di hari minggu untuk olahraga. Sama sekali tidak maksimal. Dijamin dua bulan ke depan, beratku bukannya turun, tapi naik.

Aku terpekur seorang diri di bangku teras–oke agak lebay–Susi baru saja dijemput, dan aku memilih untuk menunggu Rania di sini. Kebetulan hari les kami sama, Senin-Rabu-Kamis-Sabtu, dan jam belajarnya hampir berbarengan. Jadi, daripada Bapak bolak-balik rumah ke sini, mendingan aku yang mengalah.

Sebel juga, sih, menunggu seperti ini. Apalagi aku tidak punya ponsel, jadi tidak ada kegiatan yang bisa kulakukan selain melamun. Kalau aku tidak punya urat malu, bisa saja dalam 30 menit kugunakan untuk lari di tempat. Kan, lumayan buang keringat, tapi jelas jadi tontonan. Nanti mereka pikir aku gajah sirkus.

Tunggu dulu. Jarak sekolahku ke bimbel kalau naik mobil cuma 10 menit, jarak bimbel ke rumah 15 menit. Kira-kira kalau aku jalan kaki, bisa sampai berapa jam, ya?

Tiba-tiba satu pemikiran terlintas. Bagaimana kalau tiap bimbel, aku jalan kaki? Lumayan sekalian olahraga, kan?

Kulirik jam dinding di ruang administrasi, masih pukul 17.15. Kalau kuperkirakan perjalanan 1 jam, berarti sampai rumah masih Maghrib. Masih belum kemaleman. Oke, deh, aku coba.

Aku berjalan ke ruang administrasi, untuk menitip pesan ke Rania. Aku menulis di secarik kertas bahwa aku pulang jalan kaki. Setelah kuyakinkan Mbak Imel–admin bimbel–untuk menyampaikan pesanku, kubulatkan tekad untuk berjalan.

Dua bulan, Gaya! Demi hari kelulusan. Semangat!!!

***

KETERANGAN:

[1] Bulu tangkis

***

Update update ....
Mohon maaf jika masih ada kesalahan dalam penulisan. Sudah kuedit, tapi namanya juga manusia yang nggak bisa melihat punggungnya sendiri. Aku pun butuh bantuan orang lain guna menemukan kekuranganku yang seabrek.

Oleh karena itu, aku minta kritik dan sarannya yaaa....
Makasih....

Gen 3 MethaSaja veaaprilia Tyaswuri JuliaRosyad9 xxgyuu sicuteaabis Bae-nih SerAyue NyayuSilviaArnaz YuiKoyuri CantikaYukavers holladollam Sall_Sunshine Vannie_Andrie

Solo, 07 Mei 2017

Bryna Mahestri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top