PART 10
Akhir Maret, 2008
I hate monday! Bukan apa-apa, tapi tiap Senin aku harus mengikuti upacara bendera di sekolah. Selama hampir satu jam, aku dijemur seperti ikan asin. Males banget!
Dibilang tidak nasionalis pun tak apa. Toh, aku yakin, kecintaan dan kesetiaan seseorang terhadap Indonesia, bukan diukur dari berapa kali dia ikut upacara bendera.
Pagi ini, aku merasa kurang enak badan. Dari semalam, jantungku berdebar-debar, seperti tidak tenang. Kepala juga pusing, bukan cenut-cenut. Kalau menunduk rasanya bumi ini berputar. Eh, bumi memang muter, ya. Oke kuralat, maksudku rasanya kaya naik komidi putar.
Semalam kuputuskan untuk tidur lebih cepat. Biasanya pukul 9 malam baru kututup buku pelajaran, tapi karena tubuh dan mataku sudah terasa berat, pukul 7 malam aku sudah berbaring. Berharap paginya bisa pulih.
Namun, ternyata tak ada perubahan. Padahal semalam aku bisa tidur nyenyak, bahkan tadi pagi bangunku lebih siang dari biasanya, tapi kenapa pusingku belum juga reda? Ditambah matahari pagi ini sangat bersemangat, sang Surya membagikan cahaya silaunya di Solo-ku tercinta. Sinarnya menusuk mataku, membuatku bertambah tak nyaman.
"Ssst, Ga, kamu kenapa? Pucet," bisik May yang berdiri tepat di kananku.
"Masuk angin kayae, May," jawabku dengan berbisik pula.
"Istirahat di belakang aja, Ga. Ngiyup[1]," bisiknya lagi.
Aku menggeleng pelan. "Nanti aja," ucapku sembari mengikuti aba-aba hormat dari pemimpin upacara.
Kurasakan peluh telah membanjiri dahi dan punggungku. Aneh, di cuaca sepanas ini, tapi aku merasa dingin.
Di lapangan, sang Saka Merah Putih tengah dikerek oleh ketiga petugas pengibar bendera. Mataku terpaku pada tarikan demi tarikan, hingga membuat secarik kain itu membumbung tinggi. Angin yang berhembus sepoi pun membuat sang Dwiwarna melambai-lambai. Seolah menari mengikuti alunan musik Indonesia Raya.
Namun, kenapa tiangnya juga ikut bergoyang? Tunggu dulu, kenapa benderanya bisa jadi dua? Dan, suara paduan suaranya seolah menjauh, hanya terdengar lamat-lamat dan bergema di telingaku.
Aku mengerjap berkali-kali, menghilangkan pedih karena keringat yang masuk ke mata.
"Ga ... Gaya?"
Entah siapa yang memanggilku. Yang kutahu, seluruh tubuhku menjadi ringan, seringan bulu. Dan, pandanganku memburam, semakin lama semakin redup. Lalu semua menggelap.
***
"Sudah kamu telepon orang tua Gayatri, May?"
Bukankah itu suara Bu Icha? Kenapa May harus menelepon Babu? Aku di mana sebenarnya? Kenapa mataku sulit terbuka?
Kucoba membuka kelopak mata. Belum ada tiga detik, kututup lagi. Entah mengapa langit-langit seolah akan runtuh, perutku pun menjadi mual. Jantungku berdebar tak menentu. Hingga tanpa sadar aku mengerang.
"Gaya, kamu sudah sadar?"
Kurasakan seseorang menyentuh dahiku. Dari suaranya, aku tahu kalau dia adalah Bu Icha.
"Pusing, Bu. Saya tidak bisa melek[2], pusing muter-muter. Dada saya juga deg-degan," ucapku seraya menutup kedua mata dengan telapak tangan.
Walau aku masih terpejam, cahaya lampu tetap membuatku silau. Dan itu sangat tidak nyaman.
"Coba Ibu periksa dulu."
Bu Icha membuka kancing seragamku, lalu menempelkan benda dingin ke dadaku. Aku disuruhnya mengambil napas panjang dari hidung, dan menahannya sekejap.
"Buka matamu pelan-pelan, kalau terasa pusing dan mual, jangan dipaksakan," perintahnya.
Kucoba membuka mata, lagi-lagi aku kliyengan. Perutku serasa diaduk-aduk. Segera aku mengatupkan mata kembali.
"Mutar-mutar, Bu," ucapku lemah.
Kudengar langkah Bu Icha menjauh, lalu suara kursi ditarik hingga menimbulkan decit tak nyaman.
"Gimana dietmu, Gaya?"
Kenapa Bu Icha malah tanya soal dietku? Apa hubungannya coba? Aku terdiam cukup lama.
"Masih, Bu. Baru sebulan, tapi Gaya sudah turun 9 kilo, lho." Kudengar May yang menjawab.
"Masih diet pisang?" tanya Bu Icha lagi.
Kujawab dengan anggukan. Entah beliau melihat atau tidak, aku tak peduli. Badanku masih tidak karuan.
"Masih, Bu. Sehari-hari Gayatri cuma makan pisang sama air putih." Lagi-lagi May mewakiliku untuk menjawab. Lama-lama aku sebel juga.
"Kamu tidak makan selain pisang?" Nada suara Bu Icha mulai terdengar kesal.
"Iya, Bu." Wah, ini anak, benar-benar bikin aku kesal.
"Ck ck ck .... Gaya, kamu itu benar-benar salah kaprah. Wajar kalau sekarang tubuhmu tidak kuat, sampai-sampai kamu kena gejala vertigo. Semua karena diet ketatmu. Tubuhmu masih butuh asupan sayur, buah, karbohidrat dan protein. Apalagi saat ini, kamu sering uji coba ujian dan tes, butuh banyak energi. Ingat, sebentar lagi kamu ujian!"
Iya, aku ingat, tapi itu juga berarti hari kelulusan tak lama lagi. Aku ingin terlihat memesona, agar bisa kubalas perlakuan jahat anak-anak terhadapku.
"Tuh, dengerin, Ga! Kalau cuma aku yang bilang, mana mungkin kamu dengerin." May benar-benar memperkeruh keadaan.
"Assalamualaikum."
Oh My God! Itu suara Ibu. Kupaksakan diri untuk membuka mata dan beringsut duduk di pinggir ranjang. Namun, yang terjadi benar-benar di luar perkiraanku.
Tubuhku limbung, saking pusingnya aku sampai kehilangan keseimbangan. Tangan yang semula kujadikan tumpuan, mendadak lemas hingga tak mampu menyangga bobot tubuhku lagi. Sehingga entah bagaimana caranya, aku terpeleset dari atas tempat tidur.
Aku tidak tahu siapa saja yang berteriak, yang jelas tubuhku telah sukses tersungkur di lantai. Perpaduan antara bunyi berdebum, lengkingan khas Ibu, teriakan kagetku dan pekikan centil May, bersatu menjadi suatu harmoni yang memekakkan telinga.
Ini namanya sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah pusing tujuh keliling, jatuh pula. Dan, aku yakin–100%–sebentar lagi ceramah wal kultumah pasti tersembur dari Babu. Komplit sekali hari ini.
Aku masih menggelepar di lantai dengan mata terpejam, gayaku sudah seperti ikan yang dijual di pasar. Untung saja ada dua pasang tangan yang membantuku kembali naik ke ranjang. Jujur, aku rada gemetar, saat tahu siapa yang memapahku. Dari baunya, jelas ini Bapak dan Ibu.
Untung saja, tak ada satu pun dari mereka yang berinisiatif untuk melancarkan serangan pidato. Mereka membaringkanku di ranjang.
"Piye, tho, Nduk? Kok, bisa sakit begini. Tadi pagi Ibu sudah curiga, mukamu pucet, tapi kamu bilang ndak sakit." Ibu mengusap-usap lenganku, sambil diselingi membelai puncak kepalaku.
"Sebenarnya Gayatri kenapa, Dok?" Padahal cuma sebaris kalimat yang Bapak lontarkan, tapi efeknya di jantungku begitu dahsyat.
Inilah saat yang menegangkan, Bu Icha pasti menceritakan semua ke Babu. Kuputuskan untuk berbaring miring, menutup telinga dan wajahku dengan bantal.
Aku sudah membayangkan bagaimana nasibku di rumah nanti. Mati aku! Aku pasti dihabisi Babu.
***
KETERANGAN:
[1] Berteduh
[2] Membuka mata
***
Part 10 ....
Yiiihaaa ....
Alon-alon kelakon ....
Yang penting lulus celen cepek ....
Editannya masih kasar sekali ....
Oleh karena itu, mohon kritik dan sarannya ....
Terima kasih.
😘😘😘
Ngetag Gen 3 aaah
MethaSaja veaaprilia xxgyuu Tyaswuri JuliaRosyad9 sicuteaabis Bae-nih YuiKoyuri SerAyue NyayuSilviaArnaz CantikaYukavers holladollam Sall_Sunshine Vannie_Andrie
Solo, 5 Mei 2017
Bryna Mahestri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top