50. Jalan Buntu
Ini telah jadi yang ke tiga kalinya, aku kembali dari kematian dan mengulang kejadian di dunia ini.
Semua jalan hidup terlihat sama, tak ada yang berubah. Seperti yang sebelumnya, Osamu-kun akan melamarku, aku bertemu Papa Odasaku, aku menikah, aku melahirkan Maia, dan aku meninggal dengan tenang.
Semuanya kini terasa membosankan, semua tindakan ku tak bisa menangkal kenyataan bahwa dunia ini adalah mimpi.
Bukan berarti aku tidak bersyukur dengan hidupku saat ini. Ini adalah mimpiku.
Tapi...
"Apa bahagia sendirian seperti ini, benar-benar keinginan ku? "
Crakkk...
Nampak retakan merah besar diatas langit, blok-blok warna-warni berjatuhan, menelan orang-orang hingga keberadaan mereka menghilang.
Hal serupa terjadi pada seorang Ibu yang sedang menggandeng anak laki-laki nya, mereka sedang menyebrang jalanan dengan lampu jalan yang di tandai rusak.
Wanita itu hilang, di tengah-tengah zebra cross, menyisakan anak nya seorang. Sementara sebuah truk tengah melaju cepat.
Aku berdoa agar para dewi yang bersemayan di dalam tubuhmu itu mau meminjamkan kekuatannya untukmu.
"Norn! Hentikan waktu! Norn!! Norn's! " teriakku memanggil mereka.
"Verdandi! Urd! Skadi! Siapapun jawab aku! "
Aku tak mengerti, kenapa mereka tak mau menjawabku, seolah-olah mereka tak ada lagi di dalam diriku.
"Apa jangan-jangan..."
Kutepis pikiran itu, ini bukan waktunya memikirkan itu. Saat ini di depan ku, ada seorang anak yang tak berdosa akan mati begitu saja.
Tangan ku mencoba meraihnya, bocah itu sempat menatap mataku, tak mengatakan apapun. Manik polosnya seolah menganggap tak ada yang terjadi.
Ia tak merasa kebingungan, tidak juga merasa terancam.
Di depan ku, seorang nyawa tak berdosa telah melayang. Kedua tanganmu gagal menyelamatkannya.
Darah menyebar kemana-mana, tubuh tak berupa itu tergeletak bak bangkai tikus terinjak. Aku tak lagi bisa membedakan mana jantung dan organ dalam lainnya.
Sebagai seorang mahasiswi kedokteran, hal seperti ini tak membuatku jijik. Hanya saja jiwa ku seolah terguncang sampai ke akarnya.
Tangan kami berdua hanya terpaut beberapa centimeter, tak sampai 20 centimeter. Terpaut beberapa detik, sampai aku bisa menariknya.
Aku bersimbah darah bocah itu, terisak ku tatap kembali tubuh tak bernyawa nya.
Usianya nampak tak berbeda jauh dengan Maia di rumah.
Sementara orang-orang terus berlalu-lalang seolah tak terjadi apa-apa. Sebagian mereka sibuk dengan smartphone nya. Sebagian lagi berbincang senang dengan kawan-kawan mereka.
Tidak ada yang memperhatikan, baik kecelakaan mengerikan ini atau pun retakan yang kian waktu kian merambat di langit itu.
"Huh! " aku tertegun, peristiwa ini masih terjadi.
Orang-orang mulai hilang, satu-persatu, jalanan utama tengah kota yang biasanya ramai akan pekerja dan pengunjung ini perlahan mulai terlihat tak begitu sesak.
Namun mengapa? Tak seorang pun menyadarinya? Orang-orang tercinta mereka hilang tepat di dekat mereka.
Kenapa tak seorang pun meraung? Tak seorang pun menangis dan bertanya mengapa?
"Nona? Apa kau baik-baik saja? " seorang petugas keamanan menghampiri ku, menanyakan keadaanku.
Aku menunjuk jalan tempat jasad bocah itu berada.
"Anu! Tadi ada kecelakaan disini" tunjukku, mengadu pada mereka.
Kedua orang itu seolah menatapku aneh, mereka saling berbisik-bisik.
"Apa kau bisa mengingat rumahmu? Apa kau tinggal disini? " tanya mereka berhati-hati.
Aku tak habis pikir, kenapa orang-orang ini menganggap enteng kecelakaan yang merenggut nyawa seorang bocah?
"Dengar! Aku tidak tau maksud kalian apa! Tapi seorang anak kecil telah mati tertindas!" jeritku.
Kini barulah orang-orang memperhatikan kami.
"Kami tak mengerti maksud anda nona, tak seorang pun dapat mati di dunia ini, apa anda baik-baik saja? Jika anda bisa mengingat arah pulang anda, dengan senang hati kami akan mengantar anda pulang" tawarnya sekali lagi.
Aku berbalik, ingin sekali memaki kedua orang petugas itu. Namun tak kutemukan jasad anak itu di manapun, darah di sekujur pakaianku juga hilang, baik di jalanan ataupun tiang, tak ada sisa bercak darah.
Aku mencengkram kepala ku, tatapan ku beredar terus mencari bocah itu.
Sementara orang-orang mulai menertawakanku, mereka berbisik-bisik membicarakan kewarasanku.
Aku malu sekaligus kebingungan, apa yang terjadi padaku? Apa yang terjadi dengan dunia ini?
***---***
Untuk yang keempat kalinya, aku makin yakin ada yang tak beres dengan dunia ini.
Di kehidupan ku yang ke tiga, aku dieksekusi secara paksa setelah pertengkaranku bersama Osamu-kun.
Katakan lah memang benar, jika mungkin tidak ada kematian di dunia ini, tak seorang pun mengenal konsep kematian semua orang hidup bahagia, tanpa resiko kematian, dan penyakit.
Jadi bisa kusimpulkan bahwa Ren berhasil mewujudkan separuh tujuan nya.
Lalu bagaimana dengan penyakit? Orang-orang masih merasakan sakit, contohnya saja waktu melahirkan Maia, rasa sakit melahirkan masih terasa, slama ini aku mengabaikannya karna kupikir wajar, rasa sakit seorang wanita yang melahirkan itu special, mereka menjadi piagam kebanggaan.
Aku yang malam itu ngotot melihat orang-orang menghilang, sempat bertengkar dengan Osamu-kun. Wajar, kekhawatiran ku membuncah bagaimana jika nanti hal yang serupa itu terjadi pada Maia dan Osamu-kun.
Aku mulai mengatakan kebenaran dimana Osamu-kun pada Maia bahwa ayahnya Dazai Osamu bukan lah Osamu-kun yang asli.
Lalu setelah itu aku tak mengingat apapun, tenggorokan ku terasa sakit, panas dan aku ambruk setelah kejutan listrik yang begitu kuat seolah menyambar otakku.
"Tegangan listrik sekuat itu, aku sangat yakin sekali, itu tegangan kursi listrik yang biasa digunakan untuk mengeksekusi kriminal" gumamku.
"(Name)? " seru Osamu-kun.
"Hm? " tanyaku, meliriknya.
"Kau belum menjawab pertanyaan pasturnya"
"Ehem! Untuk yang kedua kalinya, aku tanyakan padamu saudari (Full Name) apa kau menerima Dazai Osamu sebagai suami mu? " tanya nya.
"Aku... " ucapan ku menggantung, ini di tengah-tengah pernikahan kami.
Namun aku tak bisa berhenti berpikir, bagaimana jika sekali saja aku mencobanya? Mencoba mengubah takdir ini.
"Aku menola-" suaraku seperti di tarik kembali, kata-kata itu tak mau keluar tak peduli sekuat apapun aku memaksanya keluar.
Sempat panik, aku mencoba menenangkan hatiku.
"Baiklah! Aku tidak ingin menjadikan pria ini suami-" lagi-lagi suara ku dicekal.
"Aku membenci-"
Seluruh kata penolakan itu seolah tak diperbolehkan keluar, aku tak bisa memilih akhir cerita yang lain selain berbahagia.
"Sayang? Jawab pasturnya? " Osamu-kun mendorong ku, untuk segera menyudahi upacara ini.
"Aku bersedia"
***---***
Aku lupa, entah sudah berapa kali aku mengulang kehidupan ini. Lingkar takdir ku tak pernah bercabang.
Hal ini bukan lagi melihat masa depan, masa depan tidak pernah sepermanen ini. Masa depan tidak tertulis dengan tinta permanent, masa depan itu seperti cuaca, tak tau kapan hujan akan turun, atau darimana angin akan berhembus, mereka selalu berubah, bak keinginan setiap jiwa manusia mereka tidak terikat.
Kali ini kematianku dikarenakan, tindak kriminal. Aku mencoba membunuh seseorang seperti yang Maia katakan.
"Seseorang yang harusnya tak ada dalam hidupku"
Aku mencoba mencarinya, orang yang Maia maksud, namun nihil tak kutemukan siapapun yang harus menjadi targetku.
Alhasil aku membabi buta dan membunuh siapapun yang lewat di depan mataku.
Informasi baru sekali lagi kudapatkan, di dunia ini tak satupun kriminal ada, pembunuh, perampok, orang cabul, semuanya tidak ada.
"Menjadi salah satu pendosa di dunia ini, langsung dihukum mati"
Petugas keamanan hanya ada untuk pelayanan masyarakat, dalam artian menertibkan lalu lintas, dan menolong lansia atau yang lainnya.
"Ugh! Rasanya seperti menghadapi tembok! Semuanya jalan buntu " lenguhku.
"Mama! Mama! Lihat! Aku dan temanku akhir-akhir ini menemukan toko eskrim yang benar-benar enak hingga antriannya membeludak" putriku yang baru saja beranjak ke bangku SMP menunjukkan sebuah foto di ponselnya.
"Uwah! Kalian manis sekali" pujiku.
"Lain kali kita kesana yah! Bersama papa! " pekiknya kegirangan.
Aku mengangguk, ia kembali bermanja di pangkuanku. Maia adalah malaikat yang tuhan berikan pada keluarga kami.
Bersamanya aku seolah merasakan kebahagiaan yang harusnya belum bisa kuterima ini.
"..."
"..."
***---***
Ku tatap langit biru yang semakin mengelupas itu. Darah meleleh dari celah-celah retakannya.
Namun orang-orang tetap berlalu-lalang di bawahnya. Mereka tak dapat melihat kebenarannya, bahwa dunia mimipiku ini mulai ditinggalkan oleh penciptanya.
Membinasakan seluruh dunia dalam replika mimpi adalah pekerjaan berat, dan aku yakin bahkan Ren juga kewalahan.
Perlahan dunia ini semakin tak terurus, sistemnya berhenti dan tak berkembang. Bak sebuah game, kami seolah ditinggalkan developnya.
Semua informasi yang ada di dunia ini semuanya telah ku ketahui, tujuh kehidupan telah kugunakan waktu itu sebaik-baiknya mengorek informasi.
Luar biasanya baik Maia ataupun Osamu-kun tak menyadari bahwa di tujuh kehidupan sebelumnya aku bertindak aneh.
Nyatanya ini bukan dunia yang sempurna.
Spekulasiku, mungkin ada masanya semua orang akan menghilang dan dunia ini akan hancur jika retakan di langit itu pecah.
Kali ini aku mengkhawatirkan hidupku, di dalam sini adalah mimpiku. Sebuah penghinaan jika aku membiarkannya lenyap begitu saja.
Hari itu yang Ren janjikan adalah sebuah hidup sempurna, dimana tidak ada air mata, kekekerasan, penantian, pengkhianatan.
Namun ia menyembunyikan fakta bahwa semua yang pria itu janjikan masih jadi sebuah keinginan, tanpa tau batasan yang mampu ia raih.
Aku merasa di bohongi kalau begini.
Ku pasang topeng rubah yang telah ku beli di kuil kemarin, memasuki rumah sederhana itu aku mengendap-endap.
Akhirnya aku menemukan orang itu, dengan kedua tanganku ini aku akan menghabisi nyawanya dan mendapat hukuman mati.
Namun jika aku benar, aku akan terbebas dari mimpi indah ini, untuk selamanya aku tidak akan lagi menemui anak semata wayangku dan suami yang kucintai dan balik membalas cintaku.
Kutemukan seorang gadis tidur kelelahan di atas meja belajarnya, aku menatapnya sedingin mungkin.
Di atas meja nya terdapat sebuah rajutan syal merah yang masih belum selesai, lututku terasa lemas.
Aku jatuh terduduk, hampir menangis.
Gadis muda itu bangun dari lelapnya, menatapku ketakutan. Cepat-cepat ia berlari menerabasku, langkah kaki nya yang menuruni tangga terdengar dari sini.
Aku mengejarnya, tak perlu khawatir, karna jalan keluar telah kuaman kan sebelum nya.
Sekarang aku hanya harus mencarinya, ia pasti bersembunyi di sekitar sini.
Kutatap salah satu kaca jendela yang pecah, tersenyum bangga aku ingin memujinya.
Gadis itu berhasil membuat tipuan, jendela nya sengaja ia pecahkan untuk menipu ku, dengan membuatku berpikir bahwa ia telah kabur melewati jendela itu.
Tapi ini lantai dua, dan jendela yang pecah adalah sebuah halaman, taman kecil yang nyonya rumah ini rawat.
Gadis itu sangat mengerti apa yang akan terjadi jika ia meloncat dan mendarat di bebatuan runcing itu.
Aku membongkar lantai tatami, dimana biasanya tuan rumah biasanya menyembunyikan barang-barang berbahayanya.
Ia ada disana, tempat barang bekas itu cukup luas untuk di masuki wanita.
Gadis itu mencoba menghubungi seseorang, ia terus memanggil nama ayahnya sambil gemetaran.
Aku bisa mendengar suara ketakutan nya, menyebut nama dewa dewi memohon perlindungan.
"Selamat tinggal! "
Dalam sekali hunusan, pedang itu menancap di dadanya. Dari ujung katana, aku bisa merasakan detak jantung lemah miliknya.
Ponsel ku berdering, menyanyikan lagu kesukaan ku sebagai ringtone.
Gadis itu menatap ku terkejut, aku membalas tatapannya memelas.
"Untuk yang terakhir kalinya, tunjukan siapa dirimu yang sebenarnya" pintanya.
Tangannya mengamit topeng rubahku, wajah ketakutan itu berubah melunak, hingga sanggup membentuk senyum manis ditengah-tengah rasa sakitnya.
"Mama... "
"Maafkan aku, maafkan aku Maia" tangis ku menderu.
Gadis ku ternyata lebih kuat dari yang kuduga, ia cantik, ia manis, ia berlapang dada.
"Aku tau hari ini akan tiba, kita sudah berkali-kali dipertemukan dalam mimpi bukan? " Maia menyapu air mataku.
Ternyata bukan hanya aku, Maia juga melihat mimpi itu. Slama ini, selama tujuh kehidupan yang telah kulalui ini, gadis itu senantiasa menunggu ku, menunggu kesiapan hatiku untuk membunuhnya.
Gadis itu tau, bahwa dirinya lah yang dimaksud, di dunia nyata bentuknya masih menjadi sebuah janin kecil. Tak seharusnya ia ada dalam mimpiku.
"Aku sudah tau, meskipun begitu aku tak bisa melenyapkan keberadaan ku sendiri, karna jika hal itu kulakukan, selamanya Mama takkan pernah bisa keluar dari dunia ini"
Aku masih menggit bibir bawahku tak percaya. Selama ini ternyata Maia ku adalah sungguhan, ia bukan Ai maupun NPC, ia manusia berjiwa sungguhan yang telah menemaniku di tujuh kehidupan ini.
"Suatu hari aku ditarik oleh sesuatu, tau-tau aku sudah ada di dunia ini, Mama adalah sebuah cermin, kedua mata yang pernah di donorkan pada Mama adalah replika dunia, Mama melihat seluruh bagian dunia dan mereplikanya dalam ingatan, itu yang menciptakan dunia mimpi ini"
"Sementara aku, adalah anak yang berada di janin Mama tanpa tau, akankah aku bisa di lahirkan di dunia nyata? "
"Maia" senyumnya tak kunjung pudar, meskipun darah telah merembes begitu banyak dari tubuhnya.
"Aku takut, suatu hari Mama akan mengugurkanku, ketika papa tak bisa membalas cintamu, aku ini anak yang tak memiliki kesempatan hidup-"
"Tidak! Maia bisa hidup, ketika kita kembali nanti, Mama akan menjagamu, biarpun nanti kau cacat, biarpun nanti kau tak sempurna kita akan sslamat dari pertarungan ini dan Mama akan membesarkanmu! Jadi jangan katakan itu! Jangan katakan hal menyedihkan macam itu" tangisku.
"Aku bahagia sekali, bisa menjadi anakmu, di tujuh kehidupan yang singkat ini, sampai jumpa Ma, aku menyayangimu"
To be continue~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top