EPILOG

"Yaa-Siin. Wal-Qur-aanil-Hakiim. Innaka laminal mursaliin ...."

Kudengar alunan surat Yasin dari ruang tamu, saat aku keluar dari kamar Rania. Sudah waktunya Ratya untuk minum susu. Aku beranjak ke dapur sambil menggoyang-goyangkan tubuh dan bersenandung lirih, aku tidak mau kalau Ratya sampai terbangun. Walau tidak rewel dan gampang untuk tertidur lagi, tapi kalau dia merasa kurang nyaman tangisannya bisa membangunkan orang sekampung.

Kugendong tubuh mungil Ratya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kananku sibuk menuang susu ke dalam botol. Untung aku sudah mahir memakai jarit gendong, jadi sebelah tanganku masih bisa bergerak bebas.

"Mbak Gaya, Tante bisa minta air putih untuk Ibu?"

Aku menoleh, dan mendapati seorang wanita—seingatku bernama Sri, tetangga Rania—tengah menuntun Ibu, lalu mendudukkannya di kursi makan.

"Lho, Ibu kenapa, Tant?" Kulihat Ibu tergugu sambil memegangi dadanya. Segera kutuang air hangat ke dalam gelas, sambil tetap menggendong Ratya. "Diminum dulu, Bu," ujarku sembari menyerahkan segelas air kepada Ibu.

Ibu hanya menggenggam gelas tanpa meminumnya sedikit pun.

"Bu, diminum dulu. Biar lega." Tante Sri mengambil gelas dari tangan Ibu, lalu mendekatkan mulut gelas ke bibir Ibu. Ibu pun hanya minum seteguk-dua teguk, kemudian mendorong gelas menjauh darinya.

"Ibu ndak tahan di sana, Mbak. Ibu ndak tahan ...." Ibu menunduk, menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Aku berjongkok di depan Ibu, kubelai-belai lututnya. "Ibu, harus kuat biar Rania dan Tian tenang. Ibu harus ikhlas. Rania pasti bakal sedih kalau Ibu seperti ini terus. Sudah seminggu Ibu nggak mau makan, Ibu terus-terusan menangis. Ikhlasin Rania dan Tian, Bu."

Ibu mengusap air mata dengan punggung tangan, tatapannya terpaku pada Ratya yang tengah kugendong. "Kasihan Ratya, Mbak, umurnya belum genap empat bulan, tapi dia harus kehilangan bapak ibunya." Ibu mengusap puncak kepala Ratya.

"Bu," aku menggenggam tangan Ibu, "tentang Ratya, Ibu jangan khawatir. Gaya yang bakal merawat dan membesarkannya seperti anak kandung Gaya sendiri. Gaya dan A' Pilar berniat untuk mengadopsi Ratya, Bu. Gaya janji, Ratya akan selalu dalam limpahan kasih sayang kami. Makanya, Ibu jangan seperti ini terus. Ikhlasin Rania dan Tian, Bu."

Ibu menghela napas panjang, air matanya telah mengering, tapi matanya masih menyiratkan kepedihan yang mendalam.

"Ibu cuma ndak nyangka bakal seperti ini kejadiannya. Kenapa kecelakaan itu harus menimpa Rania dan Tian? Ibu ndak percaya, Mbak. Padahal mereka cuma mau njemput Ibu di bandara. Padahal haruse ndak nyampe tiga-empat jam sudah sampe, tapi kenapa malah tabrakan di Tol Cipularang? Ibu masih ndak percaya, Mbak. Kalau Ibu ndak minta dijemput, pasti mereka ndak bakal kecelakaan. Semuanya salah Ibu. Gara-gara Ibu, Rania meninggal. Gara-gara Ibu, Ratya jadi yatim piatu." Ibu kembali tergugu.

Aku berdiri, lalu menitipkan Ratya pada Tante Sri supaya ditidurkan di dalam kamar. Kuambil napas panjang sebelum akhirnya aku kembali bersimpuh di kaki Ibu.

"Bu, kalau Ibu mencari yang salah, maka itu Gaya, Bu. Gaya yang ngundang Rania, Tian, Ratya dan juga Ibu ke Dago. Gaya yang pengin kumpul dengan orang-orang yang Gaya sayangi untuk selametan toko buku Aa'. Gaya yang salah, Bu. Seandainya Gaya nggak minta tolong Tian untuk njemput Ibu, seandainya Gaya sendiri yang njemput Ibu, pasti semua ini nggak bakal terjadi. Kalau saja mobil Tian nggak bocor, kalau Gaya nggak nyuruh pakai mobil Aa', pasti mereka masih hidup. Gaya nggak tahu kalau mobil Aa' bermasalah, Bu. Gaya nggak tahu. Gaya yang patut disalahkan, bukan Ibu. Jadi seharusnya Ibu marah sama Gaya. Ibu benci sama Gaya. Karena Gaya yang membunuh Rania dan Tian. Gaya yang membunuh mereka. Gaya yang salah. Harusnya Gaya yang mati, bukan Rania." Air mataku tak lagi terbendung, kudekap erat kaki Ibu. Semua penyesalan dan rasa bersalahku berkumpul jadi satu dan meluber dalam simpuhku.

Tangis Ibu semakin menjadi. Ibu lalu menyusulku terduduk di lantai, kemudian memelukku erat. Ibu membelai rambutku. Kami menangis sambil berpelukan.

"Maafkan Ibu, Mbak, ndak seharusnya Ibu mencari-cari siapa yang salah. Seharusnya Ibu sadar kalau ini sebuah kecelakaan. Seharusnya Ibu ikhlas. Kamu ndak salah, Nduk. Ibu yang salah karena ndak bisa nerima kenyataan. Padahal semua sudah ditakdirkan oleh Allah. Wes ... wes ... sudah, jangan nangis lagi. Ibu janji bakal belajar ikhlas."

Ibu menepuk-nepuk punggungku. Kulingkarkan tangan ke pinggang Ibu. Ibu-ku. Hanya milikku. Tidak ada lagi Rania. Akhirnya hanya ada aku.

***

Kupandangi malaikat cilik yang tengah tertidur pulas di dalam boks. Pipi gembilnya bersemu merah, bibir mungilnya terkadang bergerak lucu seperti mengenyot dot.

Kubelai pipinya dengan punggung telunjukku. Kucium lembut keningnya.

"Terima kasih sudah hadir dalam hidup Bunda, Nak. Sekarang Bunda benar-benar merasa sempurna. Mulai sekarang, hanya ada Bunda dan ayah di hidupmu. Tak ada lagi mama papa." Kupandangi sekali lagi Ratya sebelum kututup kelambu yang menyelubungi boksnya.

Aku berjalan menuju nakas di samping ranjang Rania. Kuambil bingkai foto yang terdapat gambar Rania, Tian dan Ratya.

"Maafkan Mbak, Ran. Mbak terpaksa melakukannya." Kubelai foto Rania yang tengah tersenyum. "Sebenarnya Mbak sayang sama kamu, tapi Mbak akan selalu jadi bayangan, jika masih ada dirimu yang menjadi matahari."

Kupandang gambar wajah ayu adik semata wayangku yang telah kubunuh. Ya, aku yang telah membunuh Rania dan Tian. Seulas senyum penuh kepuasan tersungging di bibirku.

Akulah yang merencanakan kecelakaan itu. Aku membiarkan mereka celaka. Namun, semuanya aman. Tak ada yang tahu akal bulusku. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa kurencanakan sebelumnya.

Seperti yang sudah kami rencanakan, Rania dan keluarganya tiba di rumahku untuk menghadiri peresmian pembukaan toko buku Aa'. Awalnya tak terlintas sedikit pun untuk mencelakai mereka. Namun, kesempatan datang tak terduga.

Sesaat sebelum Tian datang, aku mendengar Aa' berbicara di telepon dengan Joko—montir langganan Aa'—yang mengatakan bahwa rem mobilnya bermasalah, kemungkinan oli remnya mengalami kebocoran. Tak berapa lama, Aa' izin untuk keluar sebentar dengan motor, tanpa mengatakan padaku mengenai kondisi mobilnya.

Sampai saat itu aku masih tidak ada pikiran jahat. Hingga akhirnya Rania datang. Kecemburuanku memuncak saat melihat Rania menggendong Ratya. Mereka bertiga terlihat sangat bahagia. Rania yang cantik, bahkan setelah melahirkan pun tubuhnya tetap indah. Rania yang penuh percaya diri. Dan yang paling menyakitiku, Rania yang memiliki Ratya.

Setelah tiga tahun menikah, setelah melakukan berbagai terapi, dokter akhirnya memvonisku mandul. Di saat yang sama, Rania hamil. Benar-benar tidak ada keadilan di hidupku. Jadi jangan salahkan aku jika saat Ibu menelepon dari Bandara, aku bergegas mengempeskan seluruh ban mobil Tian.

Jangan salahkan aku jika aku berpura-pura tidak tahu kondisi rem mobil Aa'.

Jangan salahkan aku jika meminta tolong Tian dan Rania untuk menjemput Ibu.

Jangan salahkan aku jika dengan sengaja membiarkan mereka celaka.

Jangan salahkan aku jika menginginkan kesempurnaan hidup seperti mereka.

Semuanya memang takdir. Bukan salahku. Sama sekali. Biar pun aku yang merencanakan, tapi Tuhan mendukung, kan?

Kuusap sekali lagi foto Rania. "Aku kehilangan kesempatan untuk memiliki anak, bahkan aku hampir mati, semua karena obsesi gilaku padamu. Semua karena dirimu. Oleh karena itu, aku mengambil apa yang sudah kamu rebut. Kasih sayang Ibu, perhatian orang-orang, dan ... Ratya. Sekarang, hidupku benar-benar sempurna. Segalanya telah kembali padaku."

Ini permainan takdir, Rania. Jadi, aku juga akan menikmati permainan takdir. Selamat tidur panjang, adikku tersayang.

Kuletakkan pigura ke atas nakas dengan posisi terbalik. Semuanya telah usai. Tak ada lagi drama iri dengki dan cemburu. Karena kini hanya ada aku dan kebahagiaan.

**************TAMAT**************

Jangan lempar swalo pliiiis....
😁😁😁😁

Epilog-nya bikin kecewa, ya?
Maafkan penulis amatir ini, yaaaa....

Pesanku: Don't try this at home!!!

Pembunuhan adalah tindakan kriminal. Jadi, mohon bijak dalam membaca, yaaa....

Lalu kenapa aku menulis ending seperti ini? Karena menyembuhkan jiwa tak semudah menyembuhkan luka.

Terima kasih untuk semua teman-teman di SNG_Author yang selalu memberi motivasi dan semangat. Terima kasih untuk seluruh pembaca Obsession. Tanpa kalian, aku hanya debu yang berterbangan.

Sedikit promosi, yaaaa...
Buat temen-temen yang berminat untuk belajar kepenulisan, SNG_Author sedang open member. Ikutan, kuy .... Kami tunggu partisipasinya ....

Nantikan ceritaku selanjutnya yang berjudul "INTERSECTION LOVE" di Wattpad. Mohon dukungan dan semangatnya, yaaaa ....

Solo, 7 September 2017

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top