PART 1
Oktober, 2007
"Woi, minggir! Sempit, nggak bisa lewat, Ga ... jah!"
Aku terkejut saat Nisa mendorong bahuku, membuat tubuhku terpelanting ke lantai di lorong kelas. Baju olahraga yang sedang kubawa pun turut berserakan. Dasar Nenek Gerandong! Aku tahu, Nisa melakukannya dengan sengaja, dan aku sama sekali tak suka dengan cara Nisa tadi.
Memang tubuhku cukup besar, dan kuakui tadi agak menghalangi pintu kelas, tapi 'kan Nisa tidak perlu berkata sekeras itu. Membuatku malu!
Aku bisa mendengar orang-orang cekikikan—bukan cuma teman sekelasku, tapi juga kelas sebelah—saat aku bersusah payah untuk bangkit seraya memunguti seragam olahragaku. Aku pura-pura cengengesan, menutupi rasa malu dan marah. Aku melenggang meninggalkan mereka, seolah tak terjadi apa pun padaku. Aku sudah terbiasa menjadi bahan olok-olokkan, sehingga wajahku telah tersetel untuk meringis tiap kejadian buruk menimpaku. Orang-orang mungkin menganggapku semacam badut, yang dengan lila memberikan hiburan gratis. Padahal hatiku nelangsa.
Aku ini bukan orang bodoh. Aku tahu kalau mereka sering menggunjingkanku. Bagaimana mereka mengganti namaku pun, aku tahu. Namaku Gayatri Lituhayu, tetapi mereka memanggilku Ga ... jah. Menyebalkan sekali bukan? Oke, kuakui ... badanku sedikit di atas rata-rata. Di usia tujuh belas tahun, dengan tinggi 160 senti, aku berbobot 89 kilo.
Anggap saja sebegitu, aku tidak bisa menerima kalau jarum timbangan menari-nari di atas angka sembilan puluh kilo. Gila! Kalau segitu, mending aku timbang pakai timbangan beras. Jadi kuputuskan untuk tidak menimbang lagi, toh aku merasa tidak ada penambahan berat. Bajuku masih muat. Kalaupun ada selisih angka, itu pasti karena timbangannya rusak.
Kubiarkan mereka berkoar seenak udelnya sendiri. Tahu peribahasa air beriak tanda tak dalam, kan? Nah, itu cocok banget untuk menggambarkan kebodohan mereka. Mana ada gajah berhidung pesek sepertiku? Yang ada gajah bermuka babi.
Jangan dikira punya stok lemak sepertiku ini enak, terhindar dari bahaya kelaparan. Salah besar. Berbadan besar, sungguh merupakan beban tersendiri. Bagaimana tidak beban? Setiap hari, aku harus menyeret berton-ton lemak untuk naik turun tangga. Ya, kelasku, 3 IPS-2, terletak di lantai dua. Untuk sampai ke kelas, aku kudu melewati ruang bimbingan konseling, perpustakaan, kelas 3 IPS-1, dan ini yang paling kubenci ... koperasi sekolah. Minimal sehari dua kali, aku harus bolak-balik. Belum lagi kalau ada pelajaran di lantai bawah atau lapangan depan. Aku bingung, kenapa koperasi harus berada tepat di samping kelasku?
Beban tubuhku saja sudah menguras air mata, ditambah beban mental karena harus berjuang melawan setan jahat dalam diriku. Tiap kali melewati koperasi, ada saja godaan yang membuat kakiku berbelok. Donat, brownies, bolu marmer, es loli, stik mie, makaroni pedas, dan yang paling menggoda tentu saja si manis bola coklat. Setan-setan yang menggiurkan, kan?
Contohnya hari ini, setiap Jumat pagi ada kegiatan olahraga di kelasku. Di siang hari ada pelajaran IT di laboratorium komputer lantai 1. Alhasil, sehari aku harus naik turun sebanyak tiga kali. Tentu saja aku mesti berjuang melawan godaan setan yang terkutuk. Benar-benar freaky friday!
Bayangkan! Aku baru sampai di kelas lima menit lalu, belum pulih deru napas dan gejolak hatiku, sekarang harus bergegas turun lagi. Melewati koperasi lagi. Aku juga masih harus mengantre di kamar mandi lantai 1—kamar mandi lantai 2 sedang direnovasi—untuk berganti pakaian olahraga. Seandainya aku seperti teman-temanku yang berbadan ramping, mereka bisa dengan asyik berias di dalam kelas. Bercanda, membandingkan ukuran beha masing-masing. Saling bertukar alat kosmetik atau sekadar ngobrolin betapa mulusnya paha si A atau buriknya pantat si B. Sedangkan aku, boro-boro buka baju, baru kelihatan lenganku saja sudah jadi bahan ejekan.
Aku selalu mendengar tentang gerakan anti SARA. Yang jadi pertanyaanku, kenapa cuma Suku Ras dan Agama saja yang tidak boleh didiskriminasikan? Bagaimana dengan perbedaan jumlah lemak? Tindakan pengucilan yang kuterima ini, mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat padaku sebagai manusia. Ah, sudahlah, lupakan ocehanku. Memang sudah kodratnya ada pelaku dan korban pem-bully-an.
Memang, sih, tidak seluruh teman sekelasku berkelakuan minus. Ada beberapa yang masih bisa diajak ngobrol, pun tidak bersikap nyinyir padaku. Akan tetapi, mereka juga berada dalam kotak yang sama denganku. Kotak berlabel cupu.
Asal kalian tahu, ada tiga kasta di kelas 3 IPS-2. Pertama, kaum pesohor. Tentu saja, diisi oleh jenis manusia tukang tebar pesona. Yang menganggap fisik dan materi adalah dewa segala dewa. Kedua, kaum intelektual. Tidak usah dijelaskan, sudah pada tahu 'kan. Mereka pemegang nilai fantastis. Dan terakhir, kaum cupu alias culun punya. Seperti aku ini, yang tidak punya tampang plus, pun tidak punya otak cemerlang. Aneh memang, seharusnya kaum intelektual berada di tangga teratas, tapi pada kenyataannya mereka pun kalah populer dibanding para pesohor.
"May, hari inih ... kita bakal ... olah ... ragah hapah?" tanyaku terbata-bata pada May—teman sebangkuku—saat kami sedang pemanasan.
"Ndak ngerti, Ga. Kayanya lompat jauh," jawab May tenang. Gila, di saat napasku sudah tinggal separuh, May masih bisa santai dalam berlari. Bahkan caranya bernapas masih sama seperti orang leha-leha. Lha aku, kok sudah seperti ibu-ibu mau melahirkan.
Pak Amir—guru olahragaku—memang hobi menyiksa muridnya. Aku khususnya. Pasalnya tiap pemanasan, kami kudu lari memutari lapangan basket empat kali. Sarapanku benar-benar mencair, menjadi butiran keringat berbau kecut.
Aku nyaris mengumpat kencang saat tahu kami akan lompat jauh. "As ... tagah! Ke ... napah bu ... kan ... yang lhain aja?" protesku sembari ngos-ngosan.
Kami sudah menyelesaikan empat putaran, dan saat ini sedang berselonjor di bawah pohon mangga. Aku membetulkan ikat rambut yang melorot. Ribet ternyata punya rambut sepanjang bahu. Dikucir kuda, jidat lebarku semakin terekspos. Diurai, gerah banget dan terlihat lepek. Mau potong pendek, berasa mirip Dora the Explorer.
"Memange kenapa, Ga?" May menatapku bingung.
Aku mendengkus kesal. "Aku nggak suka lompat jauh, May."
May malah tertawa mengejek. "Dasare kamu ndak suka olahraga, Ga. Minggu kemarin pas kita senam lantai, kamu bilang benci. Sebelume waktu main basket, kamu juga ndak seneng."
Aku semakin memberengut. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai olahraga? Kalau setiap kali bergerak, lemak di tubuhku ikut menggelambir dengan ceria. Senam lantai? Aku merasa seperti babi yang menggelundung di kubangan lumpur. Basket? Astaga! Seumur hidup tidak akan kulupakan ucapan Nisa, waktu aku men-dribble bola.
"Ga, empat bolamu ikut naik turun! Hati-hati silikonmu lepas!"
Ucapannya menyakiti hatiku, tapi aku cuma bisa tersenyum kecut. Mana berani aku protes ke Ratu Kelas. Bisa dimusuhi sampai kiamat. Dan kali ini, apa lagi yang harus aku alami? Seandainya saja ada Om Jin, aku bakal minta untuk menghapus pelajaran olahraga di muka bumi.
Terdengar peluit panjang, artinya anak 3 IPS-2 harus berkumpul di tengah lapangan. Aku seolah berjalan menuju ke penjagalan. Seperti sapi yang digiring menanti golok menebas lehernya. Terlalu berlebihan, tapi memang seperti itu perasaanku.
"Hari ini kita akan mengambil nilai untuk lompat jauh. Indra dan Bowo, kalian siapkan lapangan pasirnya!" perintah Pak Amir.
Aku tidak memedulikan instruksi Pak Amir selanjutnya. Masa bodoh. Aku sudah lemas. Terlebih saat melihat panjang lintasan yang harus kutempuh.
Oh, God! Berlari 40 meter dengan kecepatan tinggi, lalu harus melompat. Om Jin, aku mau menghilang sekarang juga! Batinku penuh frustrasi.
Pak Amir mulai memanggil nama mereka satu per satu. Tiap anak memiliki tiga kali kesempatan untuk melompat. Bagiku, tidak perlu tiga kali. Berapa pun nilainya, cukup sekali saja. Kedua kesempatanku, akan kubagikan secara cuma-cuma.
"Gayatri Lituhayu!" Aku merasa tulang kakiku dilucuti dari persendiannya, lemas.
Keringat dingin mulai membasahi punggungku. Aku menarik napas panjang, mengisi paru-paru dengan amunisi sebanyak mungkin. Kulirik sekeliling, grup pesohor sudah mulai ketawa-ketiwi di bawah pohon mangga.
Ya, Tuhan ... rubuhkanlah pohon itu! Agar mereka damai di sisi-Mu! Pintaku dalam hati.
"Ayo, cepat! Kamu mulai ambil ancang-ancang. Begitu saya bunyikan peluit, kamu harus lari!" perintah Pak Amir dari tengah lapangan.
Bowo bertugas mengawasi garis start, Pak Amir berdiri di pinggir lintasan, dan Indra yang akan mengukur jarak lompatan dari pinggir bak pasir.
Aku mengangguk setengah hati. Lalu mulai mengambil posisi untuk berlari, dan saat peluit sangkakala itu berdenging, aku berlari sekuat tenaga. Ingin rasanya kulari dari kenyataan hidup. Lebai!
"Wuaaah! Gajah lari! Minggiiiir! Awas ketendang!" Terdengar teriakan Faisal. Seandainya aku ini beneran gajah, pasti Faisal yang pertama kali kuinjak sampai remuk!
Lintasan 40 meter ini terasa begitu panjang, kupaksakan kaki untuk melangkah cepat. Sampai akhirnya, kakiku menginjak papan tumpuan. Kujejakkan sebelah kaki, mengayun tubuhku sekuat mungkin ke udara. Kali ini aku mencoba memakai gaya berjalan di udara, istilah kerennya Walking in the air. Sesaat waktu bergerak pelan, seperti adegan slow motion di film Warkop DKI. Aku mengabaikan setiap celetukan dari pinggir lapangan. Saat ini aku merasa sangat keren. Kurentangkan kedua lengan, menatap indahnya langit biru, seolah ingin mendekapnya erat.
Saat aku mendarat di pasir, baru kusadari betapa anganku melambung terlalu tinggi. Seharusnya kakiku yang menopang beban tubuhku, tapi kakiku malah terpeleset, membuatku jatuh terjengkang. Aku bisa mendengar tawa riuh dari seluruh teman sekelas. Bukan cuma pantatku yang sakit, harga diriku pun terluka parah. Aku melihat aksi Faisal yang sedang bergoyang-goyang seperti orang mabuk.
"Bumi gonjang-ganjing! Gempa! Gempa!" teriak Faisal sambil terus bergerak. "Gempa lokal!"
"Ini sih, bukan gempa, Sal! Gajah jatuh dari langit!" timpal Nisa.
"Coba kamu lihat pasirnya, Ndra! Mungkin ada lubangnya!" pekik Arimbi pura-pura kaget.
"Ayo berlindung! Hati-hati sekolahan ambruk!" Entah siapa lagi yang menyahut.
Aku berusaha untuk duduk, lalu membersihkan pasir yang menempel di rambut dan bajuku. Kembali kupasang topeng cengengesan, menyimpan ekspresi malu dan kecewa. Tawa mereka begitu lepas. Tak ada sedikit pun rasa iba di hati mereka.
Ibu ... kenapa aku merasa senista ini? Aku ini juga makhluk yang sama dengan mereka, kan? Namun, mengapa aku merasa sangat hina. Aku benar-benar berharap pasir ini berlubang, biar aku bisa mengubur diriku hidup-hidup. Batinku remuk melihat sikap mereka. Aku merasa tak dianggap seperti manusia.
"Dis! Gayatri, ulang sekali lagi! Posisimu salah! Jangan mendarat pakai pantat!" teriak Pak Amir.
"Keberatan bokong, Pak!" sahut Faisal.
Aku melotot tak percaya. Aku harus lari dan melompat lagi? Kuhela napas panjang sambil mencoba berdiri, tapi kurasakan nyeri di pergelangan kaki kiri. Mungkin tadi salah posisi waktu mendarat.
"Kenapa, Ga?" Aku menoleh ke arah Indra-ketua kelasku-yang tengah membungkuk di sebelah kiriku.
"Kaki kiriku sakit, Ndra," jawabku lirih seraya berusaha menggerakkan pergelangan yang nyeri.
"Ada apa ini?" Terdengar suara Pak Amir menghampiri kami. Mungkin curiga karena aku masih saja terduduk di lapangan pasir.
"Gajahnya kerasan di pasir, Pak!" Masih saja kudengar celetukan jahil dari Faisal.
"Dipikirnya ini pantai!" Disusul gelak tawa yang lain. Sakit. Lebih sakit hatiku ketimbang kaki.
"Pak Amir, sepertinya Gayatri terkilir," lapor Indra mewakiliku, yang tidak berani bersuara, khawatir tangisku bakal meledak.
Pak Amir berjongkok di samping Indra. "Coba bapak lihat kakimu, Gayatri."
Aku menjulurkan kaki kiri, aku sedikit mengernyit saat mencoba meluruskannya. Nyeri. Terlebih saat kuletakkan tumit di atas pasir. Seperti ada yang menusuk di pergelangan. Jangan-jangan kakiku patah? Pikiranku mulai menjalar ke hal buruk.
"Buka sepatu sama kaus kakinya, Ga! Biar Bapak periksa, parah atau tidak," perintah Pak Amir membuyarkan lamunanku.
Aku mencoba meraih tali sepatu, tapi gagal. Timbunan lemak di perutku menambah jarak yang harus ditempuh tangan menuju kaki. Aku terus berusaha sembari menunduk, menyembunyikan wajahku yang sudah memerah seperti udang rebus. Akan tetapi, gagal lagi. Hal ini membuat suasana semakin rusuh. Mereka punya bahan ledekan baru untuk ditertawai.
"Jangan didengerin, Ga. Mereka, kan, memang kaya gitu. Bisa nggak?" Aku menoleh, lalu tersenyum pada Rani-wakil ketua kelasku-yang sudah berjongkok di sebelah Indra.
"Iya, Ran. Dah biasa. Biarin ajalah, itung-itung bikin orang seneng, kan, nambah pahala juga." Aku meringis saat memaksakan diri menekuk pergelangan kaki.
Kejadian berikutnya benar-benar membuatku terkejut. Aku memutar leher secepat yang kusanggup lakukan. Untung saja leherku tidak ikut terpuntir. Sama sekali tak pernah aku bayangkan sebelumnya, mataku sampai membelalak sebulat-bulatnya. Indra dengan tenang membantu melepas sepatu dan kaus kakiku. Indra bahkan tidak peduli dengan sorakan bergemuruh dari teman yang lain.
Baru kali ini ada seorang laki-laki bersikap manis padaku. Tak pernah ada cowok yang memperlakukanku begini lembut, kecuali Bapak. Aku merasa seperti Cinderella, dan Indra adalah pangeran tampanku. Ada gelenyar aneh yang hinggap di dadaku. Seolah ada Lovebird yang menari-nari sambil bernyanyi riang, melantunkan tembang cinta. Aku merasakan pipiku memanas. Bukan karena terbakar matahari. Lebih karena malu, akibat ulah Indra padaku.
Aku menunduk lagi, menyembunyikan rona merah di wajah bulatku. Yakin, deh, mukaku sudah semerah tomat. Semoga bukan tomat rebus, kisut, Bok! Sesekali aku melirik wajah oriental Indra. Kulit putihnya yang bersih. Mata sipit yang dinaungi sepasang alis hitam setebal uler keket. Rambutnya yang berombak, tapi rapi, jadi inget Dao Ming Shi di Meteor Garden. Rahangnya juga mulai ditumbuhi bulu halus, jadi pengin membelai, pasti geli-geli gimana gitu. Dan, bibirnya yang kulumable.
"Wadaaaw!" Aku memekik kencang saat Pak Amir memijit tepat di sumber rasa nyeri. Pengalihan yang bagus, Pak! Konsentrasiku buyar seketika karena ulah guru olahraga berkumis tebal itu.
"Eh, maaf. Sakit, ya?" Pak Amir menjauhkan tangannya dari kakiku.
"Iya, Pak. Sakit banget." Aku menatap kesal pada Pak Amir. Siapa suruh mengganggu kesenangan orang! Mataku, kan, baru menyerap vitamin A dosis tinggi.
"Ya, sudah. Kamu ke UKS saja. Ndra, antar Gaya ke Bu Icha. Biar diobati di sana."
"Gajah mana bisa dibawa ke UKS, Pak. Bawa ke pawangnya aja!"
Air mataku hampir merebak. Bukan karena sakit yang kurasakan. Namun, karena ucapan Arimbi yang lebih menyayat hati. Dengan tertawa, Arimbi kembali berseloroh akan memanggil pawang gajah di Taman Satwa Taru Jurug, karena salah satu gajah yang lepas sedang terluka.
Benar-benar tak berhati nurani. Ternyata benar, lidah lebih tajam dari pedang. Melalui lidah, manusia dengan mudahnya melukai hati dan perasaan orang lain.
"Jangan dengerin mereka, Ga. Anak-anak memang sudah nggak waras," bisik Indra tepat di telingaku. Astaga! Aku rela di-bully asal ada Indra di sampingku.
"Bener kata Indra, Ga. Dah, yuk, kita ke UKS aja," tambah Rani.
Aku lagi-lagi mengangguk, sudah kaya boneka di dashboard mobil. Mulutku menjadi kelu, saat Indra memapahku menuju UKS. Aku tidak lagi menghiraukan komentar-komentar nyelekit yang masih saja bersahutan. Biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu.
Aku memfokuskan seluruh perhatianku pada Indra. Dia melingkarkan lengannya di bahuku. Om Jin! Tolong pindahkan UKS ke Negeri Antah Berantah.
***
Ada yang berbeda di part ini sesudah dan sebelum revisi. Selamat membacaaa...
veaaprilia MethaSaja xxgyuu Tyaswuri JuliaRosyad9 sicuteaabis Bae-nih holladollam YuiKoyuri CantikaYukavers NyayuSilviaArnaz Nurr_Salma SerAyue Vannie_Andrie
Solo, 13 Maret 2017
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top